PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemeriksaan sistem respirasi merupakan satu dari sistem-sistem yang ada pada
tubuh manusia. Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan data objektif yang dilakukan
dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Pemeriksaan diagnostik adalah penilaian klinis tentang respon individu terhadap
suatu masalah kesehatan. Hasil suatu pemeriksaan sangat penting dalam membantu
diagnosa, memantau perjalanan penyakit serta menentukan prognosa.
Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang tidak di
harapkan. Untuk mengetahui adanya alergi sering dilakukan tes alergi yaitu Tes yang sering
digunakan untuk membedakan suatu penyakit yang disebabkan oleh alergi ataupun oleh
sebab lain. Dikenal beberapa metode pemeriksaan alergi diantaranya secara in vivo dan
secara in vitro.
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti penetapan jumlah eosinofil dan kadar IgE
serum dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam menegaskan diagnosis gangguan alergi.
Namun interprestasi dari nilai eosionofil agak sulit karena eosinofil dipengaruhi oleh
ekskresi obat-obat tertentu seperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu pengambilan, dan
tehnik peneraan, serta juga oleh kinetiknya.
Tes alergi sering digunakan untuk membedakan suatu penyakit yang disebabkan
oleh alergi ataupun oleh sebab lain. Dikenal beberapa metode pemeriksaan alergi
diantaranya secara in vivo dan secara in vitro.
B. Rumusan masalah
1. Apakah tes alergi itu?
2. Apa saja indikasi dilakukannya tes alergi?
3. Bagaimana cara pemeriksaan dan jenis jenis tes alergi?
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang tes alergi.
2. Mengetahui indikasi dilakukannya tes alergi.
3. Mengetahui cara dan jenis tindakan tes alergi.
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kondisi Indikasi
Rhinitis Gejala tidak dapat dikontrol dengan pemberian medikamentosa
dan diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis alergen
sehingga kemudian hari alergen dapat dihindari
Asma Asma persisten pada pasien yang terpapar alergen di dalam
ruang
Dugaan alergi Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap
makanan makanan
Dugaan alergi obat Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap obat
dan indikasi klinis untuk obat yang diduga
Dugaan alergi gigitan Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap
binatang sengatan binatang
3
sederhana, sejak mekanisme terjadinya diketahui (IgE mediator reaksi tipe I) dan reaksi
alergi inhalasi bisa didapatkan dalam beberapa menit. Bagaimanapun bisa didapatkan sebuah
hasil yang positif walaupun tanpa gejala klinik.
1. Metode In Vivo
Berbagai metode in vivo digunakan dalam penelitian sistem immunoglobulin
maupun sistem seluler. Tes alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan
uji tantangan pada organ (tes provokasi). Uji kulit merupakan cara in vivo utama dalam
mengenali IgE atau antibodi reagenik. Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah
masuknya alergen. Alergen berinteraksi dengan antibodi reagenik yang melekat pada sel
pelepas zat mediator. Akibatnya terjadi suatu peradangan atau pembengkakan segera,
demikian pula suatu reaksi fase lambat. Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan
suatu jarum atau garukan dan injeksi intradermal.
a. Pemeriksaan Tes Kulit
Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis
alergi terhadap alergen-alergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan secara massal
dalam waktu singkat dengan hasil cukup baik. Prinsip test ini adalah adanya IgE
spesifik pada permukaan basofil atau sel matosit pada kulit akan merangsang
pelepasan histamin, leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan
alergen yang digunakan pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa
bentol (wheal) dan kemerahan (flare). Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil
positif walaupun pemeriksaan dengan cara lain berhasil positif, terutama alergi
terhadap obat. Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk menentukan macam alergen
sehingga dikemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian
imunoterapi.
4
Macam tes kulit untuk mediagnosis alergi antara lain :
Keuntungan :
Kerugian :
a) Terjadi false positif (akibat iritasi pada kulit dibandingkan dengan reaksi
alergi)
b) Lebih menyakitkan
c) Tidak reproducible sebagai intradermal skin test
Karena kurang reproducibility dan berbagai gambaran dibelakang, bentuk
tes ini tidak direkomendasikan lagi sebagai prosedur diagnostik pada Alergi
panel dari AMA Council Of Scientific Affairs.
2) Prick : Epicutaneus
Tehnik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1926.
Hal ini digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit .
kemudian jarum steril 26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit
bagian superficial sehingga tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan
menggunakan applikator sekali pakai dengan delapan mata jarum yang bisa
digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6 antigen dan control positif
(histmin) dan kontrol negative (glyserin).
Keuntungan :
a) Cepat
b) Mempunyai korelasi yang baik dengan tes intradermal
c) Relative lebih aman
5
Kerugian :
Prick tes merupakan jalan cepat untuk menyeleksi antigen yang banyak.
Jika skin tes positif, kemudian pasien lebih sering alergi, tetapi konversi yang
didapat tidak benar. Jika pasien mempunyai sejarah yang positif dan negative
pada prick test, maka dokter harus menggabungkan prosedur dengan
pemeriksaan tes intradermal.
Kelebihan Skin Prick Test Dibandingkan dengan Tes Kulit yang lain :
b) Persiapan penderita
i. Menghentikan pengobatan antihistamin 3 hari sebelum tes atau 5 7
hari sebelum tes.
ii. Menghentikan pengobatan lain seperti trisiklik antidepressant, stabilizer
sel mast, ranitidine, anti muntah atau beta bloker, antihistamin topical,
cream imunomodulator, dan topical steroid minimal 7 hari sebelum tes.
Steroid oral dan obat inhalasi untuk asma tidak perlu dihentikan.
iii. Usia : Pada bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi,
walaupun sebenarnya tes ini tidak mempunyai batasan umur.
iv. Pada penderita dengan keganasan, limfoma, sarkoidosis, diabetes
neuropati juga terjadi penurunan terhadap reaktivitas terhadap tes kulit
ini.
c) Persiapan pemeriksa
i. Tehnik dan keterampilan pemeriksa perlu dipersiapkan agar tidak
terjadi interprestasi yang salah akibat tehnik dan pengertian yang
kurang dipahami oleh pemeriksa.
ii. Keterampilan tehnik melakukan cukit
iii. Tehnik menempatkan lokasi cukitan karena ada tempat yang reaktivitas
tinggi dan ada yang rendah. Berurutan dari lokasi yang reaktifitasnya
tinggi sampai rendah : bagian bawah punggung > lengan atas > siku >
lengan bawah sisi ulnar > sisi radial > pergelangan tangan.
3) Tes Cukrit
Sebelum melakukan tes cukit pada penderita dilakukan terlebih dahulu
inform consent. Pada penderita dewasa yang telah mengerti dapat dijelaskan
secara langsung prosedur pemeriksaan dan apa yang akan mereka rasakan.
Sedangkan pada penderita yang masih kecil maka diberikan penjelasan kepada
orang tua mereka.
7
Tes cukit sering kali dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Pertama
dilakukan desinfeksi dengan alkohol pada area volar dan ditandai area yang akan
ditetesi dengan ekstrak allergen. Tanda yang diberikan mempunyai jarak antara
satu dengan yang lain sekitar 2-3 cm. Ekstrak allergen diteteskan satu tetes
larutan allergen (histamine/control positif) dan larutan kontrol (buffer/control
negative) menggunakan jarum ukuran 26 G atau 27 G atau blood lancet.
Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 45 0 menembus lapisan
epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan
perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen memasuki kulit. Tes
dibaca setelah 15 20 menit dengan menilai bentol yang timbul.
4) Intradermal test
Tes intradermal atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan ketika
terdapat kenaikan sensitivitas merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan
(misalnya ketika skin prick test memberikan hasil negatif walaupun mempunyai
8
riwayat yang cocok terhadap paparan). Tes intradermal lebih sensitive namun
kurang spesifik dibandingkan dengan skin prick test terhadap sebagian besar
alergen, tetapi lebih baik daripada uji kulit lainnya dalam mengakses
hipersensitivitas terhadap Hymenoptera (gigitan serangga) dan penisilin atau
alergen dengan potensi yang rendah.
Robert Cooke memberikan gambaran pertama kali untuk tes intradermal
pada tahun 1915. Tehnik pemeriksaannya mengalami beberapa modifikasi sejak
saat itu. Pada saat ini prosedur tes intradermal digambarkan dengan
menggunakan jarum 26 G untuk menyuntikkan secara intradermal sebagian dari
antigen, berbagai macam laporan mengatakan batasannya 0,01 0,05 ml.
batasan dari konsentrasi ekstrak adalah 1 : 500 sampai 1 : 1000. Test di nilai
setelah 10 15 menit. Pada kasus tertentu baru dapat dibaca setelah 24 48
jam. Eritem dan bentol merupakan tanda dan tingkatan dalam skala subjektif
adalah 0 - +4.
Keuntungan :
a) Lebih sensitive (dapat mendeteksi alergi dengan kadar rendah)
b) Lebih reproducible dalam satu tempan
c) Kerugian :
d) Lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif
e) Tingkat dalam respon lebih bersifat subjektif
f) Tidak ada standarisasi dalam banyaknya dosis atau konsentrasinya
g) Mungkin dapat muncul reaksi positif palsu pada sensitivitas tinggi
Tes intradermal merupakan tes yang baik, sensitive dan lebih reproducible.
Keakuratan lebih jelas didapatkan pada percobaan dengan berbagai macam
dilusi dari ekstrak allergen. Tetapi mempunyai kekurangan dalam standarisasi
protokol tes
5) Pacth Test
Tes pacth merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi zat yang
memberikan alergi jika terjadi kontak langsung dengan kulit. Metode ini sering
digunakan oleh para ahli kulit untuk mendiagnosa dermatitis kontak yang
merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana reaksi yang terjadi baru dapat
dilihat dalam 2 3 hari.
9
Pemeriksaan pacth tes biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan
menggunakan skin prick tes memberikan hasil yang negative. (10) Pada
pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25 150 material yang dimasukkan ke
dalam kamar plastic atau aluminium dan di letakkan di belakang punggung.
Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-tempat yang akan
ditempelkan bahan allergen tersebut. Setelah ditempelkan, kemudian dibiarkan
selama 48 sampai 72 jam. Kemudian diperiksa apakah ada tanda reaksi alergi
yang dilihat dari bentol yang muncul dan warna kemerahan.
Hasil yang dinilai atau didapatkan bisa berupa :
a) Negatif (-)
b) Reaksi iritasi (IR)
c) Meragukan/tidak pasti (+/-)
d) Positif lemah (+)
e) Positif kuar (++)
f) Reaksi yang ekstrem (+++)
Reaksi iritasi terdiri dari sweat rash, follicular pustules dan reaksi seperti
terbakar. Reaksi yang meragukan berupa warna merah jambu dibawah kamar tes.
Reaksi positif lemah berupa warna merah jambu yang sedikit menonjol atau plak
berwarna merah. Reaksi positif kuat berupa papulovesicle dan reaksi ekstrem
berupa kulit yang melepuh atau luka. Reaksi yang relevan tergantung dari jenis
dermatitis dan allergen yang spesifik. Interprestasi dari hasil yang didapatkan
membutuhkan pengalaman dan latihan.
Persiapan penderita
10
f) Menyuruh seseorang untuk mengatakan jika ada perubahan pada tanda yang
telah diberikan dipunggung.(13,14)
Persiapan Bahan
a) Bawa atau kirim bahan yang akan dites paling lambat 1 minggu sebelum
pertemuan pertama dilakukan sehingga pemeriksa bisa mempersiapkan untuk tes
jika dibutuhkan.
b) Jumlah yang dibutuhkan sedikit hanya beberapa tetes atau butir.
c) Bahan diberikan label dan nama dan buatlah lembaran daftar bahan jika
memungkinkan.
d) Identifikai jenis makanan dan tumbuhan (jika relevan) kalau bisa beli yang
masih segar untuk pertemuan pertama; gunakan es untuk lebih membantu.
e) Bawa kosmestik yang telah diseleksi untuk dites (lebih dari 10 jenis) termasuk
cat kuku, pelembab, cream matahari, parfum, sampho. Sabun tidak biasa
digunakan untuk tes (karena biasa menyebabkan reaksi jika diletakkan di kulit
untuk 2 hari)
f) Bawa semua ointment, cream dan lotion yang biasa digunakan baik yang
diresepkan maupun yang tidak diresepkan.
g) Bagian dari pakaian seperti sarung tangan karet dan kaus kaki untuk di tes: 1 cm
dari bahan tersebut perlu diambil.
11
pemberian allergen. Untuk mengkonfirmasi efek alergi dari zat yang dites dengan
menampakkan reduksi yang significant dari kemampuan hidung untuk
pembengkakan mukosa yang reaktif. Sejak tes provokasi meliputi penempatan
allergen secara langsung pada turbin, mungkin dapat menimbulkan reaksi alergi yang
hebat atau mungkin syok anafilaksis, dan sepantasnya alat emergency tersedia pada
ruang pemeriksaan.(6,15)
2. Metode In Vitro
Setelah sifat-Sifat IgE diketahui pada tahun 1968, Maka dimungkinkan
pembentukan antisera terhadap kelas immunoglobulin ini. Hal ini membuka jalan untuk
pelaksanaan peneraan imun.(1) Telah ditemukan beberapa cara pemeriksaan in vitro
terhadap alergi, yang pertama sekali yaitu metode ujiRadioalergosorbent (RAST) yang
kemudian mendapat modifikasi, Enzyme-linked immunoassay (ELISA)(1,3,4) dan beberapa
metode baru yang terus ditemukan sesuai dengan perkembangan teknologi. Namun pada
penulisan ini hanya dibahas mengenai metode pemeriksaan RAST dan ELISA.
Indikasi untuk tes secara in vitro
a. Pasien yang tidak respon terhadap control lingkungan dan pengobatan konservatif.
b. Kekhawatiran pada bayi dan anak yang sensitive terhadap reaksi atopi
c. Pasien yang tidak mungkin diberhentikan pengobatan yang mungkin mempengaruhi
pada pemeriksaan uji kulit
d. Pasien dengan reaksi yang jelek pada imunoterapi
e. Evaluasi individu yang sensitive ketika diprakarsai imunoterapi pada pasien atopi.
f. Pemindahan pasien alergi pada imunoterapi
g. Sensitive terhadap racun
h. Diagnosis reaksi sensitive IgE pada makanan.
Kontra indikasi untuk tes secara invitro
a. Pasien dengan positif riwayat sensitivitas dimana dengan terapi non spesifik dapat
efektif untuk mengurangi gejala.
b. Pasien atopi yang asimtomatik terutama dalam imunoterapi
c. Pasien dengan gejala namun pada uji kulit negative
d. Pasien dengan total IgE level dibawah 10 U/ml
e. Pasien dengan diagnosis gangguan penghantar non IgE
1) Metode RAST
Merupakan metode yang sering dipakai dengan menggunakan allergen
tidak larut ke dalam suatu cakram kertas selulosa (alegosorben) yang mengikat IgE
12
spesifik (dan klas antibody lain) dari serum selama masa inkubasi pertama. Fase
padat terikat immunoglobulin kemudian dicuci dan pada inkubasi kedua
ditambahkan suatu anti IgE berlabel isotop I-125 (fc) atau anti IgE berlabel enzim
(fc). Setelah pencucian selanjutnya radioaktivitas yang terikat IgE pada cakram
kemudian dihitung, atau pada antibody yang berlabel enzim, dilakukan suatu
inkubasi substrat agar dihasilkan suatu produk berwarna atau berfluoresensi.
Radioaktivitas terikat cakram atau kuantitas produk yang dihasilkan aktivitas enzim
dihubungkan dengan IgE terikat cakram memakai sumber serum rujukan dari
specimen yang tidak diketahui diinterpolasikan terhadap serum ini. Perlu
ditekankan bahwa system penilaian untuk semua proses ini belum sepenuhnya
dikaitkan dengan gambaran klinis. Secara umum nilai yang tinggi dapat ditemukan
pada beberapa pasien non alergi namun dapat pula tidak ditemukan pada individu
alergi. Demikian pula nilai yang rendah dapat ditemukan pada individu alergi
seperti juga individu non alergi. Seluruh hasil perhitungan harus diinterprestasikan
dalam kaitannya dengan anamnesis.
Setelah dimodifikasi selama bertahun-tahun, RAST orisinil kini telah
dipasarkan untuk pengukuran IgE spesifik dalam serum manusia. Hasil-hasil
relative dari system yang lebih baru ini masih belum dinilai. Pada dasarnya,
kebanyakan system peneraan mempunyai system yang serupa dengan RAST
Bermacam-macam modifikasi tehnik radioimmumoassay (RIA) telah
dikembangkan untuk menyederhanakan dan memudahkan penggunaannya serta
meningkatkan sensitivitas maupun spesifitas. Dalam garis besar ada 2 macam
metode, yaitu metode yang berdasarkan reaksi antigen antibody dalam larutan
(liquid fase) dan yang berdasarkan reaksi antigen antibody pada benda padat atau
partikel (solid phase). Pada umumnya tehnik RIA dalam larutan menggunakan
prinsip kompetitif, yaitu mereaksikan antigen (Ag) yang tidak dilabel dan terdapat
dalam specimen, bersama Ag yang dilabel 125I (Ag*) dengan antibody (Ab) spesifik,
sehingga Ag berlabel (Ag*) dan Ag dalam specimen akan berkompetisi untuk
mengikat Ab membentuk kompleks Ag*-Ab-Ag. Apabila kadar Ag* sebelum reaksi
diketahui, maka sisa Ag* yang tidak bereaksi atau yang terikat pada kompleks dapat
diukur radioaktivitasnya dan hasilnya merupakan parameter kadar Ag dalam
specimen. Di samping tehnik kompetitif, ada juga tehnik non kompetitif dengan
13
cara melekatkan Ag atau Ab pada suatu partikel kemudian mereaksikannya dengan
specimen yang diuji. Apabila yang diuji adalah antigen, maka partikel dilapisi
dengan Ab spesifik, kemudian direaksikan dengan specimen. Setelah itu
ditambahkan Ab berlabel I (Ab), kemudian kompleks Ab-Ag-Ab dipisahkan dan
diukur radioaktivitasnya. Banyaknya Ab yang terikat merupakan ukuran untuk
kadar Ag dalam specimen. Tehnik ini disebut tehnik sandwich dan merupakan
tehnik yang banyak digunakan. Suatu modifikasi tehnik sandwich adalah setelah
specimen direaksikan dengan partikel berlapis Ab, ditambahkan Ab spesifik yang
tidak berlabel, baru kemudian dibubuhkan anti Ig universal berlabel I (anti Ig).
14
enzim yang terikat pada kompleks dan intensitas warna yang timbul setelah substrat
dihidrolisis oleh enzim yang terikat pada kompleks Ag - AbE merupakan untuk
kadar Ag yang diuji.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang
pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang
terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit.
Diperlukan metode yang baik dalam mendeteksi alergi dan dikenal dua jenis pemeriksaan
yaitu secara in vivo dan secara invitro. Pemeriksaan secara in vivo terdiri dari uji kulit
(scratch test, skin prick test, intradermal test, dan patch test) dan uji provokasi. Sedangkan
secara in vitro banyak jenis metode yang telah dikembangkan namun yang sering digunakan
adalah metode RAST (RIA) dengan menggunakan radioisotope dan metode ELISA yang
menggunakan enzim. Pemeriksaan secara in vivo lebih sensitive daripada secara invitro.
B. Saran
Perlunya pemeriksaan diagnostic untuk kasus pernafasan dengan cara tes alergi
yang dapat dilakukan dengan 2 macam cara yaitu tes in vivo dan in vitro supaya keadaan
klien dapat diketahui secara detail dan kemungkinan terjadi alergi pada pasien dapat
dicegah.
16
DAFTAR PUSTAKA
Kartika, Henny. 2007. Skin Test. Diakses pada tanggal 02 November 2015 :
http://hennykartika.wordpress.com/2007/03/08/skin-test/
Nn. 2009. Alergi Debu atau Alergi Dingin atau Alergi Makanan Mana yang Benar. Diakses
pada tanggal 02 November 2015 :
https://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/01/10/alergi-debu-atau-alergi-dingin-
atau-alergi-makanan-mana-yang-benar/
Andrie. 2012. Pemeriksaan test Alergi. Diakses pada tanggal 02 November 2015 :
http://dokterandrie.blogspot.co.id/2012/02/pemeriksaan-tes-alergi.html
Nn. 2010. Asma dan Alergi. Diakses pada tanggal 02 November 2015 :
http://www.klinikdrindrajana.com/asma-dan-alergi/alergi.html
17