Anda di halaman 1dari 12

STATUS EPILEPTIKUS

I. PENDAHULUAN
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan
darurat medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy
mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih.1
Gambaran awal mengenai status epileptikus telah dilaporkan kejadiannya
sejak dulu tapi epilepsy dan status epileptikus dulu tidak begitu menja diperhatian
dengan penelitian pada populasi yang spesifik. Yang utama dari status epileptikus
adalah hubungan penting antara kematian dan kecacatan meskipun diberikan
pengobatan yang intensif dan penyakit ini dapat membuat kematian otak yang
permanen.
Berdasarkan gejala kejang yang menyertainya, status epileptikus
diklasifikasikan menjadi tiga yakni status epileptikus konvulsif, status epileptikus
non-konvulsif, dan status epileptikus refrakter.3

II. EPIDEMIOLOGI
Jumlah kasus status epileptikus di Amerika Serikat saja telah diperkirakan
dari studi epidemiologi menjadi sekitar 102.000-152.000 episode per tahun dan
sebanyak 55.000 kematian per tahun telah dikaitkan dengan status epileptikus.1
Status epileptikus merupakan keadaan kejang terus menerus, dengan kejadian
tahunan berkisar 10-86 per 100.000 orang.4

III. ETIOLOGI
Etiologi dari Status Epileptikus tergantung usia dan menentukan prognosis.
Setelah usia 60 tahun penyakit serebrovaskular beresiko menimbulkan kejang.
Penelitian yang dipimpin oleh Richmon di Virginia USA, pasien yang berumur
lebih dari 60 tahun yang menderita status epileptikus, 35% di antaranya
disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA). Etiologi lainnya hipoksia,
gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.2

1
Pada penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi dementia
ditambah dalam daftar penyebab status epileptikus. Penelitian juga di California
mengidentifikasi strok sering menyebabkan generalized status epilepticus(GSE).2

IV. PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan
yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks sereprum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.5
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut:5
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun,
apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan

2
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktifitas
kejang.5
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.5
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status
epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut.
Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari
kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat
secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak efektif. Obat standar
yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam
pertama berlangsungnya status.6
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur
limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat
mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah,
dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan
mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis,
hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot
spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda
dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi,
leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.6
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah
otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak
efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan
mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate
(NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit

3
saja - yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan
super-radical. Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik
aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan
yang dimediasi oleh glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di
hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-
neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan
keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak
yang terjadi pun akan semakin besar.7

V. DIAGNOSIS
V.I. ANAMNESIS
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa, dan
kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan diagnosis
pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama pada penegakan terhadap
gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Hal ini mengarahkan
pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang harus menelusuri secara teliti
tentang bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama (apabila pasien
sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas tentang
apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang tidak
dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan gejala klinis yang ada
melalui penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan
untuk menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis.
Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan pada pasien yang
mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.8
Gejala klinis yang dapat dilihat secara nyata adalah kejang dengan tonik,
klonik, atau tonik-klonik pada gerakan tungkai. Pasien mungkin hanya
menunjukkan gerakan kejang dengan amplitudo yang kecil pada wajahnya,
tangan, kaki dan sentakan nistagmoid pada kedua matanya. Jika kejang ini

4
berhenti, pasien akan tetap dalam kondisi tidak sadar dan tidak memberikan
respon atau kemungkinan pasien bingung kemudian kejang kembali terjadi.6
Pada pemeriksaan neurologis, pasien tidak akan memberikan respon
terhadap komando verbal. Dia akan meningkatkan atau menurunkan tonus otot,
dengan gerakan yang tidak perlu pada tungkai, dan akan memperlihatkan refleks
Babinski positif. Umumnya, tanda neurologis yang ditemukan bersifat simetris.6
Kadang-kadang terdapat pasien dengan kebingungan yang menetap,
gangguan kesadaran, dan mampu menggerakkan kaki dan berjalan yang dimiliki
oleh pasien status epileptikus yang disebut juga status epileptikus non-konvulsif
(complex partial epilepticus). Pada pasien seperti ini, gambaran hasil EEG yang
abnormal dan terjadi secara persisten dan spesifik, menegakkan diagnosis.6
Uraian di bawah ini dapat menjelaskan tentang diagnosis diferensial pada
epilepsi bentuk lain.8
1. Bangkitan tonik-klonik harus dibedakan dari penyebab serangan gangguan
kesadaran lainnya. Gangguan kardiovaskuler adalah penentu utama yakni
berupa pusing biasa dan pingsan vasovagal pada pasien yang muda,
aritmia, dan hipotensi postural pada pasien yang tua. Kebingungan
seringkali terjadi disebabkan oleh kejang mioklonik singkat yang kadang-
kadang disertai pingsan yang disebabkan oleh banyak faktor. Yang cukup
memburamkan diagnosis adalah serangan non-epileptik yang bersifat
psikogenik. Diabetes yang dalam masa terapi harus segera dicurigai
merupakan hipoglikemia. Pada umumnya, menggigit lidah, nafas sesak
dan tidak teratur, kejang hebat, inkontinensia, post-ictal confusion, dan
nyeri tungkai merupakan ciri dari epilepsi tonik-klonik
2. Bangkitan absen atau Absence Seizure memberikan gambaran jelas berupa
hilangnya kesadaran dalam beberapa waktu secara tiba-tiba. Selama
hilangnya kesadaran, penderita seakan-akan sadar namun seperti orang
yang menghayal dan tiba-tiba kembali melanjutkan aktifitas seakan tidak
pernah terjadi bangkitan. Namun dagnosis untuk bangkitan jenis ini
diburamkan oleh menghayal dan ketidakfokusan terhadap lingkungan.
3. Kejang motorik fokal tidak memiliki diagnosis diferensial

5
4. Kejang sensorik fokal dapat diburamkan oleh transient ischaemic attack
tetapi seringkali terjadi dalam waktu yang lebih singkat dan lebih sering,
dan menyebabkan lebih banyak menyebabkan kesemutan daripada kebas.
5. Kejang lobus frontal dapat diburamkan oleh dystonia. Penyakit ini sendiri
menunjukkan perubahan perilaku yang aneh akibat fungsi lobus frontal
yang terganggu.
6. Kejang lobus temporal harus dibedakan dengan ansietas dan serangan
panik. Serangan yang diprovokasi oleh berbagai penyebab, atau yang lebih
dari beberapa menit, sepertinya tidak disebabkan oleh epilepsi lobus
temporal. Serangan yang melibatkan tingkah laku aneh yang
membutuhkan kewaspadaan, pikiran yang jernih dan/atau tingkah laku
yang terkoordinasi dengan baik seperti berkelahi dan merampok toko tidak
menggambarkan epilepsi sama sekali.
Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan, terdapat
banyak informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui anamnesis dan
pemeriksaan. Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut sebagai epilepsi,
penelusuran harus disusun sesuai dengan penyebab epilepsi. Epilepsi umum
primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan absen dan mioklonik, dengan atau
tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan dengan keluarga, sehingga bertanya
mungkin akan mengungkap anggota keluarga lainnya yang juga menderita
serangan epilepsi. Epilepsi fokal bentuk apapun memperlihatkan adanya patologi
intrakranial. Patologi paling umum yang dimaksud adalah pembentukan jaringan
ikat pada satu daerah yang merupakan kelanjutan dari beberapa proses perjalanan
penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-kadang serangan epilepsi mungkin
terjadi ketika terdapat proses patologi yang masih berlangsung di fase aktif.8
- Setelah trauma otak saat melahirkan;
- Setelah trauma pada otak dan kepala;
- Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
- Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau perdarahan
sub arachnoid;
- Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.
Kadang-kadang epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak
seperti:
- Selama putus konsumsi obat dan alkohol;

6
- Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;
- Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.
Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang dicetuskan
oleh tumor otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang tidak sering
menyebabkan epilepsi, namun tidak boleh disingkirkan tanpa adanya
pemeriksaan lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya dimulai pada umur dewasa,
khususnya dengan tanda-tanda defisit neurologis fokal dan terasosiasi,
kemungkinan besar disebabkan oleh tumor.8
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:8
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs

V.II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik sangat penting karena mungkin dapat mengungkapkan
tanda neurologis yang abnormal yang mengindikasikan temuan sebagai berikut:8
- Patologi intrakranial di masa lalu
- Patologi intrakranial yang dialami sekarang
- Perkembangan patologi intrakranial yang dimaksud di atas

V.III. EEG DAN PEMERIKSAAN LAINNYA


Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe
epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG
rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran
aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi
spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya
terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang
abnormal.8
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa
epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan

7
membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus
diingat8 :
- 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang ringan
dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau kedua lobus
temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang tidak pernah
mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada EEG;
- 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal
pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan
pada periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu
maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya.
Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat
dapat sangat membantu dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat
sulit dengan serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama
serangan kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat
kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam
sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal
pada pemeriksaan EEG.8
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah
bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus
epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien
kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti
glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang dibutuhkan.8
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di
atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama
untuk menegakkan diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan
EEG.8

VI. PENATALAKSANAAN
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki
secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen.
Biasanya dilakukan dua tahap tindakan:9

8
VI.I. Stabilitas Penderita
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi
vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan
napas yang adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul
atau mask ventilasi. Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi
merupakan efek samping yang umum dari obat yang digunakan untuk
mengontrol kejang. Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula
darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus diperiksa gas-gas darah arteri
untuk melacak adanya asidosis metabolic dan kemampuan oksigenasi
darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena. Segera diberi 50
ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im.

VI.II. Menghentikan Kejang


a. Status Epileptikus Konvulsif10
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit) - Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
- Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen,
resusitasi bila perlu
Stadium II (10-60 menit) - Pemeriksaan status neurologic
- Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
- Monitor status metabolic, AGD dan status
hematologi
- Pemeriksaan EKG
- Memasangi infus pada pembuluh darah besar
dengan NaCl 0,9%. Bila akan digunakan 2
macam OAE pakai jalur infus
- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
laboratorium (AGD, Glukosa, fungsi ginjal dan
hati, kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap
hematologi, waktu pembekuan dan kadar OAE),
pemeriksaan lain sesuai klinis
- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 0.2
mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit
IV dapat diulang bila kejang masih berlangsung
setelah 5 menit

9
- Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan
hipoglikemia
- Pemberian tiamin 250 mg intervena pada pasien
alkoholisme
- Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III (0-60/90 - Menentukan etiologi
- Bila kejang berlangsung terus setelah
menit)
pemberian lorazepam / diazepam, beri
phenytoin iv 15 20 mg/kg dengan kecepatan <
50 mg/menit. (monitor tekanan darah dan EKG
pada saat pemberian)
- Atau dapat pula diberikan fenobarbital 10
mg/kg dengan kecepatan < 100 mg/menit
(monitor respirasi pada saat pemberian)
- Memulai terapi dengan vasopressor (dopamine)
bila diperlukan
- Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30/90 menit) - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60
menit, pasien dipindah ke ICU, diberi Propofol
(2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau
Thiopenton (100-250 mg bolus iv pemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50
mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24
jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan
EEG terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan
intracranial, memulai pemberian OAE dosis
rumatan

b. Status Epileptikus Non Konvulsif10


Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE Lena Benzodiazepin IV/Oral Valproate IV
SE Parsial Complex Klobazam Oral Lorazepam / Fenintoin /
Fenobarbital IV
SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin,

10
Lamotrigin, Topiramat,
Metilfenidat, Steroid
Oral
SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid
SE Non-konvulsif pada Fenitoin IV atau Anastesi dengan
pasien koma Fenobarbital tiopenton, Penobarbital,
Propofol atau
Midazolam

c. Status Epileptikus Refrakter10


- Terapi bedah epilepsy
- Stimulasi N.Vagus
- Modifikasi tingkah laku
- Relaksasi
- Mengurangi dosis OAE
- Kombinasi OAE

Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsy refrakter


Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

11
DAFTAR PUSTAKA
1. Deshpande LS, Lou JK, Mian A, Blair RE, Sombati S, Attkisson E, et al.
Time course and mechanism of hippocampal neuronal death in an in vitro
model of status epilepticus: Role of NMDA receptor. Eur J Pharmacol
2008;583(1):73-83.
2. Assis TMRd, Costa G, Bacellar A, Orsini M, Nascimento OJM. Status
epilepticus in the elderly: epidemiology, clinical aspects and treatment.
Neurology 2012;4(17):78-84.
3. Drislane FW. Type of status epilepticus. Cur clin neuro 22 - 26.
4. DavidC.Henshall, MiguelDiaz-Hernandez, M.TeresaMiras-Portugal,
TobiasEngel. P2X receptors as targets for the treatment of status
epilepticus. Frontiersin 2013;7(237):1-10.
5. Lombardo MC. Gangguan kejang. In: Price SA, Wilson LM, editors.
Patofisiologi. 6 ed. Jakarta: EGC; 2005. p. 1158-1161.
6. Davis LE, King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurological disease -
an introductory text. New york: Demos medical publishing; 2005.
7. Hughes R. Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing
Group; 2003.
8. Wilkinson I, Lennox G. Essential neurology. 4 ed. Victoria, Australia:
Blackwell Publishing; 2005.
9. Edward M. Manno M. New management strategies in the Treatment of
Status Epilepticus. Mayo clin proc 2003;78:508-516.
10. Epilepsi KS. Pedoman tata laksana epilepsi. 3 ed. Jakarta: Perdossi; 2008.

12

Anda mungkin juga menyukai