Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH KASUS SISTEM KOMUNITAS II

INKONTINENSIA URIN PADA LANSIA

DI SUSUN OLEH :

Faisal Mahlufi Tri Darsih


Septiana Marisa Estella Septri Sari
Reza Juliandi Denny Kurniawan
Adriati Irfan Hidayat
Yerlin Ramanda Putri Gusrini Rubiyanti
Nur Rahmat Rahmadiani Hilda Zuprika
Muhammad Untung Saputra Y. Fredy Oskie Balsia

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rakhmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah kasus

1
yang berjudul Inkontinensia Urin pada Lansia untuk melengkapi tugas perkuliahan ditahun
akademik 2015/2016 pada mata kuliah Sistem Komunitas II.
Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut membantu, memberikan bimbingan, serta memberikan motivasi kepada kami
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, maka pada kesempatan ini kami
dengan rasa hormat menyampaikan terima kasih kepada:
1 Ns. Berthy Adiningsih S.Kep. Selaku Dosen Mata Kuliah Sistem Komunitas II
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, yang telah memberikan arahan serta
masukan-masukan dan membimbing kami.
2 Teman-teman mahasiswa/i Fakultas Kedokteran UNTAN Program Studi Ilmu
Keperawatan Angkatan 2012, yang ikut mendukung. Serta,
3 Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, yang namanya
mohon maaf tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun.Semoga makalah ini dapat menjadi sarana
belajar dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi pembaca.

Pontianak, Mei 2015

Penulis,

DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................i
Daftar isi..............................................................................................................................ii

2
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1........................................................................................................................................ Lata
r Belakang.....................................................................................................................1

1.2........................................................................................................................................ Rum
usan Masalah.................................................................................................................1

1.3........................................................................................................................................ Tuju
an...................................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI...............................................................................................3


2.1 Definisi.........................................................................................................................3

2.2 Etiologi.........................................................................................................................3

2.3 Klasifikasi....................................................................................................................7

2.4 Manifestasi Klinis........................................................................................................7

2.5 Pemeriksaan Diagnostik...............................................................................................8

2.6 Penatalaksanaan...........................................................................................................9

2.7 Komplikasi...................................................................................................................13

2.8 Prevalensi..14

2.9 Pengobatan herbal inkontinensia urine (beser).15

BAB III PEMBAHASAN KASUS.....................................................................................13

BAB IV PENUTUP............................................................................................................34
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................34

4.2 Saran.............................................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................35

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inkontinensia Urin (IU) merupakan gangguan yang dapat terjadi pada
perempuan maupun laki-laki di semua usia dengan derajat dan perjalanan penyakit
yang bervariasi. Walaupun jarang mengancam jiwa, IU dapat memberikan dampak
serius pada kesehatan fisik, psikologi, dan sosial. IU juga menurunkan kualitas hidup
karena pasien mengalami isolasi sosial, mungkin depresi dan malu sehingga
mempengaruhi aktivitas sehari-hari, mengalami stigmatisasi, gangguan hubungan
seksual, dan gangguan tidur. Prevalensi IU pada perempuan berkisar antara 3-55%
bergantung pada batasan dan kelompok usia dalam studi populasi. Secara sederhana
menjadi IU stres atau IU urgensi, sedangkan secara praktis dibedakan 4 kategori yaitu
IU urgensi, IU stres, overflow incontinence (OI), dan IU total (Melville et al, 2005).
Banyak faktor risiko yang memicu IU antara lain kehamilan, persalinan,
obesitas, proses penuaan, dan histerektomi. Langkah awal dalam tata laksana IU
adalah identifikasi dampak IU pada pasien. Langkah berikutnya adalah identifikasi
jenis IU dan gejala terkait. Tata laksana IU dapat konservatif atau bedah. Tatalaksana
bedah dianjurkan bila tatalaksana konservatif IU tidak berhasil. Mengingat IU sangat
erat kaitannya dengan morbiditas fisik, fungsional, dan psikologi maka identifikasi
dini etiologi IU menjadi sangat penting sebagai dasar tatalaksana pasien atau
perujukan pasien ke pusat kesehatan spesialistik.
Prevalensi IU meningkat dengan pertambahan usia. Prevalensi IU pada
perempuan di atas usia 80 tahun mencapai 16,96%. Masalah Inkontinensia urine ini
angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria,
banyak faktor yang memicu terjadinya IU antara lain, kehamilan, persalinan, obesitas,
proses penuaan, dan histeroktomi. Langkah awal dalam tatalaksana IU adalah

4
identifikasi dampak IU pada pasien dan menjajaki/ menelaah harapan pasien dalam
penatalaksanaan. Langkah berikutnya adalah identifikasi jenis IU dan gejala terkait.
Tatalaksana dapat konservatif atau bedah, tatalaksana bedah dianjurkan bila
tatalaksana konservatif IU tidak berhasil. Mengingat IU sangat erat kaitannya dengan
morbidita fisik fungsional dan psikologi maka identifikasi dini etiologi IU sangat
penting sebagai dasar tatalaksana pasien atau perujukan pasien ke pusat kesehatan
spesialistik. (Siddiqi, S Kausar. 2005)
Untuk itu, dari masalah tersebut diatas sangat diperlukan peran perawat di
komunitas agar fokus dan keseriusan dalam menangani masalah Inkontinensia urine
ini, karena dampak yang bisa diakibatkan tidak hanya menggangu aktivitas sehari-
hari, atau perubahan citra tubuh, namun juga mengganggu dalam interaksi sosial di
lingkungannya, yang mana hal tersebut bisa pula berdampak pada segi psikologis
penderitanya dan peran perawat komunitas dalam hal ini juga sebagai jembatan
informasi untuk membehani issue miring yang ada dimasyarakat mengenai
Inkontinensia urine.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Inkontinensia urin khususnya pada lansia ?

2. Apa saja penyebab terjadinya Inkontinensia urin khususnya pada lansia ?

3. Bagaimana manifestasi klinis dari Inkontinensia urin khususnya pada lansia?

4. Apa saja klasifikasi dari Inkontinensia urin?

5. Apa saja pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada lansia yang mengalami
Inkontinensia urin di komunitas (posyandu/puskesmas)?

6. Bagaimana penatalaksanaan Inkontinensia urin pada lansia di komunitas dan


keluarga?

7. Apa komplikasi dan prognosis dari Inkontinensia urin khususnya pada lansia?

8. Bagaimana penyelesaian kasus yang sudah diberikan ?

1.3 Tujuan
Tujuan umum: untuk memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah Sistem Komunitas II
tahun akademik 2015.
Tujuan khusus dari penulisan makalah diharapkan mahasiswa dapat:

5
1. Mengetahui pengertian dari Inkontinensia urin khususnya pada lansia.

2. Mengetahui penyebab terjadinya Inkontinensia urin khususnya pada lansia.

3. Mengetahui manifestasi klinis dari Inkontinensia urin khususnya pada lansia.

4. Memahami klasifikasi dari Inkontinensia urin.

5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada lansia yang mengalami


Inkontinensia urin di komunitas (posyandu/puskesmas)

6. Mengetahui penatalaksanaan Inkontinensia urin pada lansia di komunitas dan


keluarga.

7. Mengetahui komplikasi dan prognosis Inkontinensia urin pada lansia di


komunitas dan keluarga.

8. Menyelesaikan kasus yang sudah diberikan.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI INKONTINENSIA URIN


Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan. (Brunner & Suddarth, 2002).
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang
mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (FKUI, 2006).
Inkontinensia urin (UI) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan
sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikehendalikan atau dikontrol; secara objektif
dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Hal ini
memberikan perasaan tidak nyaman yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan
sosial, psikologi, aktivitas seksual dan pekerjaan. Hal ini juga menurunkan hubungan
interaksi sosial dan interpersonal.
Inkontinensia dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang bersifat
akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi
saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat-obatan dan
masalah psikologik (Sangadji, 2014)

6
2.2 ETIOLOGI INKONTINENSIA URIN
Secara umum penyebab inkontinensia terdiri dari :
a. Kelainan urologik : radang, batu, tumor, dan lain-lain.
b. Kelainan neurologik : stroke, trauma medulla spinalis, demensia, dan lain-lain.
c. Usia, jenis kelamin, dan jumlah persalinan pervaginam.
d. Infeksi saluran kemih, menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis, dan
penggunaan obat-obatan.
e. Hambatan mobilitas fisik, situasi atau tempat berkemih yang tidak memadai.

Secara klinis, penyebab dari inkontinensia urin dapat dikelompokkan dalam:


1. Detrusor Overactivity (DO)
Kondisi dimana urin keluar karena disebabkan bukan karena kegagalan
penutupan uretra akan tetapi oleh karena kontraksi kandung kemih yang tidak dapat
diinhibisi. Keadaan ini merupakan penyebab inkontinensia paling sering kedua pada
dewasa berusia pertengahan dan penyebab utama inkontinensia pada lansia baik pria
maupun wanita. Jika kontraksi terjadi karena kerusakan pusat inhibisi di sistem syaraf
pusat (kortikal, subkortikal atau lesi spinal suprasacral) seperti pada keadaan stroke,
cedera kepala, penyakit diskus di area cervikal (lesi spinal cord), sclerosis multiple
kondisi ini disebut detrusor hyperreflexia (DH) (Abrams et al., 1988)(6,13).
Pada DH, kandung kemih cenderung mempunyai compliance yang buruk
dengan disertai refluks vesico-ureterik dan resiko kerusakan traktus urinarius bagian
atas serta infeksi. Apabila kontraksi terjadi tanpa adanya lesi UMN, kondisinya
disebut dengan detrusor instability (DI). Etiologinya bisa disebakan oleh adanya
iritasi ditraktus urinarius, seperti cystitis (interstitial atau pengaruh radiasi dan
kemoterapi), tumor kandung kemih, batu pada traktus urinarius. Bila DI terjadi
sebagai abnormalitas yang berdiri sendiri, maka hal ini disebut dengan DI primer
atau idiopatik. Bila terdapat penyakit yang mendasarinya maka disebut dengan DI
sekunder. Dua penyebab lokal yang dapat menyebabkan timbulnya DO sekunder yaitu
outlet obstruction dan outlet incompetence,. (Abrams, 1985;McGuire, 1988).
Pada pasien lansia, perbedaan antara detrusor hyperreflexia dan instability
sering tidak begitu jelas karena kontraksi yang tidak dapat diinhibisi dapat terjadi
secara insidental karena proses penuaan, setelah stroke yang secara klinis tidak jelas,
berhubungan dengan pembesaran prostat atau pada penderita Alzheimer. Secara
tradisional, DO telah lama diduga sebagai penyebab utama inkontinensia pada lansia
dengan demensia, tetapi ternyata penelitan terbaru menemukan bahwa tidak ada
hubungan yang jelas antara status kognitif dan DO (Resnick et al., 1989b). DO dapat
tampak sebagai salah satu dari 2 kondisi fisiologis yaitu dengan fungsi kontraktil yang

7
dipertahankan atau dengan fungsi kontraktil yang terganggu. (Resnick dan Yalla,
1987)
Kondisi yang terakhir ini dinamakan dengan DHIC (destrusor
hyperactivity with impaired contractility) yang sering terjadi pada usia yang
lemah (Resnick et al., 1989b). DHIC adalah kondisi dimana kandung kemih
overactive sementara pengosongan tidak efisien. Kondisi ini mempunyai
sejumlah implikasi :
a. Karena kandung kemih lemah, maka akan terjadi retensi urin pada sebagian
besar pasien, dan DHIC harus ditambahkan pada obstruksi outlet dan
detrusor underactivity sebagai penyebab retensi.
b. Bila tidak terjadi retensi, DHIC akan menyerupai setiap penyebab inkontinensia
dari traktus urinarius bagian bawah. Sebagai contoh, jika kontraksi yang tidak
dapat diinhibisi dipicu oleh atau terjadi secara bersamaan dengan manuver stress
dan kontraksi kandung kemih lemah yang tidak dapat dideteksi (hanya bertekanan
2-6 cmH2O), kondisi ini akan menyerupai stress incontinence. (Brandeis et
al.,1990).
DHIC juga menyerupai keadaan prostatism karena adanya urgensi,
frekuensi, aliran urin yang lemah, residual urin yang cukup signifikan dan
trabekulasi kandung kemih.
c. Kelemahan kandung kemih sering menyebabkan kegagalan terapi DHIC dengan
antikolinergik karena mudah terjadi retensi urin. Tipe klinis inkontinensia yang
paling sering dihubungkan dengan DH adalah urge incontinence. Namun,
urge merupakan gejala dan tidak sensitif dan spesifik. Kondisi ini tidak
tampak pada 20% kasus DH dan lebih tinggi terlihat pada pasien dengan
demensia. Kondisi ini juga sering dilaporkan menyertai stress
inkontinensia, outlet obstruction dan overflow incontinence.

2. Detrusor Underactivity
Merupakan penyebab inkontinensia pada 5-10% kasus. Dapat disebabkan
karena cedera mekanis syaraf (contoh kompresi diskus atau tumor) yang
mempersyarafi kandung kemih atau karena neuropati otonomik pada diabetes,
anemia pernisiosa, penyakit Parkinson, alkoholism atau tabes dorsalis.
Kemungkinan lain penyebab inkontinensia ini adalah karena adanya perubahan
degeneratif luas sel-sel otot dan akson tanpa disertai proses regeneratif, detrusor
digantikan dengan jaringan fibrosis dan jaringan ikat (sebagai contoh, pada pria
dengan chronic outlet obstruction) sehingga walaupun obstruksinya telah

8
dihilangkan kandung kemih gagal untuk mengosongkannya secara normal. Secara
klinis, inkontinensia karena detrusor underactivity dihubungkan dengan volume PVR
yang besar dan overflow incontinence. Ouslander dan rekannya melaporkan bahwa
25% pasien lansia mempunyai volume PVR lebih dari 100 ml dan10% kasus
mengalami overflow incontinence. Karena volume PVR besar, kapasitas kandung
kemih menjadi kecil dan frekuensi berkemih menjadi sering.

3. Outlet Incompetence
Outlet Incompetence mungkin merupakan penyebab utama inkontinensia
pada wanita usia pertengahan dan penyebab kedua terbanyak pada wanita lansia;
kondisi ini jarang terjadi pada pria kecuali bila sfingternya mengalami
kerusakan karena operasi. Outlet incompetence ini secara klinis akan tampak
sebagai stress incontinence.
Pada wanita muda terutama yang telah melahirkan, stress incontinence
terutama disebabkan oleh karena laksiti otot pelvis setelah melahirkan, sehingga
timbul hipermobilitas uretra dan terjadilah herniasi bagian proksimal uretra
serta leher kandung kemih melalui diafragma urogenital saat terjadi peningkatan
tekanan abdominal. Pergeseran uretra dan leher kandung kemih ke bawah dan
menjauhi posisi awalnya di retropubik ini mengakibatkan transmisi tekanan
abdominal disebarkan secara tidak merata ke kandung kemih dan uretra sehingga
timbullah stress incontinence. Jadi defeknya terjadi pada penyokong uretra
bukan pada kekuatan sfingter.

4. Outlet Obstuction
Outlet Obstruction merupakan penyebab kedua paling banyak untuk pria
tua dengan inkontinensia dan jarang terjadi pada wanita. Pada pria hal ini
biasanya disebabkan karena hipertrofi prostat, walaupun sebagian besar pria yang
mengalami obstruksi tidak selalu menjadi inkontinen. Selain itu dapat juga
disebabkan oleh karena adanya striktur uretra. Gejalanya akan tampak
sebagai suatu frekuensi, nokturia, urgensi atau hesitancy, dribbling setelah
berkemih dan retensi urin. Jika timbul DO sekunder karena hal ini maka secara klinis
akan tampak sebagai urge incontinence timbul dekompensasi dan jika detrusor akan
timbul sebagai overflow incontinence. Jika obstruksi terjadi karena penyakit
neurologis, sering hal ini dihubungkan dengan lesi spinal cord. Pada situasi ini,

9
jalur ke pusat miksi pontine terganggu sehingga outlet akan berkontraksi secara
simultan saat kandung kemih berkontraksi sehingga menyebabkan timbulnya
obstruksi outlet berat yang dikenal dengan nama Christmas tree bladder,
hydronephrosis, dan gagal ginjal. Kondisi ini juga dikenal sebagai detrusor-sfingter
dyssynergia. Lebih sering terjadi juga adalah kondisi obstruksi yang disebabkan
oleh karena pembesaran prostat, karsinoma, striktur uretra, sistole yang besar yang
mengalami prolaps dan menekan uretra jika pasien mengedan (McGuire, 1981b).
Obstruksi anatomis jarang terjadi pada wanita, salah satu penyebabnya mungkin
stenosis uretra atau suspense leher kandung kemih sebelumnya.

2.3 KLASIFIKASI INKONTINENSIA URIN


Inkontinensia urin dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu :
1) Inkontinensia stress

Kebocoran urin terjadi tekanan infra abdomen melebihi tekanan uretra


( misalnya batuk, mengedan, atau mengangkat beban), biasanya pada inkometensi
uretra.
2) Inkontinensia urgensi

Ketidakstabilan otot detrusor idiopatik menyebabkan tekanan intra vesika dan


kebocoran urin.
3) Hiperrefleksia detrusor

Hilangnya kontrol kortikal menyebaban kandung kemih yang tidak dapat


dihambat dengan kontraksi detrusor yang tidak stabil. Kandung kemih terisi, refleks
sakralis dimulai dan kandung kemih melakukan pengosongan secara spontan.
4) Inkonteninsia overflow

Kerusakan pada serat eferen dari reflek sakralis menyebabkan atonia kandung
kemih. Kandung kemih terisi dan menjadi sangat membesar dengan menetesnya urin
yang konstan,misalnya distensi andung kemih kronis akibat obstruksi.
Pada lansia urutan penyebaran kejadian iu adalah sebagai berikut %. Daya
perbandingan pria & wanita.

2.4 MANIFESTASI KLINIS


Tanda dan gejala Inkontinensia urin berdasarkan tipe inkontinensia sendiri :
1 Inkontinensia akibat stress

10
Eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan
mendadak pada tekanan intra abdomen.keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stress.

2 Urge Inkontinensia
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi
tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Ketidakmampuan
menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.

3 Overflow inkontinensia
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang kadang terjadi hampir
terus menerus dari kandung kemih.

4 Inkontinensia fungsional
Merupakan Inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang
utuh tetapi faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat pasien sulit
untuk mengidentifikasi perlunya urinasi ( misal, demensia alzheimer ) atau
gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau
toilet untuk melakukan urinasi.

Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu
yang abnormal dan menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak stabil.
Gejala infeksi urin (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara lemah,
menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula
(menetes terus-menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau
penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.

2.5 PEMERIKSANAAN DIAGNOSTIK


1. Kultur urin : untuk menyingkirkan infeksi
2. IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula.
3. Urodinamik :
Uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran
Sistrometri : menggambarkan kontraktur detrusor
Sistometri video : menunjukkan kebocoran urin saat mengedan pada pasien
dengan inkontinensia stres.

11
Flowmetri tekanan uretra : mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat
istirahat dan selama berkemih
4. Pemeriksaan spekulum vagina sistogram jika dicurigai terdapat vistula
vesikovagina.
Sesuaikan pemeriksaan diagnostik diposyandu.

2.6 PENATALAKSANAAN
Pada umumnya terapi inkontinensia urin adalah dengan cara operasi. Akan tetapi
pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot
dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai
obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan,
selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.

2. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia


urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi,
dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu,
mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia
ingin berkemih setiap 2-3 jam.

b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai


dengan kebiasaan lansia.

c. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi


berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila

12
ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi
kognitif (berpikir).

d. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar


panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar
panggul tersebut adalah dengan cara berdiri di lantai dengan kedua kaki
diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan
dan ke kiri 10 kali, ke depan ke belakang 10 kali, dan berputar searah dan
berlawanan dengan jarum jam 10 kali.
e. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan
10 kali.Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan
urethra dapat tertutup dengan baik.

3. Terapi farmakologi

Jika terapi perilaku saja tidak memuaskan,obat anticholinergic-


antispasmodik dapat diberikan. Obat-obatan ini hanya digunakan jika perlu untuk
memperkuat, bukan menggantikan intervensi perilaku (bladder training).
Pendekatan ini penting karena obat biasanya tidak akan secara lengkap menekan
kontraksi yang tidak diinhibisi. Walaupun cenderung meningkatkan kapasitas
kandung kemih, warning time mulainya kontraksi tidak diinhibisi tidak akan
memanjang. Jadi toileting terjadwal tetap merupakan hal penting untuk mencapai
keuntungan yang maksimum.Obat-obat yang dipergunakan untuk DH dapat
dikelompokkan sesuai karakteristik farmakologisnya. Agen antikolinergik
mempunyai efek terutama pada kandung kemih dengan menghambat aktivitas
asetilkolin di reseptor muskarinik, karena reseptor muskarinik diduga merupakan
mediator utama kontraksi otot detrusor. Sehingga obat-obatan yang sering
dipergunakan untuk menerapi kondisi ini adalah obatuntuk mengurangi
kontraksi otot detrusorinvolunter melalui penghambatan reseptor muskarinik.
Sebagian besar obat ini mempunyai waktu paruh pendek, sehingga frekuensi
pemberian menjadi lebih sering. Seluruh obat-obatan jenis ini mempunyai efek
samping, yang tersering adalah mulut kering oleh karena penurunan produksi
saliva, peningkatan denyut jantung karena blockade vagal, konstipasi karena
penurunan motilitas gastrointestinal, dan terkadang penglihatan menjadi kabur

13
karena blockade sfingter iris dan otot siliar lensa mata. Obat lain seperti
imipramine, dapat menyebabkan hipotensi ortostatik dan aritmia jantung.
Dibawah ini terdapat daftar obat-obatan yang biasa dipergunakan dengan
rentang dosis yang biasa dipakai. Secara umum paling baik memulai dengan dosis
rendah (terutama untuk pasien lansia) dan meningkatkan dosisnya jika perlu.
Pasien dengan DH secara umum lebih memerlukan obat-obatan daripada pasien
dengan DI. Pasien harus diberitahu tentang efek samping obat. Pasien juga harus
diberitahu tentang gejala mulut kering dan dijelaskan bahwa hal tersebut bukan
karena kurang minum, karena terkadang pasien kemudian meningkatkan intake
cairannya sehingga memperburuk inkontinensia. Jika timbul gejala ini pasien
disarankan untuk mengunyah permen karet, mengulum permen yang keras atau
memakan buah-buahan yang berair.
Obat-obatan yang dipergunakan:

Keterangan ;
p.o : per oral, b.i.d : 2 x sehari, t.i.d : 3 x sehari, q.i.d : 4 x sehari
Setidaknya ada 4 antimuskarinik yaitu oksibutinin, tolterodin, trospium dan
proviperin yang cukup efektif dalam menekan aktivitas detrusor berlebihan yang
memicu inkontinensia urgensi. Obat tersebut menekan kontraksi detrusor volunter
dan involunter dengan memblok reseptor muskarinik pada otot polos kandung
kemih, cukup efektif pada pasien lanjut usia pasca transurethral resection prostat.
Oksibutinin immedite release pada perempuan dengan IU dapat diberikan
sebagai tatalaksana medikamentosa lini pertama bila pelatihan kandung kemih
tidak berhasil/ tidak efektif. Jika oksibutinin immedite release tidak dapat
ditoleransi maka sebagai alternatif dapat dipertimbangkan darifenasin, solifenasin,
tolterodin, trospium dan formulasi transdermal oksibutinin. Efek samping obat
antimuskaritik meliputi mulut kering, pandangan kabur, dan nausea. Dapat terjadi

14
retensi urin yang berpotensi serius, tetapi jarang. Insiden efek samping paling
banyak dilaporkan dari penggunaan Oksibutinin immedite release.
Solifenasin dan darifenasin adalah antimuskarinik selektif reseptor M3. Bukti
penelitian klinis fase II menunjukkan bahwa solifenasin sama efektif dengan
tolteridon dengan insiden efek samping yang lebih kecil.
Sejumlah antidepresi dilaporkan berkhasiat untuk inkontinensia tetapi hanya
imipramin yang biasanya diberikan. Estrogen jangka pendek (1-6 bulan) secara
statistik lebih baik daripada plasebo dalam memperbaiki inkontinensia, tetapi tidak
banyak data mengenai tipe estrogen, cara pemberian, dan durasi serta manfaatnya
dalam tatalaksana IU. Oleh karena itu, estrogen tidak direkomendasikan untuk
tatalaksana IU.
Propiverin harus dipertimbangkan sebagai pilihan dalam tatalaksana frekuensi
miksi pada penderita dengan OAB (Overactive baldder syndrome), tetapi tidak
dianjurkan untuk IU. Flavoksat, propantelin, dan imipramin tidak
direkomendasikan untuk tatalaksana IU atau OAB pada penderita perempuan.

4. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

5. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan


inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu
toilet seperti urinal, commode (kloset duduk) dan pispot/ bedpan.
1) Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan
sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan
pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air
seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya

15
kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit,
gatal, dan alergi. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat dilakukan dengan cara
menjaga input cairan serta menghitung output cairan agar dapat
memepertimbangkan urin yang akan di eliminasikan melalui pampers dan
mengganti pampers secara teratur, dan penggunaan bedak juga disarankan
untuk mengurangi rasa gatal dan kemerahan pada kulit penderita.

2) Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu.
Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang
secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini
digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih.
Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

3) Alat bantu toilet

Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang
tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan
menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian
pada lansia dalam menggunakan toilet.

2.7 KOMPLIKASI
Efek emosional
Inkontinensia urin dapat mengakibatkan masalah emosi yang berat. Pasien dapat
merasa tidak dihargai, terisolasi, dan tak punya harapan tentang kondisi mereka.
Inkontinensia dapat menggangu aktivitas kerja dan sosial. Depresi sangat umum terjadi pada
wanita dengan inkontinensia. Inkontinensia juga berefek secara emosional pada pria.
Sejumlah studi pada pasien dengan kanker prostat menunjukkan bahwa inkontinensia bisa
lebih membuat stress pria daripada disfungsi ereksi sekalipun.
Inkontinensia bisa berdampak serius bagi para lansia:
a. Lansia yang rajin olahraga mungkin menjadi berhenti olahraga akibat masalah
inkontinensia, sehingga mengakibatkan masalah kesehatan mereka yang lain.

b. Inkontinensia bisa menyebabkan hilangnya kemandirian dan kualitas hidup.

16
c. Merupakan alasan yang paling sering menyebabkan seorang lansia dimasukkan ke
Panti Werda

d. Inkontinensia yang berat mungkin memerlukan kateterisasi. Yaitu pemasukan selang


yang memungkinkan urin untuk menalir secara terus-menerus ke urin bag. Kateter
dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.

e. Terdapat kaitan erat antara inkontinensia jenis urgensi dengan risiko jatuh dan cedera,
yang mungkin disebabkan saat berlari menuju toilet paa malam hari.

Komplikasi dari inkontinensia urin yang kronis adalah:


a. Masalah kulit

Ruam, infeksi kulit, dan luka dapat berkembang pada kulit yang selalu basah (oleh
urin).
b. Infeksi saluran kemih

Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saluran kemih berulang.


c. Mempengaruhi kehidupan pribadi

Inkontinensia urin dapat mempengaruhi kehidupan sosial, kerja dan hubungan


personal pasien.

2.8 PREVALENSI
Prevalensi IU meningkat seiring bertambahnya usia. IU tingakt moderat hingga berat
menyerang 7% wanita usia 20-39 tahun, 17% pada usia 40-59 tahun, 23% pada usia 60-79
tahun, dan 23% pada usia lebih dari 80 tahun. Prevalensinya pada pria sekitar sepertiga dari
wanita, namun relatif sama pada usia 90 tahun ke atas. Panti Werda memiliki jumlah
penderita IU yang sangat tinggi, dengan rentang 60%-78% wanita dan 45-72% pada pria.
Secara umum, pada usia lebih dari 65 tahun, IU urgensi cenderung meningkat, IU stress
menurun, dan prealensi pada IU campuran relatif stabil, sementara overflow jarang terjadi.

2.9 Pengobatan herbal inkontinensia urine (beser)


Resep 1
10 g buah delima kering
10 g biji kucai

17
a) Cuci semua bahan, lalu rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc
b) Minum 150 cc 2 kali sehari.

Resep 2
10 biji ginkgo biloba (pek ko), ambil isinya
10 butir biji teratai
a) Cuci bersih semua bahan, lalu rebus dengan 400 cc air hingga tersisa 200 cc
b) Minum airya serta makan biji ginkgo biloba dan biji teratai

Resep 3
10 buah jamblang beserta bijinya, di tumbuk
Adas secukupnya
Pulasari secukupnya gula merah secukupnya
a) Rebus semua bahan dgn 400 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu saring
b) Minum 100 cc, 2 kali sehari.
(hembing, wijayakusuma.2008. Ramuan lengkap herbal taklukkkan penyakit. Jakarta:
pustaka bunda)

Resep lain
Buah duwet (anggur jawa) dapat digunakan. Ambil buah tsb secukupnya, cuci bersih lalu
rendam dalam air garam selama 10 hingga 15 menit. Selesai direndam, bungkuslah anggur
jawa dengan daun pisang kemudian kukus sampai matang. Setelah matang, bsa dimakan
setiap pagi dan malam sebelum tidur, diberikan hingga pengeluaran urine yang berlebihan
berhenti. Namun tetap konsultasikan ke dokter ahli.
(hartanti, vien. Jadi dokter dirumah sendiri dengan terapi heral dan pijat. Pustaka anggrek)

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Kasus 3
Seorang wanita 68 tahun, dengan riwayat G5P4A1 mengeluh mudah letih dan tidak nyenyak
saat tidur. Belakangan ini beliau sering rewel jika diajak bicara. Beliau tidak suka
diperlakukan seperti nenek-nanek. Diam-diam anggota keluarga menemukan celana yang
basah dikeranjang pakaian dan bau urin yang menyengat. Ketika diajak chek up ke dokter
klien mengatakan dia sehat-sehat saja. Anda baru saja dipindahkan dari posyandu setempat

18
sebagai perawat. Salah satu anggota keluarga mencurhatkan hal tersebut pada anda. Apa yang
anda lakukan?

19
Analisa Data
No. Data Etiologi Masalah
1. Ds : kehilangan kemampuan Gangguan eliminasi
- Keluarga klien menahan miksi. urin.
mengatakan celana
yang basah
dikeranjang pakaian
dan bau urin yang
menyengat.

- Keluarga klien
mengatakan klien
sering miksi pada
malam hari.

- Keluarga klien
mengatakan klien
miksi sekitar lebih
dari 10 kali dalam 1
hari.

Do :
- Celana klien tampak
basah dan klien
berbau urin.

- Inkontinensia.

2. Ds : Peningkatan kelemahan Keletihan


- Klien mengeluh fisik.
mudah letih.

- Klien mengatakan
kurang energi.

Do :
- Klien tampak lesu.

20
- Klien tampak
mengantuk.

3. Ds : Frekuensi miksi yang Gangguan pola tidur


- Klien mengatakan sering pada malam hari.
tidak nyenyak saat
tidur.

- Klien mengatakan
sering miksi pada
malam hari.

- Klien mengatakan
sering terjaga dan
tidak merasa cukup
istirahat.

Do :
- Klien tampak
mengantuk dan sering
menguap.

- Klien tampak lesu.

- Kantung mata klien


terlihat jelas.

4. Ds : Gangguan konsep diri Hambatan interaksi


- Keluarga klien sosial.
mengatakan sering
rewel ketika diajak
bicara.

Do :
- Pada saat dikaji, klien
banyak bicara.

- Klien cepat

21
tersinggung.

5. Ds : Penurunan fungsi tubuh Gangguan citra tubuh


- Klien mengatakan
tidak suka diperlukan
seperti nenek-nenek.

- Keluarga klien
mengatakan sering
menemukan celana
yang basah
dikeranjang pakaian
dan bau urin yang
menyengat.

Do :
- Klien malu mengakui
bahwa klien miksi di
celana.

- Klien tampak tidak


suka diperlakukan
seperti nenek-nenek.

6. Ds : Inkontinensia urin dan Resiko kerusakan


- Keluarga klien poliuria. integritas kulit.
mengatakan celana
yang basah
dikeranjang pakaian
dan bau urin yang
menyengat.

- Keluarga klien
mengatakan klien
sering miksi pada
malam hari.

- Keluarga klien

22
mengatakan klien
miksi sekitar lebih
dari 10 kali dalam 1
hari.

Do :
- Celana klien tampak
basah dan klien
berbau urin.

- Inkontinensia.

7. Ds : Tidak familiar dengan Defisiensi


- Klien mengatakan sumber informasi. pengetahuan.
sehat-sehat saja
kepada dokter ketika
check up.

Do :
- Klien tidak tahu
tentang penyakit yang
ia derita.

23
Diagnosa dan Intervensi
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Gangguan pola tidur NOC Self Enhancement
berhubungan dengan - Anxiety reduction - Determinasi efek-efek medikasi
- Comfort level
frekuensi miksi yang sering terhadap pola tidur
- Pain level
- Jelaskan pentingnya tidur yang
pada malam hari. - Rest: extent and pattern
- Sleep: extent and pattern adekuat
- Fasilitas untuk mempertahankan
Kriteria hasil
aktifitas sebelum tidur
- Jumlah jam tidur dalam
- Ciptakan lingkungan yang nyaman
batas normal 6-8 jam/ hari - Kolaborasi pemberian obat tidur
- Pola tidur, kualitas dalam - Diskusikan dengan pasien dan
batas normal keluarga tentang tehnik tidur pasien
- Perasaan segar setelah - Instruksikan untuk memonitor tidur
tidur atau istirahat pasien
- Mampu mengidentifikasi - Monitor waktu makan dan minum
hal-hal yang dengan waktu tidur
- Monitor/ catat kebutuhan tidur pasien
meningkatkan tidur
setiap hari dan jam
Gangguan eliminasi urin NOC NIC
berhubungan dengan - Urinary elimination Urinary Retention Care
- Urinary continuence
kehilangan kemampuan - Lakukan penilaian kemih yang
Kriteria Hasil:
menahan miksi. komprehensif berfokus pada
- Kandung kemih kosong
inkontinensia (misalnya, output urin,
secara penuh
pola berkemih, fungsi kognitif, dan
- Tidak ada residu urin >
masalah kencing praeksisten)
100-200 cc
- Memantau penggunaan obat dengan
- Intake cairan dalam rentang
sifat antikolinergik atau property alpha
normal
- Bebas dari ISK agonis
- Tidak ada spasme bladder - Memonitor efek dari obat-obatan yang
- Balance cairan seimbang
diresepkan, seperti calcium channel
blocker dan antikolinergik
- Menyediakan penghapusan privasi
- Gunakan kekuatan sugesti dengan
menjalankan air atau disiram toilet
- Merangsang refleks kandung kemih
dengan menerapkan dingin untuk perut
- Sediakan waktu yang cukup untuk
pengosongan kandung kemih (10

24
menit)
- Anjurkan pasien/ keluarga untuk
merekam output urin
- Memantau asupan dan keluaran
- Memantau tingkat distensi kandung
kemih dengan palpasi dan perkusi
- Membantu dengan toilet secara berkala
- Jika memungkinkan gunakan urin
kateter
- Merujuk ke spesialis kontinensia kemih
Hambatan interaksi social NOC NIC
berhubungan dengan - Self esteem, situational Socialization Enhancement
- Communication impaired
gangguan konsep diri - Buat interaksi terjadwal
verbal - Dorong pasien ke kelompok atau
Kriteria Hasil: program keterampilan interpersonal
- Lingkungan yang suportif yang membantu meningkatkan
yang bercirikan hubungan pemahaman tentang pertukaran
dan tujuan anggota informasi atau sosialisasi, jika
keluarga perlu
- Menggunakan aktifitas - Indentifikasi perubahan perilaku
yang menenangkan, tertentu
- Berikan umpan balik positif jika
menarik, dan
pasien berinteraksi dengan orang
menyenangkan untuk
lain
meningkatkan
- Fasilitasi pasien dalam
kesejahteraan
memberikan masukan dan
- Interaksi social dengan
membuat perencanaan
orang, kelompok, atau
- Anjurkan bersikap jujur dan apa
organisasi
adanya dalam berinteraksi dengan
- Memahami dampak dari
orang lain
perilaku diri pada interaksi
- Gunakan teknik bermain peran
social
untuk meningkatkan keterampilan
- Mendapatkan/
dan teknik berkomunikasi
meningkatkan
- Minta dan harapkan adanya
keterampilan interkasi
komunikasi verbal
social, kerjasama
Self Esteem Enhancement
ketulusan dan saling
Family Process Maintenance
memahami
Complex Relationship Building
- Mengungkapkan

25
keinginan untuk
berhubungan dengan
orang lain
Keletihan berhubungan NOC Energy Management
- Endurance - Observasi adanya pembatasan
dengan peningkatan
- Concentrasion
klien dalam melakukan aktifitas
kelemahan fisik. - Energy conservation
- Kaji adanya factor yang
- Nutrional status: energy
menyebabkan kelelahan
Kriteria Hasil:
- Monitor nutrisi dan sumber energy
- Memverbalisasikan
yang adekuat
peningkatan energy dan - Monitor pasien akan adanya
merasa lebih baik kelelahan fisik dan energy secara
- Menjelaskan penggunaan
berlebihan
energy untuk mengatasi - Monitor respon kardiovaskuler
kelelahan terhadap aktivitas
- Kecemasan menurun - Monitor pola tidur dan lamanya
- Glukosa darah meningkat
tidur/ istirahat pasien
- Kualitas hidup meningkat
- Dukung pasien dan keluarga untuk
- Istirahat cukup
- Mempertahankan mengungkapkan perasaan,
kemampuan untuk berhubungan dengan perubahan
berkonsentrasi hidup yang disebabkan keletihan
- Bantu aktivitas sehari-hari sesuai
dengan kebutuhan
- Tingkatkan tirah baring dan
pembatasan aktivitas (tingkatkan
periode istirahat)
- Konsultasi dengan ahli gizi untuk
meningkatkan asupan makanan
yang berenergy tinggi
Behavior Management
Activity Therapy
Energy Management
Nutrition Management
Defisiensi pengetahuan NOC : NIC :
berhubungan dengan tidak - Knowledge: disease Teaching: Disease Process

familiar dengan sumber process - Berikan penilaian tentang tingkat


- Knowledge: health
informasi. pengetahuan pasien tentang proses
behavior

26
Kriteria Hasil : penyakit yang spesifik
- Pasien dan keluarga - Jelaskan patofisiologi dan penyakit
menyatakan pemahaman dan bagaimana hal ini
tentang penyakit, kondisi, berhubungan dengan anatomi dan
prognosis dan program fisiologi, dengan cara yang tepat
- Gambarkan proses penyakit,
pengobatan
- Pasien dan keluarga dengan cara yang tepat
- Identifikasi kemungkinan
mampu melaksanakan
penyebab, dengan cara yang tepat
prosedur yang dijelaskan - Sediakan informasi pada
secara benar pasiententang kondisi, dengan cara
- Pasien dan keluarga
yang tepat
mampu menjelaskan - Hindari jaminan yang kosong
kembali apa yang - Sediakan bagi keluarga informasi
dijelaskan perawat/ tim tentang kemajuan pasien dengan
kesehatan lain cara yang tepat
- Diskusikan perubahan gaya hidup
yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa
yang akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit
- Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan
- Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkansecond opinion
dengan cara yang tepat atau
diindikasikan
- Instruksikan pasien mengenai
tanda dan gejala untuk melaporkan
pada pemberian perawatan
kesehatan, dengan cara yang tepat
Gangguan citra tubuh - Self esteem NIC :
berhubungan dengan Kriteria Hasil : Body Image Inhancement
penurunan fungsi tubuh - Body image positif - Kaji secara verbal dan non verbal
- Mampu mengidentifikasi
respon klien terhadap tubuhnya
kekuatan personal - Monitor frekuensi mengkritik
- Mendeskripsikan secara

27
factual perubahan fungsi dirinya
- Jelaskan tentang pengobatan,
tubuh
- Mempertahankan interaksi perawatan, kemajuan dan
sosial prognosis penyakit
- Dorong klien mengungkapkan
perasaannya
- Identifikasi arti pengurangan
melalui pemakaian alat bantu
- Fasilitasi kontak dengan individu
lain dalam kelompok kecil
Resiko kerusakan integritas NOC : NIC :
kulit berhubungan dengan - Tissue integrity: skin and Pressure Management
inkontinensia urin dan mucous membranes - Anjurkan klien untuk menggunakan
- Hemodyalis akses
poliuria. pakaian yang longgar
Kriteria Hasil : - Hindari kerutan pada tempat tidur
- Integritas kulit yang baik - Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
bisa dipertahankan dan kering
(sensasi, elastisitas, - Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)

temperatur, hidrasi, setiap dua jam sekali


- Monitor kulit akan adanya kemerahan
pigmentasi) - Oleskan lotion atau minyak/ baby oil
- Tidak ada luka/lesi pada
pada daerah yang tertekan
kulit - Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
- Perfusi jaringan baik - Monitor status nutrisi pasien
- Menunjukkan pemahaman - Memandikan pasien dengan sabun dan
dalam proses perbaikan air hangat
kulit dan mencegah
terjadinya cidera berulang
- Mampu melindungi kulit
dan mempertahankan
kelembapan kulit dan
perawatan alami

28
29
No Pertanyaan Rasional
Pertanyaan ke pasien
1. Apa keluhan yang nenek
Mengetahui keluhan yang dialami klien
rasakan saat ini ?
2. BAKnya berapa kali sehari? sekarang.
Apakah teratur? Kalau ingat
Mengetahui frekuensi, durasi BAK serta
waktu BAKnya kapan saja?
3. Apakah ada terasa nyeri saat mengetahui gejala poliuri ada atau tidak.
kencing?

4. Apakah saat BAK masih terasa Mengetahui adanya nyeri akibat obtruksi,
ingin BAK lagi?
infeksi atau gangguan pada sistem
5. Sebelum BAK keluar, apakah
ada keinginan untuk kencing? perkemihan.
6. Apakah nenek masih bisa
Mengetahui adanya sisa urin yang tersisa
menahan BAK sebelum sampai
ke WC? dikandung kemih.
7. Warna urinenya seperti apa,
Mengetahui adanya gejala inkontinensia urin.
jernih, kekuningan, kecoklatan
atau berwarna lain?
8. Apakah pada malam hari sering
Mengetahui jenis dari inkontinensia urin.
merasa ingin BAK?
9. Apakah pada saat BAK, air
kencingnya masih terasa
menetes?
10. Apakah nenek mengkonsumsi Mengetahui adanya infeksi pada sistem
minuman seperti teh, kopi atau
perkemihan.
soda? Sehari berapa gelas?
11. Apakah saat tertawa atau bersin
atau batuk atau saat mengedan
Mengetahui adanya gejala nokturia.
BAB atau mengangkat beban
tiba-tiba nenek mengeluarkan air
kencing tanpa disadari?
Mengetahui adanya sisa urin yang tersisa
12. Nenek sudah punya anak
berapa ? pernah keguguran? dikandung kemih.
Bagaimana cara melahirkannya
sc atau normal?
13. Sejak kapan nenek berhenti Mengetahui adanya pengaruh minuman yang
haid?
dapat menstimulus keinginan BAK.
14. Setelah berhenti haid apakah
nenek merasa ada masalah
dengan BAKnya?
Mengetahui adanya gejala yang menunjukan
15. Apakah nenek pernah
mengalami penyakit kencing inkotinensia stres.
manis atau darah tinggi atau
penyakit ginjal atau ada penyakit
lain?

Pertanyaan kekeluarga.
Mengetahui adanya hubungan antara

30
1. Apakah nenek ada mengeluh seringnya melahirkan dengan kejadian
tentang masalah BAKnya?
inkotinensia.
2. Apakah celana nenek sering
basah disertai bau urin?
3. Apakah Jarak toilet ke kamar
Mengetahui dampak menopause terhadap
nenek jauh?
4. Apakah nenek sering tidak sadar inkotinensia.
saat ia ingin BAK?
Mengetahui dampak menopause terhadap
5. Sudah berapa lama nenek tidak
sadar air kencingnya merembes? inkotinensia.
6. Apakah nenek sekarang
mengalami pikun atau lupa?
Mengetahui hubungan penyakit penyerta
dengan ganguan sistem perkemihan.

Mengklarifikasi pernyataan dari nenek.

Mengklarifikasi pernyataan dari nenek.

Mengetahui hubungan jauhnya jarak toilet


dengan kemampuan menahan kencing.
Mengklarifikasi pernyataan dari nenek.

Mengklarifikasi pernyataan dari nenek.

Mengetahui adanya penyakit neurologi yang


berhubungan dengan kejadian inkontinensia.

Diagnose perilaku kekerasan b.d ketidakmampuan keluarga dalam mengidentifikasi masalah


Pertanyaan Rasional
selamat siang bu. Membangun hubungan saling percaya dengan
keluarga klien (trust)
bagaimana perasaan ibu hari ini? Membangun hubungan saling percaya dengan
keluarga klien (trust)

31
bagaimana kabar nenek bu? Membangun hubungan saling percaya dengan
keluarga klien (trust).
Memulai percakapan untuk mengidentifikasi
masalah.
jadi bagaimana tanggapan ibu melihat Melihat respon dan mengidentifikasi
kondisi nenek seperti itu? keluarga dalam menghadapi masalah akibat
penyakit yang dialami nenek.
jadi bagaimana solusi ibu menghadapi Mengidentifikasi mekanisme koping yang
kondisi nenek tersebut? dimiliki klien dalam menghadapi masalah
serta sebagai langkah awal dalam menyusun
intervensi.
jadi begitu ya bu ceritanya. Baiklah kalau Menutup dan mengakhiri pengkaijian.
begitu saya permisi dulu, saya akan kembali
beberapa hari lagi. Terima kasih atas kerja
samanya bu.

Hambatan interaksi sosial b.d ketidakmamapuan keluarga dalalm mengatasi masalah klien
Pertannyaan Rasional
Bu, jika di rumah biasanya nenek paling Untuk mengetahui kedekatan keluarga
dekat dengan siapa? dengan klien.
Jika ada masalah biasanya nenek bercerita Mengidentifikasi anggota keluarga terdekat
dengan siapa ya bu? klien.
Hal apa yang membuat belakangan ini Mengidentifikasi faktor penyebab.
terdapat kerenggangan antar keluarga?
Sikap atau perilaku apa yang menyebabkan Mengidentifikasi penyebab utama.
hal itu terjadi?
Tindakan apa yang dilakukan jika hal tersebut Mengidentifikasi mekanisme koping yang
terjadi? dimiliki keluarga dalam menghadapi perilaku
klien.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali
atau terjadi diluar keinginan. Etiologinya mulai dari masalah urologik, neurologik hingga
perjalanan penyakit yang diderita seperti infeksi saluran kemih. Untuk klasifikasinya

32
terbagi atas 4 kategori yaitu IU urgensi, IU stres, overflow incontinence (OI), dan IU
totat. Pada kasus tertentu yang sering ditemui pada lansia, inkontinensia urin sering
dipengaruhi oleh kekuatan otot detrusor dan springter saluran kemih yang menurun.
Apabila terjadi penolakan oleh pasien untuk berkonsultasi atau berobat maka satu
diantara tindakan perawat yang bisa dilakukan seperti melakukan Home Visit dengan
mengutamakan terbentuknya trust antara perawat, klien dan keluarga agar klien dan
keluarga bisa mengutarakan keluhan dan masalah yang dialami.

B. SARAN
Seperti halnya kondisi medis lainnya, keberhasilan tatalaksana Inkontinensia Urin
terutama pada wanitasangat bergantung pada diagnosis,tata laksana yang akurat,
identifikasi penyebab sejak dini, identifikasi indikasi rujuk ke pelayanan kesehatan
spesialistik. Dengan demikian mortiditas pasien dapat lebihditekan dan kualitas hidup
pasien dapat lebih ditingkatkan. Anjurkan kepada lansia untuk menghindari
mengkonsumsi bahan makanana dan minuman yang mengandung kafein seperti kopi,
teh, dan kue yang bercampur kafein. Tambahkan juga untuk mengurangi lansia dalam
beraktivitas, karena akan menyebabkan penekanan otot abdominalis yang menstimulus
mengeluaran urin. Berikan informasi mengenai perawatan pada keluarga lansia misalnya,
membersihkan atau mengeringkan daerah yang lembab karena terkena urin, karena bisa
menimbulkan resiko tinggi kerusakan kulit yang akan menyebabkan perlukaan pada
daerah tersebut.

33
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto P. Urologi Untuk Praktek Umum. EGC. Jakarta, 1991 : 175-186.
Brunner & Suddart. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa Agung Waluyo.
Jakarta:EGC.
Budi Iman Santoso, Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 58, Nomor: 7, Juli
2008,Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedoheran Universitas Indonesia/
RS Dx Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
George A. Kuchel and Catherine E. DuBeau. Urinary Incontinence in the Elderly (Copyright
2009 by the American Society of Nephrology)
Nurrarif, Kusuma. 2013. Aplikasi Askep NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi. Jilid. 1.
Yogyakarta: Media Action Publishing
Pierre A. Grace & Neil R. Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Ed.3. Erlangga.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta: EGC
University of Maryland Medical Center, 2013

34

Anda mungkin juga menyukai