Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

TEORI BRUNER DAN IMPLEMENTASINYA

Disusun Oleh:

Kelompok 5

1. Wahyu Okta Handayani 14030174024

2. Aswin Burhanudin Sugiyono 14030174027

2014 A

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2016
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan kemudahan sehingga kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini
untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan Matematika.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak
lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang sekitar, diantaranya orang
tua, dosen pengajar, dan teman-teman, sehingga kendala-kendala yang kami
hadapi teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca khususnya calon guru dan guru dapat
memperluas materi tentang Teori Bruner dan Implementasinya yang akan
diaplikasikan pada proses belajar mengajar.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa
Universitas Negeri Surabaya. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pengajar, kami
meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang
akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Surabaya, 17 September 2016

Penyusun

Kelompok 5

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Sejarah Teori Bruner..................................................................................3
2.2 Konsep Teori Bruner.................................................................................4
2.3 Belajar sebagai Proses Kognitif................................................................6
2.4 Teori Belajar Bruner..................................................................................8
2.5 Teorema-teorema tentang Cara Belajar dan Mengajar Matematika........12
2.6 Implementasi Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran........................15
2.7 Contoh Implementasi Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran
Matematika..............................................................................................16
2.8 Kelebihan dan Kelemahan Konsep Dasar Teori Bruner..........................22
1. Kelebihan Konsep Dasar Teori Bruner...................................................22
2. Kelemahan Konsep Dasar Teori Bruner.................................................22
BAB III..................................................................................................................24
PENUTUP..............................................................................................................24
3.1 Kesimpulan..........................................................................................24
3.2 Saran....................................................................................................24
Sebaiknya Teori Bruner ini diaplikasikan dalam proses belajar mengajar
dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif/pengetahuan anak agar
keterampilan intelektual anak tersebut dapat berkembang............................24
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................iii

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka rumusan


masalahnya yaitu :

1. Bagaimana sejarah teori Bruner itu?


2. Bagaimana konsep teori Bruner?
3. Bagaimana belajar sebagai proses kognitif?
4. Bagaimana teori belajar Bruner?
5. Apa saja teorema-teorema tentang cara belajar dan mengajar matematika?
6. Bagaimana implementasi teori belajar Bruner dalam pembelajaran?
7. Apa contoh implementasi teori belajar Bruner dalam pembelajaran
matematika?
8. Apa saja kelebihan dan kelemahan konsep dasar teori Bruner?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisannya yaitu :

1. Untuk mengetahui sejarah teori Bruner.


2. Untuk mengetahui konsep teori Bruner.
3. Untuk mengetahui belajar sebagai proses kognitif.
4. Untuk mengetahui teori belajar Bruner.
5. Untuk mengetahui teorema- teorema tentang cara belajar dan mengajar
matematika.
6. Untuk mengetahui tentang implementasi teori belajar Bruner dalam
pembelajaran.
7. Untuk mengetahui contoh implementasi teori belajar Bruner dalam
pembelajaran matematika.
8. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan konsep dasar teori Bruner.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Teori Bruner

Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome Seymour Bruner ini,


dilahirkan di New York City pada tanggal 1 Oktober 1915. Dia dilahirkan
buta dan tidak melihat sampai setelah dioperasi katarak ketika ia masih
seorang bayi. Ia berkebangsaan
Amerika. Bruner
menyelesaikan pendidikan
sarjana di Duke University di
mana ia menerima gelar
sarjananya (B.A) pada tahun
1937. Selanjutnya, Bruner
belajar psikologi di Harvard
University dan mendapat gelar
doktornya pada tahun 1939 dan
mendapat gelar Ph.D. Pada tahun 1939 dibawah bimbingan Gordon Allport.
Pendekatannya tentang psikologi adalah elektik. Penelitiannya meliputi
persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir.
Dalam mempelajari manusia, Bruner mengganggap manusia sebagai
pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Bruner menerbitkan artikel
psikologis pertama yang berisi tentang mempelajari pengaruh ekstrak timus
pada perilaku seksual tikus betina. Pada tahun 1941, tesis doktornya berjudul
"A Psychological Analysis of International Radio Broadcasts of Belligerent
Nations". Setelah menyelesaikan program doktornya, Bruner memasuki
Angkatan Darat Amerika Serikat dan bertugas di Divisi Warfare Psikologis
dari Markas Agung Sekutu Expeditory Angkatan Eropa komite di bawah
Eisenhower, meneliti fenomena psikologi sosial di mana karyanya berfokus
pada propaganda (subyek tesis doktornya) serta opini publik di Amerika
Serikat. Dia adalah editor Public Opinion Quarterly (1943-1944).

2
Pada tahun 1945, Bruner kembali ke Harvard sebagai profesor
psikologi dan sangat terlibat dalam penelitian yang berkaitan dengan
psikologi kognitif dan psikologi pendidikan. Ia dengan cepat naik pangkat
dari dosen menjadi profesor pada tahun 1952. Dia berperan penting dalam
membangun Path Breaking Center For Cognitive Studies pada tahun 1960
menjabat sebagai direktur pada tahun 1972. Lalu pada tahun 1964-1965 ia
terpilih dan menjabat sebagai presiden dari American Psychological
Association. Pada tahun 1970, Bruner meninggalkan Harvard untuk mengajar
di Universitas Oxford di Inggris. Dia kembali ke Amerika Serikat pada tahun
1980 untuk melanjutkan penelitian di bidang psikologi perkembangan. Pada
tahun 1972, Bruner berlayar melintasi Atlantik. Hal ini dikarenakan untuk
mengambil posisi Watts Professor of Experimental Psychology at Oxford
University. Pada tahun 1991, Bruner bergabung dengan fakultas di New York
University Law School. Selain itu, Bruner juga telah dianugerahi gelar
doktor kehormatan dari Yale dan Columbia, serta perguruan tinggi dan
universitas seperti Sorbonne, Berlin, dan Roma, dan merupakan Fellow dari
American Academy of Arts dan Ilmu.
Kiprah dan pengalaman yang sangat luas mengenai psikologi telah
membawanya pada banyak penghargaan yang diterimanya. Penelitian-
penelitian yang dilakukan Jerome S Bruner, mampu membuktikan dan
memunculkan teori baru, yang kemudian teori itu memiliki ciri khas sendiri,
dan berbeda dengan teori sebelumnya, inilah yang dinamakan teori kognitif
menurut pandangan Jerome S Bruner. Yaitu menganggap manusia sebagai
pemroses, pemikir dan pencipta informasi.

2.2 Konsep Teori Bruner

Belajar kognitif penting dalam belajar. Dalam belajar seseorang tidak


bisa melepaskan diri dari kegiatan belajar kognitif. Tidak mungkin bisa
kegiatan mental tidak berproses ketika memberikan tanggapan terhadap
objek-objek yang diamati. Sedangkan belajar itu sendiri adalah proses mental
yang bergerak kearah perubahan. Bruner mengatakan bahwa belajar lebih
ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau informasi dan bukan

3
ditentukan oleh umur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk
struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan
baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur
kognitif yang dimilikinya dan telah terbentuk di dalam pikiran seseorang
berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya, karena
tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan berfikir mencangkup
kemampuan intelektual yang lebih sederhana yaitu mengingat sampai
dengan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Namun lebih dari
itu, belajar melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Teori kognitif
menerangkan bahwa pembelajaran adalah perubahan dalam pengetahuan
yang disimpan di dalam memori. Teori kognitif ini bermaksud penambahan
pengetahuan kedalam ingatan jangka panjang atau perubahan pada skema
atau struktur pengetahuan. Pengkajian terhadap belajar kognitif memerlukan
penggambaran tentang perhatian, memoridan elaborasi, pelacakan kembali
dan pembuatan informasi yang perolehan pengetahuan, tapi pandangan yang
baru mengutamakan pembinaan atau penggunaan ilmu pengetahuan dalam
proses pembelajaran kognitif ini melibatkan dua proses mental yang penting
yaitu persepsi dan pembentukan konsep (panganggapan).
Bruner memandang motivasi sebagai kekuatan internal dalam proses
belajar. Belajar adalah tujuan langsung, proses mengalami, menemukan
pengetahuan. Pandangan lain Bruner yang patut diketengahkan adalah dunia
model. Ia mengkonstruksi dunia luar dalam bentuk dunia model. Melalui
model memungkinkan seseorang meramalkan dan melakukan intrapolasi dan
ekstrapolasi pengetahuan lebih lanjut. Intrapolasi adalah mencari posisi
melalui penerapan pengetahuan baru, sedangkan ekstrapolasi mencari
bentuk lain dari informasi yang diberikan.

Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) proses
perolehan informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang

4
diterima dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Jarome S.
Bruner menyatakan bahwa belajar matematika lebih berhasil jika proses
pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang
termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan disamping hubungan yang
terkait antara konsep konsep dan struktur-strukturnya. Dalam proses belajar,
siswa sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat
peraga). Dengan alat peraga tersebut, siswa dapat melihat langsung
bagaimana keteraturan serta pola yang terdapat dalam benda yang sedang
diperhatikannya. Keteraturan tersebut kemudian oleh siswa dihubungkan
dengan keteraturan intuitif yang telah melekat pada dirinya.

2.3 Belajar sebagai Proses Kognitif

Bruner mengemukakan bahwa ada tiga proses kognitif yang terjadi


dalam belajar, yaitu :
1 Fase Informasi
Fase awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru
dalam tiap pelajaran siswa selalu memperoleh sejumlah informasi baru
yang dapat menambah pengetahuan yang telah ada dan juga informasi
yang bertentangan dengan informasi sebelumnya. Perolehan informasi
baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengar penjelasan guru
mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audio visual dan lain-
lain.
2 Fase Transformasi
Fase dimana siswa memahami, mencerna dan menganalisis
pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang
mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain. Proses transformasi
pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana siswa memperlakukan
pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi
yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih
abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan.

5
3 Fase Evaluasi
Fase untuk mengetahui apakah hasil transformasi yang diperoleh
siswa tadi sudah benar atau tidak, dan apakah sudah dapat digunakan
untuk memecahkan masalah yang siswa hadapi.

Disini Bruner juga mengemukakan perkembangan kognitif seseorang


terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan,
yaitu:
1. Tahap Enaktif (Pengalaman dengan bentuk konkret)
Tahap Enaktif yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan
di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan
benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata. Bruner
menyatakan : Pada tahap ini apa-apa yang dipelajari, dikenal ataupun
diketahui hanya sebatas dalam ingatan. Kemampuan memproses informasi
belum terjadi. Demikian pula dengan kemampuan berfikir yang lebih jauh
dari apa yang terkandung dalam informasi tidak dapat dilakukan. Bruner
menegaskan bahwa : Siswa hendaklah secara langsung terlibat dalam
memanipulasi objek (benda konkret).

2. Tahap Ikonik (Pengalaman dalam bentuk semi konkret)


Tahap Ikonik yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di
mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk
bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang
menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada
tahap enaktif. Bruner menyatakan bahwa pada tahap ini anak sudah dapat
mengembangkan kemampuan berfikir yang lebih jauh. Kemampuan
mereka dalam berfikir tidak lagi terbatas pada ruang, waktu, dan apa yang
tersaji secara eksplisit dalam informasi yang diterima. Anak sudah dapat
mencerna dan memahami apa-apa yang tidak ada dilingkungan geografis
disekitar mereka ataupun pada waktu sekarang. Kemampuan berfikir yang
lebih abstrak sudah mulai berkembang tidak lagi terbatas pada alat yang

6
harus terlibat. Anak sudah dapat menggali informasi yang lebih jauh dari
apa yang tertera dalam tulisan atau informasi yang diberikan. Kemampuan
berfikir logis sudah dapat dilakukan oleh anak walaupun harus dikatakan
bahwa tingkat abstraksi konsep masih sangat rendah. Bruner menegaskan
bahwa : Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan siswa berhubungan
dengan gambar dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak
langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap
enaktif.

3. Tahap Simbolik (Pengalaman dengan bentuk abstrak)

Tahap Simbolik yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan


itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak
yangdipengaruhi bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini
dilakukan dengan pertolongan simbol. Makin dewasa seseorang , makin
dominan sistem simbolnya. Hal ini tidak berarti bahwa orang dewasa tidak
lagi memakai sistem enaktif dan ikonik, keduanya tetap digunakan, hanya
saja penggunaan simbol-simbol lebih dominan, karena penggunaan
simbol-simbol bagi orang dewasa menunjukkan bertambahnya
kematangan tingkat befikir.
Bruner menyatakan bahwa : Pada tahap ini, anak sudah mampu
berfikir abstrak. Simbol-simbol matematika sudah dapat mereka pahami
sebagaimana seharusnya. Tingkat abstraksi yang mereka miliki sudah
cukup kuat untuk dijadikan dasar dalam pengembangan analisis dan
sintesis. Bruner menegaskan bahwa Dalam tahap ini, anak melakukan
kegiatan belajar dengan memanipulasi simbol-simbol atau lambang-
lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada
tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi
tanpa ketergantungan terhadap objek real.

2.4 Teori Belajar Bruner

7
Menurut Jerome S. Bruner, belajar bermakna hanya dapat terjadi
melalui belajar penemuan (discovery learning). Pengetahuan yang diperoleh
melalui belajar penemuan itu akan bertahan lama dan mempunyai efek
transter yang lebih baik. Dengan belajar penemuan akan meningkatkan
penalaran dan kemampuan untuk berfikir secara bebas dan melatih
keterampilan-keterampilan kognitif agar dapat menemukan dan memecahkan
masalah. Peranan guru adalah menciptakan situasi, sehingga siswa dapat
belajar sendiri dengan memberikan suatu paket yang berisi pelajaran kepada
siswa.

Dengan model pembelajaran ini, anak didorong untuk memahami


suatu hubungan matematika yang belum dia pahami sebelumnya, dan yang
belum diberikan kepadanya secara langsung oleh orang lain. Penemuan
melibatkan kegiatan mengorganisasikan kembali materi pelajaran yang telah
dikuasai oleh seorang siswa. Kegiatan ini berguna bagi siswa tersebut untuk
menemukan suatu pola atau keteraturan yang bersifat umum terhadap situasi
dan masalah baru yang sedang dihadapinya. Di dalam discovery learning,
siswa didorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Siswa belajar melalui
keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam
memecahkan masalah, dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan
pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan siswa
menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Pembelajaran ini
membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi siswa untuk bekerja
sampai menemukan jawabannya. Siswa belajar memecahkan masalah secara
mandiri dengan keterampilan berpikir sebab mereka harus menganalisis dan
memanipulasi informasi.
Dengan demikian agar pembelajaran dapat mengembangkan
keterampilan intelektual anak dalam mempelajari sesuatu pengetahuan
(misalnya suatu konsep matematika), maka materi pelajaran perlu disajikan
dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif/pengetahuan anak agar
pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang
tersebut.

8
Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan
kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk
berlangsungnya proses belajar. Jika belajar dikatakan kegiatan siswa maka
mengajar sebagai kegiatan guru. Menurut Bruner, suatu teori mengajar
hendaknya meliputi:

1. Pengalaman Optimal untuk Mau dan Dapat Belajar

Menurut Bruner, belajar dan pemecahan masalah tergantung pada


penyelidikan alternatif-alternatif. Oleh karena itu pengajaran atau instruksi
harus memperlancar dan mengantur penyelidikan alternatif-alternatif,
ditinjau dari segi siswa.

Penyelidikan alternatif membutuhkan aktivitas, pemeliharaan dan


penghargaan. Dengan kata lain, penyelidikan alternatif membutuhkan
sesuatu untuk dapat memulai, sesudah dimulai keadaan itu harus
dipelihara atau dipertahankan, kemudian dijaga agar tidak kehilangan arah

Kondisi untuk aktivasi ialah adanya suatu tingkat ketidaktentuan


yang optimal. Keingintahuan merupakan suatu respon terhadap
ketidaktentuan dan kesangsian. Suatu tugas yang begitu terperinci
menghendaki sedikit penyelidikan, tugas yang begitu tidak tentu dapat
menimbulkan kebingungan dan kecemasan, dengan akibat mengurangi
penyelidikan.

Setelah penyelidikan teraktifkan, situasi ini dipelihara dengan


membuat resiko seminim mungkin dalam penyelidikan itu. Belajar dengan
pertolongan guru seharusnya kurang mengambil resiko dibandingkan
dengan belajar sendiri. Ini berarti, bahwa akibat membuat kesalahan
menyelidiki alternatif-alternatif yang salah hendaknya tidak banyak terjadi
di bawah bimbingan guru dan hasil penyelidikan alternatif-alternatif yang
benar dengan sendirinya besar.

Arah penyelidikan tergantung pada dua hal yang saling berkaitan,


yaitu tujuan dari tugas yang diberikan sampai batas-batas tertentu harus

9
diketahui dan sampai seberapa jauh tujuan itu telah tercapai pun harus
diketahui.

2. Penstrukturan Pengetahuan untuk Pemahaman Optimal

Struktur dan domain pengetahuan mempunyai tiga cirri dan setiap


ciri itu mempengaruhi kemampuan siswa untuk menguasainya. Ketiga
ciri itu ialah: cara penyajian (metode representation), ekonomi dan kuasa
(power). Cara penyajian, ekonomi dan kuasa, berbeda bila dihubungkan
dengan usia, gaya para siswa dan jenis bidang studi.

Ada tiga cara penyajian, yaitu cara efektif, ikonik, dan simbolik.
Penyajian cara enaktif adalah melalui tindakan guru, cara ikonik adalah
melalui sekumpulan gambar-gambar yang mewakili satu konsep dan cara
simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa.

3. Perincian Urutan-urutan Penyajian Materi Pelajaran Secara


Optimal

Dalam mengajar, siswa dibimbing melalui urutan-urutan pernyataan-


pernyataan dari suatu masalah atau sekumpulan pengetahuan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam menerima, mengubah,
mentransfer, apa yang telah dipelajarinya. Jadi, urutan materi pelajaran
dalam suatu domain pengetahuan mempengaruhi kesulitan yang dihadapi
siswa dalam mencapai penguasaan.

4. Bentuk dan Pemberian Reinforsemen


Bruner mengemukakan, bahwa bentuk hadiah atau pujian dan
hukuman harus dipikirkan. Demikian pula pujian atau hukuman itu
diberikan selama proses belajar mengajar secara intuitif, jelas bahwa
selama proses belajar mengajar belangsung, ada suatu ketika hadiah
ekstrinsik bergeser ke hadiah instrinsik. Sebagai hadiah ekstrinsik
misalnya berupa pujian dari guru sedangkan hadiah intrinsic timbul
karena berhasil memecahkan suatu masalah.

10
Metode penemuan secara murni mengharapkan siswa benar-benar
sebagai seorang penemu yang aktif menemukan, berdasarkan pandangan
sendiri, sedangkan guru hanya sebagai pengawas bahkan tidak
membimbing sama sekali. Meskipun pada metode ini siswa memegang
peranan yang besar namun bimbingan guru tetap diperlukan. Mereka
masih membutuhkan petujuk guru untuk mengetahui apa yang harus
dipelajari dan bagaimana cara mempelajari sesuatu bahan ajar dengan
baik. Adanya perbedaan kemampuan daya nalar yang terdapat diantara
siswa menyebabkan tidak semua siswa dapat menemukan objek
matematika yang diinginkan oleh guru.

2.5 Teorema-teorema tentang Cara Belajar dan Mengajar Matematika

Berdasarkan hasil-hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh


Bruner pada tahun 1963 mengemukakan empat teorema atau dalil/dalil
berkaitan yang dengan cara belajar dan mengajar matematika yang masing-
masing disebut teorema atau dalil. Keempat teorema tersebut adalah:

1. Teorema Konstruksi/Penyusunan (Contruction Theorem)


Teorema ini menyatakan bahwa jika anak ingin mempunyai
kemampuan dalam hal menguasai konsep, teorema, definisi dan
semacamnya, anak harus dilatih untuk melakukan penyusunan
presentasinya. Untuk melekatkan ide atau definisi tertentu dalam pikiran,
anak-anak harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya
sendiri. Dengan demikian, jika anak aktif dan terlibat dalam kegiatan
mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan
representasi konsep tersebut, maka anak akan lebih memahaminya.
Apabila dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide tersebut
anak disertai dengan bantuan benda-benda konkret, maka mereka akan
lebih mudah mengingat ide-ide yang dipelajari itu. Siswa akan lebih
mudah menerapkan ide dalam situasi riil secara tepat. Dalam tahap ini
anak memperoleh penguatan yang diakibatkan interaksinya dengan benda-
benda konkret yang dimanipulasinya. Memori seperti ini bukan sebagai
akibat pengatan. Dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, dalam tahap
awal pemahaman konsep diperlukan aktivitas-aktivitas konkret yang

11
mengantar anak kepada pengertian konsep.
Contohnya, anak mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada
prinsip penjumlahan berulang, akan lebih memahami konsep tersebut. Jika
anak tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk
memperlihatkan proses perkalian tersebut. Sebagai contoh untuk
memperlihatkan perkalian, kita ambil 3 x 5, ini berarti pada garis bilangan
meloncat 3 kali dengan loncatan sejauh 5 satuan, hasil loncatan tersebut
kita periksa, ternyata hasilnya 15. Dengan mengulangi hasil percobaan
seperti ini, anak akan benar-benar memahami dengan pengertian yang
dalam, bahwa perkalian pada dasarnya merupakan penjumlahan berulang.
2. Teorema Notasi (Notation Theorem)

Dalam teorema notasi, representasi dari sesuatu materi matematika


akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila di dalam representasi itu
digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif
siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar, yang pada umumnya
masih berada pada tahap operasi konkret, soal berbunyi; Tentukanlah
sebuah bilangan yang jika ditambah 3 akan menjadi 8, akan lebih sesuai
jika direpresentasikan dalam diberikan bentuk ... + 3 = 8 atau + 3 = 8 atau
a + 3 = 8. Penyajian seperti ini dalam matematika merupakan pendekatan
spiral. Dalam pendekatan spiral setiap ide ide matematika disajikan
secara sistematis denga n menggunakan notasi notasi yang bertingkat.
Pada awal notasi ini sederhana,diikuti notasi yang berikutnya yang lebih
kompleks.

3. Teorema Kekontrasan dan Variasi (Contrast and Variation Theorem)

Teorema ini menyatakan bahwa dalam mengubah dari representasi


kongkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep dalam
matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan

12
keanekaragaman. Artinya agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada
anak mudah dimengerti bila konsep tersebut disajikan dengan cara
mengkontraskan dengan konsep konsep lainnya dan konsep tersebut
disajikan secara beraneka ragam contoh. Jadi anak dapat memahami
dengan mudah karakteristik dari konsep yang diberikan tersebut.
Untuk menyampaikan suatu konsep dengan cara mengkontraskan
dapat dilakukan dengan contoh dan bukan contoh. Sebagai contoh untuk
menyampaikan konsep bilangan ganjil pada anak diberikan padanya
bermacam macam bilangan seperti bilangan ganjil, bilangan genap,
bilangan prima dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian
siswa diminta menunjukkun bilangan bilangan mana yang termasuk
contoh bilangan ganjil dan bilangan bilangan mana yang termasuk b
ukan bilangan ganjil. Dengan contoh soal yang beraneka ragam kita dapat
menanamkan suatu konsep dengan lebih baik daripada hanya contoh-
contoh soal yang sejenis saja. Dengan keanekaragaman contoh yang
diberikan siswa dapat mengenal lebih jelas karakteristik konsep yang
diberikan kepadanya. Misalnya untuk memperjelas bilangan prima anak
perlu diberi contoh yang banyak, yang sifatnya beranekaragam. Perlu
diberikan contoh contoh bilangan ganjil yang termasuk bilangan prima
dengan yang bukan bilangan prima. Pada anak harus diperlihatkan bahwa
tidak semua bilangan ganjil termasuk bilangan prima, sebab bilangan
prima tidak habis dibagi oleh bilangan lain selain oleh bilangan itu sendiri
dan satu.
Untuk menjelaskan segitiga siku-siku, perlu diberi contoh yang
gambar-gambarnya tidak selalu tegak dengan sisi miringnya dalam
kedudukan miring,tapi perlu juga diberikan gambar dengan sisi miring
dalam keadaan mendatar atau membujur. Dengan cara ini anak terlatih
dalam memeriksa, apakah segitiga yang diberikan kepadanya tergolong
segitiga siku-siku atau tidak.
4. Teorema Konektivitas atau Pengaitan (Connectivity Theorem)
Teorema pengaitan menyatakan bahwa dalam matematika itu setiap
konsep berkaitan dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat,
bukan saja dari segi isi,namun juga dari segi rumus yang digunakan.

13
Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau
suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya.
Misalnya bila guru akan menyajikan konsep perkalian, siswa terlebih
dahulu memliki konsep penjumlahan.
Guru harus dapat menjelaskan kaitan-kaiatan tersebut kepada
anak.Hal ini penting agar siswa dalam belajar matematika lebih berhasil.
Dengan melihat kaitan kaitan itu diharapkan siswa tidak beranggapan
bahwa cabang-cabang dalam matematika itu berdiri sendiri melai nkan
saling keterkaitan satu sama lainnya.

Keempat dalil tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan


satu per satu seperti di atas. Dalam penerapan (implementasi), dua dalil atau
lebih dapat diterapkan secara bersama dalam proses pembelajaran sesuatu
materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari
materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa
yang belajar. Misalnya konsep Dalil Pythagoras diperlukan untuk
menentukan Tripel Pythagoras.

2.6 Implementasi Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran

Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan


dengan:
1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
Misal : untuk contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat,
sedangkan bukan contoh adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau
lingkaran.
2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
Misalnya berikan pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini Apakah nama
bentuk ubin yang sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm
ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari
jawabannya sendiri.
Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?

14
4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat
berdasarkan intuisinya. Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian
gunakan pertanyaan yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari
jawaban yang sebenarnya.
Teori belajar Bruner ini didasarkan pada dua asumsi, bahwa :
1. Perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif, artinya
pengetahuan akan diperoleh siswa apabila yang bersangkutan berinteraksi
secara aktif dengan lingkungannya.
2. Orang mengkonstruksikan pengetahuannya dengan cara menghubungkan
hal-hal yang mempunyai kemiripan dihubungkan menjadi suatu struktur
yang memberi arti.

2.7 Contoh Implementasi Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran


Matematika

1. Pembelajaran Konsep Luas Segitiga

a. Tahap Enaktif

Kegiatan yang dilakukan pada tahap enaktif agar siswa


memperoleh pengetahuan konseptual sebagai berikut:

1) Siswa diberikan alat peraga berupa potongan kertas karton


2) Siswa mengamati dan memanipulasi alat peraga tersebut.
3) Guru meminta siswa membuat gambar persegi panjang yang diberi
garis miring kemudian menggunting gambar mengikuti garis
sehingga menghasilkan dua bangun segitiga
4) Masing-masing siswa memperlihatkan hasil guntingannya.
5) Siswa mengamati guntingan gambar yang telah dibuat kemudian
menggabungkan kembali guntingan gambar yang telah dibuat untuk
melihat keteraturan atau ide-ide yang terkait pada susunan guntingan
gambar yang dibuat yang membentuk konsep luas segitiga.
6) Siswa mengungkapkan hasil pengamatannya, kemudian guru
menegaskan kembali ungkapan siswa agar sesuai dengan yang
diharapkan.
b. Tahap Ikonik

15
Pada tahap penyajian ini menggunakan gambar persegi panjang
yang telah digunting menjadi gambar segitiga dan gambar tersebut
dimuat pada lembar kerja siswa (LKS). Kegiatan yang dilakukan pada
tahap ini agar siswa memperoleh pengetahuan konseptual adalah
sebagai berikut:
1) Guru membagikan LKS yang memuat gambar-gambar segitiga yang
berpetak lalu memberikan penjelasan seperlunya tentang pengisian
LKS.
2) Siswa mengamati gambar yang ada pada LKS untuk menyatukan
pengetahuan yang telah dimilikinya pada tahap enaktif. Kemudian
siswa melihat keteraturan atau ide-ide yang terkait yang ada dalam
gambar. Hal yang diamati siswa misalnya: Gambar potongan segitiga
kemudian menghitung banyaknya alas dan tinggi yang terdapat pada
gambar.
3) Siswa mengungkapkan hasil pengamatannya, kemudian guru
menegaskan kembali agar sesuai dengan yang diharapkan.
4) Setelah siswa memperoleh pengetahuan konsep luas segitiga dengan
mengamati gambar yang ada pada LKS, kemudian dilanjutkan
dengan mengarahkan siswa untuk memperoleh pengetahuan
prosedural dalam menentukan luas segitiga dengan gambar.
Kegiatan ini dilakukan sebagai berikut:
a) Siswa mengisi LKS berdasarkan pengamatannya dengan
mengikuti langkah-langkah kerja yang tersedia pada LKS.
b) Untuk menemukan konsep luas segitiga yang ditunjukan dengan
gambar tersebut siswa mencoba dengan gambar lain kemudian
menghitung berapa banyaknya alas dan tinggi yang ada pada
gambar.
c) Prosedur yang ditemukan siswa pada langkah kedua di LKS akan
dijadikan dasar dalam membuat generalisasi untuk menemukan
konsep luas segitiga.
c. Tahap Simbolik
Pada tahap ini guru mengarahkan siswa untuk memantapkan
pengetahuan konseptual danproseduralnya tentang rumus luas segitiga.
Dari generalisasi pada tahap ikonik, dengan mensimbolkan ukuran alas

16
1
(a), tinggi (t) dan luas (L) sedangkan 2 diperoleh dari tahap enaktif

yaitu sebuah gambar persegi panjang yang dibagi menjadi dua gambar
segitiga atau luas gambar yang diarsir setengah dari luas persegi
panjang. Oleh karena itu dapat disimpulkan untuk rumus luas segitiga,

1
L= alas tinggi
2 . Untuk memperdalam pengetahuan anak tentang

luas segitiga ini maka guru dapat memberikan soal-soal latihan dengan
menggunakan rumus tersebut.

Setelah tiga tahapan Bruner diberikan kepada siswa, guru perlu


mengecek kembali tingkat pemahaman yang dimiliki oleh siswa tentang
materi konsep luas segitiga. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
memberikan pertanyaan atau kesempatan kepada siswa mengemukakan
ide tentang permasalahan yang muncul terhadap materi dalam soal yang
diberikan. Ide atau permasalahan yang diajukan dapat berupa identifikasi,
kesamaan ciri, pembentukan hubungan antara ide dari benda konkret atau
gambar (semi konkret), maupun pada penarikan kesimpulan tentang
permasalahan yang diberikan.

Kegiatan di atas, bertujuan agar siswa dapat menemukan cara yang


efektif dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Apabila hal tersebut
tercapai, maka pada diri siswa akan terbentuk kesan dan rasa puas
terhadap hasil yang telah dilakukannya. Hal ini akan mempermudah
terbentuknya pemahaman terhadap materi yang diajarkan. Selain itu, guru
mengecek pemahaman siswa dengan melihat jawaban atau alasan-alasan
yang diungkapkan. Dari kondisi tersebut, guru dapat menarik kesimpulan
bahwa apakah siswanya telah memahami materi secara konseptual. Setelah
siswa memahami materi secara konseptual, guru dapat melanjutkan
kegiatan dengan cara memberikan latihan soal dan mengamati langkah-
langkah penyelesaian soal dalam menemukan jawaban. Langkah-langkah
yang telah dilakukan siswa dapat diungkapkan baik secara individu

17
maupun secara kelompok. Kondisi ini akan membuat siswa saling
membandingkan satu dengan yang lainnya tentang langkah yang paling
praktis untuk menemukan jawaban. Tujuannya agar siswa memperoleh
keterampilan dalam menyelesaikan soal dengan cepat dan tepat, sehingga
materi yang telah dipelajarinya dapat dipahami baik secara konseptual
maupun secara prosedural.

2. Mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah


a. Tahap Enaktif
Dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah,
pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa
mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret
(misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan
kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya).
b. Tahap Ikonik
Kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau
diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan
tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan
menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang
kedua siswa bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan
pembayangan visual (visual imagery) dari kelereng, kelereng tersebut.
c. Tahap simbolik
Sebagai contoh, Kemudian, Pada tahap berikutnya, siswa
melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan
lambang-lambang bilangan, yaitu : 3 + 2 = 5.

3. Menemukan Rumus Luas Daerah Persegi Panjang


a. Tahap Enaktif
Siswa diarahkan untuk mengukur atau menghitung panjang dan
lebar bangun persegipanjang yang tersusun dari petak - petak satuan
seperti pada contoh dibawah ini.

18
Kemudian siswa mengisi tabel yang tersedia sesuai dengan perhitungan.

Gambar Panjang Lebar

A 8 satuan 1 satuan

B 5 satuan 2 satuan

C 7 satuan 4 satuan

b. Tahap Ikonik
Siswa diajak menghitung banyaknya satuan persegi dengan cara
membilang dan kemudian dibimbing untuk menemukan hubungan
antara satuan panjang dan lebar untuk menentukan luas bangun.

19
c. Tahap
Simbolik
Siswa diminta untuk mengeneralisasikan untuk menenukan rumus
luas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran panjang adalah p,

20
ukuran lebarnya adalah l , dan luas daerah persegi panjang adalah L,
maka rumus luas persegipanjang dapat digeneralisasikan menjadi :

maka
jawaban
yang diharapkan L = p x l satuan.
Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan
ukuran lebar.

2.8 Kelebihan dan Kelemahan Konsep Dasar Teori Bruner

1. Kelebihan Konsep Dasar Teori Bruner

Konsep dasar teori Bruner yang dikemukakan dalam pembelajaran


memiliki kelebihan yaitu:

a. Kegiatan belajar melakukan penemuan terhadap konsep dan struktur


materi pembelajaran.
b. Terdapat tahapan pembelajaran pada konsep dasar teori Bruner.
c. Implementasi pembelajarannya tergantung oleh guru yang menciptakan
kegiatan pembelajarannya.
d. Tujuan pembelajaran yaitu untuk mengembangkan keterampilan
intelektual anak.

2. Kelemahan Konsep Dasar Teori Bruner

Konsep dasar teori Bruner yang dikemukakan dalam pembelajaran


memiliki kelemahan yaitu:

a. Tidak semua pokok bahasan dalam matematika dapat dirancang untuk


melakukan penemuan.

Jadi, bila ditarik kesimpulan dari kelebihan dan kelemahan konsep


dasar teori Bruner tersebut, cenderung lebih banyak kelebihannya yang

21
menekankan pada pembelajaran konsep, mengembangkan keterampilan anak
dan melakukan penemuan terhadap konsep sedangkan kelemahannya hanya
terletak pada pemilihan materi.

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Teori kognitif menurut pandangan Bruner yaitu Bruner menganggap


manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi.
2. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajarnya. Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1)
proses perolehan informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi
yang diterima dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.
3. Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu Fase Informasi,
Fase Transformasi, dan Fase Evaluasi.
4. Perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu Tahap Enaktif
(Pengalaman dengan bentuk konkret), Tahap Ikonik (Pengalaman dalam
bentuk semi konkret), Tahap Simbolik (Pengalaman dengan bentuk
abstrak).
5. Menurut Bruner, belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar
penemuan (discovery learning). Pengetahuan yang diperoleh melalui
belajar penemuan itu akan bertahan lama dan mempunyai efek transter
yang lebih baik.
5. Teorema atau dalil/dalil yang berkaitan dengan cara belajar dan mengajar
matematika adalah Teorema Konstruksi/Penyusunan (Contruction
Theorem), Teorema Notasi (Notation Theorem), Teorema Kekontrasan dan
Variasi (Contrast and Variation Theorem), dan Teorema Konektivitas atau
Pengaitan (Connectivity Theorem).
3.2 Saran

Sebaiknya Teori Bruner ini diaplikasikan dalam proses belajar


mengajar dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif/pengetahuan
anak agar keterampilan intelektual anak tersebut dapat berkembang.

23
DAFTAR PUSTAKA

Fuaidah, Tunas. Teori Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner. 14


September 2016. https://8tunas8.wordpress.com/teori-belajar-mengajar-
menurut-jerome-s-bruner/

Mufarricha, L. 2009. Konsep Pembelajaran Menurut Jerome S Bruner. Surabaya:


Universitas Islam Negeri Surabaya

Murti, Rahayu Condro. 2010. Teori Belajar Matematika dan Penerapannya di


Sekolah Dasar. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta

Sarkinah. Teori Belajar Matematika Jerome S. Bruner dan Penerapannya di


Sekolah Dasar. 14 September 2016.
http://inahsarkinah.blogspot.co.id/2012/06/teori-belajar-matematika-jerome-
s.html

Tahir, M. Ridwan. Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran Matematika. 17


September 2016. http://www.rumahmakalah.com/2016/08/teori-belajar-
bruner-dalam-pembelajaran.html

Wahyudwiyanto, RA. 2013. Efektifitas Penerapan Teori Bruner dalam


Pembelajaran Matematika. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana

Wardhina, Elvira. Teori Belajar Bruner. 14 September 2016.


http://elvirawardhina.blogspot.co.id/2013/03/teori-belajar-bruner.html

Anda mungkin juga menyukai