Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

CHEST PAIN EC. ACUTE CORONARY SYNDROME

Oleh :
dr. Dewi Mashita Arfani

Pembimbing :
dr. H. Hendry Tanjung, MM
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Sarwono
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : kp. Sukapura 007/003 . Sukapura
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status : Menikah
No. RM : 226473
MRS : 4/9/2016 (IGD)

I Anamnesis
Auto Anamnesis
a Keluhan Utama
Nyeri dada kiri sejak 1 hari SMRS

b Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 1 hari SMRS. Nyeri dada
dirasakan ketika pasien sedang duduk. Nyeri dirasakan pada dada sebelah kiri dan
menjalar ke leher dan punggung. Nyeri dirasakan seperti tertimpa beban berat.
Nyeri juga dirasakan pada ulu hati dan tembus sampai ke belakang. Os mengaku
sering mengeluh seperti ini sejak 1 bulan SMRS dan mereda jika beristirahat .
Pasien tidak merasa sesak nafas. Tidak terdapat keringat dingin dan tidak terasa
berdebar- debar.
Pasien tidak sesak bila berbaring dan dapat tidur dengan 1 bantal. Pasien tidak
pernah terbangun malam hari karena sesak. Pasien juga sering merasa keluhan
muncul jika berjalan jauh. Keluhan mual dan muntah disangkal .Demam
disangkal. Batuk (-) . BAB dan BAK pasien lancar.

c Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Akan tetapi, pasien
mengaku memiliki riwayat nyeri ulu hati sejak lama dan sudah beberapa kali
dirawat di RS karena keluhan tersebut. Riwayat hipertensi (-), DM (-), penyakit
jantung (-) dan keganasan (-). Riwayat sakit asma (-)

d Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada di keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa dengan pasien.
Riwayat hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), riwayat asma (-).

e Riwayat Pengobatan
Os belum pernah berobat untuk keluhannya ini .

f Riwayat Alergi :
Pasien tidak pernah memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makanan
tertentu.

g Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien adalah seorang petani .Pasien mengatakan bahwa pola makan pasien tidak
teratur.Frekuensi makan pasien 2-3 kali sehari namun sering terlambat makan. Pasien
mengaku merokok 6 batang perhari. Kebiasaan merokok sejak SMP. Riwayat
minum alkohol disangkal.

II Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis / E4V5M6
BeratBadan : 50 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 20,81 (Normal)

a Vital Sign
Tekanandarah : 120/ 80 mmHg
Nadi : 76 x / menit, kuat angkat, teratur
Pernapasan : 20 x / menit
Suhu : 36,5 C

b Status Generalis
Kepala Bentuk dan ukuran kepala : Normosefali.
Permukaan Kepala : tidak tampak benjolan, lesi, malar rash,
edema, maupun hiperpigmentasi.
Ekspresi wajah normal : tidak tampak paralisis fasialis.
Rambut : berwarna hitam, tidak mudah dicabut.
Nyeri tekan kepala : negatif
Mata Bentuk : dalam batas normal
Alis : dalam batas normal
Bola mata : kesan eksoftalmus - /- dan anoftalmus - / -
Palpebra : edema - / - , ptosis - / -
Konjungtiva : anemis - / - , hiperemi - / -
Sklera : ikterik + / +, perdarahan - / - , pterygium -/ -
Pupil : refleks cahaya + / +, isokor +
Lensa : tampak jernih
Telinga Bentuk aurikula : normal
Lubang telinga : sekret (-)
Hidung Bentuk : normal, simetris, deviasi septum (-)
Mulut Bentuk : simetris
Bibir : sianosis (-), edema (-), perdarahan (-)
Lidah : leukoplakia (-)
Leher Tidak tampak deviasi trakea
Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening.
Tidak tampak hipertrofi SCM dan SCM tidak aktif
JVP : 5 2 cm
Toraks Inspeksi:
Pada keadaan statis, bentuk dinding dada kanan dan kiri terlihat
simetris. Bentuk dan ukuran dinding dada kanan dan kiri terlihat
sama.
Pada keadaan dinamis, dinding dada kanan dan kiri terlihat simetris dan
tidak terlihat pergerakan dinding dada kanan maupun kiri tertinggal
pada waktu pernafasan.
Tidak terdapat retraksi atau penggunaan otot pernapasan tambahan.
Pada permukaan dada : massa (-), jaringan sikatrik (-), jejas (-), spider
naevi (-)
Fossa supraklavikula dan infraklavikula tidak cekung dan simetris.
Fossa jugularis : tidak tampak deviasi trakea.
Pulsasi ichtus kordis tidak tampak
Tipe pernafasan : torako-abdominal dengan frekuensi nafas 18 kali/
menit

Palpasi:
Pergerakan dinding dada simetris.
Vokal fremitus dinding dada kiri dan kanan teraba dan simetris.
Ichtus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra.
Nyeri tekan (-), massa (-), thrill (-), krepitasi (-)

Perkusi:
Pada kedua lapangan paru sonor +/+.
Batas Paru Hati :
- Inspirasi : ICS IV linea midklavikula dextra
- Ekspirasi : ICS V linea midklavikula dextra
- Ekskursi : 1 ICS
Batas Paru-Jantung :
- Batas atas : ICS 2
- Batas bawah : ICS 5
- Batas kanan : ICS 5 linea parasternal dextra
- Batas kiri : ICS 5 linea midclavikula sinistra
Auskultasi:
Bunyi paru vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Bunyi jantung S1dan S2 tunggal, murmur(-), gallop (-).
Abdomen Inspeksi :
Dinding abdomen simetris, massa (-), distensi (-), vena kolateral (-),
caput medusa (-), jaringan sikatrik (-)

Auskultasi :
Bising Usus (+) normal, metalic sound ( -), bising aorta (-)

Palpasi :
Turgor : Normal
Tonus : Normal
Nyeri tekan (+) di epigatrik, distensi abdomen (-), defense muscular
(-), Nyeri tekan mac burney (-), rovsing sign (-), psoas sign (-),
obturator sign (-), Hepar / Lien / Ren : tidak teraba

+ + -

- - -

- - -
Perkusi :
Timpani di seluruh lapangan abdomen
Nyeri ketok CVA (-)

Punggung Tampak dalam batas normal.


Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang.
Ekstremitas atas
+ +
dan bawah Akral hangat
+ +

Deformitas
- an direct meningkatium dextra, serta murphy sign positif.eri tekan ejak 4 hari SMRS.
sar 2 kali/hari, padat, nyeri saat BAB (- -
- -

Sianosis
- -
- -

Edema - -
- -

Genetelia Tidak dievaluasi

Pemeriksaan EKG
Interpretasi Q patologis di lead II, III, AVF
ST elevasi di lead V1,V2,V3,V4
T inverted di lead V6

III RESUME
Pasien laki-laki 70 tahun datang ke RS dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri
sejak 1 SMRS. Nyeri dada dirasakan ketika pasien sedang duduk. Nyeri dirasakan
pada dada sebelah kiri dan menjalar ke leher dan punggung. Nyeri dirasakan seperti
tertimpa beban berat. Nyeri juga dirasakan pada ulu hati dan tembus sampai ke
belakang. Os sering mengeluh seperti ini sejak 1 bulan SMRS dan mereda jika
beristirahat. Os memiliki riwayat nyeri ulu hati yang berulang sudah sejak 1 bln
SMRS.
Pemeriksaan Tanda vital dalam batas normal
Pemeriksaan fisik terdapat nyeri tekan pada epigastrium

Pemeriksaan EKG : Q patologis di lead II, III, AVF


ST elevasi di lead V1,V2,V3,V4
T inverted di lead V6

IV IDENTIFIKASI MASALAH

Chest pain
Subjek :
Os mengeluh nyeri dada sebelah kiri sejak 1 hari SMRS . Nyeri dirasakan
menjalar ke leher dan punggung. Nyeri dirasakan seperti tertimpa beban berat.
Nyeri juga dirasakan pada ulu hati dan tembus sampai ke belakang.
Objek :
Tanda Vital : Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 76 x/ menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5 C
Assesment :
Chest pain ec ACS / STEMI

Planning :
Rencana diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium (Darah rutin,GDS, CK, CKMB, Troponin I ), Rontgen
thorax
Rencana Terapi

Istirahat

O2 nasal kanul 3L/menit

Infuse RL / 8 jam

Injeksi ranitidin 1 ampul

ISDN 5 mg SL

Konsul SP.JP

- Amiodaron injeksi 75 mg diencerkan dalam 3 cc Nacl pelan-pelan


- Amiodaron 1x1 untuk maintenance
- ISDN 3 x 5 mg
- Ranitidin tab 2x1
- Asamefenamat 3 x 1
- Ketorolak inj iv 1 ampul
- Ranitidin iv 3x1
- Dulcolax tab 1 x 1
- Diazepam tab 1 x 5 mg
- Rawat ICU

V PROGNOSIS
Dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

I. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan
oleh faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi
dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit
memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.

Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi


terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von
Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang
dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelets dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada
kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas
kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).

PEMBENTUKAN PLAK ATEROSKLEROTIK

Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses sederhana
karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses infl
amasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi
endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya
sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh
darah.

1. Inisiasi proses aterosklerosis: Peran endotel


Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan
arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi
sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel,
migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons infl
amatorik, dan pembentukan kapsul fi brosis.

Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain
hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif
juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktorfaktor risiko ini dapat menyebabkan
kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel
memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel
mengaktifkan proses infl amasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu
terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel yang
mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai berikut:

a. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi endothelin-1 yang berlebihan,


yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler

b. Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin, molekul adhesif antarsel,


dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1
[VCAM-1])

c. Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal.

2. Perkembangan proses aterosklerosis: Peran proses inflamasi


Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke
lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah
berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami diff erensiasi menjadi makrofag.
Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri,
berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang
teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte
chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor , IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive
protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag,
sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks
ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari
tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fi brosis
yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah.
Makrofag juga menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna
matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.

Peningkatan adhesivitas endotel


Peningkatan permeabilitas endotel ( memudahkan migrasi LDL dan monosit ke tunika intima
pembuluh darah)
Migrasi dan proliferasi sel otot polos dan makrofag
Pelepasan enzim hidrolitik, sitokin dan faktor pertumbuhan
Nekrosis fokal dinding pembuluh darah
Perbaikan jaringan dengan fibrosis
Tabel 1. Komponen primer pembentukan plak aterosklerosis karena disfungsi endotel

3. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami ruptur

Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan
makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan untuk
mengalami ruptur. LDL yang termodifi kasi meningkatkan respons infl amasi oleh
makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak
migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan
seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks metaloproteinase
yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima,
yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis.

Jika kapsul fi brosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran
darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya
bekuan. Proses pro-inflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas.
Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan
mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF- bekerja mengurangi proses
inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses
penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke
arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan
menjadi rentan mengalami ruptur.

4. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA


Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya
waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis lumen mencapai 70-
80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini
kebanyakan hanya menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang
ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fi brosa yang tipis, dan infl amasi dalam
plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur.

Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar
darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi
dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam proses
hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem
koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder.
Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang
dimediasi trombosit.

Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk :

a. Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya menyebabkan oklusi
sebagian.
b. Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fi brin. Terbentuk karena aktivasi kaskade
koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih,
menyebabkan terjadinya oklusi total.

GAMBARAN KLINIS ISKEMIA SKA merupakan suatu kontinuum. Gejala muncul


apabila terjadi ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen jantung. Angina
stabil ditandai dengan adanya plak ateroskerosis dengan stenosis permanen. Gejala klinis muncul
apabila kebutuhan oksigen melebihi suplai oksigen ke jantung (latihan, stres). Jika terjadi dalam
jangka waktu lama, biasanya didapatkan aliran darah kolateral yang signifi kan. Angina tak-stabil
terjadi karena menurunnya perfusi ke jantung (disrupsi plak menyebabkan terbentuknya trombus
dan penurunan perfusi) atau peningkatan kebutuhan oksigen (oxygen mismatch). Trombus
biasanya bersifat labil dengan oklusi tidak menetap. Pada angina tak stabil, miokardium
mengalami stres tetapi bisa membaik kembali. NSTEMI terjadi bila perfusi miokardium
mengalami disrupsi karena oklusi trombus persisten atau vasospasme. Adanya trombolisis
spontan, berhentinya vasokonstriksi, atau adanya sirkulasi kolateral membatasi kerusakan
miokardium yang terjadi. Sedangkan STEMI terjadi bila disrupsi plak dan trombosis
menyebabkan oklusi total sehingga terjadi iskemia transmural dan nekrosis.

IMPLIKASI PADA TERAPI SKA Patogenesis SKA melibatkan peranan endotel, sel infl
amatorik, dan trombogenisitas darah. Dengan memahami patofisiologinya, terapi SKA mudah
dipahami. Pada angina tidak stabil dan NSTEMI, hanya didapatkan trombus putih. Sedangkan
pada STEMI, selain trombus putih, juga didapatkan trombus merah. Pada angina tak-stabil
maupun NSTEMI, tujuan terapi antitrombotik adalah untuk mencegah terjadinya trombosis lebih
lanjut. Revaskularisasi sering digunakan untuk meningkatkan perfusi dan mencegah reoklusi
atau iskemia rekuren. Pada STEMI diperlukan reperfusi farmakologi atau dengan kateter
secepatnya, supaya dapat mempertahankan perfusi koroner. Terapi fi brinolisis hanya dilakukan
pada STEMI dan merupakan kontraindikasi pada angina tidak stabil maupun NSTEMI.
Gambar 1.

II. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksan dari STEMI adalah Reperfusi.Terapi reperfusi harus dilakukan


sesegera mungkin dalam waktu 12 jam setelah onset gejala dari STEMI. 1Tujuan pengobatan
pasien miokardinfark akut dengan STEMI (termasuk mereka yang diduga mengalami onset baru
blok berkas cabang kiri (LBBB) adalah untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat
metabolik akibat oklusi trombotik persisten di arteri koroner. Reperfusi merupakan pilihan
strategi utama dalam tatalaksana STEMI di menit-menit awal kontak pasien pertamakali ke unit
pelayanan medis terdekat. Hingga saat ini laporan-laporan uji coba klinik reperfusi awal jam-jam
pertama serangan STEMI menunjukkan bahwa reperfusi koroner secara intervensi koroner
perkutan (selanjutnya disingkat IKP) mampu mengurangi angka kejadian re-infark, stroke dan
mortalitas lebih baik dibandingkan reperfusi koroner dengan menggunakan fibrinolitik. Beberapa
strategi reperfusi koroner yang sudah lama kita kenal yaitu reperfusi farmakologik (dengan obat-
obatan fibrinolitik), intervensi koroner perkutan primer (selanjutnya disingkat IKPP), intervensi
koroner perkutan fasilitasi (fascilitated PCI), intervensi koroner perkutan penyelamatan (rescue
PCI), dan stretegi reperfusi yang baru-baru ini mulai dijalankan di beberapa senter adalah strategi
farmako-invasif. 2

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalisir derajat disfungsi
dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle
time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan
prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam
pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan
angka kematian. Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan
dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak
tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan 3

Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan reperfusi sesegera mungkin,
dapat berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang
diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang
terlambat (>12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi jika pasien masih mengeluh nyeri dada yang
khas infark (ongoing chest pain). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika
dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.Percutaneous Coronary Interventions
(PCI) merupakan intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting).

1. PCI primer : yang tidak didahuluiterapi trombolitik sebelumnya selama 12 jam


setelah gejala awal disebut PCI primer (primary PCI). PCI primer lebih efektif dari
fibrinolitik untuk membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik.
Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit.3

American College of Cardiology/American Heart Association dan European Society of


Cardiology merekomendasikan dalam penatalaksanaan pasien dengan STEMI selain diberikan
terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain seperti anti-platelet (aspirin, clopidogrel,
thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular
Weight Heparin (LMWH),nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor
Blocker4

Bagan No.2

1. Antiplatelet
Anti platelet yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam mempertahankan
patensi arteri koroner yang terkena infark.Baik aspirin maupun clopidogrel harus segera
diberikan pada pasien STEMI ketika masuk ruangan emergensi.
1.1. Aspirin

Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.Aspirin terbukti dapat menurunkan


angka kematian, mencegah reoklusi coronary dan menurunkan kejadian iskemik berulang pada
pasien dengan Infark Miokard Akut.Aspirin harus segera diberikan kepada pasien STEMI setelah
sampai di departemen emergensi.1 Pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar
23% dan infark non fatal sebesar 49%.Aspirin merupakan golongan anti platelet yang merupakan
rekomendasi dari ACC/AHA untuk terapi STEMI. Pada STEMI Kelas I yaitu aspirin harus
dikunyah oleh pasien dan perawat tidak boleh memberikan aspirin sebelum menunjukkan adanya
diagnosa STEMI. Dosis awal yang harus diberikan adalah 162 mg (Level of Evidence : A)
sampai 325 mg (Level of Evidence : C). Walaupun begitu beberapa penelitian menggunakan
enteric-coated aspirin untuk dosis awal, namun dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non
enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal. Dengan pemberian dosis aspirin 162 mg
atau lebih, aspirin akan menghasilkan efek klinis antithrombotic dengan cepat hal ini disebabkan
oleh produksi inhibitor total thromboxan A2. Aspirin sekarang merupakan bagian dari
manajemen awal untuk seluruh pasien yang dicurigari STEMI dan harus segera diberikan dan
diberikan dalam 24 jam pertama dengan dosis antara 162 325 mg dan dilanjutkan dalam jangka
waktu tidak terbatas dengan dosis harian 75 162 mg. Walaupun dalam beberapa penelitian
menggunakan enteric coated aspirin untuk dosis awal, namun dengan menggunakan aspirin
dalam bentuk non enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal.5

Kontraindikasi dalam pemberian aspirin meliputi pasien yang mengalami hipersensitivitas,


perdarahan aktif pada saluran pencernaan atau penyakit hepatic kronis. 1Analisis observasional
dari studi CURE menunjukkan hasil serupa tingkat kematian kardiovaskuler, Miokard Infark
maupun stroke pada pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) yang menerima dosis tinggi (>
200 mg), dosis sedang (110-199 mg) maupun dosis rendah (< 100 mg) aspirin per hari. Dimana
dari hasil studi tersebut menyebutkan bahwa tingkat perdarahan mayor meningkat secara
1
signifikan pada pasien ACS yang menerima aspirin dosis tinggi Walaupun begitu, agen
antiplatelet lain juga direkomendasikan untuk diberikan pada pasien dengan STEMI jika pasien
menunjukkan alergi atau intoleransi terhadap aspirin, dapat digantikan dengan clopidogrel5.

1.2. Clopidogrel
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan
hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi
primer atau fibrinolitik. Clopidogrel (Plavix; sano aventis/Bristol-Myers Squibb) merupakan
thienopyridine yang dimetabolisme melalui cytochrome P450 didalam hepar. Clopidogrel aktif
dimetabolisme secara irreversible oleh reseptor antagonis P2Y126.

Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari pengaruh


clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan atau tanpa
terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral
(kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar
pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun
tertinggi (18%) (Firdaus, 2011). Sedangkan penelitian COMMIT-CCS-2 yang dilakukan di Cina
pada pasien dengan Miokard Infark dengan 93 % pasien mengalami STEMI atau bundle branch
block dan 54 % pasien dengan thrombolysis. Penelitian tersebut dengan menggunakan
clopidogrel yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian, reinfarksi atau mencegah
terjadinya stroke. CLARITY-TIMI melalui 28 penelitian, dimana clopidogrel mengurangi efikasi
titik akhir primer komposit dari sumbatan arteri infark pada angiografi, menurunkan angka
kematian atau mencegah terjadinya Miokard Infark berulang pada pasien STEMI yang menerima
terapi trombolitik. Pengobatan dengan clopidogrel sebelum dan setelah PCI secara signifikan
dapat mengurangi insiden/ kejadian kematian kardiovaskuler atau komplikasi iskemik1.

Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien STEMI dengan pemberian secara oral
dengan dosis loading awal segera yaitu 300 mg yang dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75
mg. Pada pasien dengan PCI, disarankan untuk pemberian dosis loading sebesar 600 mg
bertujuan untuk mencapai lebih cepat penghambatan fungsi trombosit. Pemberian clopidogrel
secara maintenance selama 12 bulan kecuali jika didapatkan adanya resiko perdarahan massif 7

2. Obat antiplatelet baru


Inhibitor P2Y2 terbaru, pasugrel dan ticagrelor, merupakan agregrasi platelet inhibitor
terbesar dan memiliki manfaat lebih besar dari pada clopidegrol untuk terapi STEMI.Penelitian
TRITON-TIMI 38 trial membandingkan pasugrel dengan clopidegrol pada 3534 pasien STEMI
yang menjalani PCI.Pasugrel signifikan menurunkan primary endpoint, meliputi kematian
kardiovaskuler, non fatal MI, atau non fatal stroke selama 30 hari. Namun, pemberian pasugrel
harus dihindari pada pasien dengan riwayat stroke iskemia atau transient ischemic attack, pasien
dengan usia lebih dari 75 tahun dan pasien dengan berat badan kurang dari 60 kg karena analisis
pada subgroup 38 percobaan TRITON TIMI tidak menemukan manfaat yang lebih besar dari
pasugrel karena memiliki resiko perdarahan lebih besar pada subgroup tersebut.

Saat ini, pasugrel dapat digunakan sebagai alternatif clopidogrel pada pasien STEMI yang
menjalani Primary PCI.Ticagrelor merupakan obat aktif dan tidak memerlukan transformasi
metabolik.Penelitian PLATO membandingkan ticagrecol dengan clopidogrel pada 7544 pasien
STEMI yang sedang menjalani Primary PCI. Dari hasil penelitian menunjukkan kecenderungan
dapat menurunkan primary endpoint dari kematian kardiovaskuler, Miokard infark atau stroke
[hazard ratio (HR), 0.87; 95% confidence interval, 0.75 to 1.01; p = 0.07]. Tetapi, tidak ada
perbedaan yang signifikan terhadap perdarahan mayor diantara dua kelompok 1.

3. Anti Koagulan
Terapi antikoagulan pada pasien STEMI diberikan salah satu tujuannya adalah mendukung
terapi Primary PCI. Pada pasien STEMI yang sedang menjalani terapi trombolitik, antikoagulan
biasanya diperlukan untuk meningkatkan pantensi awal koroner dan mengurangi reoklusi.

3.1. Unfractionated Heparin (UFH)


Heparin merupakan mukopolisakarida heterogen yang berinteraksi dengan antitrombin III
dengan meningkatkan efek penghambatan terhadap thrombin.Unfractionated Heparin (UFH)
dianggap sebagai terapi anti koagulan standart untuk pengobatan pasien ST Elevasi Miokard
Infark (STEMI), termasuk pasien yang diobati dengan menggunakan Percutaneous Coronary
Intervention (PCI). Menurut Guidelines from the American College of Cardiology and European
Society of Cardiology merekomendasikan penggunaan UFH dengan level evidence C 8

UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik
spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi
arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum
4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.

Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat
emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi
tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh
(UFH atau LMWH) selama dirawat dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan 2.

Pada pasien yang mendapatkan pengobatan agen spesifik fibrin (Alteplase, t-PA), pemberian
intravena UFH harus dilanjutkan selama 48 jam.Namun, peran UFH menjadi kurang penting
ketika sedikit agen trombolitik spesifik fibrin misal streptokinase digunakan.Karena agen
tersebut membentuk sistemik koagulopati dan membuat agen tersebut membuat sendiri agen
antikoagulan kuat. Pada pasien yang menjalani pengobatan Primary PCI, tambahan bolus UFH
harus diberikan dimana UFH diperlukan selama prosedur PCI untuk menjaga ACT (activated
clotting time) sekitar 250-350 detik ( 200-250 detik jika GP IIb/IIIa inhibitor digunakan).

Pemberian UFH dapat dilanjutkan selama 24 48 jam setelah tindakan Primary PCI atau
dipertimbangkan untuk menghentikan pemberian jika sirkulasi koroner kembali dan tidak ada
resiko tinggi seperti anterior miokard infark, atrial fibrilasi, embolisme sebelumnya atau LV (left
ventricle) thrombus. Untuk pasien tanpa terapi reperfusi, pemberian UFH harus dengan durasi
yang optimal dengan pemberian UFH selama 48 jam jika tidak ada kontraindikasi dan
penggunaan UFH harus diberikan secara individual dan sesuai dengan kondisi klinis pasien 1

3.2. Enoxaparin (Low Molecular Weight Heparin/ LMWH)


Enoxaparin merupakan heparin dengan berat molekul rendah (Low Molecular Weight
Heparin/ LMWH) yang memiliki biovailabilitas yang bagus dan preferential aktivitas anti Xa.
Pada penelitian ExTRACT-TIMI 25 trial, pasien STEMI mendapatkan terapi trombolisis dan
aspirin secara random diberikan enoxaparin IV 30 mg bolus di ikuti dengan pemberian 1 mg/kg 2
kali perhari secara subkutan selama 8 hari atau intravena bolus UFH 60 IU/kg di ikuti dengan
infus 12 IU/kg/jam selama 48 jam. Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa secara signifikan
enoxaparin lebih efektif dibandingkan dengan UFH dalam penurunan primary composite
endpoint of deathatau reinfark selama 30 hari.
Sedangkan untuk tingkat perdarahan mayor lebih sering dengan enoxaparin selama 30 hari,
namun terjadinya perdarahan intracranial hampir sama penggunaan enoxaparin dengan UFH.
Walaupun begitu, enoxaparin dapat digunakan sebagai alternative pengganti UFH pada pasien
STEMI yang mendapatkan terapi trombolitik. Pada pasien STEMI yang tidak menerima terapi
reperfusi, efek dari enoxaparin dan UFH hampir sama. Penelitian lain yang dilakukan TETAMI,
membandingkan enoxaparin 30 mg IV bolus, di ikuti dengan 1 mg/kg subkutan 2 kali perhari
selama 2-8 hari dengan intravena UFH pada pasien STEMI yang tidak mendapatkan terapi
reperfusi. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan
antara enoxaparin dan UFH dalam menimbulkan combined end point of death, reinfarksi atau
serangan angina kembali selama 30 hari. Karena memiliki profil manfaat yang hampir sama
dengan UFH, enoxaparin dapat dijadikan sebagai alternatif pengobatan pada pasien STEMI non
reperfusi. Jika pasien awalnya diobati dengan enoxaparin tetapi kemudian membutuhkan
tindakan PCI, maka dosis 0,3 mg/kg enoxaparin dapat diberikan secara IV untuk PCI jika dosis
sub kutan terakhir adalah 8-12 jam sebelumnya. Jika dosis subkatan yang lalu telah diberikan 8
jam sebelumnya, maka tidak diperlukan enoxaparin tambahan untuk PCI 1.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Murphy, Et al (2007) dengan membandingkan enoxaparin
dengan UFH pada pasien ACS baik STEMI maupun NSTE-ACS yang berjumlah 49.088 pasien
secara meta analisis. Dari hasil pembahasan didapatkan bahwa enoxaparin dikaitkan dengan
manfaat yang besar sebagai terapi adjunctive antithrombin diantara lebih dari 49.000 pasien
diseluruh spectrum ACS.Walaupun perdarahan mayor meningkat dengan menggunakan
enoxaparin, tetapi peningkatan ini di imbangi dengan penurunan yang signifikan dalam kematian
non-fatal miokard infark.

3.3. New Anticoagulan Drug


Bivalirudin

Bivalirudin merupakan direk inhibitor thrombin yang di indikasikan untuk digunakan selama
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) meliputi pasien dengan STEMI maupun Unstable
angina/ NSTEMI. Dari hasil penelitian penggunaan bivalirudin menurunkan resiko perdarahan
dan gejala klinis. Selain itu, pemberian bivalirudin juga menurunkan resiko kematian, reinfraksi,
serta perdarahan mayor 9
Dosis awal yang diberikan IV melalui bolus 0,75 mg/kgBB/jam selama durasi prosedur PCI
serta dapat dilanjutkan sampai 4 jam post PCI dengan dosis 1,75 mg/kgBB . Kontraindikasi
pemberian bivalirudin yaitu pada pasien dengan perdarahan aktif atau meningkatnya resiko
perdarahan akibat kelainan haemostasis atau irreversible coagulation disorder, hipertensi berat
yang tidak terkontrol, endokarditis dan gagal ginjal kronik (GFR < 30 ml/mnt). Selain itu, harus
diperhatikan efek samping dari pemberian terapi bivalirudin yaitu terjadinya perdarahan minor
maupun mayor (Sani, 2010). Sehingga diperlukan peran perawat selama pemberian obat tersebut
dalam memonitor proses pemberian obat serta efek samping yang ditimbulkan . Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Pinto, Et al (2010) membandingkan hasil klinis dan ekonomis pada pasien
ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI) yang menjalani tindakan klinis rutin Primary Percutaneous
Coronary Intervention (PPCI), dengan memberikan terapi bivalirudin dengan heparin dan
glycoprotein IIb/IIIa receptor inhibition (GPI) sepktrum luas. Pasien dikelompokkan menjadi 2
kelompok pengobatan, yaitu bivalirudin dan heparin dengan GPI. Dari hasil studi tersebut
disimpulkan bahwa pemberian bivalirudin dibandingkan dengan heparin dan glycoprotein
IIb/IIIa receptor inhibition (GPI) pada pasien yang sedang menjalani PCI menunjukkan hasil
yaitu angka kematian yang lebih rendah (3,2 % vs 4,0 %), rendahnya resiko perdarahan (16,9%
vs 10,5%), perdarahan setelah transfusi ( 1,6 % vs 3,0 %) dan pemberian transfusi ( 5,9 % vs 7,6
%). Pasien yang mendapatkan terapi bivalirudin memiliki rata-rata perawatan lebih pendek
( rata-rata 4,3 hari vs 4,5 hari) serta biaya perawatan yang lebih rendah (rata-rata $ 18.640 vs
$19.967). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian bivalirudin selama tindakan PCI
menurunkan resiko kematian dan perdarahan, dan menurunkan biaya perawatan rumah
sakit.Percobaan HORIZON-AMI, bivalirudin dibandingan dengan UFH plus GP IIb/IIIa
inhibitor pada pasien STEMI yang sedang menjalani primary PCI. Bivalirudin memiliki tingkat
yang lebih rendah terhadap kejadian klinis, meliputi perdarahan mayor, kematian, urgent target
vessel revascularization, Miokard Infark dan stroke selama 30 hari. Manfaat paling signifikan
adalah mengurangi komplikasi dari perdarahan mayor.Oleh karena itu, bivalirudin dapat
digunakan sebagai alternatif terapi pasien STEMI yang sedang menjalani tindakan invasif 1.

Fondaparinux
Fondapariniux merupakan sintetik factor Xa inhibitor yang terikat pada antitrombin III dan
meningkatkan antitrombin III-mediated factor Xa inhibition. OASIS melakukan 6 percobaan,
Efek fondaparinux yang diujikan pada pasien STEMI yang sedang menjalani terapi trombolisis,
Primary PCI, atau tidak ada terapi reperfusi dan dibagi menjadi dua kelompok yang tergantung
pada kebutuhan terhadap UFH selama 30 hari. Secara keseluruhan, fondaparinux signifikan
dalam menurunkan kejadian primary efficacy outcome(kematian atau Miokard Infark
berulang).Manfaat signifikan didapatkan pada pasien yang menerima terapi trombolisis atau
tidak ada terapi reperfusi tetapi tidak pada pasien yang sedang menjalani primary PCI.Dengan
demikian. Fondaparinux dianjurkan sebagai alternatif antikoagulan pada pasien STEMI yang
dirawat secara konservatif, tetapi tidak pada pasien yang menjalani primary PCI 3

C) Penyekat Beta / Beta Blockers

Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang terjadi
segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena memperbaiki
hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta
pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi
inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau
fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat
asma). Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3
dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100
mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam 3
DAFTAR PUSTAKA

1. ACC/AHA. 2004. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-
Elevation Myocardial Infarction. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/110/9/e82.pdf
2. Heng Li, Et al. (2012). 2012 Guidelines of the Taiwan Society of Cardiology (TSOC) for
the Management of ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Vol. 28. (63-89).
Diakses dari http://www.tsoc.org/
3. Firdaus, (2011). Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI JurnalKardiologi
Indonesia. 2011;32:266-71ISSN 0126/3773.
4. Firman, (2010). Intervensi Koroner Perkutan Primer.Jurnal Kardiologi Indonesia. Jurnal
Kardiologi Indonesia. 2010; 31:112-117ISSN 0126/3773
5. Farissa, I.P. (2012). Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST- Elevasi (STEMI)
yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi. Studi di RSUP Dr.Kariadi
Semarang.
6. Antman, Et al. (2013). ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-
Elevation Myocardial InfarctionExecutive Summary. Diakses dari
http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.pdf.
7. Hoekstra, (2010).Optimal Anti Platelet and anti thrombosic therapi in the Emergency
Department. Advancing Standard of Care : Cardiovascular and Neurovascular
Emergencies. Diakses dari http://www.emcreg.org.
8. Daga, Et al. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI. Vol 59. (19-25).
9. Navarese, Et al. (2011). Low-molecular-weight heparins vs. unfractionated heparin in the
setting of percutaneous coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction: a
meta-analysis. Journal of Thrombosis and Haemostasis. Vol 9, (19021915). Diakses dari
http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer.
10. Pinto, Et al. (2010). Intervention: Results From an Observational Database in ST-
Elevation Myocardial Infarction Patients Undergoing Percutaneous Coronary
Bivalirudin Therapy Is Associated With Improved Clinical and Economic Outcomes.
Journal Of American Hearth Association. Vol 5. (52-61). Diakses dari
http://circoutcomes.ahajournals.org/.
11. Kleinschmidt KC. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary Syndrome. Adv
Stud Med. 2006;6(6B):S477-S482.http://www.jhasim.com/files/articlefi
les/pdf/ASIM_6_6Bp477_482_ R1.pdf.

12. Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology,


Pathophysiology, and Clinical Features. Dalam: Braunwald E. ed. Braunwalds Heart
Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. Pp: 1207-31.
13. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Pedoman Praktis Tatalaksana
Sindroma Koroner Akut. 2008. Jakarta: FKU

Anda mungkin juga menyukai