Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KONSTRUKTIVISME DAN MATEMATIKA

Disusun Oleh:
Kelompok 12
1. Mohammad Romdhon Baehaqi

14030174014

2. Wahyu Okta Handayani

14030174024

2014 A

JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
kemudahan sehingga kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun
kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan bimbingan orang sekitar, diantaranya orang tua, dosen pengajar, dan temanteman, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca khususnya calon guru dan guru dapat memperluas
materi tentang Konstruktivisme dan Matematika yang akan diaplikasikan pada proses belajar
mengajar.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Negeri
Surabaya. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Untuk itu, kepada dosen pengajar, kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan
makalah kami di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca.

Surabaya, 16 April 2016


Penyusun

Kelompok 12

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
1.1

Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2

Rumusan Masalah..................................................................................... 1

1.3

Tujuan........................................................................................................ 1

BAB II..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN........................................................................................................ 3
2.1

Pengertian Konstruktivisme.......................................................................3

2.2

Konstruktivisme Matematika.....................................................................3

2.3

Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika....................................4

2.4

Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika.............6

2.5

Contoh Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme dalam Matematika.........8

2.6

lmplikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika.....................9

BAB III.................................................................................................................. 12
PENUTUP.............................................................................................................. 12
3.1

Kesimpulan.............................................................................................. 12

3.2

Saran....................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. iii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat konstruktivisme dapat digolongkan dalam filsafat pengetahuan, bagian dari
filsafat yang mempertanyakan masalah pengetahuan dan bagaimana kita dapat
mengetahui sesuatu. Dewasa ini filsafat konstruktivisme banyak mempengaruhi
perkembangan

pendidikan,

terutama

dalam

proses

pembelajaran.

Dalam konsep filsafat konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu


saja oleh seorang guru kepada murid. Pengetahuan yang didapat murid bukanlah suatu
perumusan yang diciptakan oleh orang lain melainkan dibangun (konstruksi) oleh murid
itu sendiri. Inilah pergeseran nyata yang sesungguhnya sudah dirintis ketika dunia
pendidikan

kita

dikenalkan

dengan

Cara

Belajar

Siswa

Aktif

(CBSA).

Dalam praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal
terpenting. Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan
partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan. Inilah
knstruktivisme.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalahnya
yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apa pengertian konstruktivisme?


Apa pengertian konstruktivisme matematika?
Bagaimana Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika?
Apa Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika?
Apa Contoh Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme dalam Matematika?
Bagaimana Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisannya yaitu :
1.
2.
3.
4.

Untuk mengetahui pengertian konstruktivisme.


Untuk mengetahui pengertian konstruktivisme matematika.
Untuk mengetahui tentang Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika.
Untuk mengetahui tentang Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Matematika.
1

5. Untuk

mengetahui

contoh

Pembelajaran

Berbasis

Konstruktivisme

dalam

Matematika.
6. Untuk mengetahui Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme berarti paham atau aliran.
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia
menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena,
pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila
pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang
sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat
ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan
sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi melainkan suatu
proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan
kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan dalam perkembangan
pengetahuannya.
Teori-teori konstruktivis mengenai pembelajaran dipengaruhi oleh teori-teori
pengembangannya Piaget (1952, 1959) dan teori-teori pembelajaran sosialnya Vygotsky.
Kajian

Piaget

fokus

pada

pengalaman-pengalaman

individu

langsung

yang

menggerakkan pembelajaran secara berurutan pada periode waktu tertentu untuk


membangun pengetahuan perseptual, konkret dan pada akhirnya abstrak. Kajian
Vygotsky menekankan pentingnya interaksi socsal saat siswa berpartisipasi dalam tugas
tugas pembelajaran. Para pembelajar meningkatkan pemikiran mereka sendiri dengan
bersikap terbuka pada pandangan-pandangan dan wawasan-wawasan orang lain.
2.2 Konstruktivisme Matematika
Proses pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme sebagai berikut:
a. Menyiapkan bendabenda nyata untuk digunakan oleh para siswa
b. Memilih pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa
c. Memperkenalkan kegiatan yang layak dan menarik serta beri kebebasan siswa untuk
menolak saran guru
d. Menciptaan pertanyaan dan masalah serta pemecahannya
e. Mengajak siswa untuk saling berinteraksi
3

f. Siswa diajak untuk berpikir dengan cara mereka sendiri


g. Memperkenalkan kembali materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa tahun
lamanya.
Dari proses pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme dapat
memberikan suatu solusi dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh siswa.
(Dahar, 1989:160).
Belajar matematika menurut para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar
matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan
rumus-rumus saja. Para ahli konstruktivis merekomendasikan untuk menyediakan
lingkungan belajar dimana siswa dapat mencapai konsep dasar, ketrampilan, dan
kebiasaan bekerja sama. Dari pernyataan beberapa ahli konstruktivis diatas dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran matematika berdasarkan konstruktivisme adalah
pembelajaran yang harus melibatkan siswa aktif untuk mengkontroksi pengetahuannya
sendiri melalui interaksi dengan benda konkrit.
2.3 Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika
Dalam pembelajaran, guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan
kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. Guru
hanya membantu agar informasi menjadi lebih bermakna dan relevan bagi siswa dengan
menunjukkan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan strategi-strategi yang
dimilikinya untuk belajar. Berdasarkan hasil-hasil penelitian Piaget (dalam Hermayani,
2008) berkesimpulan bahwa pengetahuan dibangun dalam diri anak. Piaget juga
mengatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sebagai upaya keras pebelajar untuk
mengorganisasikan pengalamannya dengan skema-skema atau struktur kognitif yang
telah ada sebelumnya pada anak itu sendiri. Lebih lanjut teori konstruktivisme
memandang siswa secara terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang
berlawanan dengan aturan-aturan lama dan menelusuri aturan-aturan tersebut jika tidak
sesuai lagi.
Beberapa ahli konstruktivis telah menguraikan indikator belajar mengajar
berdasarkan konstruktivisme. Confrey (dalam Suherman, 2003) menyatakan bahwa :
Sebagai seorang konstruktivis, ketika saya mengajarkan matematika, saya tidak
mengajarkan siswa tentang struktur matematika yang objeknya ada di dunia ini. Saya
mengajar mereka, bagaimana mengembangkan kognisi mereka, bagaimana melihat dunia
melalui sekumpulan lensa kuantitatif yang saya percaya akan menyediakan suatu cara
4

yang powerfull untuk memahami dunia, bagaimana merefleksikan lensa-lensa itu untuk
menciptakan lensa-lensa yang lebih kuat, dan bagaimana mengapresiasi peranan dari
lensa dalam memainkan pengembangan kultur mereka. Saya mencoba untuk
mengajarkan mereka untuk mengembangkan suatu alat intelektual yaitu matematika.
Hal ini tersebut di atas mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat
untuk berfikir. Dimana fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa
untuk berpikir mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh
ahli-ahli sebelumnya.
Suparno menyatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan bercirikan antara lain
sebagai berikut:
1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka
lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi dalam hal ini dipengaruhi oleh pengertian
yang telah ia punyai.
2. Konstruksi pengetahuan adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali berhadapan
dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat
maupun lemah.
3. Belajar

bukanlah

kegiatan

mengumpulkan

fakta,

melainkan

lebih

suatu

pengembangan pemikiran dengan memuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah


hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu
perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran
seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan
yang merangsag pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium)
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
Ciri-ciri tersebut memberikan acuan bahwa dalam pembelajaran matematika setiap
siswa harus mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan mempunyai cara sendiri untuk
mengerti serta mengetahui kekhasan dalam dirinya termasuk keunggulan dan
kelemahannya dalam memahami sesuatu. Ini berarti siswa aktif berpikir, merumuskan
konsep, dan mengambil makna. Peran guru disini adalah membantu agar proses
konstruksi itu berjalan agar siswa membentuk pengetahuannya. Lebih lanjut Piaget
(dalam Ratumannan, 2002) menegaskan bahwa pikiran manusia mempunyai struktur
yang disebut skemata atau struktur kognitif. Dengan skemata atau struktur kognitif ini
seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata
5

yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan
informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah penyusunan kembali struktur
pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat,
Reseffendy (dalam Ratumanan, 2002)
Menurut Davis (dalam Hermayani, 2008) pandangan konstruktivisme dalam
pembelajaran matematika berorientasi kepada:
1. Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
2. Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah pebelajar dihadapkan kepada apa.
3. Informasi baru dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu
kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan dan mengintepretasikan
pengalamannya.
4. Pusat pembelajaran adalah bagaimana pebelajar berpikir, bukan apa yang mereka
katakan atau tulis. Sehinnga proses konstruksi pengetahuan terjadi di dalam benak
siswa sendiri melalui proses internalisasi.
Dengan kalimat lain, apabila suatu informasi (pengetahuan) baru diperkenalkan
kepada siswa dan pengetahuan tersebut sesuai dengan struktur kognitif yang telah
dimilikinya, maka pengetahuan itu akan beradaptasi melalui proses asimilasi dan
terbentuklah pengetahuan baru. Sedangkan apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu
tidak sesuai dengan struktur kognitif siswa maka akan terjadi ketidakseimbangan
(disequilibrium), kemudian struktur kognitif tersebut direstrukturisasi kembali akan
dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi keseimbangan (equilibrium)
(dalam Ratumanan, 2002)
Berdasarkan pengertian diatas, maka menurut pendekatan konstruktivisme dapat
diartikan bahwa belajar adalah proses pembentukan makna secara aktif oleh siswa
sendiri terhadap masukan sensori baru yang didasarkan atas struktur kognitif yang telah
dimiliki sebelumnya.
2.4 Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan
sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling
kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk
memahami topik atau konsep selanjutnya. Menurut konstruktivis secara substantif,
belajar matematika adalah proses pemecahan masalah. Evaluasi dalam pembelajaran
6

matematika secara konstruktivis terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on


going assesment)
Selain itu, data kemampuan siswa dalam matematika harus memasukkan
pengetahuan tentang konsep matematika, prosedur matematika, kemampuan problem
solving, reasoning dan komunikasi. Sedangkan Nisbet (1985) menyatakan bahwa tak
ada cara tunggal yang tepat untuk belajar dan tak ada cara terbaik untuk mengajar.
Namun demikian seorang guru dapat menerapkan salah satu pendekatan yang cocok
dengan mempertimbangkan kondisi siswa.
Seorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka proses
mengetahui

akan

mengikuti

model imposition (pembebanan).

Sedangkan

yang

berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses memfasilitasi suatu konstruksi, maka
ia akan mengikuti model negosiasi. Aktivitas guru dikelas dipengaruhi oleh paham
mereka tentang pembelajaran.
Perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa guru diisyaratkan untuk
mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat
melayani secara cukup perbedaan-perbedaan individu siswa.
Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies tahun 1995 menyatakan
bahwa siswa akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara
kualitatif dalam cara-cara yang berbeda. Lovitt dan Clarke, 1988 (dalam Suherman,
2003) menambahkan bahwa kualitas pembelajaran ditandai dengan berapa luas dalam
lingkungan belajar:
Mulai dari mana siswa ini berada.
Mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda

dan cara yang

berbeda.
Melibatkan siswa secara fisik dalam proses belajar.
Meminta siswa untuk menvisualkan yang imajiner.
Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran
matematika menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di
dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan
siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksikan)
pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam
paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan guru senantiasa menjawab
dengan segera terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa.

Implikasi dari perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi guru dalam


pembelajaran matematika untuk bernegosiasi dengan siswa, bukan memberikan jawaban
akhir yang telah jadi. Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa pengajuan
pertanyaan-pertanyaan yang menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut yang dapat
mendorong mereka sehingga penguasaan konsepnya semakin kuat. Tidak hanya itu,
implikasi pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika, guru akan bertindak
sebagai mediator dan fasilitator yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri siswa.
Siswa dapat berusaha memahami suatu masalah beserta pemecahannya berdasarkan
kecepatan dan kemampuannya sendiri. Dengan demikian diharapkan dapat memberi
suatu motivasi kepada siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran dan
menimbulkan tangggapan positif terhadap matematika.

2.5 Contoh Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme dalam Matematika


Berikut ini adalah contoh pembelajaran pengurangan dasar bilangan. Alternatif
rancangan proses pembelajaran ini dapat saja disempurnakan dan disesuaikan dengan
kondisi daerah dan keadaan siswa di kelas. Langkah-langkah proses pembelajarannya
adalah sebagai berikut:
1. Pada tahap awal, Guru mengajukan masalah seperti berikut di papan tulis, di
transparansi, ataupun di kertas peraga.
Ardi memiliki 12 kelereng. 9 kelereng diberikan kepada adiknya.
Berapa kelereng yang dimiliki Ardi sekarang?

2. Guru bertanya kepada para siswa, berapa kelereng yang dimiliki Ardi pada awalnya?
Jawaban yang diinginkan adalah 12. Guru lalu menggambar di papan tulis, 12 buah
kelereng seperti gambar di bawah ini dengan menekankan bahwa 12 bernilai 1
puluhan dan 2 satuan atau 12 = 10 + 2.

3. Guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan menggunakan benda-benda


konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan 12 kelereng yang dimiliki Ardi.
4. Guru bertanya kepada siswa, berapa butir kelereng yang diberikan kepada adiknya
dan berapa sisa kelereng yang dimiliki Ardi sekarang? Biarkan siswa bekerja sendirisendiri atau bekerja di kelompoknya untuk menjawab soal tersebut.
5. Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau kelompok siswa, seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini. Pada waktu diskusi kelompok, guru sebaiknya menawarkan
alternatif kedua ini kepada beberapa kelompok.

6. Guru memberi kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk melaporkan cara
mereka mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari dua cara tersebut
yang lebih mudah digunakan.
7. Guru memberi soal tambahan seperti 139 dan 128. Para siswa masih boleh
menggunakan benda-benda konkret. Bagi siswa yang masih menggunakan alternatif
pertama, sarankan untuk mencoba alternatif kedua dalam proses menjawab dua soal
di atas.
8. Guru memberi soal tambahan seperti 149 dan 138. Bagi siswa atau kelompok
siswa yang sudah dapat menyelesaikan soal ini tanpa menggunakan benda konkret
dapat mengerjakan soal-soal yang ada di buku.
2.6 lmplikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan akan terbentuk atau terbangun di
dalam pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya untuk mengorganisasikan pengalaman
barunya berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya, belajar
matematika merupakan proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan
oleh siswa sendiri melalui transformasi pengalaman individu siswa. Di samping itu,
pentingnya kemampuan memecahkan masalah, terutama di saat para siswa sudah bekerja
atau di saat mempelajari materi lain, akan menuntut adanya perubahan proses
pembelajaran di kelas-kelas.
Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah:
a. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.
9

b. Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.


b. Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
c. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
d. Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
e. Guru adalah fasilitator.
Berdasarkan penjelasan dan contoh di atas, implikasi konstruktivisme pada
pembelajaran matematika diantaranya adalah:
1. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak mesti diikuti dengan hasil yang bagus
pada siswanya. Setiap siswa harus mengkonstruksi (membangun) pengetahuan
matematika di dalam benaknya masing-masing berdasarkan pada kerangka kognitif
yang sudah ada di dalam benaknya. Setiap guru matematika tentunya sudah
mengalami bahwa meskipun suatu materi telah dibahas dengan sejelas-jelasnya
namun masih ada sebagian siswanya yang belum ataupun tidak mengerti materi yang
diajarkannya. Hal ini telah menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu
materi kepada siswanya dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak
belajar sama sekali.
2. Tugas setiap guru adalah memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan matematika
dibangun atau dikonstruksi para siswa sendiri dan bukan ditanamkan oleh para guru.
Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi
pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya. Karenanya, pembelajaran
matematika akan menjadi lebih efektif bila guru membantu siswa menemukan dan
memecahkan masalah dengan menerapkan pembelajaran bermakna.
3. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang
digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang
dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk mendukung model model itu.
Karenanya, para guru harus mau bertanya dan mau mengamati pekerjaan siswanya.
Setiap kesalahan siswa harus menjadi umpan balik dalam proses penyempurnaan
rancangan proses pembelajaran berikutnya.
4. Pada konstruktivisme, siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri untuk
masing-masing konsep matematika sehingga peranan guru dalam mengajar bukannya
menguliahi,

menerangkan

atau

upaya-upaya

sejenis

untuk

memindahkan

pengetahuan matematika pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang
membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-kontruksi mental yang
diperlukan.
10

11

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi, konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan
bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri.
Pembelajaran matematika berdasarkan konstruktivisme adalah pembelajaran yang harus
melibatkan siswa aktif untuk mengkontroksi pengetahuannya sendiri melalui interaksi
dengan benda konkrit.
Pendekatan konstruktivisme dapat diartikan bahwa belajar adalah proses
pembentukan makna secara aktif oleh siswa sendiri terhadap masukan sensori baru yang
didasarkan atas struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya. Pembelajaran
matematika yang menggunakan pendekatan konstruktivis, maka strategi yang sesuai
dengan kondisi tersebut adalah dengan pemberian tugas rumah, karena dapat
memberikan suatu motivasi kepada siswa untuk memahami suatu konsep secara utuh
melalui pengerjaan tugas dengan kondisi dan situasi yang tidak hanya terpaku pada ruang
kelas dan keterbatasan waktu dalam proses belajar.
3.2 Saran
Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelasjelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti
materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat
mengajar suatu materi kepada siswa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya
tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti
dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para
siswa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang
dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirian bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa
harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru
kedalam kerangka kognitifnya.

12

Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang
digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan
dan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing
konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya menguliahi, menerangkan atau
upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan
situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksikonstruksi mental yang diperlukan.

13

DAFTAR PUSTAKA
Auranet, Priyono. Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika. 16 April 2016.
http://profesormakalah.blogspot.co.id/2015/01/pembelajaran-konstruktivismedalam.html.
Thea, Toha. Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. 16
April 2016. http://tohathea.blogspot.co.id/2011/01/implikasi-konstruktivismedalam.html.
Ova. Filsafat Konstruktivisme. 18 April 2016.
http://tiganovana.blogspot.co.id/2012/11/filsafat-konstruktivisme_391.html.
Dewin. Pendekatan Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Matematika. 18 April 2016.
http://www.sekolahdasar.net/2012/05/pendekatan-konstruktivismedalam.html#ixzz46BJE5jn4

Anda mungkin juga menyukai