Anda di halaman 1dari 36

SKENARIO BERSIN DI PAGI HARI

KELOMPOK : B-08

KETUA : Muhammad Ezar Beunghar (1102014161)

SEKERTARIS : Nisa Austriana N. (1102015167)

ANGGOTA : Miftahuddin Alif Sugeng (1102013168)

Zenna Al Kautsar (1102014293)

Narumi Anastasya Kakiuchi (1102015159)

Natasha Mita Dwidita (1102015160)

Nur Hanief Kamal (1102015171)

Salma Nara Fadhilla (1102015212)

Siti Jarofiyah (1102015225)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2017
I. SKENARIO 1

BERSIN DI PAGI HARI

Seorang laki-laki, umur 20 tahun, selalu bersi-bersin di pagi hari, keluar ingus
encer, gatal di hidung dan mata. Keluhan juga timbul bila udara berdebu. Keluhan ini
sudah dialami sejak kecil. Dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa,
kecuali penyakit asma pada ayah pasien.
Pada pemeriksaan fisik terlihat secret bening keluar dari nares anterior,
choncha nasalis inferior oedem, mukosa pucat. Dokter menyarankan melakukan
pemeriksaan penunjang yaitu: Hitung eosinofil dalam darah tepi dan secret hidung.
Pemriksaan IgE total serum dan pemeriksaan feses untuk mendeteksi kecacingan.
Diagnosa kerja adalah Rhinitis alergi.
Pasien rajin sholat tahajud, sehingga dia bertanya adakah hubungan
memasukka air wudhu ke dalam hidung di malam hari dengan keluhannya ini? Pasien
menanyakan ke dokter mengapa bisa terjadi demikian, dan apakah berbahaya apabila
menderita keluhan seperti ini dalam jangka waktu yang lama.
II. BRAINSTORMING

Kata Sulit
1. Bersin
Keluarnya udara semi otonom yang terjadi dengan keras lewat hidung.
2. Asma
Serangan berulang dispnea paroksimal disertai peradangan jalur napas dan
mengi akibat kontraksi spasmodik bronkus.
3. Ingus
Lendir yang dikeluarkan oleh kelenjar hidung yang terdiri dari air, antibodi
dan protein yang berfungsi untuk membantu menjaga saluran hidung tetap
lembab serta mencegah masuknya debu atau benda asing dari udara luar.

III. Pertanyaan
1. Mengapa bersin hanya di pagi hari?
2. Mengapa timbul gatal pada hidung dan mata?
3. Saluran pernapasan apa saja yang terganggu pada kasus ini?
4. Bagaimana hubungan penyakit pasien dengan penyakit asma ayahnya?
5. Apa penyebab utama penyakit pada skenario?
6. Pemeriksaan apa yang dapat dilakukan?
7. Apa saja gejala yang ditimbulkan penyakit tersebut?
8. Bagaimana penanganan kasus tersebut?
9. Bagaimana adab bersin?

IV. Jawaban
1. Karna adanya allergen serta suhu dan udaranya.
2. Karena adanya histamine dan kemudian akan ditang oleh reseptor H1 pada
ujung saraf vidianus.
3. Hidung, nasopharynx, oropharynx, larynx.
4. Menunjukkan penderita alergi. Dan alergi dapat diturunkan pada anaknya.
5. Sistem kekebalan tubuh menganggap alergen sebuah substansi berbahaya,
kemudian melepas histamine dalam darah. Reaksi inilah yang memicu
pembengkakan dan iritasi pada hidung serta produksi cairan hidung
berlebihan.
6. Pemeriksaan darah lengkap (seperti hitung eosinofil dan pemeriksaan IgE),
pemeriksaan rhinoscopy anterior, pemeriksaan feses dan skin prick test.
7. Tanda di mata, otitis media, Allergic Shinner, nasal crease.
8. Pemberian antihistamin, kosrtikosteroid, dan menjauhi faktor penyebab.
9. Menutup hidung dan mulut, saat bersin, mengucap hamdalah.
Hipotesis

Rhinitis alergi disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang menganggap


alergen sebuah substansi berbahaya dan akibat adanya pengaruh faktor genetik.
Rhinitis alergi menyerang saluran pernapasan atas antara lain, hidung,
nasopharynx, oropharynx, dan larynx. Gejala yang ditimbulkan seperti tanda di
mata, otitis media, Allergic Shinner, nasal crease, bersin di pagi hari, dan timbul
rasa gatal pada hidung dan mata. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan darah lengkap (seperti hitung eosinofil dan pemeriksaan IgE),
pemeriksaan rhinoscopy anterior, pemeriksaan feses dan skin prick test.
Penanganan yang dapat diberikan adalah dengan pemberian antihistamin,
kosrtikosteroid, dan menjauhi faktor penyebab. Menurut pandangan Islam
terdapat adab bersin yaitu menutup hidung dan mulut, saat bersin, serta mengucap
hamdalah.
SASARAN BELAJAR

LI.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Pernapasan Atas


LO.1.1. Anatomi Makroskopis Saluran Pernapasan Atas
LO.1.2. Anatomi Mikroskopis Saluran Pernapasan Atas

LI.2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Pernapasan


LO.2.1. Mekanisme Pernapasan
LO.2.2. Mekanisme Pertahanan Saluran Pernapasan Atas

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Rhinitis Alergi


LO.3.1. Definisi Rhinitis Alergi
LO.3.2. Etiologi Rhinitis Alergi
LO.3.3. Klasifikasi Rhinitis Alergi
LO.3.4. Patofisiologi Rhinitis Alergi
LO.3.5. Manifestasi Klinik Rhinitis Alergi
LO.3.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Rhinitis Alergi
LO.3.7. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi
LO.3.8. Komplikasi Rhinitis Alergi
LO.3.9. Pencegahan Rhinitis Alergi
LO.3.10. Prognosis Rhinitis Alergi

LI.4. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Mengenai Adab Bersin


LI.1. Memahami dan menjelaskan Anatomi Saluran Pernapasan Atas
LO.1.1. Makroskopik
Saluran pernafasan dibagi atas:
1. Saluran nafas bagian atas
(Upper Respiratory Tract)
Berdasarkan anatomi saluran
pernafasan atas terdiri dari mulai
nares anterior hidung sampai
cartilago cricoid larynx.
Pada waktu inpirasi udara
masuk hidung melalui dua
lubang hidung kanan dan kiri
atau nares anterior/aperture
nasalis anterior/nostrils,
kemudian melewati vestibulum
nasi yang terdapat rambut-
rambut yang berfungsi untuk Gambar 1. Saluran Pernapasan Atas
menyaring udara yang masuk ke dan Bawah
cavum nasi. Udara dari cavum
nasi masuk ke dalam pharynx melalui nares posterior/aperture nasalis
posterior/choanae melewati nasopharynx terus oropharynx dan
laryngopharynx. Selanjutnya ada epiglottis yang berfungsi membuka
aditus laryngis (pintu larynx) sehungga udara bisa masuk ke dalam
larynx.
2. Saluran nafas bagian bawas (Lower Respiratory Tract)
Yaitu mulai dari bawah cartilago cricoidea (trachea), bronchus dan
cabang-cabangnya sampai alveoli pulmonis.
Udara masuk ke saluran nafas bagian bawah mulai dari bawah
cartilago cricoidea terus ke trachea bercabang dua (bifurcatio
trachealis) menjadi bronchus principales/bronchus primer dexter dan
sinister masuk ke bronchus sekunder/bronchus lobaris terus ke
bronchus segmentalis/bronchus tersier, kemudian ke bronchus
terminalis masuk ke organ paru melalui bronchioli respiratorii ke
ductuli alveolares ke sacculi alveolares dan berakhir di alveoli
pulmonalis dimana terjadi diffuse pertukaran O2 dan CO2. Peristiwa ini
disebut Arbor bronchialis.
Anatomi saluran pernapasan bagian atas terbagi atas:
1.1.1. Hidung
Organ hidung merupakan organ pertama yang berfungsi sebagai
saluran nafas. Terdiri dari:
a. Nasus externus (Rangka hidung),
bagian luar yang dibentuk oleh
tulang-tulang:
i. Radix nasi (nasalis)
ii. Dorsum nasi
iii. Apex nasi
iv. Ala nasi
v. Cartilaginis nasi (nasales), terdiri dari:
1. Cartilago alaris major
2. Cartilago alaris minor
3. Cartilago septum nasi
b. Cavitas nasi (nasalis) :
Terdapat vestibulum nasi yang terdapat cilia kasar yang berfungsi
sebagai saringan udara. Bagian dalam rongga hidung ada terbentuk
terowongan yang disebut cavum nasi mulai dari nares anterior sampai
ke nares posterior lalu ke nasofaring.
Sekat antara kedua rongga hidung dibatasi dinding yang berasal
dari tulang dan mucus yaitu septum nasi yang dibentuk oleh:
a. Cartilago septi naso
b. Os vomer
c. Lamina perpendicularis os ethmoidalis
Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina
cribroformis ethmoidalis yang memisahkan rongga tengkorak dengan
rongga hidung. Dinding inferior dibentuk os maxilla dan os palatinum.
Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan
posterior. Pada anterior, di cavum nasi di sisi lateral terdapat concha
nasalis yang terbentuk dari tulang tipis dan ditutupi mukosa yang
mengeluarkan lendir dan di medial terlihat dinding septum nasi. Pada
posterior, dapat terlihat nasofaring, choanae, bagian ujung belakang
conchae nasalis media dan inferior, juga terlihat OPTA yang
berhubungan dengan telinga. Udara yang dihirup melalui hidung akan
mengalami tiga hal yaitu dihangatkan, disaring, dan dilembabkan.
Ketiga hal di atas merupakan fungsi utama dari selaput lendir
respirasi, yang terdiri atas Psedostrafied Ciliated Columnar Epitelium
yang berfungsi menggerakkan partikel-partikel halus ke arah faring
sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel
golbet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang
masuk, pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara. Ketiga
hal tersebut dibantu dengan concha.
Terdapat 3 buah concha nasalis, yaitu :
a. Concha nasalis superior
b. Concha nasalis inferior
c. Concha nasalis media
Di antara concha nasalis superior dan media terdapat meatus
nasalis superior. Antara concha media dan inferior terdapat meatus
nasalis media. Antara concha nasalis inferior dan dinding atas maxilla
terdapat meatus nasalis inferior. Sinus-sinus yang berhubungan dengan
cavum nasi disebut sinus paranasalis :
a. Sinus sphenoidalis mengeluarkan sekresinya melalui meatus
superior
b. Sinus frontalis ke meatus media
c. Sinus maxillaris ke meatus media
d. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media.

Gambar 2. Penampang lateral dari cavitas nasalis (Hansen, 2010)

Di sudut mata terdapat hubungan antara hidung dan mata melalui


ductus nasolacrimalis tempat keluarnya air mata ke hidung melalui
meatus inferior. Di nasofaring terdapat hubungan antara hidung dan
rongga telinga melalui OPTA (Osteum Pharyngeum Tuba Auditiva)
eustachii. Alurnya bernama torus tobarius.
Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung:
1. Depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari
cabang nervus opthalmicus.
2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi
ganglion sfenopalatinum.
3. Nasofaring dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik dari
cabang ganglion pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman.
Proses penciuman : pusat penciuman pada gyrus frontalis, menembus
lamina cribrosa ethmoidalis ke traktus olfactorius, bulbus olfactorius,
serabut n. olfactorius pada mucusa atas depan cavum nasi.
Vaskularisasi hidung berasal dari cabang arteria carotis interna dan
arteria carotis externa. Arteri carotis interna mempercabangkan arteri
opthalmica, yang selanjutnya mempercabangkan lagi:
1. Arteri ethmoidalis dengan cabang-cabang : arteri nasalis externa
dan lateralis, arteri septalis anterior
2. Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang-cabang : arteri nasalis
posterior, lateralis dan septal, arteri palatinus majus
3. Arteri sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna.
Ketiga pembuluh tersebut membentuk anyaman kapiler
pembuluh darah yang dinamakan Plexus Kisselbach. Plexus ini mudah
pecah oleh trauma/infeksi sehingga sering menjadi sumber epistaxis
pada anak. Bila Plexus Kisselbach pecah, maka akan terjadi epistaxis.
Epistaksis ada 2 macam, yaitu :
a. Epistaksis anterior
Dapat berasal dari flexus Kisselbach, yang merupakan sumber
perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal
dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri
atau spontan dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
b. Epistaksis posterior
Berasal dari arteri sphenopalatina, dan a.ethmoidalis posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri,
sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemia, dan syok.
Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.
1.1.2. Faring
Pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan
Krikoid. Maka letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal). Faring
terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Nasofaring terdapat Pharyngeal
Tonsil dan Tuba Eustachius,
b. Orofaring merupakan pertemuan
rongga mulut dengan faring,
terdapat pangkal lidah, gabungan
sistem respirasi dan pencernaan
c. Laringofaring terjadi persilangan
antara aliran udara dan aliran
makanan. Gambar 3. Daerah faring
(Hansen,2010)
1.1.3. Laring

Gambar 4.
Bagian-bagian
laring dilihat
secara anterior
dan posterior.

Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah


cartilago cricoid. Rangka laring terbentuk dari tulang rawan dan
tulang. Laring adalah bagian terbawah dari saluran napas atas.
1. Berbentuk tulang adalah os hyoid
2. Berbentuk tulang rawan adalah : tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah,
epiglotis 1 buah. Pada arytenoid bagian ujung ada tulang rawan
kecil cartilago cornuculata dan cuneiforme.
3. Tulang rawan dan ototnya berasal dari mesenkim lengkung faring
ke 4 dan ke 6. Mesenkin berproliferasi dengan cepat, aditus
laringis berubah bentuk dari celah sagital menjadi lubang bentuk T.
mesenkin kedua lengkung faring menjadi kartilago tiroidea,
krikoidea serta antenoidea. Epitel laring berproliferasi dengan
cepat. Vakuolisasi dan rekanalisasi terbentuk sepasang resesus
lateral, berdiferensiasi menjadi pita suara palsu dan sejati.
Rangka larynx terbentuk oleh: tulang dan tulang rawan yang
dihubungkan oleh membrane dan ligamentum serta digerakkan oleh
otot-otot larynx. Larynx dibentuk oleh:
a. Os hyoid
Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi
untuk perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid.
b. Cartilago thyroid
Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang
disebut prominess laryngis atau lebih disebut jakun pada laki-laki.
Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid. Mempunyai cornu
superior dan inferior. Pendarahan dari a. Thyroidea superior dan
inferior.
c. Cartilago cricoid
Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan
dengan thyroid dengan ligamentum cricothyroid dan
m.cricothyroid medial lateral.
d. Cartilago arytenoid
Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago
corniculata dan cuneiforme. Kedua arytenoid dihubungkan
m.arytenoideus transversus.
e. Epiglotis
Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago
arytenoid. Berfungsi untuk membuka dan menutup aditus laryngis.
Saat menelan epiglotis menutup aditus laryngis supaya makanan
tidak masuk ke laring.
Otot-otot laring :
a. Otot extrinsik laring yaitu: M.cricothyroid dan M. thyroepigloticus
b. Otot intrinsik laring yaitu:
1. M.cricoarytenoid posterior yang membuka plica vocalis. Jika
terdapat gangguan pada otot ini maka bisa menyebabkan orang
tercekik dan meninggal karena rima glottidis tertutup. Otot ini
disebut juga safety muscle of larynx.
2. M. cricoarytenoid lateralis yang menutup plica vocalis dan
menutup rima glottdis.
3. M. arytenoid transversus dan obliq.
4. M.vocalis.
5. M. Aryepiglotica.
6. M. Thyroarytenoid.
Dalam cavum laryngis terdapat: Plica vocalis, yaitu pita suara asli
sedangkan plica vestibularis adalah pita suara palsu. Antara plica
vocalis kiri dan kanan terdapat rima glottidis sedangkan antara plica
vestibularis terdapat rima vestibuli. Persyarafan daerah laring adalah
serabut nervus vagus dengan cabang ke laring sebagai n.laryngis
superior dan n. recurrent.
LO.1.2. Mikroskopis
Sistem pernapasan bisaanya dibagi menjadi 2 daerah utama:
a. Bagian konduksi: meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea,
bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis
b. Bagian respirasi: meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris
dan alveolus.
1.2.1. Bagian Konduksi
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu
epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet. Dengan
menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada 5 macam sel epitel
respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush
cells), sel basal, dan sel granul kecil.
a. Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada
vestibulum di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu
hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel respirasi
sebelum memasuki fosa nasalis.
Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi
pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada
masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi
oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel
olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel
olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel
olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan
epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki
akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal
(berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria.
Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel
olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-
zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga
hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan,
pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.

Gambar 5 Sel epitel pada ronnga hidung.


Gambar 6 Sel epitel olfaktori,khas pada chonca nasalis superior

Silia berfungsi untuk mendorong lendir ke arah nasofaring untuk


tertelan atau dikeluarkan (batuk) .Sel goblet dan kelenjar campur di
lamina propria mnghasilkan sekret, untuk menjaga kelembaban hidung
dan menangkap partikel debu halus . Di bawah epitel chonca inferior
terdapat swell bodies, merupakan fleksus vonosus untuk
menghangatkan udara inspirasi.
b. Sinus paranasalis
Terdiri atas sinus frontalis, sinus maxillaris, sinus ethmoidales dan
sinus sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga
hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih
tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria
yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang
menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke
rongga hidung.
c. Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang
berkontak dengan palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel
tipe skuamosa/gepeng.
Terdiri dari :
a. Nasofaring (epitel bertingkat torak bersilia, dengan sel goblet)
b. Orofaring (epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk)
c. Laringofaring (epitel bervariasi)
d. Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan
trakea. Pada lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan
elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya
makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis
merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki
permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis
ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal
ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah
epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang
meluas ke dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita
suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan
kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati
yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat
elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis
akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda-
beda.
e. Epiglottis
Memiliki permukaan lingual dan laryngeal. Seluruh permukaan
laringeal ditutupi oleh epitel berlapis gepeng, mendekati basis
epiglottis pada sisi laringeal, epitel ini mengalami peralihan menjadi
epitel bertingkat silindris bersilia

Gambar 7 Sel epitel pada epiglottis


f. Trakea
Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar
serosa pada lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal
kuda), yang mana ujung bebasnya berada di bagian posterior trakea.
Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel kelenjar
membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk
mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi
untuk menjaga lumen trakea tetap terbuka.
Pada ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan hialin yang
berbentuk tapal kuda tersebut terdapat ligamentum fibroelastis dan
berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan lumen dan
mencegah distensi berlebihan.

Gambar 8 Trakea potongan melintang ( Cui,2011)


g. Bronchus
Bronchus estrapulmonal sangat mirip dengan trachea, hanya
diameternya lebih kecil. Gambaran bronchus intrapulmonal berbeda
kerana tidak terdapat rangka tulang rawan yang berbentuk huruf C,
melainkan berupa lempeng tulang rawan hialin yang bentuknya tidak
beraturan melingkari lumen. Pada potongan melintang rangka ini akan
terlihat seperti potongan-potongan tulang rawan pada dinding
bronchus. Mucosa tidak rata, terdapat lipatan-lipatan longitudinal
karena kontraksi otot polos. Mucosa dilapisi oleh epitel bertingkat
torak dengan silia dan sel goblet. Pada lamina propria terdapat berkas-
berkas otot polos. Di
bawah lapisan otot
polos ini terdapat
kelenjar campur. Pada
dinding bronchus
yang terkecil kerangka
tulang rawannya
sedikit dan tidak lagi
membentuk lingkaran
penuh mengelilingi
lumen.
h. Bronchiolus
Dinding bronchiolus tidak lagi mempunyai kerangka tulang rawan
dan pada lamina propria tidak lagi terdapat kelenjar. Lamina propria
terutama diisi oleh serat otot polos dan serat elastin. Pada bronchiolus
besar, mucosa dilapisi oleh epitel bertingkat torak dengan silia dan sel
goblet. Makin keujung, sel bersilia semakin jarang, sejalan dengan itu
sel goblet pun menghilang. Sel epitel semakin rendah. Pada
bronchiolus kecil, mucosa dilapisi oleh sel-sel kuboid atau torak
rendah, terdapat sel tanpa silia, tidak terdapat sel goblet. Diantara sel
epitel terdapat sel torak tidak bersilia, berbentuk kubah yang disebut
sel Clara.
i. Bronchiolus terminalis
Pendek, sehingga hanya dapat dikenali pada potongan melintang
ditempat percabangannya menjadi bronchiolus respiratorius. Mucosa
dilapisi oleh selapis sel kuboid, pada dinding tidak terdapat alveolus.
Pada lamina propria dapat dilihat serat-serat otot polos.
1.2.2. Bagian Respirasi
Gambar 9.
Bronchiolus
terminalis,
Bronchiolus
respiratorius, dan
alveoli.

a. Bronchiolus respiratorius
Epitel terdiri dari sel torak rendah atau kuboid. Epitel terputus-
putus, karena pada dinding terdapat alveolus. Sel epitel bersilia
kadang-kadang masih ada, yang akan menghilang semakin keujung
saluran. Tidak terdapat sel goblet. Pada lamina propria dapat terlihat
serat otot polos, kolagen, dan elastin.
b. Ductus alveolaris
Cabang dari bronchiolus respiratorius, berupa saluran dengan
dinding terdiri dari alveolus. Pada setiap pintu ke alveolus terdapat sel-
sel epitel berbentuk gepeng. Didalam lamina propria masih dapat
terlihat serat-serat otot polos, biasanya dipotong melintang.
c. Atria, saccus alveolaris, dan alveoli
Ductus alveolaris bermuara ke atria, berupa ruang tidak beraturan
yang berhubungan dengan aveolus dan saccus alveolaris. Dari tiap
atria muncul dua atau lebih saccus alveolaris. Dari saccus alveolaris
terbuka pintu yang menuju ke setiap alveolus. Alveolus berupa
kantong silapisi epitel selapis gepeng yang sangat tipis. Pada septum
inter alveolare terdapat serat reticular dan serat elastin. Disini terlihat 3
macam sel, yaitu sel gepeng pada permukaan disebut pneumosit tipe I,
sel alveolar besar, atau sel septal (pneumosit tipe II) berbentuk kuboid
menonjol ke dalam ruang alveolus. Selain kedua sel tersebut terdapat
sel endothelial kapiler.

LI.2. Memahami dan menjelaskan fisiologi pernapasan


LO.2.1. Mekanisme pernapasan
Fungsi utama respirasi adalah memperoleh O2 untuk digunakan oleh
sel tubuh dan mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh sel. Respirasi selain
mempunyai fungsi utama tersebut, juga memiliki fungsi non respiratorik,
sebagai berikut:
1. Sistem respirasi merupakan rute untuk mengeluarkan air dan
mengeliminasi panas.
2. Sistem respirasi meningkatkan aliran balik vena.
3. Sistem respirasi membantu mempertahankan kesimbangan asam-basa
normal dengan mengubah jumlah CO2 penghasil H+ yang dikeluakan.
4. Sistem respirasi memungkinkan kita untuk berbicara, bernyanyi, dan
vokalisasi lain.
5. Sistem respirasi merupakan sistem pertahanan terhadap benda asing
yang terhirup.
6. Sistem respirasi mengeluarkan, memodifikasi, mengaktifkan, atau
menginaktifkan berbagai bahan yang mengalir melewati sirkulasi paru.
7. Hidung, bagian dari sistem respirasi, berfungsi sebagai organ
penciuman.
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, respirasi terbagi dua, yaitu
respirasi internal dan respirasi eksternal.
a. Respirasi internal atau seluler, merujuk pada proses-proses metabolik
intrasel yang dilaksanakan di dalam mitokondria, yang menggunakan
O2 dan menghasilkan CO2 selagi mengambil energi dari molekul
nutrien.
b. Respirasi eksternal, merujuk ke seluruh rangkaian kejadian dalam
pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel
tubuh.Respirasi eksternal, yaitu dalam hal ini mencangkup empat
langkah :
1. Udara secara bergantian dimasukan ke dalam dan dikeluarkan dari
paru sehingga udara dapat dipertukarkan antara atmosfer
(lingkungan eksternal) dan kantung udara (alveolus) paru.
Pertukaran ini dilaksanakan oleh tindakan mekanis bernafas atau
ventilasi.
2. O2 dan CO2 dipertukarkan antara udara di alveolus dan darah di
dalam kapiler pulmonal melalui proses difusi.
3. Darah mengangkut O2 dan CO2 antara paru dan jaringan.
4. O2 dan CO2 dipertukarkan antara sel jaringan dan darah melalui
proses difusi menembus kapiler sistemik (jaringan).
Pada mekanisme pernafasan, udara mengalir masuk dan keluar paru
selama tindakan bernafas karena berpindah mengikuti gradient tekanan
antara alveolus dan atmosfer yang berbalik arah secara bergantian yang
ditimbulkan oleh aktivitas siklik otot pernafasan. Terdapat tiga tekanan
yang berbeda:
1. Tekanan atmosfer (barometrik) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh
berat udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi. Pada
ketinggian permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760 mmHg.
Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian
diatas permukaan laut karena lapisan-lapisan udara diatas permukaan
bumi juga semakin menipis. Pada setiap ketinggian terjadi perubahan
kecil tekanan atmosfer karena perubahan kondisi cuaca (yaitu, tekanan
barometric naik atau turun).
2. Tekanan intra-alveolus atau tekanan intrapulmonal, adalah tekanan di
dalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer
melalui saluran nafas penghantar, udara cepat mengalir menuruni
gradien tekanannya setiap kali tekanan intra-alveolus berbeda dari
tekanan atmosfer; udara terus mengalir hingga kedua tekanan
seimbang.
3. Tekanan intrapleura atau tekanan intrathoraks adalah tekanan di dalam
kantung pleura. Tekanan yang ditimbulkan di luar paru di dalam
rongga thoraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih rendah dari
tekanan atmosfer, rerata 756 mmHg saat istirahat. Seperti tekanan
darah yang dicatat dengan menggunakan tekanan atmosfer sebagai titik
referensi (yaitu, tekanan darah sistolik 120 mmHg adalah 120 mmHg
lebih besar daripada tekanan atmosfer 760 mmHg atau, dalam
kenyataan, 880 mmHg).
Karena udara mengalir mengikuti penurunan gradient tekanan, tekanan
intra-alveolus harus lebih kecil daripada tekanan atmosfer agar udara
mengalir masuk ke dalam paru sewatu inspirasi (menarik napas) dan harus
lebih besar daripada tekanan atmosfer agar udara mengalir keluar paru
sewaktu ekspirasi (menghembuskan napas).
Otot-otot pernapasan yang melakukan gerakan bernapas tidak bekerja
secaralangsung pada paru untuk mengubah volumenya. Otot-otot ini
bekerja dengan mengubah volume rongga toraks, menyebabkan perubahan
serupa pada volume paru karena dinding toraks dan dinding paru
berhubungan melalui daya rekat cairan intrapleura dan gradien tekanan
transmural.
Pusat pernapasan berada di sebelah bilateral medula oblongata dan
pons. Daerah ini dibagi menjadi 3 kelompok neuron utama :
a. Kelompok pernapasan dorsal, di bagian dorsal medula yang terutama
menyebabkan inspirasi,
b. Kelompok pernapasan ventral, terletak di ventromedial medula,
c. Pusat pneumotaksik, di seblah dorsal bagian superior pons, yang
membantu mengatur kecepatan dan pola bernapas.
2.1.1. Awitan inspirasi: Kontraksi otot-otot inspirasi
Otot-otot insirasi utama otot yang berkontraksi untuk melakukan
inspirasi sewaktu bernapas tenang, mencakup diafragma dan otot
interkostalis eksternal. Sebelum melakukan inspirasi semua otot-otot
respirasi dalam keadaan relaksasi.
Otot inspirasi utama adalah otot diafragma, yang dipersarafi oleh
saraf frenikus. Ketika berkontraksi (pada stimulasi saraf frenikus).
Diafragma turun dan memperbesar volum rongga toraks dengan
meningkatkan ukuran vertical (atas ke bawah). Selama pernapasan
tenang, diafragma menurun sekitar 1 cm selama inspirasi. Dinding
abdomen, jika melemas, menonjol keluar sewaktu inspirasi karena
diafragma yang turun menekan ini abdomen ke bawah dan depan.
Tujuh puluh persen pembesaran rongga tiraks sewaktu inspirasi tenang
dilakukan oleh kontraksi diafragma.
Otot interkostalis eksternal terletak diatas otot interkostalis
internal. Kontraksi otot interkostalis eksternal, yang serat-seratnya
berjalan ke bawah dan depan antara du iga yang berdekatan,
memperbesar rongga toraks dalam dimensi lateral (sisi ke sisi) dan
anteroposterior (depan ke belakang). Ketika berkontraksi, otot
interkostalis eksternal mengangkat iga dan selanjutnya sternum ke atas
dan depan. Saraf interkostalis mengaktifkan otot-otot interkostalis ini
selama inspirasi.
Sebelum inspirasi, ada akhir ekspirasi sebelumnya, tekanan intra-
alveolus sama dengan tekanan atmosfer, sehingga tidak ada udara
mengalir masuk maupun keluar paru. Sewaktu rongga toraks
membesar selama inspirasi akibat kontraksi diafragma, paru juga
dipaksa mengembang untuk mengisi rongga toraksyang lebih bear.
Sewaktu paru membesar, tekanan intra-alveolus menurun karena
jumlah molekul udara yang sama kini menempati volume paru yang
lebih besar. Pada gerakan inspirasi biasa, tekanan intra-alveolus turun
1 mmHg menjadi 759 mmHg. Karena tekanan intra-alveolus sekarang
lebih redah daripada tekanan atmosfer, udara mengalir ke dalam paru.
Udara terus masuk hingga tidak ada lagi gradient yaitu hingga
tekanan intra-alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Karena itu
udara mengalir masuk ke dalam paru karena penurunan tekanan intra-
alveolus yang disebabkan oleh ekspansi paru.
Sewaktu inspirasi, tekanan intrapleura turun menjadi 754 mmHg
karena paru yang sangat teregang cenderung menarik paru lebih jauh
lagi dari dinding dada.
2.1.2. Inspirasi dalam : peran otot inspirasi tambahan
Inspirasi dalam (lebih banyak udara yang dihirup) dapat dilakukan
dengan kontraksi yang lebih kuat oleh otot interkostalis eksternal dan
otot diafragma, dibantu dengan aktivasi otot inspirasi tambahan untuk
memperbesar rongga toraks. Kontraksi otot-otot tambahan ini, yang
terletak dileher, mengangkat ternum dan dua iga pertama,
memperbesar bagian atas rongga toraks. Dengan semakin besarnya
volume dibandingkan dengan keadaan istirahat, paru juga semakin
mengembang, menyebabkan tekanan intra-alveolus semakin menurun.
Akibatnya terjadi peningkatan aliran masuk udara sebelum tercapai
keseimbangan dengan tekanan atmosfer; yaitu tercapainya pernapasan
lebih dalam.
2.1.3. Awitan Ekspirasi : Relaksasi Otot-Otot Inspirasi
Pada akhir inspirasi, otot inspirasi melemas. Diafragma mengambil
posisi aslinya. Ketika otot interkostalis eksternal relaksasi, iga kembali
turun karena gaya gravitasi. Tanpa gaya-gaya yang menyebabkan
ekspansi dinding dada dan paru, dinding dada dan paru mengalami
recoil ke ukuran prainspirasinya karena sifat elastic mereka. Tekanan
intra-alveolus meningkat karena jumlah molekul udara yang lebih
banyak yang semula terkandung di dalam volume paru yang besar
pada akhir inspirasi kini termampatkan dalam volume yang lebih kecil.
Pada ekspirasi biasa, tekanan intra-alveolus meningkat sekitar 1 mmHg
diatas tekanan atmosfer menjadi 761 mmHg dan meninggalkan paru
menuruni gradient tekanannya. Aliran keluar udara berhenti ketika
tekanan intra-alveolus menjadi sama dengan tekanan atmosfer dan
gradient tidak ada lagi.
2.1.4. Ekspirasi Paksa: Kontraksi Otot Respirasi
Ekspirasi dapat menjadi aktif untuk mengosongkan paru secara
lebih tuntas dan lebih cepat daripada yang dicapai selama pernapasan
tenang, misalnya sewaktu pernapasan dalam ketika berolahraga. Untuk
mengeluarkan lebih banyak udara, tekanan intra-alveolus harus lebih
ditingkatkan di atas tekanan atmosfer daripada yang dicapai oleh
relaksasi biasa otot inspirasi dan recoil elastic paru. Untuk
menghasilkan ekspirasi paksa atau aktif, otot-otot ekspirasi harus lebih
berkontraksi untuk mengurangi volume rongga toraks dan paru. Otot
ekspirasi paling penting adalah otot dinding abdomen. Sewaktu otot
dinding abdomen berkontraksi terjadi peningkatan tekanan intra-
abdomen yang menimbulkan gaya ke atas ke dalam rongga toraks
daripada posisi lemasnya sehingga ukuran vertical rongga toraks
menjadi semakin kecil. Otot interkostalis internal berkontraksi,
menarik turun iga ke arah dalam, mendatarkan dinding dada dan
semakin mengurangi ukuran rongga toraks.
Sewaktu kontraksi aktif otot ekspirasi semakin mengurangi volume
rongga toraks, volume paru juga menjadi semakin berkurang karena
paru tidak harus teregang lebih banyak untuk mengisi rongga toraks
yang lebih kecil; yaitu, paru dibolehkan mengempis ke volume yang
lebih kecil. Perbedaan antara tekanan intra-alveolus dan atmosfer kini
menjadi lebih besar daripada ketika ekspirasi pasif sehingga lebih
banyak udara keluar menuruni gradient tekanan sebelum tercapai
keseimbangan. Dengan cara ini pengosongan paru menjadi lebih tuntas
dibandingkan dengan ekspirasi tenang pasif
Selama ekspirasi paksa, tekanan intraleura melebihi tekanan intra-
alveolus tetapi paru tidak kolaps. Karena tekanan intra-alveolus juga
meningkat setara, tetap terdapat gradient tekanan transmural
menembus dinding paru sehingga paru tetap teregang dan mengisi
rongga toraks. Sebagai contoh, jika tekanan didalam toraks meningkat
10 mmHg, tekanan intrapleura menjadi 766 mmHg dan tekanan intra-
alveolus menjadi 770 mmHg-tetap terdapat perbedaan tekanan 4
mmHg.
LO.2.2. Mekanisme pertahanan saluran pernapasan
Mekanisme pertahanan saluran napas tidak hanya berkaitan dengan
infeksi (mikroorganisme) tetapi juga untuk melawan debu/pertikel, gas
berbahaya, serta suhu.
Mekanisme pertahanan tubuh yang melindungi paru terdiri atas 4
mekanisme yang saling berinteraksi, yaitu:
1. Mekanisme yang berkaitan dengan faktor fisik, anatomik, dan
fisiologik
a. Deposisi partikel
Perjalanan udara pernapasan mulai dari hidung sampai ke
parenkim paru melalui struktur yang berbelok-belok sehingga
memungkinkan terjadinya proses deposisi partikel. Partikel
berukuran > 10 m tertangkap di dalam rongga hidung, antara 5-10
m tertangkap di dalam bronkus dan percabangannya, sedangkan
yang berukuran < 3 m dapat masuk ke dalam alveoli.
Tertengkapnya partikel disebabkan karena partikel tersebut
menabrak dinding saluran pernapasan dan adanya kecenderungan
partikel untuk mengendap. Pada daerah yang mempunyai aliran
udara turbulen, partikel besar terlempar keluar dari jalur aslinya
sehingga menabrak dinding jalan napas dan menempel pada
mucus. Kecepatan aliran udara bronkiolus berkurang sehingga
partikel kecil yang masuk sampai ke alveoli dapat dipengaruhi oleh
gaya gravitasi dan sedimentasi sehingga partikel tersebut
mengendap. Partikel yang sangat kecil menabrak dinding karena
adanya gerak Brown.
b. Refleks batuk dan reflex tekak (Gag Reflex)
Berfungsi agar jalan napas tetap terbuka (patent) dengan cara
menyingkirkan hasil sekresi, selain itu juga untuk menghalau
benda asing (corpus alienum) yang akan masuk ke dalam system
pernapasan.
2. Mekanisme eskalasi mucus dan mucus blanket,
Eskalasi mukosiliar melibatkan peran silia dan mucus. Silia
terdapat pada dinding saluran pernapasan mulai dari laring sampai
bronkiolus terminalis. Semakin ke arah cephalad, jumlah silia akan
bertambah padat. Silia bergerak 14 kali per detik. Mukus yang lengkat
dan berbentuk gel yang mengapung di atas mucus yang lebih encer,
terdorong kea rah cephalad karena gerak silia. Partikel menempel pada
mucus sehingga partikel juga keluar bersama mucus.
Jumlah silia dan aktivitasnya dipengaruhi oleh asap rokok, toksin,
dan asidosis; ketiganya menurunkan jumlah silia dan aktivitasnya.
Gerak silia ditingkatkan oleh -agonis, kecepatan mucociliary
clearance dipercepat oleh metilxantin, dan oleh bahan kolinergik.
Atropin menurunkan kecepatan mucociliary clearance.
3. Mekanisme fagositik dan inflamasi, dan
Partikel dan mikroorganisme yang terdeposisi akan difagosit oleh
sel yang bertugas mempertahankan system pernapasan. Sel sel tersebut
adalah sel makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage) dan sel
polimorfonuklear (PMN). Di dalam sitoplasma makrofag terdapat
bermacam-macam bentuk granula yang berisi berbagai enzim untuk
mencerna partikel dan mikroorganisme yang difagositosis. Makrofag
mampu mengeluarkan substansi antigenic
Sel PMN berperan ketika melawan mikroorganisme yang
menginfeksi paru terutama di distal paru. Dalam keadaan normal, ada
beberapa PMN di saluran pernapasan dan alveoli. Jika mikroorganisme
yang masuk tidak dapat diatasi oleh makrofag, mikroorganisme ini
akan berkembang biak di alveoli dan menyebabkan pneumonia dan
proses inflamasi. Berbagai macam komponen inflamasi yang
dikeluarkan oleh makrofag, seperti komplemen aktivatif dan faktor
kemotaktik, akan menarik PMN untuk datang dan segera
memfagositosis serta membunuh mikroorganisme.
Jika makrofag terpajan partikel atau mikroorganisme, materi asing
dari partikel atau mikroorganisme tersebut akan menempel pada
dinding makrofag (yang berupa membran). Membran ini akan
melakukan invaginasi dan membentuk cekungan untuk menelan benda
asing. Pada beberapa keadaan terdapat opsonin (protein) yang terlebih
dahulu membungkus benda asing sebelum menempel pada sel yang
memfagositosis benda asing ini. Opsonin menyebabkan benda asing
lebih adhesif terhadap makrofag. IgG merupakan salah satu bentuk
opsonin. Makrofag tidak selalu berhasil membunuh atau mengisolasi
benda asing, misalnya ketika memfagositosis partikel siliaka, makrofag
akan mati karena toksisitas substansi yang dikeluarkannya sendiri.
4. Mekanisme respon imun.
Ada dua macam komponen di dalam system imun, yaitu:
a. Mekanisme respon imun humoral yang melibatkan limfosit B
Mekanisme imun humoral di dalam system pernapasan tampak
dalam dua bentuk antibodi berupa IgA dan IgG. Antibodi ini
terutama IgA, penting sebagai pertahanan di nasofaring dan saluran
pernapasan bagian atas. Sedangkan IgG banyak ditemukan di
bagian distal paru. IgG berperan dalam menggumpalkan partikel,
menetralkan toksin, dan melisiskan bakteri gram negatif.
b. Mekanisme respon imun selular yang melibatkan limfosit T
Mekanisme imu selular diperankan oleh sel T (CD4+ dan
CD8+) Sensitisasi terhadap limfosit T menyebabkan limfosit T
menghasilkan berbagai mediator yang dapat larut yang disebut
limfokin, yaitu suatu zat yang dapat menarik dan mengaktifkan sel
pertahanan tubuh yang lain terutama makrofag. Limfosit T juga
dapat berinteraksi dengan system imun humoral dalam
memodifikasi produksi antibody. Peran system imun selular yang
sangat penting adalah untuk melindungi tubuh melawan bakteri
yang tumbuh secara intaselular, seperti kuman Mycobacterium
tuberculosis.
Mekanisme respons imun humoral memerlukan aktivitas limfosit B
dan antibody yang diproduksi oleh sel plasma. Mekanisme respon
imun selular memerlukan aktivitas limfosit T yang mampu
mengeluarkan limfokin. Limfosit T dan limfosit B mempunyai
ketergantungan satu sama lain ketika sedang bekerja. Ada limfosit
yang tidak dapat ditentukan jenisnya, digolongkan sebagai sel natural
killer (NK cell). Sel ini dapat membunuh baik mikroorganisme ataupun
sel tumor tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu. Sel NK distimulasi
oleh limfokin tertentu yang dihasilkan oleh limfosit T.

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Rhinitis Alergi


LO.3.1. Definisi Rhinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.
LO.3.2. Etiologi Hipertensi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi
tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak- anak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen
yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa
dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau
biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
a. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta
jamur.
b. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
c. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
d. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan,
2003).
LO.3.3. Klasifikasi Rhinitis Alergi
3.3.1. Klasifikasi menurut Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma
(ARIA), 2012 berdasarkan karateristik gejala, rhinitis alergi dapat
dibagi menjadi:
1. Ringan (mild), harus memenuhi SEMUA hal berikut ini:
a. Tidak ada gangguan tidur
b. Tidak ada gangguan pada aktivitas sehari-hari, olahraga dan
rekreasi;
c. Tidak ada gangguan pada pekerjaan dan aktivitas belajar;
d. Tidak ada gejala yang berat
2. Sedang-berat (moderate-severe) SATU ATAU LEBIH dari hal-hal
berikut:
a. Gangguan tidur;
b. Gangguan pada aktivitas sehari-hari, olahraga dan rekreasi;
c. Gangguan pada pekerjaan dan aktivitas belajar;
d. Gejala yang berat.
3.3.2. Berdasarkan frekuensi gejala dibagi menjadi:
1. Intermiten: kurang dari 4 hari dalam seminggu ATAU kurang dari
4 minggu berturut-turut.
2. Persisten: lebih dari 4 hari dalam seminggu DAN lebih dari 4
minggu berurut-turut.
LO.3.4. Patofisiologi Rhinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding
sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin
juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-
lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut
dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis
besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi
selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan
yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Gambar 10 Patofisiologi rhinitis alergi

LO.3.5. Manifestasi Klinis Rhinitis Alergi


Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5
kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga
sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di
hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan
hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung
akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat
(allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul
kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair.
Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi
membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba
eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia
submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop
Group. WHO, 2001).
LO.3.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Rhinitis Alergi
3.6.1. Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang kadang RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamine. Gejala lain adalah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap,
terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak.
Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan jika fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung, yang disebut sebagai allergic
shiner. Sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena
gatal yang disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok
hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut
allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-
langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta (geographic tongue).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper
radioimunosorbent test ) sering kali menunjukkan nilai normal,
kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma
bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test ) atau
ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay Test ).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel
PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
elergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET,
selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji
kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis
biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test ). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari
tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada
diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.
c. Pemeriksaan IgE total serum
Kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan
meningkat pada orang atopi, tetapi kadar IgE normal tidak
menyingkirkan adanya rhinitis alergi. Pada orang normal, kadar
IgE meningkat dari lahir (o-1 KU/L) sampai pubertas dan
menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun.
Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal.
Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rhinitis
alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan
dimana kadar IgE meingkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit
(dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar
menurun pada imunodefisiensi serta multiple mielom. Kadar
IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan
hasil harus melampirkan nilai batas normal sesuai golongan
usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai pemeriksaan
penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan
diagnostic.
d. Pemeriksaan IgE spesifik serum (dengan metode RAST/
Radioallergosorbent test)
Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik
terhadap suatu allergen. Pemeriksaan ini cukup sensitive dan
spesifik (>85%), akurat dapat diulang dan bersifat kuantitatif.
Studi penelitian membuktikan adanya korelasi yang baik antara
IgE spesifik dengan tes kulit, gejala klinik, dan tes provokasi
hidung bila menggunakan allergen terstandarisasi. Hasil baru
bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik, seperti pada
tes kulit. Cara lain adalah modified RAST dengan sistem
scoring.
3.6.2. Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi
diantaranya adalah:
1. Drug induced rhinitis
2. Rinitis hormonal
3. Rinitis infeksi (virus, bakteri atau penyebab lainnya)
4. Rinitis karena pekerjaan
5. Non Allergic Rhinitis with Eosinophilic Syndrome (NARES)
6. Rinitis karena iritan
7. Rinitis vasomotor
8. Rinitis atropi
9. Rinitis idiopatik
LO.3.7. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi
Pengobatan terhadap penderita rhinitis alergi harus mencakup 3 prinsip:
1. Mengetahui dengan tepat faktor pencetus dan menghindarinya.
2. Penggunaan sementara obat-obatan untuk menangani gejala di saat
serangan agar penderita dapat beraktifitas dengan baik.
3. Terapi daya tahan tubuh (immunotherapy).
3.7.1. Non-farmakologi:
a. Hindari pencetus (alergen)
b. Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus(debu, serbuk sari,
bulu binatang, dll)
c. Jika perlu, pastikan dengan skin test
d. Jaga kebersihan rumah, jendela ditutup, hindari kegiatan berkebun.
Jika harus berkebun, gunakan masker wajah
3.7.2. Farmakologi :
3.7.2.1. Jika tidak bisa menghindari pencetus, gunakan obat-obat anti
alergi seperti:
3.7.2.1.1. Anti histamine, antagonis H-1 (difenhidaramin, prometasin,
loratadin, setisirin, fexofenadin)
a. Farmakodinamik :
Antagonis kompetitif pada pembuluh darah, bronkus
dan bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1
bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin endogen
berlebihan.
b. Farmakokinetik :
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi
secara baik. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru
sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya
lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah
hati.
c. Penggolongan AH1
AH generasi 1
Contoh : etanolamin
Etilenedamin
Piperazin
Alkilamin
Derivat fenotiazin
Keterangan AH1 =
a. sedasi ringan-berat
b. antimietik dan komposisi obat flu
c. antimotion sickness
d. Indikasi AH1 berguna untuk penyakit :
a. Alergi
b. Mabuk perjalanan
c. Anastesi lokal
d. Untuk asma berbagai profilaksis
e. Efek samping
Vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, insomnia,
tremor, mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit
kepala, rasa berat, lemah pada tangan.
Antihistamin golongan 1 lini pertama
a. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi
dengan dekongestan secara peroral.
b. lipofilik, dapat menembus sawar darah otak,
mempunyai efek pada SSP dan plasenta.
c. Kolinergik
d. Sedatif
e. Oral : difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin
f. Topikal : Azelastin
3.7.2.1.2. Agonis alfa adrenergic, sebagai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi anti histamine.
a. Dekongestan Nasal
Golongan simpatomimetik
a. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung
untuk menyebabkan
b. vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
membengkak,dan memperbaiki pernafasan
c. Penggunaan dekongestan topikal tidak menyebabkan
atau sedikit sekali menyebabkan absorpsi sistemik
d. Penggunaan agen topikal yang lama (lebih dari 3-5
hari)dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa, di
mana hidung kembali tersumbat akibat vasodilatasi
perifer maka batasi penggunaan
e. Contoh Obat : nafazolin,tetrahidrozolin,oksimetazolin
dan xilometazolin
Obat dekongestan topical dan durasi aksinya :
Obat DurasiAksi
AksiPendek Sampai 4 jam
FenilefrinHCl
AksiSedang 4-6 jam
NafazolinHCl
TetrahidrozolinHCl
AksiPanjang Sampai 12 jam
OksimetazolinHCl
XylometazolinHCl
b. Dekongestan oral
Secara umum tidak dianjurkan karena efek klinis masih
diragukan dan punya banyak efek samping.Contoh obat:
Efedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Indeks terapi
sempit berisiko hipertensi.
1. Efedrin
Adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan
efedra. Efektif pada pemberian oral, masa kerja
panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja pada reseptor
alfa, beta 1 dan beta 2.
Efek kardiovaskular : tekanan sistolik dan diastolik
meningkat, tekanan nadi membesar. Terjadi
peningkatan tekanan darah karena vasokontriksi dan
stimulasi jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang relatif
lama.
Efek sentral : insomnia, sering terjadi pada
pengobatan kronik yang dapat diatasi dengan pemberian
sedatif.
Dosis: Dewasa : 60 mg/4-6 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 30 mg/4-6 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 15 mg/4-6 jam
2. Fenilopropanolamin
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian
oral. Selain menimbulkan konstriksi pembuluh darah
mukosa hidung, juga menimbulkan konstriksi pembuluh
darah lain sehingga dapat meningkatkan tekanan darah
dan menimbulkan stimulasi jantung.
Efek farmakodinamiknya menyerupai efedrin tapi
kurang menimbulkan efek SSP.
Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien
hipertensi dan pada pria dengan hipertrofi prostat.
Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO
adalah kontra indikasi. Obat ini jika digunakan dalam
dosis besar (>75 mg/hari) pada orang yang obesitas
akan meningkatkan kejadian stroke, sehingga hanya
boleh digunakan dalam dosis maksimal 75 mg/hari
sebagai dekongestan.
Dosis: Dewasa : 25 mg/4 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam
3. Fenilefrin
Adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya
sedikit mempengaruhi reseptor beta. Hanya sedikit
mempengaruhi jantung secara langsung dan tidak
merelaksasi bronkus. Menyebabkan konstriksi
pembuluh darah kulit dan daerah splanknikus sehingga
menaikkan tekanan darah.
3.7.2.1.3. Kortikosteroid topikal, bila gejala sumbatan tidak dapat diobati
dengan obat lain (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon). Flutikason
memiliki efek samping yang dapat menghambat pertumbuhan
tubuh.
3.7.2.1.4. Sodium kromoglikat topikal, bekerja menstabilkan mastosit
sehingga pelepasan mediator kimia dihambat termasuk
histamin. Tersedia dalam bentuk semprotan hidung untuk
mencegah dan mengobati rhinitis alergi. Efek sampingnya :
iritasi lokal (bersin dan rasa perih pada membran mukosa
hidung. Dosisnya untuk pasien di atas 6 tahun adalah 1
semprotan pada setiap lubang hidung 3-4 kali sehari pada
interval yang teratur.
3.7.2.1.5. Antikolinergik topikal, mengatasi rhinorea karena inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor (ipratropium
bromida). Efek samping sakit kepala, epistaxis, dan hidung
terasa kering.
3.7.2.1.6. Anti leukotrine (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA
rekombinan merupakan obat-obatan baru untuk rhinitis alergi.

Penatalaksanaan rhinitis alergi berdasarkan ARIA 2001


Tipe rhinitis alergi Lini pertama Tambahan
Sedang-Intermitten Antihistamin Dekongestan
oral,antihistamin intranasal
intranasal
Sedang-Intermitten Antihistamin Dekongestan
atau berat- oral,kortikosteroid intranasal dan
intermitten intranasal, sodium kromolin
antihistamin
intranasal
Berat-Persisten Kortikosteroid Antihistamin
intranasal oral,antihistamin
intranasal,sodium
kromolin,ipratropium
bromida,antagonis
leukotriene

3.7.2.2. Jika tidak berhasil, atau obat-obatan tadi menyebabkan efek


samping yang tidak bisa diterima, lakukan imunoterapi dengan
terapi desensitasi
3.7.2.2.1. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior
turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
3.7.2.2.2. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan
gejala yang berat dan sudah berlangsung lama, serta dengn
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari immunoterapi adalah pembentukan IgG blocking
anibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang
umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.

LO.3.8. Komplikasi
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous
glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar bisa banyaknya (lebih
eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,
dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus
paranasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam
mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan
akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah
d. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang
lama khususnya pada anak-anak.
e. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar
mendapat asma bronkial.
LO.3.9. Pencegahan
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3
tahap, yaitu:
a. Pencegahan primer
Untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap
alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang
mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa
susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui,
dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol
lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan
polutan.
b. Pencegahan sekunder
Untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma
dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap
awal berupaalergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan
penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang
dapat diketahui dengan uji kulit.
c. Pencegahan tersier
Untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakitalergi
dengan penghindaran alergen dan pengobatan.
LO.3.10. Prognosis
a. Kebanyakan pasien dapat hidup normal dengan gejala.
b. Hanya pasien yang menerima imunoterapi spesifik-alergen sembuh
dari penyakit, namun banyak pasien melakukannya dengan sangat baik
dengan perawatan gejala intermiten. Gejala rhinitis alergi bisa kambuh
2-3 tahun setelah penghentian imunoterapi alergen.
c. Sebagian kecil pasien mengalami perbaikan selama masa remaja, tapi
di sebagian besar, gejala muncul kembali di awal dua puluhan atau
lebih. Gejala mulai berkurang ketika pasien mencapai dasawarsa
kelima kehidupan.

LI.4. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Mengenai Adab Bersin


Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

Bersin itu dari Allah dan menguap itu dari syaithon. Jika salah seorang
diantara kalian menguap, hendaknya dia menutup dengan tangannya. Jika ia
mengatakan, aah berarti syaithon sedang tertawa di dalam perutnya.
Sesungguhnya Allah menyukai perbuatan bersin dan membenci
menguap. (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2746; al-Hakim, IV/264; Ibnu
Khuzaimah, no. 921 dan Ibnu Sunni dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, no.
2666. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami, no.
4009).
Berikut ini adalah adab-adab yang harus kita perhatikan ketika bersin.
1. Meletakkan Tangan Atau Baju ke Mulut Ketika Bersin
Salah satu akhlaq mulia yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi
wa sallam ketika bersin adalah menutup mulut dengan tangan atau baju. Hal
ini sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasullullah shallallahu alaihi
wa sallam tatkala beliau bersin.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu menceritakan,

Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersin, beliau


meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan mengecilkan
suaranya. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5029; at-Tirmidzi, no. 2745
dan beliau menshohihkannya. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, IV/293,
beliau menshohikannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi).
Di antara hikmahnya, kadangkala ketika seseorang itu bersin, keluarlah
air liur dari mulutnya sehingga dapat menggangu orang yang ada
disebelahnya, atau menjadi sebab tersebarnya penyakit dengan ijin
Allah Taala. Maka tidak layak bagi seorang muslim menyakiti saudaranya
atau membuat mereka lari. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
2. Mengecilkan Suara Ketika Bersin
Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa
sallam dalam hadits di atas.
Dalam redaksi yang lainnya disebutkan,

Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaklah ia meletakkan


tangannya ke wajahnya dan mengecilkan suaranya. (Diriwayatkan oleh al-
Hakim, IV/264 dan beliau menshohihkannya. Disepakati pula oleh adz-
Dzahabi, dan al-Baihaqi dalam asy-Syuab, no. 9353. Hadits ini dinilai hasan
oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami, no. 685)
Betapa banyaknya orang yang terganggu atau terkejut dengan kerasnya
suara bersin. Maka sudah selayaknya setiap muslim mengecilkan suaranya
ketika bersin sehingga tidak mengganggu atau mengejutkan orang-orang
yang ada di sekitarnya.
3. Memuji Allah Taala Ketika Bersin
Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk
mengucapkan tahmid tatkala bersin. Beliau shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:

Jika salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan


Alhamdulillah, jika ia mengatakannya maka hendaklah saudaranya atau
temannya membalas: yarhamukalloh (semoga Allah merahmatimu). Dan
jika temannya berkata yarhamukallah, maka ucapkanlah: yahdikumulloh wa
yushlihu baalakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki
keadaanmu). (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhori, no. 6224 dari
Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Dalam redaksi lainnya disebutkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:



Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Jika


salah seorang dari kalian bersin dan memuji Allah, maka wajib atas setiap
muslim yang mendengarnya untuk mengucapkan tasymit (yarhamukalloh)
(Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6226 dari Abu
Hurairah radhiyallahu anhu)
4. Mengingatkan Orang Yang Bersin Agar Mengcapkan Tahmid Jika Ia Lupa
Jika kita mendapati orang yang bersin namun tidak memuji
Allah Taala, hendaklah kita mengingatkannya. Ini termasuk bagian dari
nasihat.
Abdullah bin al-Mubarak melihat orang lain bersin tapi tidak
mengucapkan Alhamdulillah, maka beliau berkata kepadanya, Apa yang
seharusnya diucapkan seseorang jika ia bersin? Orang itu mengatakan,
Alhamdulillah. Maka Ibnul Mubarak menjawab, Yarhamukalloh.
5. Tidak Perlu Mendoakan Orang Yang Sudah Bersin Tiga Kali Berturut-
Turut
Demikianlah sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alihi
wa sallam. Beliau bersabda:



Jika salah seorang dari kalian bersin, hendaklah orang yang ada di
dekatnya mendoakannya. Dan jika (ia bersin) lebih dari tiga kali berarti ia
sakit. Janganlah kalian men-tasymit bersinnya setelah tiga
kali. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5034; Ibnus Sunni, no. 251; dan
Ibnu Asakir, 8/257. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam Shohiih
al-Jaami, no. 684)
Dalam redaksi lainnya disebutkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:



Doakanlah saudaramu yang bersin tiga kali dan bila lebih dari itu
berarti ia sedang sakit. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5034 dan al-
Baihaqi dalam Syuabul Iiman, 7/32. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani
dalam al-Misykah, no. 4743)
Ada seorang laki-laki bersin di hadapan Nabi shallallahu alaihi wa
salla. Maka Nabi shallallahu alaihi wa
sallam berkata, Yarhamukalloh. Kemudian ia bersin lagi, maka
Rasulullah shallallahu alihi wa sallam bersabda:

Laki-laki ini sedang sakit. (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim,
no. 2993)
6. Tidak Mengucapkan Tasymit Terhadap Orang Kafir Yang Bersin Meskipun
Ia Mengucapkan Alhamdulillah
Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu anhu, ia mengatakan,

-

-


Dahulu orang Yahudi sengaja bersin di dekat Nabi shallallahu alaihi
wa sallam dengan harapan Nabi mengatakan, yarhamukumulloh (semoga
Allah merahmatimu) tetapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam
mengatakan: Yahdikumulloh wa yushlihu baalakum (semoga Allah
memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu). (Diriwayatkan oleh
Abu Dawud, no. 5038 dan At-Tirmidzi, no. 2739. Imam at-Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih).
7. Istinsyaq dan Istintsar
Ibnu Quddamah dalam Al-Mughni mendefinisikan Istinsyaq, ialah
menarik (menghirup) air dengan nafas sampai kepada hidung bagian dalam.
Sementara Istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung bekas Istinsyaq
tadi. Kedua perbuatan ini termasuk dalam rangkaian sunnah-sunnah wudhu,
yang setau penulis, hanya dimiliki oleh umat Islam.
Dalam sebuah hadits, Istinsyaq dan Istintsar baik sekali (baca: sunnah)
jika dilakukan dengan berlebihan. Inilah haditsnya:

:
: (
)

Dari Laqith bin Shabirah Allah meridhainya- berkata: Rasulullah


shallallahu alaihi wa sallam- bersabda Sempurnakan wudhu, bersihkan
sela-sela jari jemari, dan berlebih-lebihlah dalam beristinsyaq, kecuali jika
kamu sedang puasa.
Hadits yang diriwayatkan oleh semua pemilik kitab Sunan (Abu Daud,
Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah) ini dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah
sebagaimana dalam kitab Bulugh Al-Maram, jelas memerintahkan orang
yang berwudhu agar ekstrim menghirup air ke dalam hidung, tentu sampai
terasa agak pusing di otak.

Dari Abu Umamah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah


Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Siapapun yang berdiri menuju air
wudlunya dengan maksud mengerjakan sholat, kemudian ia membasuh
kedua telapak tangannya, maka turun (keluar)lah dosanya dari kedua telapak
tangannya bersama tetesan air. Apabila ia berkumur-kumur, beristinsyaq dan
istintsar maka keluarlah dosanya dari lisan dan bibirnya bersama awalnya
tetesan air, dan seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA

ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on
asthma. J allergy clinical immunology : S147-S276.
Chairiyah UI, Al-Atsary AI. 2015. Panduan Amal Sehari Semalam Cetakan ke-3.
Bogor: Darul Ilmi (p: 277 280).
Cui D, et al. 2010. Atlas of Histology with Functional and Clinical Correlations. US:
Lippincott Williams and Wilkins.
Djojodibroto DR. 2017. Respirologi (Respiratory Medicine) Edisi 2. Jakarta: EGC.
(p: 5 20).
Ganong WF. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong Edisi 22. Jakarta: EGC.
(p: 672 674).
http://repository.unand.ac.id/17670/1/Case%203%20%20Rhinitis%20Alergi%20deng
an%20Asma.pdf (diakses pada 15 Februari 2017 pukul 21.36 WIB)
Hudyono J. 2000. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Akibat Kerja. In
Meditek Vol. 8, No.23.
Huriyati E, Hafiz A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai
Asma Bronkial. Padang: Bagian Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher FK
Universitas Andalas.
Kaplan AP,Cauwenberge PV. 2003. Allergic Rhinitis In: GLORIA Global Resource
Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis.Milwaukee US.
King HC, Mabry RL. 1998. Nonallergic Rhinitis. In: Allergy in ENT Practice, a Basic
Guide. New York: Thieme. (p. 310 318).
Krouse JH. 2006. Allergic and Nonallergic Rhinitis. In: Bailey BJ, Johnson JT et al
editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. (p. 351 363).
Price SA, Wilson LM. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Vol. 2 Jakarta: EGC. (p: 743).

Ramakrishnan VR, Meyer AD. 2009. Non allergic Rhinitis. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/874171-overview. (diakses pada 15 Februari
2017 pukul 22.00 WIB)
Sherwood L. 2016. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC. (p:
492 505).
Soepardi EA, et all. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Kepala & Leher Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. (p: 106 111).
Sofwan A. 2017. Apparatus Respiratorius/ Systema Respiratorium/ Sistem
Pernafasan. Jakarta: Bagian Anatomi FK Yarsi. (p: 1 22).

Anda mungkin juga menyukai

  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen10 halaman
    Jurnal
    adelia
    Belum ada peringkat
  • CP Appendicitis
    CP Appendicitis
    Dokumen2 halaman
    CP Appendicitis
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Jurding Ika
    Jurding Ika
    Dokumen36 halaman
    Jurding Ika
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Anxiety
    Anxiety
    Dokumen13 halaman
    Anxiety
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Lim Foma
    Lim Foma
    Dokumen3 halaman
    Lim Foma
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • PPT Thalasemia
    PPT Thalasemia
    Dokumen34 halaman
    PPT Thalasemia
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Referat Jiwa
    Referat Jiwa
    Dokumen13 halaman
    Referat Jiwa
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen33 halaman
    Referat
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Komunikasi PDF
    Komunikasi PDF
    Dokumen32 halaman
    Komunikasi PDF
    Muhammad Ihsanuddin
    Belum ada peringkat
  • Referat Antidepresan
    Referat Antidepresan
    Dokumen13 halaman
    Referat Antidepresan
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Referat Mata Shafira Aphrodita
    Referat Mata Shafira Aphrodita
    Dokumen26 halaman
    Referat Mata Shafira Aphrodita
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Kel 3 Revisi Kesekian
    Jurnal Kel 3 Revisi Kesekian
    Dokumen8 halaman
    Jurnal Kel 3 Revisi Kesekian
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Reading Fira
    Jurnal Reading Fira
    Dokumen10 halaman
    Jurnal Reading Fira
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Referat Jiwa
    Referat Jiwa
    Dokumen17 halaman
    Referat Jiwa
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Teori Pengetahuan Kel 3
    Teori Pengetahuan Kel 3
    Dokumen3 halaman
    Teori Pengetahuan Kel 3
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Profil Keluarga Binaan
    Profil Keluarga Binaan
    Dokumen3 halaman
    Profil Keluarga Binaan
    Dan Kleio
    Belum ada peringkat
  • Teori Pengetahuan Kel 3
    Teori Pengetahuan Kel 3
    Dokumen3 halaman
    Teori Pengetahuan Kel 3
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Profil Keluarga Binaan
    Profil Keluarga Binaan
    Dokumen3 halaman
    Profil Keluarga Binaan
    Dan Kleio
    Belum ada peringkat
  • Opening
    Opening
    Dokumen3 halaman
    Opening
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Gizi
    Gizi
    Dokumen28 halaman
    Gizi
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Presurvey II Kelompok 3
    Presurvey II Kelompok 3
    Dokumen1 halaman
    Presurvey II Kelompok 3
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Agama Kelompok 3
    Agama Kelompok 3
    Dokumen4 halaman
    Agama Kelompok 3
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Kel 3 LBP Edit
    Jurnal Kel 3 LBP Edit
    Dokumen9 halaman
    Jurnal Kel 3 LBP Edit
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Tugas Gizi Nungki
    Tugas Gizi Nungki
    Dokumen4 halaman
    Tugas Gizi Nungki
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Umumnya
    Umumnya
    Dokumen3 halaman
    Umumnya
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • SNH Kasus Reza
    SNH Kasus Reza
    Dokumen16 halaman
    SNH Kasus Reza
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Kel 3 LBP Edit
    Jurnal Kel 3 LBP Edit
    Dokumen9 halaman
    Jurnal Kel 3 LBP Edit
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • Konsep Partisipasi
    Konsep Partisipasi
    Dokumen9 halaman
    Konsep Partisipasi
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • SNH Kasus Reza
    SNH Kasus Reza
    Dokumen16 halaman
    SNH Kasus Reza
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat
  • LPM
    LPM
    Dokumen64 halaman
    LPM
    Elizabeth Stokes
    Belum ada peringkat