Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

KASUS

PASIEN DM TIPE 2 DENGAN GASTROPATI DIABETIKUM


CKD ST 3 EC DKD
ANEMIA SEDANG N-N ON CKD
HIPERTENSI ST II
KATARAK IMATUR OS
ABSES REGIO BRACHII SINISTRA

I Putu Mahendra Yogi Semara

Penguji : dr. Dewa Made Sadguna Sp.PD

SMF Ilmu Penyakit Dalam

FKIK Universitas Warmadewa/ RSUD Sanjiwani Gianyar

1.1 Pendahuluan

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya (PERKENI,2015).
Berdasarkan PERKENI tahun 2011 Diabetes Melitus dibagi menjadi 4 klasifikasi
yaitu: DM tipe 1, DM tipe 2, DM Gestasional, dan DM tipe lainnya. Saat ini penelitian
epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM
tipe 2, WHO memprediksi penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (PERKENI, 2015)
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh
meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Diabetes
melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan penyakit
ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes melitus ini kemudian lebih
dikenal dengan nama Diabetic Kidney Disease (DKD) yang sesungguhnya merupakan
komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita
diabetes mellitus. Komplikasi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan
gangguan fungsi ginjal yang progresif dengan ekskresi protein pada urin yang
berlanjut dengan penurunan fungsi ginjal. Proteinuria pada umumnya ditemukan
dalam perjalanan penyakit ginjal progresif, peran proteinuria khususnya
mikroalbuminuria sebagai petanda awal nefropati diabetik. disebut sebagai faktor
kunci awal yang meramalkan progresivitas dari glomerulopati diabetik dan dipandang
sebagai ukuran keparahan dan pemicu terjadinya nefropati yang progresif. Pada
sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang
memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. DKD menduduki urutan
ketiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik
(18,51%), sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci
darah (Sunaryanto, 2010).
Pada tahun 1981 Nefropati diabetika ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6
di Negara barat dan saat ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis
disebabkan oleh karena Diabetes mellitus teritama DM tipe II oleh karena DM tipe ini
lebih sering dijumpai. Berdasar studi Prevalensi mikroalbuminuria (MAPS), hampir
60% dari penderita hipertensi dan diabetes di Asia menderita Nefropati diabetik.
Presentasi tersebut terdiri atas 18,8 % dengan Makroalbuminuria dan 39,8 % dengan
mikroalbuminuria (ADA,2004) . Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes
dan komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti.

1.2 Tinjauan Pustaka


Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan
hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan
fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah (ADA, 2012).

Secara garis besar patogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh 8 hal (omnious octet) yaitu:
Kegagalan sel beta pancreas, liver, otot, sel lemak, usus, sel alpha pancreas, ginjal, dan otak.
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa yang
disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan
tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit (Purnamasari, 2009).
Kriteria diagnostic (PERKENI, 2015) :
- Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu 200 mg/dl. Gula darah sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan
terakhir, atau
- Kadar Gula Darah Puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikit nya 8 jam, atau
- Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan
dalam air, atau
- Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan menggunakan metode High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP).
Komplikasi diabetes terbagi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik. 1. Komplikasi Akut
yaitu Hipoglikemi, Ketoasidosis Diabetik (KAD), asidosis laktsat dan Hyperglycemic
Hyperosmolar State (HHS). Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD), kombinasi defisiensi insulin
dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon
lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi
peningkatan produksi badan keton dan asam lemak secara berlebihan. Akumulasi produksi
badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolik. Badan keton utama adalah
asam asetoasetat (AcAc) dan 3-beta-hidroksibutirat (3HB). Pada Hyperglycemic
Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih banyak dibanding natrium menyebabkan
keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009). 2. DM yang tidak dikelola dengan baik dan tidak
terkontrol akan berlanjut menjadi komplikasi kronis yaitu: komplikasi vaskular atau angiopati
dan non-vaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati,
neuropati, dan nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer,
penyakit serebrovaskular). Sedangkan komplikasi non-vaskular dari DM yaitu infeksi dan
perubahan kulit (Powers, 2010).

Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada
penderita diabetes. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada filter ginjal atau yang dikenal
dengan glomerulus. Oleh karena terjadi kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah
diekskresikan ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah
albumin. Pada keadaan normal albumin juga diekskresikan dalam jumlah sedikit dalam urine.
Peningkatan kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal adanya kerusakan ginjal oleh
karena diabetes. PGD dapat dibedakan menjadi dua kategori utama berdasarkan jumlah
albumin yang hilang pada ginjal, yaitu: 1. Mikroalbuminuria Terjadi kehilangan albumin
dalam urine sebesar 30-300 mg/hari. Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan
nefropati insipien. 2. Proteinuri Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari
300mg/hari. Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau nefropati overt.
DM tipe II memiliki patogenesis yang lebih bervariasi. Penderita sering didiagnosis
sudah dengan mikroalbuminuria yang disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan faktor
lain yang mempengaruhi ekskresi protein. Sebagian kecil penderita dengan mikroalbuminuria
akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap lanjut. Tanpa intervensi, sebanyak 30%
penderita 3 akan berkembang menjadi nefropati dengan proteinuria yang nyata, dan setelah 5-
10 tahun mengalami nefropati, sekitar 20% akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir. Diabetes yang lama menyebabkan perubahan pada pembuluh darah kecil yang dapat
menyebabkan kerusakan ginjal dimana kerusakan ginjal tersebut dapat menyebabkan
kegagalan ginjal yang berat. Kerusakan ginjal dapat dimulai sejak tahun pertama setelah
terdiagnosis menderita DM tipe I dan dapat ditemukan pada saat terdiagnosis DM tipe II.
Namun diperlukan waktu sekitar 5-10 tahun untuk menjadi masalah kerusakan ginjal yang
bermakna.
Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuria pada penderita DM baik tipe I
maupun tipe II. Bila jumlah protein atau albumin di dalam urin masih sangat rendah,
sehingga sulit untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah
>30 mg/24 jam ataupun >20g/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Hal ini sudah
dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau proteinuria ini dapat juga
ditentukan dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut
sebagai albumin atau kreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albumin atau protein dalam
urine selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam
tabel di bawah ini: Tabel 2.2 Tingkat Kerusakan Ginjal 11 Kategori Kumpulan Urin 24
jam(mg/24 jam) Kumpulan Urin sewaktu (g/menit) Urin Sewaktu (g/mg creatinin) Normal
Mikroalbuminuria Albuminuria Klinis < 30 30 299 300 < 20 20 199 200 < 30 30
299 300
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis menurut KDIGO (Eknoyan et al, 2012)
1. Tahap I Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% ( LFG: 90 ) di atas normal
yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah
biasanya normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0 5 tahun sejak awal
diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya
kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.
2. Tahap II Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubaan struktur ginjal
berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat (LFG: 60-89). Albuminuria hanya akan meningkat
setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini
dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas
biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut sebagai
tahap sepi (silent stage).
3. Tahap III Ini adalah tahap awal nefropati (insipient diabetic nephropathy), saat
mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM tegak.
Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus. LFG masih
tetap tinggi ( LFG : 30-59) dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan
ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali
glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4. Tahap IV Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara
klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering
meningkat secara LFG yang sudah menurun di bawah normal (LFG: 15-29). Ini terjadi
setelah 15 20 tahun DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti
retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum. Progresivitas ke
arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah
dan tekanan darah.
5. Tahap V Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG <15 sehingga penderita menunjukkan
tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis
maupun cangkok ginjal.
Peran Angiotensin II dalam Nefropati Diabetik 1. Vasokonstriksi sistemik 2. Peningkatan
tahanan arteriol glomerulus 3. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus 4. Peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus 5. Penurunan luas permukaan filtrasi 6. Stimulasi protein
matriks ekstraseluler 7. Stimulasi faktor fibrogenik
Anemia pada Diabetes Kidney Disease sering ditemukan. Anemia merupakan
komplikasi umum dan lebih sering terjadi pada orang dengan diabetes dibandingkan orang
tanpa diabetes. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rani, Raman, Rachepalli, et al.
(2010), prevalensi anemia pada penderita DM tipe 2 adalah sebesar 12,3%. Untuk pasien DM
yang berusia 40-49 tahun, prevalensi anemia lebih tinggi pada wanita (26,4%) dibandingkan
dengan pria (10,3%). Hampir 1 dari 4 (23%) pasien dengan DM tipe 1 dan DM tipe 2
mengalami anemia. Anemia pada diabetes merupakan akibat dari kurangnya sintesis serta
pelepasan eritropoietin dari ginjal, peradangan sistemik, kekurangan zat besi dan juga adanya
faktor iatrogenik, seperti penggunaan Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACE-I).
Terjadiya anemia pada penyakit ginjal kronik berhubungan dengan penurunan Glomerulus
Filtrarion Rate (GFR) dan keadaan ini dianggap menjadi faktor risiko yang penting pada
gangguan di sistem kardiovaskular (Bonakdaran, Gharebaghi, Vahedian, 2011).
Sebuah studi observasional menunjukkan bahwa kadar Hb (Hemoglobin) yang rendah
pada pasien DM dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit ginjal serta morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular. Dalam uji klinis terkontrol, pengobatan anemia dengan
Erythropoietin Stimulating Agents (ESA) menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup,
tetapi belum menunjukkan hasil yang lebih baik (Mehdi dan Toto, 2009).
Penatalaksanaan dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan
kendali lemak darah. Disamping itu, perlu pula dilakukan mengubah gaya hidup seperti
pengaturan diet, penurunan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan
merokok dll. Semua tindakan ini adalah juga tindakan preventif terhadap penyakit
kardiovaskuler.
Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2015,
penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM,
yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis
(PERKENI, 2015).
1. Edukasi. Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman
tentang penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM, penyulit DM,
intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi,
dll.
2. Perencanaan makan. Perencanaan makan pada penderita DM dengan komplikasi
penyakit ginjal diabetik disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal
kronis. Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah
garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein
sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada penderita DM Tipe I diberi
diet mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan resiko terjadinya
penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76 %. Pada umumnya dewasa ini
disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 %
dari kebutuhan kalori pada penderita dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai
menurun, maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari mungkin
bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Jenis protein sendiri juga
berperan dalam terjadinya dislipidemia. Pemberian diet rendah protein ini harus
diseimbangkan dengan pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam.
Penderita DM sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi
dengan diet dan obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL
kolesterol < 100mg/dl pada penderita DM dan < 70 mg/dl bila sudah ada kelainan
kardiovaskuler.
3. Latihan Jasmani. Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30
menit. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap
insulin, tapi tetap harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani penderita.
Contoh latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang.
Prinsipnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).
4. Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
I. Obat Anti Diabetes (ADA, 2013)
Pemicu sekresi insulin: a. Sulfonilurea, dimana efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pancreas, pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang.
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal
serta malnutrisi b. Glinid, Terdiri dari repaglinid dan nateglinid . Cara kerja sama dengan
sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama. dan obat ini baik
untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
Peningkat sensitivitas insulin: a. Biguanid, golongan yang paling banyak digunakan adalah
Metformin. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai dislipidemia,
dan disertai resistensi insulin. b. Tiazolidindion, menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa
perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi
cairan.
Penghambat glukosidase alfa : Acarbose, bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di
usus halus. Acarbose tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonilurea. Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan
flatulens.
Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4): Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan
suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila
ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat
glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim
DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan pelepasan insulin dan menghambat
penglepasan glukagon.
Penghambat SGLT (Sodium Glucose Cotransporter 2): merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa ditubuli distal ginjal dengan cara
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Ipragliflozin.

Insulin diperlukan dalam keadaan (ADA, 2013) :


- HbA1C >9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat disertai dengan ketosis
- Gagal kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi hati dan ginjal yang berat
- Kontraindikasi terhadap OHO
Berdasarkan jenis dan lama kerja insulin dibagi menjadi 5 (PERKENI, 2015):
1. Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin) awitan 5-15 menit dan lama kerja 4-6 jam
contohnya: insulin lispro (Humalog), aspart (Novorapid), glulisin (Apidra)
2. Insulin kerja pendek (short-acting insulin) awitan 30-60 menit dan lama kerja 6-8 jam
contohnya: humulin dan actrapid
3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) awitan 1,5jam 4 jam dan lama kerja
8-12 jam contohnya: Insulatard dan insuman basal
4. Insulin kerja panjang (Long acting insulin) awitan 1-3 jam dan lama kerja 12-24 jam.
contohnya: Insulin Glargine (Lantus), Detemir (Levemir)
5. Insulin kerja ultra panjang (Ultra long acting) awitan 30-60 menit dan lama kerja sampai
48 jam contohnya: Degludec (Tresiba)
Selain terapi OHO dan insulin dapat juga diberikan terapi kombinasi antara OHO dan insulin.
Untuk dapat mengendalikan DM ada beberapa kriteria yang didasarkan oleh hasil
pemeriksaan kadar gula darah, kadar HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali
dimana kadar gula darah, kadar lipid dan HbA1C mencapai kadar yang diharapkan.
1.3 Kasus

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : IKP
Umur : 49 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Kewarganegaraaan : Indonesia
Alamat : Jalan Raden Wijaya Gianyar
Agama : Hindu
Pekerjaan : Petani
Status Pernikahan : Menikah
Tgl MRS : 18 Oktober 2015
Tgl Pemeriksaan : 23 Oktober 2015

II. KRONOLOGI KASUS

Pasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar pada tanggal 18 Oktober 2014
dengan keluhan utama mual dan muntah yang memberat semenjak pagi hari SMRS.
Mual dan muntah dirasakan sampai membuat pasien lemas dan pucat. Muntah yang
dikeluarkan berupa makanan atau ludah sekitar gelas Aqua. Muntah berwarna
merah atau hitam disangkal oleh pasien. Mual muntah muncul setiap pasien mencoba
makan kemudian merasa penuh. Mual muntah tidak disertai dengan nyeri perut seperti
tertusuk-tusuk atau melilit. Awalnya mual muntah sudah dirasakan semenjak bulan
Agustus lalu (2 bulan yang lalu), dimana pasien tidak bisa makan-minum dalam
jumlah banyak karena selalu dimuntahkan. Pasien mengatakan BB pasien turun dari
55 kg menjadi 50 kg dalam 2 bulan ini. Selain mual muntah pasien juga merasakan
lemas dirasakan diseluruh tubuh, lemas dikatakan berat sehingga pasien tidak mampu
bangun dan beraktivitas. Lemas badan dirasakan semakin memberat apabila pasien
mual muntah atau saat pasien mencoba duduk dan bangun. Lemas dikatakan membaik
saat pasien berposisi duduk. Lemas dikatakan sudah sejak lama, terutama saat pasien
mulai sakit mual muntah semenjak bulan Agustus lalu, bersama keluhan tersebut
pasien merasa semakin lemas sehingga tidak mampu beraktivias berat.

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB, sulit BAB dirasakan memberat 4 hari SMRS.
Pasien belum BAB, BAB terakhir keras pasien menyangkal ada BAB berdarah, encer,
hitam, lengket, berbau aspal. Pasien menyangkal ada nyeri saat mengedan, atau keluar
darah segar saat BAB. Pasien merasa terganggu akibat tidak bisa BAB. Pasien merasa
perutnya penuh sehingga pasien mual dan mau muntah. Sulit BAB sudah dirasakan
semenjak 2 bulan yang lalu, pasien mengatakan sering susah BAB sampai tidak BAB
sama sekali.

Pasien juga mengeluhkan rasa nyeri pada paha, kaki pasien. Keluhan semakin
memberat semenjak 2 hari SMRS. Nyeri dikatakan sedang, nyeri dirasakan disekitar
paha. Nyeri dikatakan seperti terbakar dan ada kesemutan seperti ada yang menjalar
ujung-ujung kaki pasien. Pasien juga mengatakan tidak pernah tidak pakai alas kaki
karena pasien merasa tidak bisa merasa lagi pada telapak kakinya. Tidak ada hal
spesifik yang memperberat keluhan pasien Pasien mengatakan keluhan ini sudah lama
muncul sebelum bulan Agustus, kemudian pasien mulai merasa mual muntah dan
kesullitan BAB.

Pasien juga mengeluhkan adanya bengkak bernanah pada lengan kiri atas, berukuran
1x1 cm, tampak bengkak, bernanah, merah dan nyeri pada penekanan. Dikatakan
bengkak akibat pemasangan infus di RSUP Sanglah lalu. Pasien juga mengeluh dada
berdebar semenjak 2 hari yang lalu, yang dirasa mengganggu sehingga pasien tidak
bisa tidur dengan nyaman.

Pasien menyangkal selama ini ada deman, pusing, kehilangan keadaran, kejang, gatal
dan nyeri di daerah dada, abdomen atau punggung. Pasien mengatakan BAK
meningkat, 4-5 kali semalam dengan jumlah kencing sehari 2-2,5 liter hingga perhari
warna kuning normal, kadang-kadang melihat BAK berbuih. BAK berdarah, warna
teh,nyeri saat kencing kencing , kencing panas disangkal, namun pasien merasa saat
kencing anyeng-anyengan. Akibat sering kencing pasien menjadi lebih sering minum,
dikatakan dalam 1 hari pasien dapat menghabiskan kurang lebih 2 botol Aqua besar
(3000mL). Pasien juga mengaku pandangan sudah semakin kabur, pada mata kiri
terdapat katarak dan kanan mulai kabur. Pasien mengatakan nafsu makan berkurang
akibat sakitnya, pasien hanya makan sedikit-sedikit karena takut mual muntah.

Dari riwayat pengobatan dan penyakit sebelumnya pasien mengaku memiliki


penyakit DM tipe 2 semenjak 8 tahun yang lalu. Gejala klasik seperti polyuria,
polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan memang ada saat pasien pertama kali
didiagnosis DM tipe 2. Pasien selama ini mengkonsumsi 2 jenis obat, Glibenclamid
dan tidak ingat yang satu lagi. Pasien kontrol gula darah kadang-kadang setiap bulan
bahkan sampai 4 bulan tergantung gejala pasien. Pasien mengatakan gulanya berkisar
200-300, tertinggi sampai 500. Pasien mengatakan tidak ada riwayat hipertensi
sebelumnya, tensi pasien berkisar 120-130mmHg dan tidak pernah melebihi
140mmHg. Pasien menceritakan sudah sejak lama merasa kaki nyeri seperti terbakar
namun tidak bergitu berat. Semenjak bulan Agustus pasien mulai mengeluhkan mual
muntah yang tiba-tiba, keluhan ini kemudian diikuti dengan sulit BAB. Pasien
mengatakan sempat 4 hari tidak BAB sehingga di rujuk di RSU Palu. Pasien
kemudian didiagnosis tumor ekstralumen dd intralumen yang membuat harus dirujuk
di RSUP Sanglah. Di RSUP pasien dikatakan memiliki gula yang tinggi sehingga
tidak bisa dilakukan tindakan. Pasien kemudian kembali ke RSUP dengan keluhan
mual muntah yang memberat dan membuat pasien dirawat hingga 20 hari. Pasien di
Sanglah mendapat perawatan dr spesialis saraf akibat gulanya. Pasien kemudian
diberikan obat berupa Metformin, Omeprazole, Metoclopramid Ciprofloxacin,
Metronidazole dan dipulangkan, sampai 4 hari kemudian masuk RS Sanjiwani. Pasien
juga merasa sebelumnya kakinya terasa berat karena bengkak namun tidak begitu
besar bersamaan dengan keluhan kesulitan BAB pasien. Selama sakit diabetesnya
dikatakan beberapa perubahan sering dirasa pasien yaitu BB yang semakin menurun
dari 66 kg menjadi 55 kg, dan semenjak sakit menjadi 50 kg. Pasien juga mengeluh
penglihatan yang semakin kabur, dan beberapa tahun setelah diabetes muncul katarak
pada mata kiri pasien. Pasien juga mengeluh kaki nyeri seperti terbakar pada area
paha dan kesemutan kemudian pasien baru mengeluh mual muntah tidak dapat BAB.
Pasien menyangkal memiliki riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal
penyakit saraf. Riwayat penyakit sistemik seperti TB disangkal pasien.

Dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan mual muntah
seperti ini, namun ada kakak pasien yang memiliki riwayat penyakit DM. Keluarga
pasien tidak ada menderita sakit kuning,sakit liver, batu ginjal, kencing manis,
tekanan darah tinggi, TBC,sakit jantung.

Pasien kesehariannya bekerja sebagai petani namun sudah berhenti semenjak


sakit 2 bulan yang lalu. Pasien sudah mulai mengatur makannya yaitu makan nasi
jagung dan sayuran, pasien mengakui masih senang makan yang manis namun tidak
selalu dan hanya dalam jumlah kecil. Kebiasaan makan daging-daging berlemak
disangkal, pasien lebih sering makan ikan pindang. Pasien tidak merokok, namun ada
konsumsi tuak semenjak 2 bulan terakhir namun tidak rutin sekitar 1 gelas per hari.
Pasien mengakui dalam 2 tahun belakangan mengkonsumsi ramuan herbal. Pasien
mengatakan apabila meminum obat herbal pasien tidak minum obat antidiabetesnya.
Pasien dikatakan senang berolah raga, setiap pagi pasien jajan jalan santai.

Pada pemeriksaan fisik tanggal 23 Oktober 2015, didapatkan kesan umum


sakit sedang, kesadaran kompos mentis, berat badan 50kg, tinggi badan 163cm, BMI
18, 8 kg/m2 (Gizi Normal), tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 100 kali per menit,
laju respirasi 20 kali per menit, suhu axilla 36,5C. Tampak anemis pada konjungtiva
kedua mata sedangkan sklera normal tidak ada ikterus. Ditemukan adanya katarak
imatur pada mata kiri. Pada pemeriksaan THT dalam batas normal, pemeriksaan leher
JVP + 0 cm H2O, pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada pemeriksaan thorax
pada cor saat auskultasi S1S2 tunggal regular dan murmur tidak ada. Pada pulmo saat
auskultasi didapatkan vesikuler di kedua lapang paru, sedangkan wheezing dan rhonki
tidak ada. Pada pemeriksaan abdomen saat inspeksi didapatkan tidak tampak distensi,
auskultasi adanya bising usus yang normal, dan saat palpasi tidak ada nyeri tekan
epigastrium, hepar dan lien tidak teraba. Pada ekstremitas tidak ada edema di keempat
ekstremitas dan hangat pada keempat ekstremitas. Namun terlihat adanya abses pada
regio brachii sinistra.

Dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan di IGD pada tanggal 18 Oktober


2015, pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan WBC 9,0; RBC 2,65 (L); HCT
22,4(L); HGB 7,7(L); MCV 84; MCH 28; PLT 604 (H). GDA 158, Ureum 49,
Creatinin 1,1, SGOT 18, SGPT 20, Elektrolit Na 118(L); K 3,6; Cl 75, Protein Total
6,52(L), Albumin 4,40, Globulin 2,1(L)

Laju Filtrasi Ginjal 18 Oktober 2015

GFR = (140-50) x 50 kg = 56,8 ml/min/1,73 m2 CKD Stage 3a

72 x 1,1 mg/dL

Pada tanggal 22/9/2015 dilakukan pemeriksaan pemeriksaan Foto Thorax PA


dengan hasil Cor dan pulmo tak tampak kelainan dan tak tampak proses metastatik
paru atau tulang. Kemudian pada pemeriksaan foto BOF didapatkan kesan Ground
glass app di cavum pelvic dd 1. Mass 2.Buli Penuh Sus. Localized ileus (mohon
korelasi), Sus Batu opaque ginjal kiri dd fecalith, Spondilosis lumbalis. Dari
pemeriksaan colonoskopi kesan, Anus-caecum normal, kolonoskopi normal.
Berdasarkan data tersebut, pasien didiagnosis

- DM tipe 2
Gastropati Diabetikum
- CKD stage 3a ec DKD
Anemia Sedang N-N on CKD
Hipertensi Stage II
- Abses Regio Brachii Sinistra
- Katarak Imatur OS

Dengan terapi pasien di rawat inap diberikan IVFD NaCl 0,9% 20tpm, diet
35kkal/kgBW ( 0,8 gr Protein/kgBW + rendah garam tinggi serat) , transfusi PRC
target Hb> 10gr/dL, levofloxacin 1 x 750mg, metronidalzole 1x 1fls, novorapid 3x
4IU, metoclopramid K/P, captopril 3x 25mg, asam Folat 2x2mg.

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Scintigraphy Gastric Emptying, Urinalisis, Profil Lipid, HbA1C
MONITORING
Keluhan dan Vital Sign , Balance Cairan, GDS, BUN SC, Rawat Luka

1.4 Pembahasan

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan DM ialah
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan gula darah. Pada DM tipe
2 yang sudah lama, biasanya mulai muncul komplikasi akut maupun kronis sehingga
anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang tepat menjadi kunci
keberhasilan penanganan DM tipe 2 dengan komplikasi. Anamnesis ditujukan pada gejala
klasik DM yaitu poliuri, polifagi, polidipsi, dan penurunan berat badan. Pada pasien pada saat
pertama kali didiagnosis DM tipe 2 memang memiliki gejala klasik DM. Selain itu saat
dianamnesis tanggal 23 Oktober 2015, pasien juga mengeluhkan lemas, mual muntah,
penglihatan kabur, nyeri pada kedua kaki dan terasa kesemutan. Kemudian dikatakan adanya
luka bernanah pada lengan kiri pasien akibat pemasangan infus saat dirawat dirumah sakit.
Makan dan minum dikatakan menurun. BAK dikatakan sering dan berwarna seperti teh,
kadang bercampur darah. BAB dikatakan tidak lancar.

Dari anamnesis pada pasien menunjukkan sudah ada komplikasi pada DM tipe 2 yang
dideritanya. Mual muntah pada pasien DM tipe 2 menunjukkan adanya komplikasi pada
sistem gastro instestinal yang tersering adalah Gastropati Diabetikum. Gastropati Diabetikum
merupakan komplikasi yang diakibatkan motilitas usus sudah mulai berkurang karena adanya
gangguan inervasi saraf pada usus. Pada pasien juga mengeluh nyeri dan kesemutan pada
kedua kaki. Komplikasi tersebut termasuk dalam komplikasi kronik mikrovaskuler yaitu
neuropati. Kemudian BAK pasien dikatakan sering, berwarna seperti teh dan kadang
bercampur dengan darah. Patut kita curigai adanya komplikasi pada ginjal pasien.
Komplikasi kronik mikrovaskuler yang lain selain neuropati adalah nefropati dan retinopati.
Pasien dengan DM sudah lebih dari 8 tahun sangat berisiko terjadinya gangguan pada ginjal.
Untuk membuktikan maka pemeriksaan fisik dan penunjang perlu dilakukan.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 100 kali per
menit, laju respirasi 20 kali per menit, suhu axilla 36,5C. Tampak anemis pada konjungtiva
kedua mata sedangkan sklera normal tidak ada ikterus. Ditemukan adanya katarak imatur
pada mata kiri. Pada pemeriksaan THT dalam batas normal, pemeriksaan leher JVP + 0 cm
H2O, pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada pemeriksaan thorax pada cor saat auskultasi
S1S2 tunggal regular dan murmur tidak ada. Pada pulmo saat auskultasi didapatkan vesikuler
di kedua lapang paru, sedangkan wheezing dan rhonki tidak ada. Pada pemeriksaan abdomen
saat inspeksi didapatkan tidak tampak distensi, auskultasi adanya bising usus yang normal,
dan saat palpasi tidak ada nyeri tekan epigastrium, hepar dan lien tidak teraba. Pada
ekstremitas tidak ada edema di keempat ekstremitas dan hangat pada keempat ekstremitas.
Namun terlihat adanya abses pada regio brachii sinistra.
Pada pemeriksaan vital sign TD didapatkan 160/90, pasien DM tipe 2 tanpa ada
riwayat hipertensi dapat menunjukkan bahwa hipertensi berasal dari komplikasi pada ginjal
pasien. Peran Angiotensin II dalam Nefropati Diabetik 1. Vasokonstriksi sistemik 2.
Peningkatan tahanan arteriol glomerulus 3. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus 4.
Peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus 5. Penurunan luas permukaan filtrasi 6.
Stimulasi protein matriks ekstraseluler 7. Stimulasi faktor fibrogenik. Dari 7 peran tersebut
apabila ada gangguan pada ginjal pasien secara otomatis fungsi sistem renin angiotensin II
akan terganggu sehingga menyebabkan hipertensi (Sunaryanto, 2010).

Kemudian dari pemeriksaan mata ditemukan adanya anemis pada konjungtiva kedua
mata. Anemia pada diabetes merupakan akibat dari kurangnya sintesis serta pelepasan
eritropoietin dari ginjal, peradangan sistemik, kekurangan zat besi dan juga adanya faktor
iatrogenik, seperti penggunaan Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACE-I). Terjadiya
anemia pada penyakit ginjal kronik berhubungan dengan penurunan Glomerulus Filtrarion
Rate (GFR) dan keadaan ini dianggap menjadi faktor risiko yang penting pada gangguan di
sistem kardiovaskular. (Bonakdaran, Gharebaghi, Vahedian, 2011).

Lalu pada lengan kiri ditemukan adanya abses. Pada pasien DM, komplikasi kronis
makrovaskuler salah satunya adalah PAD (peripheral arterial disease). Gangguan pembuluh
darah perifer menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan sehingga menghambat proses
penyembuhan luka. (Lipski BA, 2012)

Dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan di IGD pada tanggal 18 Oktober 2015,
pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan WBC 9,0; RBC 2,65 (L); HCT 22,4(L); HGB
7,7(L); MCV 84; MCH 28; PLT 604 (H). GDA 158, Ureum 49, Creatinin 1,1, SGOT 18,
SGPT 20, Elektrolit Na 118(L); K 3,6; Cl 75, Protein Total 6,52(L), Albumin 4,40, Globulin
2,1(L)

Laju Filtrasi Glomerulus

GFR = (140-50) x 50 kg = 56,8 ml/min/1,73 m2 CKD Stage 3

72 x 1,1 mg/dL
Pada tanggal 22/9/2015 dilakukan pemeriksaan pemeriksaan Foto Thorax PA dengan
hasil Cor dan pulmo tak tampak kelainan dan tak tampak proses metastatik paru atau tulang.
Kemudian pada pemeriksaan foto BOF didapatkan kesan Ground glass app di cavum pelvic
dd 1. Mass 2.Buli Penuh Sus. Localized ileus (mohon korelasi), Sus Batu opaque ginjal kiri
dd fecalith, Spondilosis lumbalis. Dari pemeriksaan colonoskopi kesan, Anus-caecum
normal, kolonoskopi normal.

Hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada saat pasien di IGD, dari DL
menunjukkan RBC dan Hb yang rendah. Hasil tersebut memperkuat diagnosis anemia pada
pasien setelah dari pemeriksaan mata anemis (+). Kemudian MCV dan MCH yang normal
menunjukkan anemia pada pasien normokromik normositer dan patut dicurigai disebabkan
karena anemia penyakit kronis sebelum dilakukan pemeriksaan bloodsmear.

Lalu dari hasil pemeriksaan BUN SC didapatkan kadar yang normal tidak ada
peningkatan. Peningkatan kadar BUN SC menunjukkan adanya kerusakan ginjal kronis.
Namun saat dihitung Laju filtrasi glomerulus (GFR) didapatkan hasil 56,8 yang sudah
termasuk dalam penyakit ginjal kronik tahap 3a. Tahap III Ini adalah tahap awal nefropati
(insipient diabetic nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya
terjadi 10-15 tahun diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan
membran basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah masih tetap ada dan
mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih
mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.

Selain itu dari pemeriksaan foto BOF menunjukkan adanya groundglass appearance
pada pada cavum pelvic yang menunjukkan hidronefrosis. Hasil tersebut semakin
memperkuat adanya gangguan pada struktur ginjal. Namun pemeriksaan urinalisis perlu
dilakukan untuk menegakkan adanya proteinuria dan mikroalbuminuria.

Hipertensi pada pasien disebabkan karena adanya gangguan pada sistem RAAS di
ginjal olehkarena ada kerusakan ginjal kronis. Sehingga perlu diberikan obat antihipertensi
yang bekerja menghambat angiotensin converting enzyme.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien


didiagnosis dengan:

- DM tipe 2
Gastropati Diabetikum

- CKD stage 3a ec DKD

Anemia Sedang N-N on CKD

Hipertensi Stage II

- Abses Regio Brachii Sinistra

- Katarak Imatur OS

Dengan terapi pasien di rawat inap diberikan IVFD NaCl 0,9% 20tpm, diet
35kkal/kgBW ( 0,8 gr Protein/kgBW + rendah garam tinggi serat) , transfusi PRC target Hb>
10gr/dL, levofloxacin 1 x 750mg, metronidalzole 1x 1fls, novorapid 3x 4IU, metoclopramid
K/P, captopril 3x 25mg, asam Folat 2x2mg.
Ada 4 pilar yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan DM tipe 2 dengan
komplikasi (PERKENI, 2015).
1. Edukasi, Pada pasien sudah dijelaskan saat follow up diruangan. Hal ini dilakukan untuk
mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman tentang penyakit DM, makna dan perlunya
pemantauan dari pengendalian DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-
farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, dll.
2. Terapi Nutrisi, Pada pasien diberikan diet 35kkal/kgBW ( 0,8 gr Protein/kgBW + rendah
garam tinggi serat). Perencanaan makan pada penderita DM dengan komplikasi penyakit
ginjal diabetik disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis.
Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam.
Pada umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8
gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada penderita dengan nefropati overt.
Pemberian diet rendah protein ini harus diseimbangkan dengan pemberian diet tinggi kalori,
yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam.
3. Latihan Jasmani, Pada pasien masih belum dapat dilakukan karena kondisi pasien yang
masih memerlukan istirahat dan pemulihan. Seharusnya dilakukan teratur 3-4 kali seminggu,
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani penderita.
4. Terapi Farmakologis, pada pasien diberikan levofloxacin 1 x 750mg, metronidazole 1x
1fls, novorapid 3x 4IU, metoclopramid K/P, captopril 3x 25mg, asam Folat 2x2mg.
Pemberian antibiotik levofloxacin dan metronidazole untuk mencegah infeksi yang terjadi
pada pasien. Pasien mengeluh bengkak dan bernanah pada lengan kiri akibat pemasangan
infus saat dirawat sebelumnya. Levofloxacin golongan quinolone sebagai antibiotik untuk
gram negatif sedangkan metronidazole antibiotic untuk bakteri anaerob. Pemberian
metoclopramide untuk mengatasi mual muntah yang terjadi pada pasien.
Lalu pemberian novorapid 3x4IU untuk menurunkan kadar gula darah pasien.
Novorapid merupakan insulin golongan rapid acting yang memiliki awitan 5-15 menit serta
lama kerja 4-6 jam. Indikasi pemberian insulin karena pasien dalam kondisi infeksi serta
sudah memiliki komplikasi DM tipe 2. Captopril yaitu obat antihipertensi golongan ACE
Inhibitor yang berfungsi menghambat sistem renin angiotensin aldosterone. Kemudian
pemberian asam folat berfungsi untuk mencegah hiperhomosisteinemia yang dapat
menyebabkan aterosklerosis.
Selain itu penting untuk dilakukan pemeriksaan HbA1c dan profil lipid sebagai
pemeriksaan untuk pemantauan terapi DM dan kadar lemak dalam darah yang berisiko
terjadinya komplikasi makrovaskuler seperti penyakit arteri coroner dan stroke.

1.5 Simpulan

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang
ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah

Komplikasi diabetes terbagi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik. 1. Komplikasi Akut
yaitu Hipoglikemi, Ketoasidosis Diabetik (KAD), asidosis laktat dan Hyperglycemic
Hyperosmolar State (HHS). 2. Komplikasi Kronis terdiri dari vaskular dan non vaskular.
Kemudian vaskular dibagi menjadi mikrovaskular dan mikrovaskular. Dimana komplikasi
mikrovaskular ditandai adanya retinopati, neuropati, dan nefropati. Sedangkan komplikasi
makrovaskular ditandai dengan penyakit arteri coroner, penyakit arteri perifer, dan penyakit
serebrovaskular. Komplikasi non vaskular diantaranya infeksi dan perubahan warna kulit.

Untuk menegakkan diagnosis DM dengan komplikasi memerlukan anamnesis yang


menyeluruh atau komprehensif, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat.
Sebagai dokter layanan primer perlu diingat 4 pilar penanganan DM yaitu edukasi, terapi
nutrisi, aktivitas fisik, dan terapi farmakologi. Edukasi penting dilakukan sebagai tindakan
preventif untuk komplikasi DM. Pasien perlu diberikan informasi mengenai promosi perilaku
hidup sehat, pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala komplikasi serta tindakan
yang harus dilakukan apabila muncul komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Diabetes Association., 2012. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care volume 35 Supplement 1 : 64-71.
2. American Diabetes Association. 2004. Hypertension Management in adults with
diabetes (position statement). Diabetes Care (Suppl 1): S65-S67.
3. American Diabetes Association., 2013. Standards of Medical Care in Diabetes 2013.
Diabetes Care Volume 36 Supplement 1 : 11-66.
4. Bonakdaran, S., Gharebaghi, M., Vahedian, M., 2011. Prevalence of anemia in type 2
diabetes and role of renal involvement. Saudi Journal of Kidney Disease and
Transplantation Volume 22 : Issue 2 : 286-290.
5. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. 2012. KDIGO clinical practice guidline for
evaluation and management of CKD
6. Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Eritropoiesis dan aspek umum
anemia. Kapita Selekta Hematologi Ed 4. 11-25.
7. Lipsky BA, Berendt AR, Cornia PB, Pile JC, Peters EJG, Armstrong DG. 2012.
Infection disease society of America Clinical Practice Guideline for the Diagnosis dan
Treatment of Diabetic Foot Infections. Clinical Infection Diseases. 54(12): 132-73
8. Mehdi, U., Toto, Robert D., 2009. Anemia, Diabetes and Chronic Kidney Disease.
Diabetes Care Volume 32 : 1320-1326.
9. PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia.
10. Powers, A.C., 2010. Diabetes Mellitus. In: Jameson J.L. Harrison Endocrinology Ed
2. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 267-313.
11. Purnamasari, D., 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. In: Sudoyo, Aru
W., Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, Siti
12. Rani, P.K., Raman, R., Rachepalli, S.R., Pal, S.S., Kulothungan, V., Lakshmipathy, P.,
Satagopan, U., et al., 2010. Anemia and Diabetic Retinopathy in Type 2 Diabetes
Mellitus. JAPI Volume 58. 91-94.
13. Soewondo, Pradana. 2009. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo, Aru W., Bambang
Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta: InternaPublishing. 19061911.
14. Sunaryanto, A. Penatalaksanaan Penderita Dengan Diabetik Nefropati. Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
15. Waspadji, Sarwono. 2009. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. In: Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, Idrus
Alwi, Marcellus Simadibrata, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed
5. Jakarta: InternaPublishing. 19221929.

Anda mungkin juga menyukai