Anda di halaman 1dari 10

A. Tahapan menjelang ajal dan tugas perawatan disetiap tahapan.

Tahap-tahap ini tidak selamanya berurutan secara tetap, tetapi saling tindih. Kadang-
kadang seorang klien lanjut usia melalui satu tahap tertentu untuk kemudian kembali
ketahap itu. Apa bila tahap tertentu berlangsung sangat singkat, bisa timbul kesan seolah-
olah klien lanjut usia melompati satu tahap, kecuali jika perawat memperhatikan secara
seksama dan cermat. (Nugroho.Wahyudi. 2008. Kep gerontik dan geriatric. Jakarta :
EGC).
1. Tahap pertama (penolakan)
Tahap ini adalah tahap kejutan dan penolakan. Biasanya sikap itu ditandai dengan
komentar, selama tahap ini klien lanjut usia sesungguhnya mengatakan bahwa mau
menimpa semua orang, kecuali dirinya. Klien lanjut usia biasanya terpengaruh oleh
sikap penolakannya sehingga ia tidak memperhatikan fakta yang mungkin sedang
dijelaskan kepadanya oleh perawat. Ia bahkan telah menekan apa yang telah ia dengar
atau mungkin akan meminta pertolongan dari berbagai macam sumber professional
dan nonprofessional dalam upaya melarikan diri dari kenyataan bahwa mau sudah ada
di ambang pintu.
2. Tahap kedua (marah)
Tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi yang tidak terkendali. Sering kali klien
lanjut usia akan mencela setiap orang dalam segala hal. Ia mudah marah terhadap
perawat dan petugas kesehatan lainnya tentang apa yang telah mereka lakukan.pada
tahap ini, klien lanjut usia lebih mengaggap hal ini merupakan hikmah, daripada
kutukan. Kemarahan ini merupakan mekanisme pertahanna diri klien lanjut usia
lebih mengaggap hal ini merupakan hikmah, dari pada kutukan. Kemarahan di sini
merupakan mekanisme pertahanan diri kliebn lanjut usia. Pada saat ini, perawat
kesehatan harus hati-hati dalam member penilaiaan sebagai reaksi yang normal
terhadap kematiaan yang perlu diungkapkan.
3. Tahap ketiga (tawar-menawar)
Kemarahan biasanya mereda dank lien lanjut usia dapat menimbulkan kesan dapat
menerima apa yang sedang terjadi pada dirinya.Akan tetapi pada tahap tawar-
menawar ini bnyak orang cenderung untuk menyelesaikan urusan rumah tangga
mereka sebelum maut tiba, dan mempersiapkan jaminan hidup bagi orang tercinta
yang ditinggalkan.
Selama tawar-menawar, permohonan yang dikemukakan hendaknya dapat dipenuhi
karena merupakan urusan yang belum selesai dan harus diselesaikan sebelum mati.
Misalnya, klien lanjut usia mempunyai permintaan terakhir untuk melihat
pertandingan olahraga, mengunjungi kerabat, melihat cucu terkecil, atau makan di
restoran. Perawat dianjurkan memenuhi permohonan itu karena membuat klien lanjut
usia memasuki tahap berikutnya.
4. Tahap keempat (sedih/depresi)
Hal ini biasanya merupakan saat yang menyedihkan klien lanjut usia sedang dalam
suasana berkabung. Di masa lampau, ia sudah kehilangan orang yang dicintai dan
sekarang ia akan kehilangan nyawanya sendiri. Bersama dengan itu, ia harus
meninggalkan semua hal yang menyenangkan yang dinikmatinya. Selama tahap ini,
klien lanjut usia cenderung tidak banyak bicara dan sering menangis. Saatnya bagi
perawat untuk duduk dengan tenang di samping klien lanjut usia yang sedang melalui
masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Tahap kelima (menerima/asertif)
Tahap ini ditandai oleh sikap menerima kematian. Menjelang saat ini, klien lanjut
usia telah membereskan segala urusan yang belum selesai dan mungkin dan mungkin
tidak ingin bicara lagi karena sudah menyatakan segala sesuatunya. Tawar-menawar
sudah lewat dan lewat dan tibalah saat kedamaiaan dan ketenangan.Seseorang
mungkin saja lama ada dalam tahap meneriam, tetapi bukan tahap pasrah yang berarti
kekalahan. Dengan kata lain, pasrah pada maut bukan berarti menerima maut.

Tugas Perawat :
1. Tahap I (penolakan dan rasa kesendirian)
Mengenal atau mengetahuai proses bahwa ini umumnya terjadi karena menyadari
akan datangnya kematian atau ancaman maut.
a. Beri kesempatan kepada klien lan jut usia untuk mempergunakan caranya sendiri
dalam menghadapi kematian sejauh tidak merusak.
b. Memfasilitasi klien lanjut usia dalam menghadapi kematian. Luangkan waktu 10
menit sehari, baik dengan bercakap-cakap atau sekedar bersamanya.
2. Tahap II (marah)
Mengenal atau memahami tingkah laku serta tanda-tandanya.
a. Beri kesempatan kepada klien lanjut usia untuk mengungkapkan kemarahannya
dengan kata-kata.
b. Ingat bahwa dalam benaknya bergejolak pertanyaan, mengapa hal ini terjadi
pada diriku?
c. Seringkali perasaanm ini dialihkan kepada orang lain atau anda sebagai cara klien
lanjut usia bertingkah laku.
3. Tahap III (tawar-menawar)
Menggambarkan proses yang berusaha menawar waktu.
a. Klien lanjut usia untuk mempergunakan ungkapan, seperti seandainya saya
b. Beri kesempatan kepada klien lanjut usia untuk menghadapi kematian dengan
tawar-menawar.
c. Tanyakan kepentingan yang masih ia inginkan. Cara ademikian dapat
menunjukkan kemampuan perawat untuk mendengarkan ungkapan perasaannya.
4. Tahap IV (depresi)
Lanjut usia memahami bahwa tidak mungkin menolak lagi kematian yang tidak dapat
dihindarkan itu, dan kini kesedian akan kematian itu sudah membayanginya.
a. Jangan mencoba menyenangkan klien lanjut usia. Ingat bahwa tindakan ini
sebenarnya hanya memenuhi kebutuhan petugas. Jangan takut menyaksikan klien
lanjut usia atau keluarganya menangis. Hal ini merupakan ungkapan
pengekpresian kesedihannya. Anda boleh saja ikut berduka cita.
b. apakah saya akan mati? sebab sebetulnya pertanyaan klien lanjut usia tersebut
hanya sekedar mengisi dan menghabiskan waktu untuk membincangkan
perasaannya, bukannya mencari jawaban. Biasanya klien lanjut usia menanyakan
sesuatu, ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Biasanya klien lanjut usia
menanyakan sesuatu, ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Apakah anda merasa
akan meninggal dunia?
5. Tahap V
Membedakan antar sikap menerima kematian dan penyerahan terhadap kematian
yang akan terjadi. Sikap meneriama: klien lanjut usia telah meneriama, dapat
mengatakan bahwa kematian akan tiba dan ia tidak akan menolak. Sikap menyerah:
sebenarnya klien lanjut usia tidak menghendaki kematian ini terjadi, tetapi ia tahu
bahwa hal ini akan terjadi. Klien lanjut usia tidak merasa tenang dan damai.
a. Luangkan waktu untuk klien lanjut usia (mungkin beberapa kali dalam sehari).
Sikap keluarga akan berbeda dengan sikap klien lanjut usia. Oleh karena itu,
sediakan waktu untuk mendiskusikan mereka.
b. Beri kesempatan kepada klien lanjut usia untuk mengarahkan perhatiannya
sebanyak mungkin. Tindakan ini akan member ketenangan dan perasaan aman.

B. Tipe-tipe perjalanan kematian.


1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang
cepat dari fase akut ke kronik.
2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi
penyakit yang kronik.
3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada
pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit
kronik dan telah berjalan lama.
Putra, Ade., dkk. 2010. Konsep Dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terminal Dan
Menjelang Ajal. Di akses pada 6 Februari 2017, www.kompasiana.com.

C. Tanda-tanda klinis menjelang kematian


1. Gerakan dan pengindraan menghilang secara berangsur-angsur. Biasanya dimulai
pada anggota badan, khususnya kaki dan ujung kaki.
2. Gerak peristaltic usus menurun.
3. Tubuh klien lanjut usia tampak menggembung.
4. Badan dingin dan lembap, terutama pada kaki, tangan, dan ujung hidungnya.
5. Kulit tampak pucat, berwarna kebiruan / kelabu.
6. Denyut nadi mulai tidak teratur.
7. Nafas mendengkur berbunyi keras (stidor) yang disebabkan oleh adanya lender pada
saluran pernafasan yang tidak dapat dikeluarkan oleh klien lanjut usia.
8. Tekanan darah menurun.
9. Terjadi gangguan kesadaran (ingatan menjadi kabur).
(Nugroho.Wahyudi. 2008. Kep gerontik dan geriatric. Jakarta : EGC)

D. Tanda-tanda setelah kematian


Setelah terjadi kematian maka akan terdapat beberapa perubahan pada tubuh. Perubahan
tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa saat setelah meninggal atau
beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah berhenti,
pernafasan berhenti, refleks cahaya dan kornea mata hilang, kulit pucat dan relaksasi otot.
Setelah beberapa waktu timbul perubahan pasca mati yang jelas dan dapat digunakan
untuk mendiagnosis kematian lebih pasti (termasuk lama waktu kematian). Tanda-tanda
tersebut antara lain :
1. Rigor mortis (kaku mayat)
Berasal dari bahasa latin Rigor berarti stiff atau kaku, dan mortis yang berarti tanda
kematian (sign of death). Rigor mortis merupakan tanda kematian yang disebabkan
oleh perubahan kimia pada otot setelah terjadinya kematian, dimana tanda ini susah
digerakkan dan dimanipulasi. Awalnya ketika rigor mortis terjadi otot berkontraksi
secara acak dan tidak jelas bahkan setelah kematian somatis.
Rigor mortis adalah tanda kematian yang dapat dikenali berupa kekakuan otot yang
irreversible yang terjadi pada mayat. Kelenturan otot dapat terjadi selama masih
terdapat ATP yang menyebabkan serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan
glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin
menggumpal dan otot menjadi kaku. Kaku mayat dapat dipergunakan untuk
menunjukan tanda pasti kematian. Faktor yang mempengaruhi rigor mortis antara
lain:
1) Suhu lingkungan
2) Derajat aktifitas otot sebelum mati
3) Umur
4) Kelembapan

Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin bertambah hingga
mencapai maksimal pada 12 jam postmortem. Kemudian berangsur-angsur akan
menghilang sesuai dengan kemunculannya. Pada 12 jam setelah kekakuan maksimal
(24 jam postmortem) rigor mortis menghilang.

2. Livor mortis (lebam mayat)


Lebam mayat adalah perubahan warna kulit berupa warna biru kemerahan akibat
terkumpulnya darah di dalam vena kapiler yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi di
bagian tubuh yang lebih rendah di sepanjang penghentian sirkulasi. Lebam mayat
terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi dalam mempertahankan tekanan hidrostatik
yang menyebabkan darah mencapai capillary bed dimana pembuluh-pembuluh darah
kecil afferen dan efferen salung berhubungan. Maka secara bertahap darah yang
mengalami stagnansi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan
dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ketempat-tempat terendah yang dapat
dicapai. Mula-mula darah mengumpul di vena-vena besar dan kemudian pada
cabang-cabangnya sehingga mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi merah
kebiruan.
Lebam mayat mulai terbentuk 30 menit sampai 1 jam setelah kematian somatis dan
intensitas maksimal setelah 8-12 jam postmortem. Sebelum waktu ini, lebam mayat
masih dapat berpindah-pindah jika posisi mayat diubah. Setelah 8-12 jam postmortem
lebam mayaat tidak akan menghilang dan dalam waktu 3-4 hari lebam masih dapat
berubah.
3. Algor mortis (penurunan suhu)
Manusia memiliki panas badan yang tetap sepanjang ia dalam keadaan sehat dan
tidak dipengaruhi oleh iklim sekitarnya, hal ini disebabkan oleh karena mekanisme
isologi alat-alat tubuh manusia melalui proses oksidasi memproduksi panas tubuh.
Panas tersebut diatur dan dikendalikan oleh kulit. Jika seseorang mengalami
kematian, maka produksi panas serta pengaturan panas di dalam tubuhnya tidak
berhenti. Dengan demikian sejak saat kematiannya manusia tidak lagi memiliki suhu
tubuh tetap, oleh karena suhu badannya mengalami penurunan (decreasing proses).
Setelah korban mati, metabolisme yang memproduksi panas terhenti, sedangkan
pengeluaran panas berlangsung terus sehingga suhutubuh akan turun menuju suhu
udara atau medium disketiranya. Penurunan suhu pada saat-saat pertama kematian
sangat lamban karena masih adanya proses gilogenolisis, tetapi beberapa saat
kemudian suhu tubuh menurun dengan cepat. Setelah mendekati suhu lingkungan
penurunan suhu tubuh lambat lagi. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses
radiasi, konduksi dan pancaran panas.
4. Pembusukan
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan kerja
bakteri. Proses autolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan
oleh sel-sel yang sudah mati. Mula-mula yang terkena ialah nucleoprotein yang
terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya. Seterusnya dinding sel akan
mengalami kehancuran dan akibatnya jaringan akan menjadi lunak atau mencair.
Banyak variasi dari laju dan onset pembusukan. Media mayat memiliki peranan
penting dalam kecepatan pembusukan mayat. Menurut Casper mayat yang dikubur
ditanah umunya membusuk 8x lebih lama dari pada mayat yang terdapat di udara
terbuka. Hal ini disebabkan suhu didalam tanah yang lebih rendah terutama dikubur
ditempat yang lebih dalam, terlindung dari binatang dan insekta, dan rendahnya
oksigen menghambat berkembang biaknya organisme aerobik.
(Ammar, Mohamad. 2013. Pengaruh Lama Waktu Kematian Terhadap Kemampuan
Motilitas Spermatozoa Duktus Deferens Hewan Coba Post Mortem Yang Diperiksa Pada
Suhu Kamar Dan Suhu Dingin.di askes pada 6 Februari 2017 www.eprints.undip.ac.id)

E. Macam-macam kesadaran/pengertian pasien & keluarga terhadap kematian


Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 tipe :
1. Closed Awareness atau Tidak Mengerti.
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini
sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan
keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung,
kapan sembuh, kapan pulang dan sebagainya.
2. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala
sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
3. Open Awareness atau Sadar akan keadaan dan Terbuka.
Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal
yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir.
Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam
merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal
tersebut.

F. Bantuan yang dapat diberikan pada pasien menjelang ajal (Yuni, 2015. Askep Menjelang
Ajal. Diakses pada 6 Februari 2017, www.dokumen.tips.com.)
1. Bantuan Emosional:
a. Pada Fase Denial.
Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaannya.
b. Pada Fase Marah atau anger.
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang
marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal
yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan
lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat
dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta
meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
c. Pada Fase Menawar.
Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong
pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut
yang tidak masuk akal.
d. Pada Fase Depresi.
Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal
yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal
dari pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
e. Pada Fase Penerimaan.
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan
teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya
dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu
untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
2. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual.
a. Menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana
klien selanjutnya menjelang kematian.
b. Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk
memenuhi kebutuhan spiritual.
c. Membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya.

G. Pengkajian psikologi pada kehilangan


Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan pendekatan holistik yaitu
suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien bukan hanya pada penyakit dan aspek
pengobatan dan penyembuhan saja akan tetapi juga aspek psikososial lainnya.Salah satu
metode untuk membantu perawat dalam mengkaji data psikososial pada klien terminal
yaitu dengan menggunakan metode PERSON. (Azis, A., dkk. 2014. Asuhan
Keperawatan Pada Klien Menjelang Ajal. Diakses pada 6 Februari 2017,
www.academia.edu.
1. P: Personal Strenghat
Yaitu: kekuatan seseorang ditunjukkan melalui gaya hidup, kegiatannya atau
pekerjaan.
Contoh yang positif:
Bekerja ditempat yang menyenangkan bertanggung jawab penuh dan nyaman,
Bekerja dengan siapa saja dalam kegiatan sehari-hari.
Contoh yang negatif:
Kecewa dalam pengalaman hidup.
2. E: Emotional Reaction
Yaitu reaksi emosional yang ditunjukkan dengan klien.
Contoh yang positif:
Binggung tetapi mampu memfokuskan keadaan.
Contoh yang negatif:
Tidak berespon (menarik diri)
3. R: Respon to Stres
Yaitu respon klien terhadap situasi saat ini atau dimasa lalu.
Contoh yang positif:
Memahami masalah secara langsung dan mencari informasi.
Menggunakan perasaannya dengan sehat misalnya: latihan dan olah raga.
Contoh yang negatif:
Menyangkal masalah.
Pemakaian alkohol.

4. S: Support System
Yaitu: keluarga atau orang lain yang berarti.
Contoh yang positif:
Keluarga
Lembaga di masyarakat
Contoh yang negatif:
Tidak mempunyai keluarga
5. O: Optimum Health Goal
Yaitu: alasan untuk menjadi lebih baik (motivasi)
Contoh yang positif:
Menjadi orang tua
Melihat hidup sebagai pengalaman positif
Contoh yang negatif:
Pandangan hidup sebagai masalah yang terkuat
Tidak mungkin mendapatkan yang terbaik
6. N: Nexsus
Yaitu: bagian dari bahasa tubuh mengontrol seseorang mempunyai penyakit atau
mempunyai gejala yang serius.
Contoh yang positif:
Melibatkan diri dalam perawatan dan pengobatan.
Contoh yang negatif:
Tidak berusaha melibatkan diri dalam perawatan.
Menunda keputusan.

H. Faktor-faktor yang mempengaruhi cara merespon kehilangan


Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan adalah genetik, kesehatan
fisik, kesehatan jiwa, pengalaman masa lalu (Suliswati, 2005. Konsep Dasar
Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC).
1. Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimistik dalam menghadapi suatu
permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup yang teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
sedang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan jiwa/mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama mempunyai riwayat depresi, yang
ditandai dengan perasaan tidak berdaya, pesimistik, selalu dibayangi oleh masa depan
yang suram, biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.
4. Pengalaman kehilangan di masa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna di masa kanak-kanak akan
mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.

Anda mungkin juga menyukai