Laporan Kasus Stemi
Laporan Kasus Stemi
Oleh :
dr. Dewi Mashita Arfani
Pembimbing :
dr. H. Hendry Tanjung, MM
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Sarwono
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : kp. Sukapura 007/003 . Sukapura
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status : Menikah
No. RM : 226473
MRS : 4/9/2016 (IGD)
I Anamnesis
Auto Anamnesis
a Keluhan Utama
Nyeri dada kiri sejak 1 hari SMRS
e Riwayat Pengobatan
Os belum pernah berobat untuk keluhannya ini .
f Riwayat Alergi :
Pasien tidak pernah memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makanan
tertentu.
II Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis / E4V5M6
BeratBadan : 50 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 20,81 (Normal)
a Vital Sign
Tekanandarah : 120/ 80 mmHg
Nadi : 76 x / menit, kuat angkat, teratur
Pernapasan : 20 x / menit
Suhu : 36,5 C
b Status Generalis
Kepala Bentuk dan ukuran kepala : Normosefali.
Permukaan Kepala : tidak tampak benjolan, lesi, malar rash,
edema, maupun hiperpigmentasi.
Ekspresi wajah normal : tidak tampak paralisis fasialis.
Rambut : berwarna hitam, tidak mudah dicabut.
Nyeri tekan kepala : negatif
Mata Bentuk : dalam batas normal
Alis : dalam batas normal
Bola mata : kesan eksoftalmus - /- dan anoftalmus - / -
Palpebra : edema - / - , ptosis - / -
Konjungtiva : anemis - / - , hiperemi - / -
Sklera : ikterik + / +, perdarahan - / - , pterygium -/ -
Pupil : refleks cahaya + / +, isokor +
Lensa : tampak jernih
Telinga Bentuk aurikula : normal
Lubang telinga : sekret (-)
Hidung Bentuk : normal, simetris, deviasi septum (-)
Mulut Bentuk : simetris
Bibir : sianosis (-), edema (-), perdarahan (-)
Lidah : leukoplakia (-)
Leher Tidak tampak deviasi trakea
Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening.
Tidak tampak hipertrofi SCM dan SCM tidak aktif
JVP : 5 2 cm
Toraks Inspeksi:
Pada keadaan statis, bentuk dinding dada kanan dan kiri terlihat
simetris. Bentuk dan ukuran dinding dada kanan dan kiri terlihat
sama.
Pada keadaan dinamis, dinding dada kanan dan kiri terlihat simetris dan
tidak terlihat pergerakan dinding dada kanan maupun kiri tertinggal
pada waktu pernafasan.
Tidak terdapat retraksi atau penggunaan otot pernapasan tambahan.
Pada permukaan dada : massa (-), jaringan sikatrik (-), jejas (-), spider
naevi (-)
Fossa supraklavikula dan infraklavikula tidak cekung dan simetris.
Fossa jugularis : tidak tampak deviasi trakea.
Pulsasi ichtus kordis tidak tampak
Tipe pernafasan : torako-abdominal dengan frekuensi nafas 18 kali/
menit
Palpasi:
Pergerakan dinding dada simetris.
Vokal fremitus dinding dada kiri dan kanan teraba dan simetris.
Ichtus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra.
Nyeri tekan (-), massa (-), thrill (-), krepitasi (-)
Perkusi:
Pada kedua lapangan paru sonor +/+.
Batas Paru Hati :
- Inspirasi : ICS IV linea midklavikula dextra
- Ekspirasi : ICS V linea midklavikula dextra
- Ekskursi : 1 ICS
Batas Paru-Jantung :
- Batas atas : ICS 2
- Batas bawah : ICS 5
- Batas kanan : ICS 5 linea parasternal dextra
- Batas kiri : ICS 5 linea midclavikula sinistra
Auskultasi:
Bunyi paru vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Bunyi jantung S1dan S2 tunggal, murmur(-), gallop (-).
Abdomen Inspeksi :
Dinding abdomen simetris, massa (-), distensi (-), vena kolateral (-),
caput medusa (-), jaringan sikatrik (-)
Auskultasi :
Bising Usus (+) normal, metalic sound ( -), bising aorta (-)
Palpasi :
Turgor : Normal
Tonus : Normal
Nyeri tekan (+) di epigatrik, distensi abdomen (-), defense muscular
(-), Nyeri tekan mac burney (-), rovsing sign (-), psoas sign (-),
obturator sign (-), Hepar / Lien / Ren : tidak teraba
+ + -
- - -
- - -
Perkusi :
Timpani di seluruh lapangan abdomen
Nyeri ketok CVA (-)
Deformitas
- an direct meningkatium dextra, serta murphy sign positif.eri tekan ejak 4 hari SMRS.
sar 2 kali/hari, padat, nyeri saat BAB (- -
- -
Sianosis
- -
- -
Edema - -
- -
Pemeriksaan EKG
Interpretasi Q patologis di lead II, III, AVF
ST elevasi di lead V1,V2,V3,V4
T inverted di lead V6
III RESUME
Pasien laki-laki 70 tahun datang ke RS dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri
sejak 1 SMRS. Nyeri dada dirasakan ketika pasien sedang duduk. Nyeri dirasakan
pada dada sebelah kiri dan menjalar ke leher dan punggung. Nyeri dirasakan seperti
tertimpa beban berat. Nyeri juga dirasakan pada ulu hati dan tembus sampai ke
belakang. Os sering mengeluh seperti ini sejak 1 bulan SMRS dan mereda jika
beristirahat. Os memiliki riwayat nyeri ulu hati yang berulang sudah sejak 1 bln
SMRS.
Pemeriksaan Tanda vital dalam batas normal
Pemeriksaan fisik terdapat nyeri tekan pada epigastrium
IV IDENTIFIKASI MASALAH
Chest pain
Subjek :
Os mengeluh nyeri dada sebelah kiri sejak 1 hari SMRS . Nyeri dirasakan
menjalar ke leher dan punggung. Nyeri dirasakan seperti tertimpa beban berat.
Nyeri juga dirasakan pada ulu hati dan tembus sampai ke belakang.
Objek :
Tanda Vital : Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 76 x/ menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5 C
Assesment :
Chest pain ec ACS / STEMI
Planning :
Rencana diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium (Darah rutin,GDS, CK, CKMB, Troponin I ), Rontgen
thorax
Rencana Terapi
Istirahat
Infuse RL / 8 jam
ISDN 5 mg SL
Konsul SP.JP
V PROGNOSIS
Dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
I. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan
oleh faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi
dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit
memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses sederhana
karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses infl
amasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi
endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya
sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh
darah.
Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain
hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif
juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktorfaktor risiko ini dapat menyebabkan
kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel
memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel
mengaktifkan proses infl amasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu
terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel yang
mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai berikut:
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan
makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan untuk
mengalami ruptur. LDL yang termodifi kasi meningkatkan respons infl amasi oleh
makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak
migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan
seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks metaloproteinase
yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima,
yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis.
Jika kapsul fi brosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran
darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya
bekuan. Proses pro-inflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas.
Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan
mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF- bekerja mengurangi proses
inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses
penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke
arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan
menjadi rentan mengalami ruptur.
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar
darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi
dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam proses
hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem
koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder.
Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang
dimediasi trombosit.
a. Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya menyebabkan oklusi
sebagian.
b. Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fi brin. Terbentuk karena aktivasi kaskade
koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih,
menyebabkan terjadinya oklusi total.
IMPLIKASI PADA TERAPI SKA Patogenesis SKA melibatkan peranan endotel, sel infl
amatorik, dan trombogenisitas darah. Dengan memahami patofisiologinya, terapi SKA mudah
dipahami. Pada angina tidak stabil dan NSTEMI, hanya didapatkan trombus putih. Sedangkan
pada STEMI, selain trombus putih, juga didapatkan trombus merah. Pada angina tak-stabil
maupun NSTEMI, tujuan terapi antitrombotik adalah untuk mencegah terjadinya trombosis lebih
lanjut. Revaskularisasi sering digunakan untuk meningkatkan perfusi dan mencegah reoklusi
atau iskemia rekuren. Pada STEMI diperlukan reperfusi farmakologi atau dengan kateter
secepatnya, supaya dapat mempertahankan perfusi koroner. Terapi fi brinolisis hanya dilakukan
pada STEMI dan merupakan kontraindikasi pada angina tidak stabil maupun NSTEMI.
Gambar 1.
II. Penatalaksanaan
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalisir derajat disfungsi
dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle
time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan
prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam
pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan
angka kematian. Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan
dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak
tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan 3
Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan reperfusi sesegera mungkin,
dapat berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang
diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang
terlambat (>12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi jika pasien masih mengeluh nyeri dada yang
khas infark (ongoing chest pain). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika
dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.Percutaneous Coronary Interventions
(PCI) merupakan intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting).
Bagan No.2
1. Antiplatelet
Anti platelet yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam mempertahankan
patensi arteri koroner yang terkena infark.Baik aspirin maupun clopidogrel harus segera
diberikan pada pasien STEMI ketika masuk ruangan emergensi.
1.1. Aspirin
1.2. Clopidogrel
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan
hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi
primer atau fibrinolitik. Clopidogrel (Plavix; sano aventis/Bristol-Myers Squibb) merupakan
thienopyridine yang dimetabolisme melalui cytochrome P450 didalam hepar. Clopidogrel aktif
dimetabolisme secara irreversible oleh reseptor antagonis P2Y126.
Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien STEMI dengan pemberian secara oral
dengan dosis loading awal segera yaitu 300 mg yang dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75
mg. Pada pasien dengan PCI, disarankan untuk pemberian dosis loading sebesar 600 mg
bertujuan untuk mencapai lebih cepat penghambatan fungsi trombosit. Pemberian clopidogrel
secara maintenance selama 12 bulan kecuali jika didapatkan adanya resiko perdarahan massif 7
Saat ini, pasugrel dapat digunakan sebagai alternatif clopidogrel pada pasien STEMI yang
menjalani Primary PCI.Ticagrelor merupakan obat aktif dan tidak memerlukan transformasi
metabolik.Penelitian PLATO membandingkan ticagrecol dengan clopidogrel pada 7544 pasien
STEMI yang sedang menjalani Primary PCI. Dari hasil penelitian menunjukkan kecenderungan
dapat menurunkan primary endpoint dari kematian kardiovaskuler, Miokard infark atau stroke
[hazard ratio (HR), 0.87; 95% confidence interval, 0.75 to 1.01; p = 0.07]. Tetapi, tidak ada
perbedaan yang signifikan terhadap perdarahan mayor diantara dua kelompok 1.
3. Anti Koagulan
Terapi antikoagulan pada pasien STEMI diberikan salah satu tujuannya adalah mendukung
terapi Primary PCI. Pada pasien STEMI yang sedang menjalani terapi trombolitik, antikoagulan
biasanya diperlukan untuk meningkatkan pantensi awal koroner dan mengurangi reoklusi.
UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik
spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi
arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum
4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat
emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi
tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh
(UFH atau LMWH) selama dirawat dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan 2.
Pada pasien yang mendapatkan pengobatan agen spesifik fibrin (Alteplase, t-PA), pemberian
intravena UFH harus dilanjutkan selama 48 jam.Namun, peran UFH menjadi kurang penting
ketika sedikit agen trombolitik spesifik fibrin misal streptokinase digunakan.Karena agen
tersebut membentuk sistemik koagulopati dan membuat agen tersebut membuat sendiri agen
antikoagulan kuat. Pada pasien yang menjalani pengobatan Primary PCI, tambahan bolus UFH
harus diberikan dimana UFH diperlukan selama prosedur PCI untuk menjaga ACT (activated
clotting time) sekitar 250-350 detik ( 200-250 detik jika GP IIb/IIIa inhibitor digunakan).
Pemberian UFH dapat dilanjutkan selama 24 48 jam setelah tindakan Primary PCI atau
dipertimbangkan untuk menghentikan pemberian jika sirkulasi koroner kembali dan tidak ada
resiko tinggi seperti anterior miokard infark, atrial fibrilasi, embolisme sebelumnya atau LV (left
ventricle) thrombus. Untuk pasien tanpa terapi reperfusi, pemberian UFH harus dengan durasi
yang optimal dengan pemberian UFH selama 48 jam jika tidak ada kontraindikasi dan
penggunaan UFH harus diberikan secara individual dan sesuai dengan kondisi klinis pasien 1
Penelitian lain yang dilakukan oleh Murphy, Et al (2007) dengan membandingkan enoxaparin
dengan UFH pada pasien ACS baik STEMI maupun NSTE-ACS yang berjumlah 49.088 pasien
secara meta analisis. Dari hasil pembahasan didapatkan bahwa enoxaparin dikaitkan dengan
manfaat yang besar sebagai terapi adjunctive antithrombin diantara lebih dari 49.000 pasien
diseluruh spectrum ACS.Walaupun perdarahan mayor meningkat dengan menggunakan
enoxaparin, tetapi peningkatan ini di imbangi dengan penurunan yang signifikan dalam kematian
non-fatal miokard infark.
Bivalirudin merupakan direk inhibitor thrombin yang di indikasikan untuk digunakan selama
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) meliputi pasien dengan STEMI maupun Unstable
angina/ NSTEMI. Dari hasil penelitian penggunaan bivalirudin menurunkan resiko perdarahan
dan gejala klinis. Selain itu, pemberian bivalirudin juga menurunkan resiko kematian, reinfraksi,
serta perdarahan mayor 9
Dosis awal yang diberikan IV melalui bolus 0,75 mg/kgBB/jam selama durasi prosedur PCI
serta dapat dilanjutkan sampai 4 jam post PCI dengan dosis 1,75 mg/kgBB . Kontraindikasi
pemberian bivalirudin yaitu pada pasien dengan perdarahan aktif atau meningkatnya resiko
perdarahan akibat kelainan haemostasis atau irreversible coagulation disorder, hipertensi berat
yang tidak terkontrol, endokarditis dan gagal ginjal kronik (GFR < 30 ml/mnt). Selain itu, harus
diperhatikan efek samping dari pemberian terapi bivalirudin yaitu terjadinya perdarahan minor
maupun mayor (Sani, 2010). Sehingga diperlukan peran perawat selama pemberian obat tersebut
dalam memonitor proses pemberian obat serta efek samping yang ditimbulkan . Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Pinto, Et al (2010) membandingkan hasil klinis dan ekonomis pada pasien
ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI) yang menjalani tindakan klinis rutin Primary Percutaneous
Coronary Intervention (PPCI), dengan memberikan terapi bivalirudin dengan heparin dan
glycoprotein IIb/IIIa receptor inhibition (GPI) sepktrum luas. Pasien dikelompokkan menjadi 2
kelompok pengobatan, yaitu bivalirudin dan heparin dengan GPI. Dari hasil studi tersebut
disimpulkan bahwa pemberian bivalirudin dibandingkan dengan heparin dan glycoprotein
IIb/IIIa receptor inhibition (GPI) pada pasien yang sedang menjalani PCI menunjukkan hasil
yaitu angka kematian yang lebih rendah (3,2 % vs 4,0 %), rendahnya resiko perdarahan (16,9%
vs 10,5%), perdarahan setelah transfusi ( 1,6 % vs 3,0 %) dan pemberian transfusi ( 5,9 % vs 7,6
%). Pasien yang mendapatkan terapi bivalirudin memiliki rata-rata perawatan lebih pendek
( rata-rata 4,3 hari vs 4,5 hari) serta biaya perawatan yang lebih rendah (rata-rata $ 18.640 vs
$19.967). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian bivalirudin selama tindakan PCI
menurunkan resiko kematian dan perdarahan, dan menurunkan biaya perawatan rumah
sakit.Percobaan HORIZON-AMI, bivalirudin dibandingan dengan UFH plus GP IIb/IIIa
inhibitor pada pasien STEMI yang sedang menjalani primary PCI. Bivalirudin memiliki tingkat
yang lebih rendah terhadap kejadian klinis, meliputi perdarahan mayor, kematian, urgent target
vessel revascularization, Miokard Infark dan stroke selama 30 hari. Manfaat paling signifikan
adalah mengurangi komplikasi dari perdarahan mayor.Oleh karena itu, bivalirudin dapat
digunakan sebagai alternatif terapi pasien STEMI yang sedang menjalani tindakan invasif 1.
Fondaparinux
Fondapariniux merupakan sintetik factor Xa inhibitor yang terikat pada antitrombin III dan
meningkatkan antitrombin III-mediated factor Xa inhibition. OASIS melakukan 6 percobaan,
Efek fondaparinux yang diujikan pada pasien STEMI yang sedang menjalani terapi trombolisis,
Primary PCI, atau tidak ada terapi reperfusi dan dibagi menjadi dua kelompok yang tergantung
pada kebutuhan terhadap UFH selama 30 hari. Secara keseluruhan, fondaparinux signifikan
dalam menurunkan kejadian primary efficacy outcome(kematian atau Miokard Infark
berulang).Manfaat signifikan didapatkan pada pasien yang menerima terapi trombolisis atau
tidak ada terapi reperfusi tetapi tidak pada pasien yang sedang menjalani primary PCI.Dengan
demikian. Fondaparinux dianjurkan sebagai alternatif antikoagulan pada pasien STEMI yang
dirawat secara konservatif, tetapi tidak pada pasien yang menjalani primary PCI 3
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang terjadi
segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena memperbaiki
hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta
pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi
inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau
fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat
asma). Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3
dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100
mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam 3
DAFTAR PUSTAKA
1. ACC/AHA. 2004. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-
Elevation Myocardial Infarction. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/110/9/e82.pdf
2. Heng Li, Et al. (2012). 2012 Guidelines of the Taiwan Society of Cardiology (TSOC) for
the Management of ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Vol. 28. (63-89).
Diakses dari http://www.tsoc.org/
3. Firdaus, (2011). Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI JurnalKardiologi
Indonesia. 2011;32:266-71ISSN 0126/3773.
4. Firman, (2010). Intervensi Koroner Perkutan Primer.Jurnal Kardiologi Indonesia. Jurnal
Kardiologi Indonesia. 2010; 31:112-117ISSN 0126/3773
5. Farissa, I.P. (2012). Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST- Elevasi (STEMI)
yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi. Studi di RSUP Dr.Kariadi
Semarang.
6. Antman, Et al. (2013). ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-
Elevation Myocardial InfarctionExecutive Summary. Diakses dari
http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.pdf.
7. Hoekstra, (2010).Optimal Anti Platelet and anti thrombosic therapi in the Emergency
Department. Advancing Standard of Care : Cardiovascular and Neurovascular
Emergencies. Diakses dari http://www.emcreg.org.
8. Daga, Et al. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI. Vol 59. (19-25).
9. Navarese, Et al. (2011). Low-molecular-weight heparins vs. unfractionated heparin in the
setting of percutaneous coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction: a
meta-analysis. Journal of Thrombosis and Haemostasis. Vol 9, (19021915). Diakses dari
http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer.
10. Pinto, Et al. (2010). Intervention: Results From an Observational Database in ST-
Elevation Myocardial Infarction Patients Undergoing Percutaneous Coronary
Bivalirudin Therapy Is Associated With Improved Clinical and Economic Outcomes.
Journal Of American Hearth Association. Vol 5. (52-61). Diakses dari
http://circoutcomes.ahajournals.org/.
11. Kleinschmidt KC. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary Syndrome. Adv
Stud Med. 2006;6(6B):S477-S482.http://www.jhasim.com/files/articlefi
les/pdf/ASIM_6_6Bp477_482_ R1.pdf.