Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskuler
yang utama yang menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. SKA adalah salah satu kejadian kegawatan pada pembuluh koroner yaitu suatu fase akut dari angina pektoris tak stabil/APTS yang disertai infark miokard akut gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya thrombosis akibat dari rupture plak arterosklerosis yang tidak stabil (Harun, 2007). Pada pasien dengan SKA biasanya akan mengeluh nyeri khas infark, seperti tertindih benda berat, lokasi nyeri biasanya di dada sebelah kiri/di tengah- tengah dada dan menjalar kebelakang dengan durasi >20 menit (Aru, 2009). Hal ini juga ditunjukkan pada Tn. J yang mengeluh nyeri dada yang tembus ke punggung, nyeri terasa terus menerus dan tidak hilang walaupun dengan istirahat dan obat dengan skala 5. Dari data tersebut memunculkan diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis: penumpukan asam laktat. Penanganan nyeri akut pada Tn. J yaitu dengan manajemen nyeri salah satunya adalah mengkaji nyeri klien meliputi PQRST. Pengkajian PQRST pada klien sangat penting karena respon nyeri dari pasien memperlihatkan luas infark miokard pada pasien. Hal ini juga didukung oleh penelitian Susilo dkk pada tahun 2013 yang menyebutkan bahwa semakin luas infark miokard akan semakin berat nyeri dada yang dirasakan pasien dengan SKA. Selain pengkajian nyeri terapi farmakologis perlu diberikan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh Tn. J. Terapi analgesik yang diberikan pada Tn. J adalah terapi morfin melaui intravena. Terapi morfin diberikan untuk mengurangi nyeri dada yang dirasakan klien. Nyeri pada klien harus segera ditangani karena nyeri yang tidak tertangani akan membutuhkan oksigen semakin banyak sehingga akan memperluas luas infark pada miokard. Selain pemberian terapi morfin, pemberian terapi heparin juga direkomendasikan sebagai penatalaksanaan akut pasien NSTEMI (Subiyanto, 2008). Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya thrombosis pada darah. Pada penderita SKA biasanya juga mengalami sesak nafas. Sesak nafas yang terjadi pada Tn. J merupakan suatu manifestasi dari nyeri dan tanda kekurangan oksigen dalam miokard sehingga sehingga tubuh berusaha mengeluarkan karbondioksida dan mengambil oksigen dengan melakukan hiperventilasi. Selain itu nyeri dada pada Tn. J merupakan tanda bahwa telah terjadi iskemia atau infark pada jantung. Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil pemeriksaan EKG Tn. J yang menunjukkan bahwa tejadi ST depresi pada lead I, V4, V5 dan V6 serta tampak LBBB pada lead AVR dan V3. Dengan adanya ST depresi serta LBBB menunjukkan bahwa telah terjadi kekurangan oksigen pada jaringan jantung sehingga memunculkan diagnosa resiko penurunan perfusi jaringan jantung berhubungan dengan riwayat penyakit arteri koroner: NSTEMI. Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk menangani diagnosa ini adalah cardiac care dan tindakan kolaborasi. Implementasi yang dilakukan adalah pemberian terapi oksgen nasal kanul 3 liter permenit. Pemberian terapi oksigen pada penderita SKA terbukti dapat meningkatkan saturasi oksigen yaitu menjadi 100%. Peningkatan saturasi oksigen maka diasumsumsikan bahwa suplai oksigen ke jaringan miokard menjadi adekuat sehingga dapat mencegah perluasan infark miokard. Hal ini juga didukung oleh penelitian Widiyanto dan Yamin (2014) yang menyebutkan bahwa pemberian terapi oksigen dapat meningkatkan saturasi oksigen pada pasien dengan infark miokard akut (IMA). Namun pemberian oksigen pada penderita infark miokard akut tidak disarankan untuk diberikan dengan konsentrasi tinggi dan secara kontinyu. Karena hal ini dapat berdampak buruk pada jantung tersebut. Penelitian Metcalfe tahun 2012, menyebutkan pemberian oksigen terus menerus dengan konsentrasi tinggi pada pasien dengan infark miokard infark akut dapat berdampak buruk yaitu dapat mengurangi aliran darah ke pembuluh darah koroner. Hal ini juga didukung oleh penelitian Farquhar et al pada tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan pengurangan aliran darah pembuluh darah koroner dan konsumsi oksigen pada miokard. Pemberian oksigen yang disarankan menurut Guidelines for Management of Acute Myocardial Infarction menyebutkan bahwa pemberian oksigen yang diasarankan yaitu 2-4 liter/menit dengan nasal kanul atau maker oksigen. Penderita dengan gangguan kardiovaskuler biasanya akan mengalami intoleransi aktivitas. Intoleransi aktivitas merupakan ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan (Herdman & Kamitsuru, 2015). Pada Tn. J oksigen yang masuk dalam tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada jaringan jantung klien. Sehingga untuk melakukan aktivitas lain klien akan mengalami intoleransi aktivitas. Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk menangani intoleransi aktovitas yang dialami oleh klien yaitu dengan exercise therapy. Exercise therapy yang diberikan pada Tn. J meliputi mengkaji sesak nafas setelah aktivitas, mengkaji adanya nyeri dada, menganjurkan membatasi aktivitas dan meningkatkan istirahat. Membatasi aktivitas dan mmenigkatkan istirahat bertujuan untuk mengurangi kebutuhan oksigen yang dibutuhkan tubuh untuk melakukan aktivitas. Sehingga dapat mengurangi beban kerja jantung. Dengan mengurangi beban kerja jantung diharapkan penggunaan oksigen dalam jaringan jantung tidak meningkat sehingga penumpukan asam laktat pada daerah yang mengalami iskemia dalam jantung tidak semakin meningkat. Kasus NSTEMI dengan manifestasi seperti Tn. J seharusnya mendapatkan perawatan kegawatdaruratan dengan segera. Waktu yang sangst pentig untuk melakukan reperfusi adalah kurang dari 6 jam setelah onset. Oleh karena itu, penatalaksanaan yang tepat dan cepat harus segera dilakukan untuk mengurangi angka kematian akibat penyakit jantung khususnya sidrom koroner akut (SKA). DAFTAR PUSTAKA
Benerjee, Amal Kumar & Kumar, Soumitra. Guidelines for Management of
Acute Myocardial Infarction. Supplement to JAPI. 2011. Vol. 59. Hal. 37- 42. Farquhar et al. 2009. Systematic Review of Studies of the Effect of Hyperoxia on Coronary Blood Flow. Medical Reasearch Institude of New Zealand. Hal. 371-377 Herdman, Heather & Kamitsuru, Shigemi. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC Metcalfe, Maria. 2012. Improving the safety of Oxygen Therapy in the Treatment of Acute Myocardial Infraction. Science Direct. Vol. 20, Hal. 94-97 Nurarif dan Kusuma. 2015. Aplikasi Diagnosa Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA, NICNOC. Yogyakarta : Medica Publication. Subiyanto, AA. Evidence-Based Medicine dalam Penatalaksanaan Angina Tidak Stabil. Majalah Kedokteran Indonesia. 2008.Vol. 58(5). Hal. 165-188. Susilo, Cipto., Sujuti, Hidayati., W, Titi Andri. 2014. Hubungan Luas Infark Miokard (Berdasar Skor Selvester) dengan Respon Nyeri Dada Pasien Sindrom Koroner Akut (SKA) Di RSD Dr. Soebandi Jember. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya Widiyanto, Budi & Yamin, LS. 2014. Terapi Oksigen Terhadap Perubahan Saturasi Oksigen Melalui Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard Akut (IMA). Posiding Koferensi Nasional II PPNI Jawa Tengah 2014.