Anda di halaman 1dari 23

Referat

LIMFOMA

Oleh :
Cici Damayanti
208 121 0039

Pembimbing
dr. Bondan, M.Kes, Sp.PD

LABORATORIUM KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KANJURUHAN KEPANJEN PPD UNISMA
MALANG
2013

1
BAB I
PENDAHULUAN

Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup


system limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan
kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali,
hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra
nodul yaitu diluar system limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus,
paru, kulit dan organ lain. Dalam garis besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian
yaitu:

Table 1. klasifikasi limfoma


Limfoma Hodgkin (LH)
Limfoma non Hodgkin (LNH)
Histiositosis x
Mycosis fungoides

Dalam praktek, yang dimaksud dengan limfoma adalah LH dan LNH,


sedang Histiositosis x dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.
Di negara maju limfoma maligna relatif jarang yaitu kira-kira 2 % dari
kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di
Indonesia, tumor ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara
dan kulit.
Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang
merupakan penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal
masih merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai
jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan kehidupan 5 tahun
meningkat dan bahkan sembuh (kuratif) berkat manajemen tumor yang tepat dan
tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Dalam makalah ini akan dibahas lebih
lanjut dan jelas tentang limfoma Hodgkin (LH).3

3
Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 88-89. 1995.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI

Penyakit Hodgkin adalah keganasan system limforetikuler dan jaringan


pendukungnya yang sering menyerang kelenjar getah bening dan disertai
gambaran histopatologi yang khas. Ciri histopatologis yang dianggap khas adalah
adanya sel Reed Steinberg atau variannya yang disebut sel Hodgkin dan
gambaran pleimorfik kelenjar getah bening1

2.2. KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN

Tabel 2. klasifikasi limfoma Hodgkin.


Limphocyte-predominan (LP)
Mixed cellularity (MC)
Lymphocyte-depletion (LD)
Noduler-sclerosis (NS)

Dalam manajemen penyakit ini identifikasi subtype histopatologi


merupakan prosedur penting. Sebab ada kaitannya dengan terapi dan prognosis.
Parameter identitas subtype lebih banyak pada kuantitas sel datia Reed-Steinberg,
limfosit dan reaksi jaringan ikat.3

1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p 622. 1996.
3
Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 90. 1995.

3
2.3. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia


belum ada. Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian
penyakit dalam RS. Dr.Sutomo Surabaya antara tahun 1963-1972 (9 tahun) telah
dirawat 26.815 pasien, dimana 81 diantaranya adalah limfoma malignum dan 12
orang adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya
dilaporkan bahwa selama 1 tahun di bagian penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito
dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah limfoma malignum dan semuanya
adalah limfoma Hodgkin. Dari laporan-laporan tersebut di atas terlihat bahwa di
Indonesia limfoma non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria
selalu lebih banyak daripada wanita.1
Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear
seiring dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di
negara-negara barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur
berbentuk bimodal dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun).
Dan puncak kedua setelah 50 tahun. Penyakit Hodgkin lebih prevalen pada laki-
laki dan bila kurva insidensi spesifik umur dibandingkan dengan distribusi jenis
kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi laki-laki lebih nyata pada dewasa
muda. Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok
dengan lebih dari 80% pasien adalah laki-laki. Hal ini menyebabkan beberapa
peneliti beranggapan bahwa terdapat peningkatan kerentan yang berhubungan
dengan faktor genetik terkait seks dan hormonal.2

2.4. PATOLOGI

Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat


dengan limfoma malignum. Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi

1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p 623-624. 1996.
2
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 1984. 2000.

4
dari penyakit Hodgkin ada baiknya kita mengetahui tentang klasifikasi dari
penyakit-penyakit tersebut4
Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut
Lukas dan Butler sesuai keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor.
Menurut klasifikasi ini penyakit Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Tipe Lymphocyte Predominant
Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari
sel-sel limfosit yang dewasa, beberapa sel Reed-Sternberg. Biasanya
didapatkan pada anak muda. Prognosisnya baik.
2. Tipe Mixed Cellularity
Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil,
neutrofil, limfosit dan banyak didapatkan sel Reed-Sternberg. Dan merupakan
penyakit yang luas dan mengenai organ ekstranodul. Sering pula disertai
gejala sistemik seperti demam, berat badan menurun dan berkeringat.
Prognosisnya lebih buruk.
3. Tipe Lymphocyte Depleted
Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed-Sternberg
banyak sekali dan hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua
dan cenderung merupakan proses yang luas (agresif) dengan gejala sistemik.
Prognosis buruk.
4. Tipe Nodular Sclerosis
Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering
dilaporkan sel Reed-Sternberg yang atifik yang disebut sel Hodgkin. Sering
didapatkan pada wanita muda / remaja. Sering menyerang kelenjar
mediastinum.

Namun ada bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya


golongan Nodular Sclerosis (NS) ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte
Predominant NS=LP-NS), ada yang limfositnya sedikit (Lymphocyte-Depleted

4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential
Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 160. 1996.

5
NS=LD-NS) dan sebagainya. Demikian pula golongan Mixed Cellularity (MC),
ada yang limfositnya banyak (LP-MC), ada yang sedikit (LD-MC).1
Penyakit ini mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus perifer
tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran di dalam system
limfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebih kecil,
abnormal, bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat
bersamaan menunjukkan respon.hipersensitivitas untuk hospes. Setelah tersimpan
dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah
penyakit ini adalah menyebar ke jaringan non limfatik 4

2.5. PATOGENESIS

Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini


bahwa penyakit Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap
agen infeksi) yang berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima
bahwa penyakit Hodgkin merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-
Sternberg merupakan sel transformasi. Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap
menjadi teka-teki. Sel Reed-Sternberg tidak membawa penanda permukaan sel B
atau T. Tidak seperti monosit, tidak memiliki komplemen dan reseptor Fc.
Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan dari penderita dengan jalur sel
penyakit Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed-Sternberg.5
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak
menimbulkan antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel dendrit pada
daerah parafolikel nodus limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel
dendrit positif, yang aktif dalam pengenalan antigen oleh sel T ?. Berkurangnya
kapasitas memberitahukan antigen berkaitan dengan transformasi neoplasi sel
dendritik, mungkin menjelaskan adanya gangguan imunitas sel-T, yang begitu
umum terjadi pada penyakit Hodgkin.

1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. JIlid II. Edisi 3.
Bagian IlmuPenyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential
Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995
5
Diehl, V., et al. : Characteristic of Hodgkin`s disease derived cell lines. Cancer Treat. Rep.
66:615, 1982

6
Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini
kini harus dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan.
Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg mewakili komponen maligna
penyakit Hodgkin. Apakah yang menyebabkan transformasi ini ?. Selama
bertahun-tahun etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diduga. Beberapa laporan
telah menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit
Hodgkin. Tetapi tidak ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS yang
dibiakkan, tidak mendukung peran EBV sebagai penyebab penyakit Hodgkin.
Perhatian terhadap etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat
laporan yang menunujukkan kemungkinan adanya suatu pengelompokan
penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah menengah tertentu.6
Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran
horizontal penyakit Hodgkin.3
Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah
limfonodus perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran
didalam system lmfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel
lebuh kecil, abnormal yang menyertai (sekarang diduga berasal dari histiosit)
bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan
menunjukkan respon hipersensitivitas oleh hospes, manfaat yang menentukan
pola evolusi. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi histologis. Setelah
tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan
alamiah penyakit ini adalah menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-
limfatik.4

2.6 ETIOLOGI
6
Vianna, N. J, and Polan, A.K : Epidemiologic evidence for transmission of Hodgkin`s disease N.
Engl. J. Med. 289:499, 1973
3
Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkins disease, Seamaoned 7 : 92, 1980.
4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential
Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.

7
Banyak kemajuan telah dicapai dalam bidang biologi penyakit ini.
Meskipun masih banyak yang belum mapan. Seperti pada keganasan yang lain
penyebab penyakit Hodgkin ini multifaktorial dan belum jelas benar.
Perubahan genetic, disregulasi gen-gen factor pertumbuhan, virus dan
efek imunologis, semuanya dapat merupakan factor tumorigenik penyakit ini.
Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat
sampai sekarang. Kejangkitan limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin
kemungkinan ada kaitannya dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga
menderita limfoma Hodgkin, maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih
besar dibanding dengan orang lain yang tidak termasuk keluarga itu. Pada orang
hidup berkelompok insiden limfoma Hodgkin cenderung lebih banyak.1

2.7. GAMBARAN KLINIS (SIMTOMATOLOGI)

Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit local dan kemudian


menyebar ke struktur limfoid didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non
limfoid dengan kemungkinan kematian pasien. Pasien penyakit Hodgkin
umumnya datang dengan adanya massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat,
mudah digerakkan dan biasanya tidak nyeri tekan. Sekitar separuh pasien datang
dengan adenopati di leher atau daerah supraklavikula dan lebih dari 70 persen
pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superfisial. Karena
kelenjar tersebut umumnya tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin
terlambat sampai kelenjar limfe cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang
dengan adenopati mediastinum. Hal ini kadang-kadang pertama kali dideteksi
pada pemeriksaan sinar-x toraks rutin. Kelenjar limfe yang terkena pada penyakit
Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial dan berlainan dengan yang terkena
pada limfoma non Hodgkin yang memperlihatkan kecenderungan sentrifugal
mengenai kelenjar limfe epitroklear, cincin waldeyer dan abdomen.

1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.

8
Pada 2-5 persen pasien, kelenjar limfe atau jaringan lain yang terkena
penyakit Hodgkin dapat tersa nyeri setelah minum minuman beralkohol.
Pertumbuhan kelenjar limfe cukup bervariasi, beberapa lesi dapat menetap dalam
jangka lama, sedangkan pada kelenjar yang lain terjadi regresi spontan dan
temporer.
Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit mengalami
gejla yang berkaitan dengan penyakitnya. Gejala terssering adalah demam ringan
yang mungkin disertai keringat malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam
mungkin merupakan satu-satunya keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami
demam naik turun disertai banyak keringat malam (demam Pel-Epstein). Demam
ini dapat menetap selama beberapa minggu, diikuti oleh interval afebris. Demam
dan keringat malam lebih sering ditemukan pada pasien tua dan pada pasien
dengan penyakit stadium lanjut.
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10
persen dalam 6 bulan atau kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering
ditemukan adalah rasa lemah, malaise dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada
sekitar 10n persen pasien pada saat diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan
mungkin berkaitan dengan ruam kulit atau walaupun jarang merupakan satu-
satunya gejala penyakit.
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau pericardium mungkin disertai
batuk, nyeri dada, sesak napas atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang
mungkin disertai nyeri tulang. Kadang-kadng pasien datang dengan gejala
sumbatan vena kava superior sebagai gejala awal. Kompresi mendadak korda
spinalis dapat merupakan gejala awal tetapi biasanya merupakan penyulit penyakit
progresif stadium lanjut. Nyeri kepala atau gangguan penglihatan dapat ditemukan
pada pasien dengan penyakit Hodgkin intrakranium dan ketrlibatan abdomen
menimbulkan nyeri abdomen, gangguan usus dan bahkan asites.2

2
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000.

9
2.8. STADIUM PENYAKIT.

Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :


Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ
tubuh.
Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis
pada jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula
pada hasil biopsi organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar,
limpa, pleura, tulang, kulit.

Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di
modifikasi sesuai konferensi Cotswald.1

Table 3. Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.


Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu
struktur limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi
diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan
subskrip angka, misal : II2, II3, dsb.

1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.

10
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di
bawah diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang
tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra
nodal).

A : bila tanpa gejala sistemik


B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan 38C yang tak jelas
sebabnya; penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau
setiap kombinasi dari 3 gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit
ini.
X : bila ada bulky mass ( 1/3 lebar thorax dan 10 cm untuk ukuran
kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena.

11
Untuk menentukan luasnya penyakit diperlukan prosedur staging tertentu.

Table 2. Prosedur yang diperlukan untuk menentukan tingkat (stadium)


penyakit Hodgkin.1
I. Riwayat dan pemeriksaan :
Identifikasi gejala-gejala sistemik
II. Prosedur-prosedur radiologis :
Foto dada biasa
CT-Scan dada (bila foto dada abnormal)
CT-Scan abdomen dan pelvis
Limfografi bipedal
III. Prosedur-prosedur hematologis :
Darah lengkap dan hitung jenis
LED
Aspirasi dan biopsy sumsum tulang
IV. Prosedur biokimiawi
Tes faal hati
Serum albumin, LDH, Ca
V. Prosedur untuk hal-hal khusus :
Laparatomi (diagnostic dan staging)
USG abdomen
MRI
Gallium scanning
Technetium bone scan
Scan hati dan limpa

1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.

12
2.9. DIAGNOSIS KLINIS

1. KLINIS (ANAMNESIS)
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di
leher, aksila ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-
kadang disertai demam, keringat dan gatal

2. PEMERIKSAAN FISIK
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama
supraklavikular, aksiler dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar.
Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin
waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlihat perlu diperiksa gastrointestinal
sebab sering terlihat bersama-sama.

3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan
bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan
tentang luas penyakit. atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit
Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan
anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan
kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau
meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat,
terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada
pasien yang menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute
limfositopenia absoluit (<1000 sel per millimeter kubik) biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak
pemeriksaan sebagai indicator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik,
tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih
terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar

13
tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-
reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum.4

4. SITOLOGI BIOPSI ASPIRASI


Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis
pendahuluan limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti
reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma
malignum.
Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun LNH
adalah adanya negatif palsu dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole di
beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan
tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau
eksisi.

5. HISTOPATOLOGI
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi
subtype histopatologi walaupun sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH.
Biopsi dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan
apakah jaringan biopsy tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi
biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher
bagian belakang dan submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang,
dianjurkan agar biopsy dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah
pengaruh cairan obat suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat
mengacaukan pemeriksaan jaringan

6. RADIOLOGI
Termasuk didalamnya :
1. foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka
dan pasca aortal

4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, Editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential
Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.

14
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan
sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi
sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi
pertumbuhan LH

7. LAPAROTOMI
Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada
iliaka para aotal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat
kemajuan teknologi radiology misalnya USG dan CT Scan ditambah sitologi
biopsy aspirasi jarum halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-
kurangnya diminimalisasi.

2.10. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non


Hodgkin pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis
bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus
disingkirkan. Keganasan lain, misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring
dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher local. Adenopati ketiak
harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin dan kanker payudara.
Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan
tumor lain. Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan
mediastinum, terutama karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Medistinitis reaktif
dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma, karena
penyakit tersebut timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit abdomen primer
dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan, dan
penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam
keadaan ini.

15
2. 11 PENATALAKSANAAN

Terapi dapat dilihat dari beberapa aspek:


a. Penyakit yang sudah atau belum pernah diobati.
b. Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)
c. Akan memakai sarana-terapi-tunggal (radioterapi atau kemoterapi
saja) atau sarana terapi kombinasi (sarana terapi kombinasi bukan
kemoterapi-kombinasi).
Kemoterapi penyakit ini dapat kemoterapi tunggal (memakai satu
obat), kemoterapi kombinasi (memakai banyak obat) dan akhir-akhir ini
dikembangkan kemoterapi dosis tinggi plus pencangkokan Stem Cell
Autologus untuk rescue (penyelamatan) aplasi system darah yang
diakibatkan oleh kemoterapi dosis tinggi tadi. (KDT + rPSC autologus).

I. Kasus-kasus yang sebelumnya belum pernah diobati (terapi


awal)

I.1. Radioterapi saja.

Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit


Hodgkin dini (st I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit
dibawah diafragma, karena itu untuk stadium IA dan IIA yang
direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja perlu dilakukan staging
laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi dibawah diafragma. Bila
ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak cukupperlu
ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang
buruk seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi +
kemoterapi (kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy)
karena radioterapi saja tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya
MOPP 6x dianggap cukup sebagai adjuvan (tambahan) pada radioterapi.
Bila tidak ada lesi dibawah diafragma (dibuktikan dengan staging-
laparotomy) untuk stadium IA diberikan radioterapi extended field, untuk

16
stadium IIA diberikan total nodal irradiation (TNI),dianggap cukup
kuratif.

I.2. Kombinasi radioterapi + kemoterapi.

Untuk semua keadaan dimana ada penyakit dibawah diafragma


radioterapi harus ditambah dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap
kuratif. Terapi dengan kombinasi modalitas ini juga diindikasikan bila
penyakitnya stadium IIA tetapi pasien menolak laparotomi atau memang
tidak akan dilakukan laparotomi karena ada kontraindikasi.

Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama
adalah kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan
tambahan huruf X pada stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan
radioterapi adjuvant dosis kuratif, sesudah kemoterapi.

Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka


yang menunjukkan tanda-tanda prognosis yang buruk, yaitu : 1. Massa
mediastinum yang besar. 2. B-symtoms. 3. kelainan dihilus paru. 4.
histologinya bukan Lymphocytic predominant dan 5. Stadium III.
I.3. Kemoterapi

Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium


III dan IV saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass
karena itu untuk tempat-tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi
perlu radioterapi adjuvant pada tempat yang semula ada bulky mass tadi.
Dengan cara ini angka kesembuhan nya cukup tinggi. Banyak ahli
Onkologi Medis memberi kemoterapi sebagai terapi utama sejak stadium
II ditambah dengan radioterapi adjuvant pada bulky mass, dengan
demikian keperluan staging laparotomy makin sedikit, bahkan tidak
diperlukan lagi karena tindakan ini terlalu invasif, sedangkan hasilnya

17
sama saja, namun masih ada silang pendapat terutama antara ahli
radioterapi dengan ahli onkologi medis.

Banyak regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin.


Ada yang mengunakan alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent
dicurigai sebagai penyebab timbulnya kanker sekunder dan sterilitas.
Adrianisin menyebabkan kelainan jantung; Bleomisin kelainan paru;
terutama bila dikombinasikan dengan radioterapi mediastinum.
Regimen-regimen yang kuratif selalu menggunakan kombinasi obat.
Regimen yang menggunakan alkylating agent, misalnya :
MOPP : -M = Mustard nitrogen 6mg/sqm i.v. hari ke 1,8
- O = Onkovin = Vinkristin 1,2 mg/sqm i.v. hari ke 1,8
- P = Prokarbazin 100 mg/sqm p.o hari ke 1-14
- P = Prednison 40 mg/sqm p.o. hari ke 1-14 diulang selang 28 hari bila
memenuhi syarat.
Modifikasi regimen MOPP ini juga ada yaitu COPP dan LOPP.

Pada COPP M diganti dengan C + Cyclophosphamide 800


mg/sqm i.v. hari ke 1,8 atau 3x50 mg/sqm p.o. dd hari ke 1-14. sedangkan
pada LOPP M diganti dengan L + Leukeren = Chlorambucil 8 mg/sm dd
p.o. hari ke1-14.
Regimen yang tanpa alkylating agent misalnya ABVD atau ABV saja.
A = Adriamisin 25 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
B = Bleomisin 10 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
(D)= DTIC 150 mg/sqm i.v. hari ke 1-5 diulang selang 4 minggu
Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen
itu tidak cross resistant. Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman
dapat dipakai MOPP dulu, atau ABV(D) dulu atau begantian MOPP-
ABVD-MOPP-ABVD dst atau regimen hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya
sama baik, namun masih ada silang pendapat.

18
II. Terapi kasus yang telah diobati sebelumnya

Disini dimaksudkan terapi untuk kasus yang relaps, refrakter sejak


terapi awal, atau setelah diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau
ABVD masih dapat dipakai untuk mendapatkan remisi karena dua
regimen ini non-cross-resistant, namun angka remisinya kecil dan cepat
kambuh lagi. Kalau kedua regimen baku itu tidak dapat menolong lagi
dipakai regimen-regimen lain yang digolongkan dalam salvage-therapy (=
terapi penyelamatan). Jadi salvage kemoterapi diberikan untuk mereka
yang :
1. mengalami relaps sesudah remisi lengkap
2. resistant terhadap terapi

Tabel beberapa regimen untuk salvage therapy (second line therapy pada
Limfoma Hodgkin yang Relaps atau Resistant)
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
A = Adrianmisin 40 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
B = Bleomisin 15 U 1-v- tiap minggu sekali
C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. tiap 6 minggu
D = Dakarbasin 800 mg/sqm i-v- tiap 3 minggu

C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. hari ke 1


E = Etoposid 100 mg/sqm p.o. hari ke 1
P = Prednimustin 60 mg/sqm i.v.hari ke 1, (diberi selang 3-6minggu)

E = Etoposid 200 mg/sqm p.o. hari ke 1-5


V = Vinkristin 2 mg/sqm i.v. hari ke 1
A = Adriamisin 20 mg/sqm i.v. hari ke 1, (diberi selang 3 minggu)

M = Metil-GAG 500 mg/sqm i.v. hari ke 1-14


I = Ifosfamid 1 gram/sqm i.v. hari ke 1-5
M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. hari ke 3

19
E = Etoposid 100 mg/sqm i.v. hari ke 1-4, (diberi selang 3 minggu)

C = Lomustin 100 mg/sqm p.o. hari ke 1


E = Etoposid 100 mg/sqm h. ke 1-3 dan 21-23
M = Metotreksat 30 mg/sqm p.o. hari ke 1,8,21,28(diberi selang 6 minggu)

M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. tiap 6 jam selama 4 hari mulai hari ke1
dan 8 dengan rescue
C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v.h. ke 15
H = Doksorubisin 50 mg/sqm i.v.h ke 15
O = Vinkristin 1 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22
P = Prednison 100 mg/sqm p.o. hari ke 22-26 (diberi selang 4 minggu)

E = Etoposid 120 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15


V = Vinblastin 4 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15
A = Ara-C 30 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15
P = Platinum 40 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15 (diulang selang 4 minggu)

M = Metotreksat 120 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22 plus rescue


O = Vinkristin 2 mg i.v.h. 15 dan 22
P = Prednison 60 mg/sqm p.o. hari ke 1-14
L = Leukovorin rescue
A = Ara-C 300 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22
C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v. hari ke 1
E = Etoposid 80 mg/sqm i.v. hari ke 1-3 (diberi selang 4 minggu)

Regimen-regimen salvage therapy antara lain adalah : VABCD,


ABDIC, CBVD, CEP, EVA, LVB, MIME, M-CHOP, CEM, EVAP,
MOPLACE dll. (lihat table IV). Kemajuan dibidang pencangkokan

20
sumsum tulang atau selbakal (stem-cell)-autologous memberikan dampak
pula pada terapi limfoma yang resisten.
Pada kondisi ini diberikan kemoterapi yang dosisnya sangat tinggi
hingga timbul aplasi sumsum tulang (myeloablative chemotherapy),
kemudian dilakukan penyelamatan dengan pencangkokan sel bakal
autologus yang diambil dari darah tepi setelah sebelumnya diberi
Hemopoetic Growth Factors.
Populasi yang memerlukan kemoterapi dosis sangat tinggi plus
stem-cell rescue (KDTrPSC) adalah penyakit Hodgkin yang sudah lanjut
dengan disertai factor-faktor prognosis buruk yaitu antara lain :
1. Mereka yang gagal mendapatkan complete remission (CR) atau
partial (PR) yang baik (stabil) (yang didefinisikan sebagai hal yang
sangat mungkin karena adanya fibrosis residu dengan terapi awal).
2. Mereka yang mengalami Progresive Disease (PD) saat terapi awal.
3. CR yang lamanya kurang dari 1 tahun
4. Relaps berulang ( 2x) tanpa melihat lamanya remisi
5. Adanya gejala-gejala B pada relaps yang pertama
6. Relaps sesudah sebelumnya mengalami stadium IV
Faktor-faktor tersebut diatas juga merupakan peramal hasil buruk dengan
pengobatan garis ke 2 (salvage therapy); mereka ini calon-calon yang baik
untuk KDTrPSC tersebut diatas. Mereka yang tanpa fakto-faktor buruk
tersebut bila relaps masih dapat dicoba dengan kemoterapi garis kedua
untuk mendapatkan CR kedua, namun kemungkinannya hanya 35% saja,
sisanya akhirnya juga memerlukan KDTrPSC; bahkan telah mulai diteliti
penggunaan KDTrPSC sebagai terapi awal, namun kesimpulannya masih
belum ada.

21
2.12. PROGNOSIS

Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh
atau hidup lama dengan pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena
dapat hidup lama, kemungkinan mendapatkan late complication makin besar. Late
complication itu antara lain :
1. timbulnya keganasan kedua atau sekunder
2. disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal
3. penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan
pemberian antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related)
4. penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin
yang juga dose related
5. pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, dkk. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta :
Balai penerbit FKUI, 1996.
2. Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON
Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta, 2000.
3. Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana
Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995.
4. Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta
Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
5. Diehl V, et al : Characteristic of Hodgkins disease derived cell lines
cancer treat. Rep. 66: 615, 1982.
6. Vianna N J, and Polan, A K : Epidemiologic evidence for transmission of
Hodgkins disease N. Engl J. Med. 289-499, 1973.
7. Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkins disease,
Seamaoned 7 : 92, 1980.

23

Anda mungkin juga menyukai