Anda di halaman 1dari 23

Prosedur Hukum dan Etika Terhadap

Dugaan Kasus Malpraktek Rekan Sejawat

Stepahanie Maria Embula 102012126


Cenisia 102013040
Franklin Wijaya 102013124
Maria Febriany Ndapa 102013140
Filemon Nyo Rape 1020132
Lydia Gloriani Lethe 102013343
Melisa Anggreni 102013420
Ralin Julian Bbasar 10201343
F6

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indikator


positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya
kecenderungan meningkatnya kasus malpraktek dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan
dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kedokteran
yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa yang akan datang.
Kasus malpraktek yang sering dipahami sebagai kelalaian dokter juga harus dianalisis lebih
dalam terkait alat-alat kedokteran yang menjadi penunjang keberhasilan pada proses pelayanan
kesehatan. Sehingga perlu adanya keterbukaan informasi antara dokter dan pasien sehingga
menimbulkan suatu kepercayaan.

1
Prinsip-prinsip Moral
Praktek kedokteran pada dasarnya berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran
yang dijadikan sebagai arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai
baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi atau
aspek moral. Pengetahuan dan penerapan moral ini dalam perkembangannya kemudian disebut
sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberikan pedoman bagi para tenaga medis dalam
membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis.1

Etik Profesi Kedokteran


Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk
Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu.
Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang
bunyinya bermacam-macam. Yang paling dikenal adalah sumpah Hippocrates, berisikan
kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi
dokter sebagai praktisi medis.1
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menghasilkan
sumpah dokter dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional
berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan
kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional tersebut.1
Perlu diketahui pada umumnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar
hanya akan membawakan sanksi moral. Namun pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi
disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat (kewajiban
menjalani pendidikan/pelatihan tertentu dan pencabutan haknya berpraktik profesi). Sanksi
tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut
melanggar etik (profesi) kedokteran.1

Kode Etik Kedokteran Indonesia2

KEWAJIBAN UMUM

2
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.

Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.

Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.

Pasal 7a

3
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan
dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien

Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.

Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

3
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN

Pasal 10
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk
pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

4
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.

Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT

Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.

Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI

Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.

Hak Pasien

5
WMA telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991) yang
menyatakan hak pasien adalah sebagai berikut5:

1 Hak memilih dokter secara bebas


2 Hak klinis dan etis
3 Hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat
4 Hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya
5 Hak untuk mati secara bermartabat
6 Hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral.

UU Kesehatan pula menyebutkan beberapa hak pasien yaitu:

1 Hak atas informasi


2 Hak atas second opinion
3 Hak untuk memberi persetujuan atau menolak suatu tindakan medis
4 Hak untuk kerahasiaan
5 Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan
6 Hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.

Selain itu, UU Praktik Kedokteran menyatakan hak pasien sebagai berikut:

1 Hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis (Pasal 45 ayat
(3)). Penjelasan sekurang-kurangnya meliputi diagnosis, tatacara tindakan, tujuan
tindakan medis yang bakal dilakukan, alternative tindakan lain dan risikonya, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
2 Hak untuk meminta pendapat dokter lain
3 Hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis
4 Hak untuk menolak tindakan medis
5 Hak untuk mendapatkan isi rekam medis

PELAPORAN MALPRAKTEK

Kewajiban melaporkan malpraktek dan praktek tidak kompeten dinyatakan dalam Kode
Etik Medis Internasional yaitu A physician shall report to the appropriate authorities those
physicians who practice unethically or incompetently or who engage in fraud or deception.
Dokter sering kali sulit untuk membuat pelaporan tentang tindakan malpraktek dokter lain atas

6
dasar simpati atau persahabatan tetapi perlu diingatkan bahwa pelaporan adalah salah satu tugas
professional seorang dokter.5

Namun, tindakan pelaporan ke pihak wewenang harus menjadi pilihan terakhir apabila
metode lain seperti menegur dan memberi peringatan kepada dokter yang bersangkutan tidak
dapat menyelesaikan tindakan malprakteknya.

Aspek Hukum
Aspek Hukum Malpraktek
1 Penyimpangan dari Standar Profesi Medis
2 Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian
3 Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian materiil
atau non materiil maupun fisik atau mental7.

Sanksi Hukum Pidana

Pasal 267 KUHP (surat keterangan palsu)


1 Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau
tidaknya penyakit , kelemahan atau cacat, diancam dengan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
2 Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seorang kedalam rumah
sakit gila atau menahannya disitu , dijatuhkan pidana paling lama delapan tahun enam
bulan.
3 Di ancam dengan pidana yang sama ,barangsiapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran

Pasal 268 KUHP


1 Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada
atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat , dengan maksud untuk menyesatkan
penguasa umum atau penanggung (verzekeraar), diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
2 Diancam dengan pidana yang sama ,barangsiapa dengan maksud yang sama memakai
surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak
dipalsu
Pasal 359 KUHP

7
Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan matinya orang lain , diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun

Pasal 360 KUHP


1 Barangsiapa karena kelalainnyamenyebabkan orang lain menderita luka berat,diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun
2 Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga
menderita sakit untuk sementara waktu atau tidak dapat menjalankan jabatan atau
perkejaannya selama waktu tertenu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana kurungan enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu lima ratus
rupiah5,7

Sanksi Hukum Perdata

Pasal 1338 KUH Perdata ( wan prestasi )


1 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
2 Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3 Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
Pasal 1365 KUH Perdata

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Pasal 1366 KUH Perdata( Kelalaian )

Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya , tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalainnnya atau

kurang hati hatinya

Pasal 1370 KUH Perdata

8
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain ) dengan sengaja atau kurang hati
hatinya seeorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau korban orang tua yang
biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti
rugi, yang harus dinilai menurut kedudukanya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut
keadaan .

Pasal 55 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


1 Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan .
2 Ganti rugi sebagaimana diatur dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku3,5,7

Dampak Hukum

A Perlidungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek


medik

Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek medik
menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal
53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Seorang dokter
dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar
peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di
dalam KUHP.

Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra. Dokter tidak dapat disalahkan
bila pasien tidak bersikap jujur. Sehingga rekam medik (medical record) dan informed
consent (persetujuan) yang baik dan benar harus terpenuhi. Cara dan tahapan mekanisme
perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek medis
adalah dengan dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) atas dasar
hubungan lintas sektoral dan saling menghargai komunitas profesi. Dalam tahapan

9
mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran, MKDKI menentukan tiga jenis
pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin dan pidana. Untuk pelanggaran etik
dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), pelanggaran disiplin
dilimpahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana
dilimpahkan kepada pihak pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak
kepolisian atau ke pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada pihak kepolisian
maka pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan tindakan malpraktek
medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum yang ditetapkan dalam Pasal 52, Pasal 54,
Pasal 55, Pasal 57 Ayat 1, Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70 Ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan apabila kasus dilimpahkan kepada tingkat pengadilan
maka pembuktian dugaan malpraktek dapat menggunakan rekam medik (medical record)
sebagai alat bukti berupa surat yang sah (Pasal 184 Ayat 1 KUHAP).

B Hukum kedokteran akibat kelalaian


Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak
rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut
dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada
teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik
medis, yang merupakan sebutan genus (kumpulan) dari kelompok perilaku profesional
medis yang menyimpang dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi
pasiennya.
Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan
kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :

Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian

Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa


memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu,
penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.

Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan
karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya
ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.

10
Kelalaian medik

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan
bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila
seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu
keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan
orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan
oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah
mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.4

Apa yang dinamakan kelalaian medik (medical negligance) adalah ketentuan legal yang
terdiri dari tiga unsur.

1. Terdapat hubungan antara dokter dan pasien


2. Dokter itu telah melanggar kewajibannya, karena tidak memenuhi standar pemberian
pelayanan
3. Pelanggaran itu telah menyebabkan pasien menderita kerugian (harm) yang
sebenarnya dapat dibayangkan dan secara wajar dapat dicegah.4

Evidence-based guidelines dapat mempengaruhi unsur kedua (2), yaitu dengan cara
bagaimana pengadilan itu mengadakan penilaiannya. Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa
dalam common law terdapat ketegangan antara (1) tes yang bersifat deskriptif dari kelalaian
medik yang mengukur sikap-tindak yang dilakukan di dalam praktek, dan (2) tes normatif yang
memfokuskan diri terhadap apa yang seharusnya dilakukan. Yang pertama secara umum
mengangap cara menjalankan praktik profesional adalah yang sudah diterima dan berdasarkan
standar legal. Sedangkan yang terakhir mengizinkan standar-standar yang ditentukan dengan
kiteria lain, seperti yang ditetapkan di dalam pernyataan untuk good practice.5

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, malfeasance, misfeasance dan nonfeasance

1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak
(unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).

11
2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis
dengan menyalahi prosedur.
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes,
slips and lapses) yang akan diuraikan dibawah, namun pada kelalaian harus memenuhi
ke-empat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error
tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak
secara langsung menimbulkan dampak buruk.

UNSUR UNSUR KELALAIAN

Dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian
medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat
unsur di bawah ini.5

1. Duty to use due care.

Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang
tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional
antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat
dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban
profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan
berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum
merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi
layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang
optimum.
Contoh : seorang dokter terkenal di dalam pesawat duduk di sebelah seorang penumpang lain
yang baru dikenal. Karena wajah sang dokter sering terdapat di majalah maka orang itu
langsung mengenalinya dan mulai membuka pembicaraan. Antara mana diceritakan tentang

12
penyakitnya dan juga menanyakan obat apa yang harus Ia makan. Sang dokter menyebutkan
beberapa obat yang biasa ia pergunakan. Orang itu lalu membelinya di apotik dan
meminumnya, namun ternyata tidak cocok karena terdapat kontraindikasi untuknya, sehingga
menderita luka karenanya. Orang itu kemudian menuntut dokter tersebut, tapi di tolak oleh
hakim karena tidak memenuhi unsur pertama tersebut, dalam arti tidak ada hubungan sebagai
dokter pasien.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami
apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar
pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi
layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu
standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau
disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang
sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-
hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi
dan keadaan yang normal sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan
pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule
yang menyatakan What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly
right (or wrong) for any other in an identical situation.6

3. Damage atau kerugian.

kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari
layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini
sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa
kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa
kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang
nyata adalah real cost atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit
atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan
maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga
13
dapat berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of
opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai
akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata.

Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.
IV. DASAR HUKUM
Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak
rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut
dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada
teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik
medis, yang merupakan sebutan genus (kumpulan) dari kelompok perilaku profesional
medis yang menyimpang dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi
pasiennya.
Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan
kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :

1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian


2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa
memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu,
penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan
karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada,
umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.
Di bidang perdata, pasal-pasal yang mengatur tentang kelalaian yaitu
Pasal 1365 KUH Perdata : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata : setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau

14
kurang hati-hatiannya
Pasal 1367 KUH Perdata : seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya.
Pasal 55 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : (1) setiap orang berhak
atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
Pasal 1370 KUH Perdata : Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena
kurang hati-hatinya seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang
tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak
menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua
belah pihak, serta menurut keadaan.
Pasal 1371 KUH Perdata : Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan
sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain
penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan
oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan
dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan.
Pasal 1372 KUH Perdata : Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan
mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
Di bidang pidana juga dapat ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu :
Pasal 359 KUHP : Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang
lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP : (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan
orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya
(kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul
penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu
tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus
rupiah.

15
Pasal 361 KUHP : Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan
yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan
kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan

PEMBUKTIAN

Pembuktian adanya kewajiban dan adanya pelanggaran kewajiban .Dasar


adanyakewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis
dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut
dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam
sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional.
Untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harus memiliki suatu
kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan
kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani pendidikan kedokterannya. Tingkat
kompetensi tersebut bukanlah tingkat terrendah dan bukan pula tingkat tertinggi dalam
kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan kompetensi yang rata-rata (reasonable
competence) dalam populasi dokter. Selanjutnya untuk dapat melakukan praktek medis, dokter
tersebut harus memiliki kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa di bidang kesehatan
dalam bentuk ijin praktek. Kewenangan formil diperoleh dengan menerima surat penugasan
(atau nantinya disebut sebagai Surat Tanda Registrasi), sedangkan kewenangan materiel
diperoleh dengan memperoleh ijin praktek.5,6

Seseorang yang memiliki kewenangan formil dapat melakukan tindakan medis di suatu
sarana kesehatan yang sesuai dengan surat penugasannya di bawah supervisi pimpinan sarana
kesehatan tersebut, atau bekerja sambil belajar di institusi pendidikan spesialisasi di bawah
supervisi pendidiknya. Sedangkan seseorang yang memiliki kewenangan materiel memiliki
kewenangan penuh untuk melakukan praktik medis di tempat praktiknya, karena SIP dokter
menurut UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran hanya berlaku untuk satu tempat praktik.
Namun demikian tidak berarti dokter tidak diperkenankan melakukan pertolongan atau tindakan
medis di tempat lain di seluruh Indonesia. 6

16
Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai standar.
Setidaknya profesi memiliki 3 macam standar, yaitu standar kompetensi, standar perilaku dan
standar pelayanan. Standar kompetensi adalah yang biasa disebut sebagai standar profesi.
Standar berperilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI.
Dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu sebagaimana
diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut.

Menilai ada atau tidaknya penyimpangan berbagai kewajiban di atas dilakukan dengan
membandingkan apa yang telah dikerjakan oleh tenaga medis tersebut (das sein) dengan apa
yang seharusnya dilakukan (das sollen). Apa yang telah dikerjakan dapat diketahui dari rekam
medis, sedangkan apa yang seharusnya dikerjakan terdapat di dalam berbagai standar. Tentu saja
hal ini bisa dilaksanakan apabila di satu sisi rekam medis dibuat dengan akurat dan cukup
lengkap sedangkan di sisi lainnya standar pelayanan juga tertulis cukup rinci. Dalam hal tidak
ditemukan standar yang tertulis maka diminta peer-group untuk memberikan keterangan tentang
apa yang seharusnya dilakukan pada situasi dan kondisi yang identik. Perlu diingat bahwa suatu
standar seringkali berkaitan dengan kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada
situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana kasus itu terjadi.3
Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami
apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule
yang menyatakan What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right
(or wrong) for any other in an identical situation.
Pembelaan dengan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban pada pihak dokter hampir tidak
mungkin dilakukan, oleh karena pada umumnya hubungan profesional antara dokter dengan
pasien telah terbentuk. Sangat jarang kelalaian medis terjadi tanpa adanya hubungan dokter-
pasien, seperti pada upaya pertolongan yang dilakukan dokter pada gawat darurat medik yang
tidak pada sarana kesehatan. Dengan demikian pembelaan harus ditujukan kepada upaya
5
pembuktian tidak adanya pelanggaran kewajiban yang dilakukan dokter.

Pembuktian adanya kerugian dan kausalitas

17
Pada prinsipnya terdapat dua jenis kerugian yang menjadi landasan gugatan ganti rugi
tersering kepada pemberi layanan jasa, yaitu yang pertama merupakan kerugian sebagai akibat
langsung (atau setidaknya proximate cause) dari suatu kelalaian; dan jenis yang kedua adalah
kerugian sebagai akibat dari pemberian jasa yang tidak sesuai dengan perjanjian (wanprestasi).
Dalam kaitannya dengan layanan jasa kedokteran juga dikenal kerugian akibat peristiwa lain,
yaitu misalnya kerugian akibat tindakan tanpa persetujuan, kerugian akibat penelantaran,
kerugian akibat pembukaan rahasia kedokteran, kerugian akibat penggunaan alat kesehatan atau
obat yang defek, dan kerugian akibat tidak adanya peringatan pada pemberian jasa yang
berbahaya. 5

Pada prinsipnya suatu kerugian adalah sejumlah uang tertentu yang harus diterima oleh
pasien sebagai kompensasi agar ia dapat kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya
sengketa medik. Tetapi hal itu sukar dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau
kematian seseorang. Oleh karena itu kerugian tersebut harus dihitung sedemikian rupa sehingga
tercapai jumlah yang layak (reasonable atau fair). Suatu kecederaan sukar dihitung dalam bentuk
finansial, berapa sebenarnya kerugian yang telah terjadi, apalagi apabila diperhitungkan pula
tentang fungsi yang hilang atau terhambat dan ada atau tidaknya cedera psikologis.6
Sebagaimana telah diuraikan di atas, kerugian atau damages dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Kerugian immaterial (general damages, non pecuniary losses)

1. Kerugian materiel (special damages, pecuniary losses) :


a. Kerugian akibat kehilangan kesempatan
b. Kerugian nyata : Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan, dan biaya
yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan
Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1. Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi (compensation for injuries, yaitu
kerugian yang bersifat immateriel)
A. Sakit dan penderitaan
B. Kehilangan kesenangan/kenikmatan (amenities)
C. Kecederaan fisik dan / atau psikiatris
2. Kompensasi untuk pengeluaran tambahan (compensation for additional expenses,
real cost)
a. Pengeluaran untuk perawatan rumah sakit

18
b. Pengeluaran untuk biaya medis lain
c. Pengeluaran untuk perawatan
3. Kompensasi untuk kerugian lain yang foreseeable (compensation for other
foreseeable loss, yaitu kerugian akibat kehilangan kesempatan)
a. Kehilangan penghasilan
b. Kehilangan kapasitas mencari nafkah

Kerugian-kerugian di atas umumnya ditagihkan satu kali, yaitu pada saat diajukannya
gugatan. Kerugian, meskipun dapat terjadi berkepanjangan, tidak dapat digugatkan berkali-kali.
Oleh karena itu penggugat harus menghitung secara cermat berapa kerugiannya, kini dan yang
akan datang. Cara pembayarannya dapat saja berupa pembayaran tunai sekaligus, tetapi dapat
pula diangsur hingga satuan waktu tertentu yang disepakati kedua pihak (structured settlement).
Pembayaran berjangka tersebut dapat dibebani dengan bunga. Bunga tidak dapat dibebankan
kepada kerugian yang akan datang, sedangkan kerugian yang sudah terjadi termasuk kerugian
yang non pecuniary dapat diberi bunga yang besarnya reasonable.
Misalnya pada kasus diamputasinya tungkai kanan seseorang yang diduga sebagai akibat dari
kelalaian dokter dalam menangani patah tulang paha kanannya akibat kecelakaan lalu-lintas,
maka kerugian berupa biaya yang digugatkan kepadanya dapat dirinci sebagai berikut : biaya
perawatan medis sejak masuk rumah sakit hingga selesainya terapi pasca-operasi termasuk
biaya non medis yang terjadi sebagai akibat dari perawatan rumah sakit (transport, peralatan
khusus, perawat pada home care, dll); biaya pemulihan fungsi tungkai kanan tersebut yang masih
akan dibutuhkan (fisioterapi, kaki palsu, dll); kerugian akibat kehilangan penghasilan selama ia
tidak bisa bekerja; kerugian sebagai akibat dari kehilangan kapasitas bekerja apabila pekerjaan
semula atau profesinya secara umum membutuhkan adanya tungkai kanan, serta kerugian
immateriel sebagai akibat dari sakit dan penderitaannya.
Undang-undang hanya memberi rambu-rambu sebagaimana diuraikan dalam pasal 1370 dan
1371 KUH Perdata, yaitu harus mempertimbangkan kedudukan, kemampuan dan keadaan kedua
belah pihak. Penggugat tentu saja akan memperhitungkan kerugian tersebut berdasarkan
kedudukan, kemampuan dan keadaan sosial-ekonomi penggugat; yang tentu saja belum tentu
sesuai dengan pihak tergugat (dokter). Dalam hal ini tentu akan terjadi semacam tawar-menawar
tentang besarnya ganti rugi. Apabila perkara ini diajukan ke pengadilan perdata, maka hakim
pada akhirnya akan mengambil keputusan jumlah ganti rugi tersebut, dengan
mempertimbangkan kemampuan dan keadaan kedua pihak.6

19
Rekam Medis

Isu Etik

Isu etik dalam informasi kesehatan umumnya berhubungan dengan dokumentasi,


pemberian kode (coding), pengungkapan informasi, manajemen mutu kesehatan masyarakat dan
managed care, informasi kesehatan yang sensitif dan teknologi.1

Secara etik dilarang melakukan pencatatan mundur dan pengubahan catatan dalam rekam
medis agar disesuaikan dengan hasil layanan yang terjadi,

Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi, terdapat 3 masalah etik, yaitu : 1

1. Pelanggaran prinsip kebutuhan tahu (need to know principle)

2. Penyalahgunaan surat persetujuan atau otorisasi yang tidak tertentu (blanket authorization)

3. Pelanggaran privasi yang terjadi sebagai akibat dari prosedur pengungkapan sekunder
(secondary release)

Secara tradisional, standar pengungkapan informasi adalah kebutuhan tahu.

Isu Hukum

Setidaknya terdapat 3 isu hukum utama yang berkaitan dengan rekam medis, yaitu (1)
Komplikasi, Pemeliharaan dan retensi Rekam Medis / Rekam Kesehatan, (2) Penggunaan dan
pengungkapan informasi kesehatan, dan (3) Penggunaan catatan pasien dan informasi kesehatan
dalam proses peradilan. Selain itu juga terdapat isu hukum di bidang kepemilikan, perlindungan
dan komputerisasi. 1

Komplikasi dan pemeliharaan informasi kesehatan harus dilakukan dengan benar dan
sesuai dengan standar, etika dan hukum. Undang-undang dan Permenkes telah mengatur
kewajiban dan pokok-pokok pembuatan rekam medis, selanjutnya pedoman dan standar profesi
mengatur rincian pelaksanaannya. Tidak mentaati standar dan hukum, diatas akan
mengakibatkan diperolehnya sanksi tertentu, seperti dicabutnya izin atau akreditasi, denda atau

20
bahkan hukuman penjara. Sebagai contoh, dokter yang tidak membuat rekam medis dapat
diancam pidana penjara satu tahun (UU Praktik Kedokteran) 1

Setiap rumah sakit sebaiknya memiliki kebijakan yang memastikan keseragaman isi
maupun bentuk dari rekam medis berdasarkan standar akreditasi yang dipakai, kebutuhan si
pembayar, dan standar profesi. Berikut adalah acuan secara umum untuk menentukan bentuk da
nisi rekam kesehatan. 1

Perlindungan privasi, kerahasiaan, dan keamanan.

Penggunaan kata privasi, kerahasiaan, dan keamanan seringkali tertukar. Akan tetapi
terdapat beberapa perbedaan yang penting, diantaranya: 1

- Privasi adalah Hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk bebas dari campur
tangan atau observasi terhadap hal hal pribadi seseorang serta hak untuk mengontrol
informasi informasi pribadi tertentu dan informasi kesehatan.
- Kerahasiaan merupakan pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu.
Dalam hal ini mencakup tanggungjawab untuk menggunakan, mengungkapkan atau
mengeluarkan informasi hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu. Informasi
yang bersifat rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal.
- Keamanan meliputi perlindungan fisik dan elektronik untuk informasi berbasis
computer secara utuh, sehingga menjamin ketersediaan dan kerahasiaan. Termasuk
kedalamnya adalah sumber-sumber yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan,
mengatur, mengolah dan menyampaikan, alat-alat untuk mengatur akses dan
melindungi informasi dari pengungkapan yang tidak disengaja maupun yang
disengaja.

Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran pasal 47 ayat (2) yang
menyatakan bahwa rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau
dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan Hal yang sama dikemukakan dalam pasal 11
Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Selanjutnya, pasal 1 PP yang sama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia
kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang dalam pasal 3 pada waktu
atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.

21
Penggunaan informasi Kesehatan untuk kepentingan peradilan

Sebagaimana disebutkan, UU Praktik Kedokteran memberikan peluang untuk


mengungkapakan informasi kesehatan untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum
dalam rangka penegakan huku,. Dlam hal ini perlu digarisbawahi kata-kata dalam rangka
penegakan hukum yang berarti bahwa permintaan akan informasi kesehatan tersebut haruslah
diajukan mengikuti aturan yuridis-formiel. 1

Kesimpulan

Dokter harus mempunyai hak untuk mengetahui informasi yang jujur dan seimbang.
Sebagai dokter yang merawat anak pada saat ini, dokter A harus merawat dan memberi
pengobatan anak tersebut dengan baik. Dokter A perlu juga menasehatkan orang tua pasien untu
menanyakan pada dokter yang bersangkutan , atau melaporkan pada Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia , bahkan pada polisi bila tidak ada solusi . Dokter secara etik
wajib menegur sejawatnya bila dinilainya berbuat kesalahan, dan memperlakukan sejawatnya
seperti ia ingin perlakukan , bukan untuk menutup kesalahannya.

Daftar Pustaka

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta: Pustaka
Dwipar; 2005
2. Kode Etik Kedokteran. 2009. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/652/1/Kode%20Etik%20Kedokteran.pdf,
pada 12 Januari 2017.
3. Guwandi,J.Dugaan Malpraktek Medik dan Draft RPP : Perjanjian Terapetik antara
Dokter dan Pasien.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006
4. Sampurna Budi.Kelalaian Medik. [online] 2007 [cited July 8 2008] Available
from: http://www.freewebs.com/kelalaianmedik/un

22
5. Anonymous. Medical negligence. [online] 2007 [cited July 8 2008] Available from:
[URL]:http://www.mauriceblackburn.com.au/areas/medical/index.asp
6. Anonymous. Medical negligence and the law. [online] 2004 [cited July 8 2008] Available
from: http:/www.issuesinmedicalethics.org/153oa116.html

23

Anda mungkin juga menyukai