Anda di halaman 1dari 12

Penyakit menular seksual (PMS), penyakit menular seksual yang tersering adalah trikomoniasis,

vaginosis bakteri (BV), gonore, dan infeksi klamidia. Gejala klinis pasien PMS seperti demam,
sakit perut atau panggul, dan/atau keputihan, harus dievaluasi dan diobati. Perawatan ini harus
didasarkan pada pilihan pengobatan yang spesifik untuk infeksi menular seksual di masyarakat
setempat. Pasien harus waspada terhadap gejala infeksi HIV primer (misalnya, demam,
kelelahan, sakit tenggorokan, limfadenopati, dan ruam) dan memeriksakan diri jika gejala ini
timbul. terapi dengan ARV dikaitkan dengan penurunan risiko infeksi HIV dan telah menjadi
standar perawatan untuk tenaga kesehatan (US Depertement of Justice, 2013).

III.ASPEK-ASPEK PENATALAKSANAAN FORENSIK PADA KASUS PERKOSAAN


DAN KEKERASAN SEKSUAL

A. Dasar Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan


Dasar perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan terdapat dalam UU No.
7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of
Discrimination Against Women-CEDAW) yang menyatakan (Kalangit, 2010):

Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan terhadap perempuan (perkosaan)


dituangkan juga dalam Kepres No. 181 Tahun 1998 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Kalangit, 2010).

B. Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari Tindak Kekerasan Seksual


Nasional
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286, 287, 290, 291
2. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48
3. UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
pasal 1 (3,7)
4. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2),
69, 78 dan 88
Internasional
1. Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68
2. Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata
3. Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan
Desember 1993

4. Deklarasi Wina Tahun 1993 (Kalangit, 2010).

C. Masalah penegakan hukum terhadap kekerasan berbasis gender

1. Imunitas terhadap bentuk-bentuk penyiksaan berbasis jendergender: perkosaan dan


pelecehan seksual.
2. Hukum pidana Indonesia menerapkan sebuah definisi perkosaan yang sudah usang dan
tidak lagi memenuhi standar internasional. Perkosaan didefinisikan secara sempit dan
eksklusif dalam bentuk penetrasi paksa organ-0rgan seksual. Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP), penanganan kasus perkosaan
menuntut adanya bukti air mani yang dikuatkan oleh catatan medis (visum et repertum)
dan pernyataan dari dua sumber, termasuk seorang saksi.
3. UU Indonesia No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM
menerapkan definsi peka jendergender dari Statuta Roma atas kejahatan
HAM yang mengakui kekerasan berbasis genjer dan perbudakan seksual. Namun, karena
Indonesia belum meratifikasi dan mengintegrasikan Statuta Roma secara keseluruhan,
termasuk prosedur dan aturan pembuktiannya, maka pihak perempuan yang telah
mengalami kekerasan seksual dalam konteks serangan luas dan sistematik atas populasi
sipil masih belum juga mendapat akses pada keadilan. Pada saat ini, UU Pengadilan HAM
hanya dapat diterapkan dengan menggunakan KUHP dan KUHAP yang tidak
kondusif untuk keadilan bagi perempuan.
4. Indonesia tidak memiliki peraturan hukum yang memidanakan pelecehan seksual.
5. Adanya pembatasan yang ketat dan pembisuan dalam peraturan pidana mengenai pelecehan
seksual dan perkosaan dalam kerangka kerja hukum Indonesia dapat dikatakan memberi
impunitas terhadap bentuk- bentuk utama penyiksaan yang berbasis jender gender
(Kalangit, 2010).
D. Visum et Repertum
Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat
buktinya berupa Visum et repertum. Visum et repertum adalah surat keterangan/laporan dari
seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan
lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan (Kalangit, 2010).

E. Upaya Perlindungan Hukum pada Korban Tindak Pidana Perkosaan


Deklarasi Perserikatan Bangsa- Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah menetapkan
beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam
proses peradilan pidana. Meskipun pada tahun 1984 telah diratifikasi Konvensi tentang
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
(karena kebijakan umum serta berbagai peraturan yang ada saat ini masih mencerminkan
kuatnya nilai patriarki), tetapi dalam pelaksanaannya masih terjadi diskriminasi dan eksploitasi.
Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan dilakukan sebagai berikut
(Kalangit, 2010):
1. Sebelum Sidang Pengadilan.
2. Selama Sidang Pengadilan.
3. Setelah sidang pengadilan.
Petugas penyelamatan korban kekerasan seksual dalam melaksanakan fungsinya dapat
melakukan rujukan untuk memberikan layanan lanjutan terhadap perempuan dan anakyang
mengalami permasalahan, dengan kategori layanan yang (Kementerian Pemberdayaan dan
Perlindungan Anak, 2016) :
1. memerlukan penanganan ahli/dokter
2. hanya dapat diberikan oleh unit layanan teknis
3. diperlukan bersifat gawat/ kritis
4. terkait dengan penegakan hukum

Langkah-langkah yang perlu dilakukan Satgas dalam melakukan rujukan, antara lain
(Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, 2016) :
1. berkoordinasi dengan P2TP2A atau lembaga layanan lainnya untuk mendapatkan layanan
yang dibutuhkan;
2. menyerahkan surat rujukan dan dokumen lengkap kepada P2TP2A atau lembaga layanan
lainnya;
3. mempersiapkan kendaraan untuk membawa korban ke P2TP2A atau lembaga layanan lainnya;
4. melakukan observasi untuk memantau layanan yang dibutuhkan apakah sudah sesuai dengan
kebutuhan perempuan dan anak yang mengalami permasalahan; dan
5. jika dalam pemantauan, layanan yang diberikan oleh lembaga layanan tersebut belum sesuai
atau tidak ada perkembangan kondisi perempuan dan anak yang mengalami permasalahan maka
merekomendasikan kepada P2TP2A untuk melakukan rujukan kembali ke lembaga layanan
lainnya.

Setelah perempuan dan anak yang mengalami permasalahan mendapatkan layanan rujukan dan
memastikan layanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan korban, maka Satgas melaporkan
pelaksanaan rujukan kepada P2TP2A atau lembaga layanan lainnya (Kementerian Pemberdayaan
dan Perlindungan Anak, 2016).
Infeksi yang sering menyertai : Neisseria gonorrhea, sifilis, infeksi Chlamydia trachomatis, HIV,
Trichomonas vaginalis, herpes genital, atau kutil anogenital. perawatan medis forensik ini harus
mencakup evaluasi PMS untuk dua tujuan:

(1) untuk menentukan apakah STD ada, sehingga dapat diobati; dan

(2) untuk memperoleh bukti untuk digunakan potensial dalam penyelidikan hukum.

Tempat pemeriksaan harus menjamin kelangsungan perawatan, termasuk ulasan tepat waktu
hasil tes, dan untuk memantau kepatuhan dan efek samping untuk setiap rejimen terapeutik atau
profilaksis (US Departement of Justice, 2013).
Model Pencegahan Dini terhadap Kekerasan Seksual pada Anak dengan Diskusi

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa program pencegahan kekerasan
seksual pada anak sangat diharapkan untuk dilakukan. Hal tersebut dimaksudkan agar korban
kekerasan seksual pada anak tidak terus bertambah (Paramastri & Supriyati, 2010).

Semua subjek sependapat bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual tersebut merupakan
tanggungjawab semua pihak. Meskipun demikian, subjek sangat mengharapkan pihakpihak
yang berinisiatif untuk menggerakkan upaya pencegahan tersebut (Paramastri & Supriyati,
2010).

Sasaran utama program pencegahan adalah anak, sedangkan sasaran sekunder adalah orangtua
dan guru. Program pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan model diskusi kelompok
(kelompok kecil dengan jenis kelamin yang sama dan usia sebaya), dengan media komik (cerita
bergambar). Sementara itu, fasilitator diharapkan memiliki jenis kelamin sama (Paramastri &
Supriyati, 2010).
Konseling Komprehensif Terhadap Anak-anak yang Mengalami Perkosaan.
Dalam fase perkembangan, anak usia 3-5 tahun, anak sudah mulai mempertanyakan tentang
organ seksual kepada ibunya. Pertanyaan anak menjadi tidak terjawab dan terus menghantui
pikiran dan perasaannya. Pada tahap inilah orang tua berperan untuk memberikan penjelasan
sesuai dengan usia anak-anak? Sedapat mungkin orang tua mau menjawab dengan logika anak.
Misalnya, ketika anak menanyakan dari mana mereka lahir? Maka orang tua, bisa mengajak anak
untuk menjawabnya, seperti pertanyaan, kalau menurut anak dari mana? Dengan begitu, mereka
akan menjawab sesuai dengan khayalannya dan imajinasi anak. Ketika anak menjawab itulah
maka orang tua perlu mengajak anak mengeksplorasi semaksimal mungin imajinasi anak yang
terbangun dari penglihatan mereka terhadap film televise, majalah, gambar dan kesehariaan yang
mereka serap. Namun, jika orang tua memarahi anak dan menganggap hal itu pertanyaan yang
tabu, maka anak akan tidak kreatif dan ters berada dalam keraguan. Anak akhirnya tidak
mengetahui dan tugas perkembangan hidupnya menjadi tertunda. Kasus kekerasan anak, berasal
dari budaya yang melingkupi kesehariaan anak dimana mereka tumbuh dan berkembang.
Seorang naka meman belum mampu mencerna nilai-nilai dengan rasional. Konsep libido seksual
pada anak-anak yang tanpa piker itulah menuntut pemahaman dari orang tua secara arif dan
bijak. Anak akan bertanya apa saja dan menjadikan apa yang mereka lihat sebagai pelajaran.
Maka dari itu, pendampingan anak saat menonton film televise terlebih film yang bernuansa
cinta dewasa, perlu dibingkai lagi dengan cerita dari orang tua untuk memberikan nilai-nilai bagi
anak. Karena dimata anak, orang tua adalah orang yang selalu benar. Anak-anak yang melakukan
kasus kekerasan seksual, seperti mutilation, yaitu melakukan kekerasan terhadap organ seksual,
pemerkosaan, dalah bentuk dari konsep Frued yang menyebutkan bahwa pada usia terentu anak-
anak akan dimengalami libido seksual mendominasi (Naqiyah, 2010).
Bagaimana mengatasi anak-anak yang sedang tumbuh berkembang agar tercegah dari kekerasan
seksual? Langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah memberikan pendampingan kepada
anak-ananya dalam berbagai aktivitas. Sebanyak mungkin orang tua terlibat penuh terhadap
kehidupan anak. Ada penelitian, bahwa orang tua yang konsisten mematikan televise setiap jam-
jam belajar anak, maka prestasi anak akan meningkat. Bahkan orang tua yang tidak membeli
televisi sampai usia anak SMP, prestasi akademik anak disekolah meningkat tiga kali lipat..
Sikap konsisten inilah yang akan memberikan anak nuansa aktivitas bersama dengan keluarga
secara akatif untuk melakukan banyak hal bersama anak-anaknya. Bagaimana peran sekolah
mencegah terjadinya kasus pemerkosaan anak? Sekolah punya banyak cara memberikan
pendidikan reproduksi kepada anak-anak di sekolah dasar (SD). Materi kesehatan reproduksi
dirangkum bisa dilakukan dengan kurikulum muatan local yang berisi sejumlah pengetahuan
tentang organ-organ reproduksi yang harus dijaga dan dilindungi oleh anak-anak. Pendidikan
reproduksi ini penting diberikan sejak awal anak-anak menjelang masa pubertas, atau akil baligh.
Anak-anak akan siap ketika terjadi perubahan bentuk tubuhnya, seperti pada perempuan akan
menstruasi dan laki-laki mulai mimpi basah. Pengetahuan reproduksi sejatinya akan
menyalamatkan anak-anak dari kekerasan seksual yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Anak sejak awal akan memiliki ketegasan sikap untuk berkata tidak, apabila
ada orang yang menyuruh mereka membuka celana, membuka bajunya, meraba alat-alat
reproduksi seperti payudara, vagina, penis, dsb. Anak akan bisa melindungi tubuhnya sendiri dari
kekerasan pelecehan seksual (Naqiyah, 2010).
Memberi keselamatan kepada anak-anak adalah tanggung jawab kita bersama. Menghantarkan
anak- anak secara layak menghadapi tugas perkembangan hidupnya merupakan hak-hak anak
yang harus diberikan sebaik yang kita bisa. Anak perempuan yang diperkosa dibawah umur tidak
bersalah. Kekerasan menimpa tubuhnya akibat tindak kejahatan. Mereka adalah korban
kekerasan secara biadab. Mereka patut dilindungi dan dirawat secara baik. Korban pemerkosaan
tidak sepatutnya di nista, apalagi disia-siakan hidupnya. Tempat merawat korban yang tengah
hamil, melahirkan dan pasca melahirkan. Tempat berlindung para korban tindak kekerasan,
seperti panti rehabilitasi, pesantren, dan panti asuhan. Lembaga penampungan anak-anak yang
mengalami kekerasan membantu mengobati rasa trauma, depresi dan penyakit somatik lainnya.
Kesehatan mental mereka yang mengalami tindak kekerasan perlu dipulihkan dengan terapi.
Terapi yang perlu diberikan pada kasus-kasus perkosaan harus menyeluruh, mulai dari eksplorasi
psikis yang tergoncang sampai persiapan menghadapi hidup selanjutnya pasca melahirkan. Tidak
mudah bagi seorang anak melahirkan, apalagi belum ada kesiapan mental secara lahir dan batin.
Anak yang mengalami kehamilan diluar keinginannya memiliki konsekwensi gangguan psikis
yang harus disembuhkan. Misalnya, bagaimana kesiapan mereka melahirkan? Bagaimana
mengasuh anaknya? Siapa yang bertanggung jawab membiayai anak yang dilahirkan?
Seandainya anak tersebut diadobsi orang lain, bagaimana merelakan buah hatinya? Pertanyaan-
pertanyaan tersebut akan terus bergelayut memicu keresahan dan kegundahan hati. Dengan
memberikan terapi khusus bagi anak-anak yang mengalami korban perkosaan, akan membantu
mereka sadar dan menghadapi hidup dengan lebih tenang dan menerima resiko (Naqiyah, 2010).
Konseling komprehensif untuk mengatasi kekerasan bagi anak-anak korban perkosaan dimulai,
dengan (Naqiyah, 2010):
(1). Mencari akar penyakit yang dideritanya. Jika penyakitnya diketahui, maka obat yang
diberikan haruslah mampu menghilangkan rasa sakit. Contoh, jika anak terlanjur diperkosa dan
memiliki kelainan mental menjadi sangat tertutup, maka anak perlu dilatih bersikap asertif
(terbuka) kepada orang lain. Dengan melatih sikap terbuka, maka akan lebih mudah bagi anak
tersebut menerima dan sadar diri keadaannya. Anak menjadi tegar dan waspada untuk tidak
mengulangi perbuatan takutnya dengan diam. Namun, jika anakmenjadi trauma dan merasa
terancam terus menerus, maka membongkar ketakutan anak tersebut dengan teknik konfrontasi
dan melawan keyakinan tidak rasional. Terapis harus melatih anak untuk mengedepankan nilai-
nilai rasionalitas untuk menuntun diri mereka.
(2). Memperbaiki rasa percaya diri. Anak perlu di berikan obat atau cara-cara melawan rasa
takut. Rasa takut tersebut akan muncul kalau anak tidak percaya diri. Rasa takut berlebihan
merupakan gejala depresi. Takut yang tidak beralasan menjadikan anak-anak sakit mental.
Gangguan tersebut membuat anak tidak berkembang optimal. Dengan memperbaiki rasa percaya
dirinya, akan membantu mereka memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk terus tumbuh
berkembang seperti anak-anak yang lain.
(3). Memberikan jalan untuk kembali mengenyam pendidikan. Anak yang telah diperkosa berhak
melanjutkan sekolahnya. Jika saat mengalami kehamilan harus berhenti atau cuti sekolah, maka
setelah selesai melahirkan, perlu memperoleh haknya kembali bersekolah seperti anak lain.
Misalnya anak yang masih duduk disekolah menengah, bisa menyelesaikan sekolahnya hingga
tamat. Mengapa sekolah itu penting? Dengan bersekolah lagi, mereka memiliki kesibukan dan
tidak larut dalam kesedihan yang menimpanya. Dengan kembali ke bangku sekolah, ada harapan
masa depan anak jauh lebih baik, dari pada diam dirumah.
(4). Konselor perlu melakukan meningkatkan kerjasama dengan pemegang kebijakan.
Keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) perlu ditingkatkan eksistensinya dengan
memanfaatkan layanan bimbingan yang berfungsi pencegahan, pengembangan dan pengobatan.
Perempuan korban kekerasan seksual mengalami keterguncangan jiwa, yang semuanya itu
tampak dari perilakunya yang didominasi dengan perasaan khawatir, putus asa ataupun perilaku
menyimpang lainnya maka dapat dilakukan konseling Islam dengan langkah-langkah yang
diantaranya (Nafisah, 2015) :

a. Membangun hubungan yang kuat dan baik yang didasari dengan saling menghargai,
membuka diri, dan juga saling percaya antara konselor dengan klien.

b. Membantu individu menemukan alternatif pemecahan masalah.

c. Membantu individu mengembangkan kemampuan untuk mengantisipasi masa depan,


sehingga mampu memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan keadaan
sekarang.
Pencegahan merupakan alat paling efektif yang dapat digunakan oleh pengusaha untuk
menangani pelecehan seksual di tempat kerja. Tindakan pencegahan termasuk (Kementrian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011) :
1. Komunikasi : dilakukan dengan sosialisasi tentang pelecehan seksual melalui LKS Bipartit,
LKS Tripartit dan berbagai media cetak dan elektronik.
2. Edukasi : dilakukan melalui program orientasi dan pengenalan kepada staff baru, ceramah
agama, atau kegiatan-kegiatan tertentu seperti yang terprogram.
3. Pelatihan : menyediakan pelatihan khusus di tingkat penyelia dan managerial dan pelatih
untuk mengenali masalah-masalah pelecehan dan pencegahan, pelatihan bagi Tim
Penanggulangan Pelecahan Seksual.
4. Mendorong perusahaan untuk membangun komitmen pelaksanaan pencegahan pelecehan
Seksual di lingkungan kerja termasuk pemberian sanksi dan tindakan disiplin lainnya dengan
adanya :
a. Kebijakan Perusahaan
b. Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama Penyebar luasan informasi
mengenai kebijakan dan mekanisme pencegahan pelecehan seksual kepada pekerja dan penyelia
merupakan hal yang penting. Selain itu, pengusaha diharapkan menyediakan suatu program
untuk pekerja/buruh dan penyelia agar dapat diberi edukasi mengenai pelecehan seksual.

Untuk itu, semua pihak harus mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap cara-cara untuk
menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan bebas dari pelecehan seksual. Pemerintah baik
pusat maupun pemerintah daerah memastikan adanya petunjuk tentang pedoman ini dan contoh-
contoh kebijakan penanganan pelecehan seksual di perusahaan yang dapat diakses oleh para
pemberi kerja. Sementara itu, pemberi kerja perlu menyertakan informasi tentang pelecehan
seksual dalam program-program orientasi, pendidikan dan pelatihan bagi pekerja/buruh.
Sedangkan serikat pekerja/serikat buruh harus menyampaikan informasi tentang pelecehan
seksual dalam program-program pendidikan dan latihan yang dimilik bagi anggotanya
(Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011).
Daftar Pustaka

Kalangit, A. (2010). PERAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN


TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN SEBAGAI KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL.
PERAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA
PEMERKOSAAN SEBAGAI KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL.

Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak. (2016). PROSEDUR STANDAR


OPERASIONAL SATUAN TUGAS PENANGANAN MASALAH PEREMPUAN DAN
ANAK. PROSEDUR STANDAR OPERASIONAL SATUAN TUGAS PENANGANAN
MASALAH PEREMPUAN DAN ANAK.

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2011). Pedoman Pencegahan Pelecehan


Seksual pada Perempuan. Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual pada
Perempuan.

Nafisah, S. U. (2015). PENANGANAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN.


PENANGANAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN.

Naqiyah, N. (2010). Konseling Komprehensif Mengatasi Tindak Kekerasan Terhadap


Anak Perempuan. Konseling Komprehensif Mengatasi Tindak Kekerasan
Terhadap Anak Perempuan.

Paramastri, I., & Supriyati. (2010). Early Prevention Toward Sexual Abuse on
Children. Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children.

US Departement of Justice. (2013). A National Protocol for Sexual Abuse Medical


Forensic Examinations. A National Protocol for Sexual Abuse Medical Forensic
Examinations, 135.

US Depertement of Justice. (2013). A National Protocol for Sexual Assault Medical


Forensic Examinations. A National Protocol for Sexual Assault Medical
Forensic Examinations, 111.

Anda mungkin juga menyukai