Anda di halaman 1dari 24

BAB XVI

PENYAKIT JANTUNG

1. DIAGNOSIS DAN PENGELOLAAN ARITMIA

Pendahuluan
Pengelolaan aritmia jantung dan gangguan konduksi membutuhkan ketepatan indentifikasi
gangguan ritme yang spesifik, analisa klinis, dan target yang tepat. Mengenali dan selanjutnya
mengoreksi gangguan hamodinamik, elektrolit, metabolik dan gangguan respirasi merupakan
hal yang penting dalam mengobati berbagai keadaan aritmia.

Aritmia dapat bersifat primer dan sekunder. Aritmia primer terjadi sebagai akibat gangguan
elektrofisiologi yang disebabkan oleh proses penyakit. Keadaan ini tak dipengaruhi oleh
perubahan fungsi hemodinamik. Sebaliknya, apabila suatu proses penyakit menyebabkan
gangguan hemodinamik yang pada gilirinya menyebabkan perubahan elektrik, keadaan ini
tersebut disebut aritmia sekunder. Pencegahan aritmia sekunder dapat dilakukan dengan cara
menggunakan obat-obat pengaktif hemodinamik baik tunggal maupun dalam kombinasi dengan
obat anti aritmia.

Spektrum aritmia berkisar antara bradiaritmia s/d tachyaritmia. Tachycardi dibagi menjadi
tachycardia dengan kompleks QRS yang sempit (narrow) dan lebar (wide). Pemeriksaan
electrogram intracardiac dapat mengindentifikasi tempat dan jaras dari tachyicardia tetapi
jarang digunakan pada keadaan akut, sehingga pemeriksaan surface electrocardiogram (ECG)
disamping pemeriksaan fisik digunakan sebagai standard pendekatan pada pasien dengan
aritmia.

2. ARITMIA SUPRAVENTRIKULER

Premature Artial Impulse


Atrial ekstrasystole atau premature atrial contraction (PAC) merupakan suatu implus yang
berasal dari fokus atrial ektopik biasnya dihubungkan dengan penyakit iskemia miokard, RDH,
myopericarditis, CHF dan berbagai gangguan sistemik seperti gangguan keseimbangan asam
basa, elektrolit, dan penyakit paru. Cafein, tembakau dan konsumsi alkohol seperti juga stress
emosi dapat mengawali atau mengeksaserbasi terjadinya PAC.

Pasien yang asimtomatik tanpa disertai latar belakang penyakit jantung tidak memerlukan
terapi kecuali mengatasi faktor presipitasinya. Pada pasien dengan palpitasi yang menggangu,
dapat diberikan penyekat dosis rendah. Baik digitalis maupun verapamil pernah dicoba untuk
terapi, tetapi hasilnya belum terbukti.

PAC yang mengawali terjadinya reentrant supraventikluer aritmia atau ventrikel aritmia harus
diobati.

Obat anti aritmia yang aktif pada membran terutama obat antiaritmia golongan klas 1A seperti
procainnamide, qunidine, dysopiramide efektif untuk menghilangkan trigger PAC.

Supraventricular Tachyarhitmia
Semua tachyritmia yang berasal dari bagian atas bifurcation bundle His atau jaringan diatasny
pada reenrant loop diklasifikasikan sebagai supraventrikuler tachyarrhytmia, per definisi atrial
rate pada supraventrikuler tachycardi harus > 100 x/menit. Dalam keadaan yang jarang,
atrialratenya bisa < 100 x/menit apabila AV Junctionalratenya > 100 x/menit dan bersamaan
dengan konduksi retrograde incoplete.

Aktivitas atrial dadat didentifikasikan dengan cara membuat suatu strip retime yang panjang
dengan menggunakan multiple leads. Rekaman strip ratime dengan kecepatan kertas tinggi(mis
50 mm/sec)dapat pula membantu. Alat diagnostik yang lain termasuk vegal manuver untuk

1
melambatkan ventrikuler respons rate atau esophageal lead untuk mengidentifikasikan
aktivitas atrial. Intraatrial electrograms biasanya diperlukan.

Supraventrikuler tachyarhytmia biasanya mempunyai kompleks QRS yang lebar tidak


menyingkirkan supraventrikuler tachycardi dengan adany konduksi aberrant, preexisting
bundle branch block, atau sindroma WPW.
SVT dapat diklasifikasikan sebagai paroksismal (berlangsung dalam hitungan detik s/d jam),
persisten (berlangsung dalam hitungan minggu s/d tahun).

Pertimbangan yang tidak hanya meliputi durasi tachyaritmia tetapi juga mekanisme
elektrofisologi penting untuk menentukan penatalaksanaan supraventrikuler tachyarrhytmia
yang tepat.

Sinus Tachycardia
Sinus tachycardia berasal dari sel pacemaker nodus sinoatrial dan didefinisikan sebagai
kecepatan sinus > 100 x/menit. Keadaan ini ditandai dengan gelombang P sinus yang normal
dengan kecepatan tinggi, biasanya tidak melebihi 130 140 x/menit pada saat resting akan
tetapi bisa mencapai 180 200 x/menit dalam keadaan exercise.

Sinus tachycardi merupakan respons fisiologis normal terhadap exercise atau stress emosional;
adanya irama ini yang persisten biasanya merupakan suatu tanda ada penyakit yang mendasari
(misalnya gagal jantung, hypovolemia, keadaan hipermetabolik).

Vagotonic manuver, seperti massage sinus carotikus atau valsava manuver, dapat membantu
membedakan sinus tachycardi dengan kondisi SVT yang lain. Perlambatan kecepatan secara
gradual diikuti kembalinya keirama normal secara gradual pula merupakan typical dari sinus
tachiardi biasnya tak membutuhkan terapi spesifik, penatalaksanaan ditujukan langsung pada
penyakit dasarnya. Apabila dibutuhkan obat untuk melambatkan sinus tachycardinya, agen
penyekat biasanya efektif akan tetapi harus ditentukan dahulu sebelumnya bahwa tachyacardi
tersebut bukan merupakan respons kompensasi.

Paroxysmal Supraventriculer Tachycardi


Paroxysmal supraventriculer tachyacardi (PSVT) dapat terjadi dengan atau tanpa ada penyakit
jantung yang mendasari, dan dapat terjadi pada pasien segala usia.

Secara elektrofisiologi, hal ini sering terjadi karena reentry, biasanya ada mekanisme reentry
sinus node atau reentry intraatrial.

PSVT oleh karena AV reentry


AV nodal reentry merupakan penyebab PSVT yang paling sering, secara elektrofisiologis
ditandai dengan adanya dua jaras yang secara fungsional berbeda (cepat dan Lambat) dan
konduksi anterograde terjadi pada 1 jaras (biasany jaras lambat) dan konduksi retrogradterjadi
pada jaras yang lain, menghasilkan suatu aktivasi yang hampir simbultan pada atrial dan
ventrikel.

Secara elektrocardiografi, gelombang p yang retrograd terkubur dalam kompleks QRS atau
muncul segera setelah kompleks QRS. Dalam bentuk tak umum, dimana konduksi anterograde
terjadi pada jaras cepat, retrogradp terjadi pada akhir kompleks QRS.

Apabila tidak ada iskemi atau penyakit jantung katub, PSVT oleh karena reentry nodal
merupakan ritme yang benigna dan dapat diatasi dengan istirahat, sedasi atau vagotonic
manuver.Apabila intervensi fisiologis tak berhasil, dapat digunakan Ca antagornist, digoksin,
penekat .

Verapamil 5 mg iv diikuti oleh 1atau 2 x bolus tambahan 10 menit kemudian apabila bolus
pertama berhasil, merupakan obat pilihan; pengobatan obat ini merupakan kontra indikasi
apabila ada hipotensi atau high grade AV block.

2
Ditiaziem iv saat ini juga digunakan dan nampaknya cukup efektif. Digoksin iv 0,5 mg dalam
24 jam dapat juga digunakan.

Penyakit iv seperti propanolol atau esmolol cukup efektif juga. Anti aritmia klas IA cukup
apabila dengan agen lain gagal. Adanya instabilitas hemodinamik biasanya membutuhkan
cardivioversi segera dengan energi rendah (10 s/d 50 W-s) biasnya cukup.

Meskipun pada PSVT biasanya kompleks QRSnya sempit oleh karena AV nodal reentry,
konduksi intraventriculer aberant dengan QRS lebar (baik RBBB pattem) dapat pula terjadi.
Akan tetapi, apabila budle brach block atau konduksi aberant QRS lebar haruslah dianggap
sebagai vertikel tachycard.

Penggunaan varapamil sebagai terapi tachycardi dengan kompleks QRS lebar dengan asumsi
bahwa itu suatu supraventrikuler tachycardi dengan aberant dapat menyebabkan kematian
apabila aritmia tidak terdiagnosis dengan benar.

Cadioversi dengan energi rendah atau agen antiritmia klas 1 merupakan alternatif yang logis
apabila diagnosis aritmia tidak pasti. Keputusan untuk terapi jangka panjang terhadap PSVT
yang recurrent oleh karena AV nodal reentry harus didasarkan atas frkuensi serangan, gejala
dan adanya penyakit dasar jantung. Digoksin, penyekat , atau Ca antogonis mungkin berguna.

Terapi farmakologis kronis berguna pada pasien dengan gejala yang frekuen. Dilain pihak,
menuver fisiologis yang dilakukan sendiri atau terapi akut yang intermiten mungkin lebih baik.

PSVT oleh karena sindroma WPW


Keadaan ini merupakan reentrant SVT kedua yang paling sering. Apabila konduksi selama SVT
terjadi anterograde melalui AV node dan retrograde melalui accessony pathway ini disebut
sebagai orthodoemic reciprocating tachycardia. Ini merupakan bentuk PSVT yang umum dari
sindroma WPW.

Vegal manuver, verapamil propannolol, dan antiaritmia klas IA dapat digunakan konversi akan
tetapi digoxin merupakan kontra indikasi oleh karena dia memperpendek priode refrakter dari
bypass tract dan menyebabkan konduksi yang cepat sekali melewati bypass tract (> 250
x/menit), menyebabkan kolaps hemodinamik atau ventrikel fibrilasi.

Seperti halnya juga apabila pasien mempunyai riwayat AF atau flutter, verapamil harus
dihindari oleh karena akan meningkatkan vertikel rate.

Antidromic SVT dengan konduksi retrograde melalui normal pathway dan konduksi
anterograde melalui accessory pathway jarang terjadi; yang biasanya adalah depolarisasi atrial
retrograde dengan interval R-P yang lebih panjang dari orthodromic SVT, dan terapi ditukan
pada blocking konduksi accessory pathway.

Penelitian electrofisiologi intracardic catheterisasi accessory pathway dan hubungannya dengan


tachyaritmia. Meskipun test electrofisiologi tidak selalu diperlukan pada semua pasien, ini
direkomendasikan pada pasien yang mengalami tachyaritmia frekuent atau toleransinya jelek,
riwayat AF atau flutter dan riwayat keluarga demgan sindroma WPW dan sudden death. Akan
tetapi baik antiaritmia klas I maupun kla III tidak dicobakan untuk SVT.

Catheter ablasi atau eksisi bedah dari accessory pathway harus dipertimbangkan pada pasien
dengan aritmia yang mengancam jiwa yang tidak respon dengan obat antiaritmia.

Concealed WPW syndrome merupakan satu kesatuan/ bentuk dimana accessory pathway tak
dapat dilakukan konduksi anterograde melewati bypass tract mendorong terjadinya
orthodromic PSVT. Therapi medikamentosa sama dengan pasien WPW kecuali obat-obat yang
dapat miningkatkan konduksi bypass tract.

3
SVT reentrant yang lain
PSVT oleh karena reentry sinus node atau reentry intraatrial dapat dibedakan secara
elektrofisiologi dari PSVT karena reentry AV node dari sindroma WPW dengan adanya
gelombang p yang mendahului kompleks QRS dengan interval PR normal atau pendek.

Tak ada standar terapi yang efektif untuk PSVT ini, tetapi dapat digunakan obat-obat anti
aritmia yang aktif Pada membran, penyekat dan Ca antegonis. Pemeriksaan elektrofisiologi
intacardiac mungkin diperlukan untuk optimalisasi terapi pada beberapa pasien.

Ectopic Atrial Tachycardi


Aritmia ini ditandai dengan abnormalitas vektor gelombang p, dengan kecenderungan
amplitudo gelombang p rendah, dengan kecepatan antara 160 s/d 240 x/menit.

Apabila didapatkan ritme atrial ektopik yang dihubungkan dengan high grade block dan
ventrical rate yang lambat (PAT) maka kemungkinan ini terjadi intoksikasi digitalis.

Obat anti aritmia cukup efektif apabila tak ditemukan penyebabyang reversibel.
Cardioversi jarang menolong. Karena tachycardi atrial ektopik sering kali karena ada faktor
prespitasi, maka menghilangkan, melawan, atau mengontrol faktor yang memacu (seperti
intoksikasidigitalis, COPD, gangguan keseimbangan elektrolit, abnormalitas metabolik,
hypoxia, tyrotoksikosi) merupakan tindakan utama.

Multifocal Atrial Tachycardi


Tachycardi ini diidentifikasi secara electrocardiografi dengan adanya 3 atau lebih gelombang p
dengan ritme irreguler dan kacau. Kecepatnya biasanya < 150 x/menit apabila kecepatan rata-
rata < 100 x/menit, ini bukan tachycardia dan ini disebut sebagai ritme atrial multifocal atau
chautic, tetapi inplikasi terapinya sama saja. Keadaan ini umumnya terjadi oleh karena paru
kronis, tetapi bisa juga terjadi pada pasien dengan gangguan metabolik atau sepsis.

Meskipun Ca antagonis telah dicoba dengan beberapa pasien dan menunjukkan keberhasilan,
tetapi pendekatan terapi yang paling efektif adalah mengoreksi underlying hipeksia atau
gangguan metabolik. Peranan cardioversi disini tidak ada.

Atrial Flutter
Atrial futter ditandai secara ECG dengan adanya gelombang F yang mempunyai kongfigurasi
sawtooth dilead II, III, aVf. Atrial rate biasanya berkisar antara 280 320 x/menit. Meskipun
begitu, terapi dengan anti aritmia dapat menurunkan flutter rate s/d 220 x/menit. Bentuk
paroxysmal atrial dapat terjadi pada individu yang sehat atau aboli paru akut tyrotoksikosis,
akan tetapi umumnya hal ini dihubungkan dengan beberapa bentuk penyakit jantung kronis.

Assage sinus carotis dapat melambatkan respons ventrikal, tetapi meningkatkan flutter rate;
biasnya ini akan mengubah ke fribrilasi atau flutter tetapi yang berubah ama sinus. Tetapi
pilihan pada atrial flutter dengan gangguan hemodinamik adalah cardioversi dosis rendah (10
50 W-s). Terapi terutama ditujukan untuk menurunkan flutter rate baik dengan digoksin atau
verapamil dan penambahan antiaritmia klas I untuk mengubah menjadi irama sinus.

Antiaritmia klas IC juga cukup efektif dalam mengubah irama flutter menjadi irama sinus,
tetapi jarang digunakan untuk indikasi penyakit ini apabila anti aritmiatak berhasil, cardioversi
merupakan alternatif. Pasien-pasien yang mendapat digoksin tanpa ada tanda-tanda intoksikasi
dapat aman menjalani cardioversi jika obat golongan I A dipakai bersama. Obat golongan I tak
perlu dipakai apabila kadar digoxin kurang 1,9 mg/ml.

Insidensi emboli selama PAF atau kembali ke irama sinus sedikit atau bahkan tak ada sehingga
anti koagulan tak diperlukan. Apabila cardioversi merupakan kontra indikasi, rapid atrial
pacing dapat mengubah atrial flutter keirama sinus atau atrial fibrilasi. Pacing biasanya dapat
dipasang dari atrium kanan dengan rapid burst lebih cepat daripada kecepatan atrial flutter.
Disini dubutuhkan sebuah generator pacemaker khusus untuk memacu pacing dan insersi ke
atrium kanan biasanya membutuhkan suatu fluoroskopi. Dengan alternatif pasien-pasien yang
4
sudah menjalani operasi bedah jantung, kabel atrial pacing biasanya terpasang dan dapat
digunakan.

Kontrol kronis terhadap kekambuhan serangan paroxysmal dan atrial flutter yang persisten
dengan antiaritmia klas IA untuk mencegah aritmia dan digitalis untuk mengontrol ventrikel
respons rate selama kambuh. Di beberapa center terapi pembedahan saat ini ditawarkan
terhadap pasien yang mengalami kekambuhan yang cukup frekuen.

Atrial flutter kronis biasanya terjadi pada penyakit jantung yang lanjut dan umumnya dianggap
atrial fibrilasi. Tujuan terapi atrial flutter kronis adalah kontrol ventrikel rate yang adekuat dari
pada sekedar mengulang usaha mengubah irama ke irama sinus. Digoksin, penyekat , dan Ca
antegonis merupakan obat yang berguna.

Atrial Fibrillasi
Atrial fibrilasi (AF) ditandai dengan disorganisasi defleksi atrial dan variabel deretan
konduksi AV yang disebabkan oleh distribusi kompleks ORS yang irreguler.

Episode Pertama AF
Episode pertama AF membutuhkan pemeriksaan klinis yang lengkap untuk menentukan apakah
aritmia tersebut primer oleh karena kelainan elektrik atau sekunder terhadap gangguan
hemodinamik. Penyakit-penyakit yang biasanya dihubungkan dengan berkembangnya AF
adalah penyakit katub mitral maupun aortal, hipertensi, penyakit arteri koroner, Cardiomiopati,
ASD dan myocarditis. Emboli paru dan thyrotoksikosis diketahui juga dapat menyebabkan AF.
Konsumsi kopi, tembakau, alkohol juga merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya AF.

Apabila tidak didapatkan penyakit jantung organik atau sindroma WPW, maka penanganan
cukup dengan menghilangkan faktor presipitasi dan observasi untuk kemungkinan kambuh.
Akan tetapi apabila didapatkan kelainan jantung, maka terapi ditujukan langsung pada kelainan
jantungnya meskipun resiko kekambuhan cukup tinggi sekalipun dengan obat-obatan
farmakologis dan cardioversi elektris.

Cardioversi bisa dilakukan pada episode pertama AF jika pasien membutuhkan keuntungan
yang diperoleh dari kontribusi kemodinamik kontraksi atrial (seperti stenosis aorta) atau
pelambatan ventrikel rate untuk memperpanjang diastolic falling period.

Paroxysmal Atriel Fibrillasi


Apabila tak ada penyakit jantung yang mendasari maka istirahat, pemberian sedasi, dan terapi
digitalis merupakan terapi pilihan untuk PAF. Tetapi kronis didasarkan atas kebutuhan untuk
mengontrol ventrikel rate selama kambuh dimana hal ini bisa diatasi dengan digitalis,
penyekat , atau Ca antagonis seperti yang telah dijelaskan dalam bab atrial flutter. Apabila
didapatkan penyakit jantung, gangguan hemodinamik atau CHF, maka perubahan ke irama
sinus segera dilakukan.

Apabila AF terjadi pada stenosis aorta atau mitral yan secara hemodenamik bermakna,
cardiversi segera dianjurkan untuk mencegah terjadinya oedema paru: dc shock kedua dan
berikutnya merupakan metode yang baik. Apabila pasien secara hemodinamik stabil, ventrikel
rate dapat dikontrol dengan digoksin iv, penyekat atau Ca antagonis.

Secara langsung, verapamil iv dianjurkan karena onsetnya yang cepat. Yang kedua, tidak
seperti digoksin yang kehilangan efek vagaltonus simpatik yang predominan maka verapamil
dapat mempertahankan efek depresi terhadap AV node.

Obat antiaritmia klas IA seperti quinidin, procainamide, dan dysopiramide, merupakan obat
yang sering digunakan. Dosis konversional (200 600 mg oralsetiap 6-8 jam) saat ini
digunakan berlawanan dengan protokol quinidin yang egresif dan pontensial toksin dimasa lalu.

5
Selama mengubah cardioversi secara kimiawi, hal yang perlu diperhatikan adalah perpanjangan
QT interval (QTc > 25% dari interval QT sebelumnya) disamping kadar obat dalam darah.
Obat-obatan antiaritmia klas IC flecainide dapat digunakan untuk mengubah irama sinus
apabila dengan aritmia klas IA gagal, dimana obat tersebut juga berguna untuk
mempertahankan irama sinus.

Amiodarone, suatu antiaritmia klas III juga efektif untuk mencegah kekambuhan AF.
Pembatasan penggunaan amiodarone adalah karena profil efek sampingnya meskipun
penggunaan secara klinis masih sering. Pada pasien-pasien dimana AF refrakter terhadap segala
macam terapi baik konversional maupun eksperimental dimana AF tersebut dihubungkan
dengan simptom yang berat, maka ablasi catheter pada daerah yang berdekatan dengan bundle
His merupakan suatu alternatif. Akan tetapi akan hal ini sering berakibat ketergantungan pada
paca maker, maka prosodur ini hendaknya dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk
mengontrol ventrikel rate selama AF.

Persistent Atrial Fibrillasi


Apabila episode persisten AF berulang (berakhir dalam hitungan hari atau minggu) dengan
hemodinamik yang dapat ditolerir, kebanyakan dokter menghindari cardioversi ulangan. Pola
AF disini condong untuk terjadi AF kronis, sehingga pendekatan yang terbaik adalah
mengontrol ventrikel rate selama kambuh. Obat-obatan anti aritmia klas IA digunakan untuk
mengusahakan penurunan kekambuhan tetapi keberhasilannya tidak dapat diramalkan.

Apabila gejala selama kambuh tersebut cukup mengganggu, maka ablasi cathater pada AV node
harus dipertimbangkan.

Atrial Fibrilasi Kronis


Penanganan dengan farmakkologis atau cardioversi terhadap AF kronis diindikasikan terutama
jika pasien akan mendapatkan keuntungan hemodinamik. Biasanya cardioversi dilakukan tak
lebih dari satu kali dengan pemberian antiaritmia dengan kadar yang adekuat, oleh karena
kesempatan untuk mempertahankan keirama sinus sangat rendah pada pasien yang mengalami
perubahan ke AF kronis sesudah cardioversin. Manajemen selanjutnya ditujukan untuk
mengontrol vertikel rate seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Pemberian Antikoagulan pada Pasien dengan AF


Tujuan pemberian antikoagulan adalah untuk mengurangi mordibitas dan mortalitas akibat
emboli sistemik dan paru.

Keputusan untuk memulai terapi antikoagulan pada AF tergantung pada resiko relatif terhadap
kemungkinan kejadian emboli dan komplikasi perdarahahan terhadap terapi antikoagulan.

3. AV JUNCTIONAL

AV Junctional dan Accelerated Irama Ventrikel


Irama junctional AV berasal dari AV node atau sekitarnya, kategori ini meliputi ritme yang
disebut AV nodal, idijunctional dan idionodal.

Pada irama junctional AV impus berjalan secara anterograde dan retgrograde dalam waktu
bersamaan dari AV junctional dan ditandai dengan kompleks QRS yang normal ( jika tak ada
bundle brach block atau aberansi) dan gelombang P yang retrograde. Tergantung dari asal
impuls dan kecepatan konduksi pada tiap arah, gelombang P dapat terjadi sedikit sebelum
kompleks QRS. Kecepatan irama AV junctional escape bisanya berkisar antara 40 60
x/menit,akan tetapi irama ini akan muncul apabila impuls dari sinus gagal mencapai AV node
dalam kecepatan fisilogis. Irama ini merupakan irama sekunder sebagai akibat depresi sinus,
Sablock, atau AV block, dan fenomena fisiologis normal. Gagalnya irama escape ini dapat
mengakibatkan suatu keadaan bradikardiarhytmia.

6
Aritmia primer yang berasal dari AV junction termasuk premature junctional impulse,
accelerated junctional rhythm dan AV junctional tachycardi. Berbagai bentuk reentrant
tachyaricular rhythm melibatkan AV node sebagai bagian sirkuit.

Tipe irama sekunder yang lain adalah accelerated ventriculer rhythm. Keadaan ini terjadi
karena irama sinus cukup lambat sehingga memungkinkan irama ectopic ventrikel untuk
escape. Pacemaker ektopik ditingkatkan diatas kecepatan fisiologis yang normal yaitu 20-40
x/menit dan menguasai sinus rate yang secara relatif ditekan. Kecepatan peningkatan irama
ventrikel biasanya dimulai dengan fusi 1 dan 2 irama dan kemudian reguler, akan tetapi dapatt
pula memperhatikan peningkatan atau penurunan yang progresif sampai berakhir secara
spontan.
AV Junctional Premature Beats
AV junctional premature beats atau AV nodal extrasystole dari fokus AV node dan terjadi
prematur dalam hubungannya dengan irama sinus. Keadaan ini jarang terjadi dan umumnya
sulit dibedakan dari extrasystole atrial atau ventrikel. Apabila tidak didapatkan penyakit
jantung, maka adanya AV extrasystole biasanya tak perlu diterapi, bahkan memerlukan
penangangan. Koreksi terhadap gangguan hemodinamik apabila ada, dapat menghilangkan
keadaan aritmia.

Accelarated Junctional dan Accelerated Ventriculer Rhythms


Apabila kecepatan AV junctional > 60 x/menit < 100 x/menit disebut sebagai accelerated
rhythm. Irama ini biasanya terlihat pada pasien dengan AMI terutama inferior. Keadaan ini
dapat juga dihubungkan dengan intoksikasi digitalis, gangguan elektrolit, HHD, cardiomiopati,
dan RHD. Mekanisme terjadi accelerated junctional rhythm mungkin karena

4. VENTRICULAR

ARITMIA VENTRIKELER
Terapi aritmia yang efektif tergantung pada analisis mengenai pola aritmia dan keadaan klinis
di mana hal tersebut terjadi.

Secara ECG, aritmia ventrikuler dapat dianalisis secara kualitatif (bentuk) maupun kuantitatif
(frekuensi). Untuk hal yang terakhir, digunakan klasifikasi berdasarkan frekuensi dan bentuk.
Sebagai contoh dilihat dari frekuensi, Pasien-pasien post AMI yang mempunyai irama ektopik
> 10 x/menit (klas III atau intermediate) resikonya meningkat, meskipun satu penelitian
menunjukkan bahwa frekuensi antara 1-9 (klas II, infrekuen) juga bermakna. Diantara bentuk-
bentuk aritmia ventrikuler, maka bentuk repetitif (salvo, couplets) atau klas I menunjukkan
resiko yang lebih tinggi dari pada yang uniform atau multiform.

Non Sustained tachycardi (VI) (klas D) mempunyai resiko yang lebih besar tetapi tidak ada
data yang membuktikan hal ini. Sutained VT (> 30 second, klas E) hampir selalu menunjukkan
resiko tinggi tetapi ada perkecualian.

VT secara tradisional diidentifikasikan sebagai impuls ventrikal yang berderet-deret > 3 x


dengan kecepatan > 120 x/menit. Definial tersebut tentu saja tidak cukup adekuat untuk
evaluasi dan terapi dengan pengetahuan saat ini.

Sebagai tambahan, berdasarkan frekuensi dan bentuk aritmia vertrikel, harus dievaluasi
beratnya struktur penyakit jantung yang mendasari dan injeksi fraksi ventrikel kiri karenanya
kesemuanya ini menyokong untuk berkembangnya aritmia lethal secara potensial.

Resiko meningkat sebagai fungsi penyakit jantung organik dan disfungsi ventrikel kiri.

7
Premature Ventricular Contractions (PVC)
Ventrikel extrasystole atau PVC merupakan implus yang berasal dari fokus ventrikel ektropik
dan prematur dalam hubungannya dengan irama yang ada.
PVC ditandai dengan kecenderungan terjadinya interval coupling yang konstan, kompleks QRS
yang lebar dan perubahan ST atau T secara sekunder.

PVC Tanpa Disertai Penyakit Jantung Struktur Yang Berarti


Terapi rutin keadaan ini bukan merupakan indikasi, karena hanya ada sedikit resiko untuk
terjadi aritmia lethal pada mereka yang tanpa kelainan jantung. Akan tetapi apabila pasien
mengeluh berdebar terutama jika frekuen, masalah harus ditujukan untuk memperbaiki kualitas
hidup. Pertama, faktor-faktor pemberat seperti tembakau, cafein, stress atau stimulan yang lain
harus dihilangkan. Jika gejala masih ada, terapi dengan antiaritmia klas I jarang diindikasikan
karena efek sampingnya yang potensial.

Apabila tidak didapatkan penyakit jantung struktur meskipun terdapat bentuk PVC yang lanjut
seperti salvo, tak memerlukan terapi karena tak ada peningkatan resiko sudden death. Suatu
kelompok pasien dengan mitral valve prolapse (MVP) menunjukkan risiko yang cukup tinggi
untuk terjadinya aritmia ventrikel,.

Beberapa pasien dengan perubahan ST-T yang khas di leads II, III, aVI, sustained aritmia,
dan/atau ketub mitral yang redudant (melengkung) oleh echocardiografi membutuhkan terapi
yang lebih agresif. Manajemen penderita MVP dengan sustained VT atau VF sama dengan
yang dilakukan pada keadaan klinis yang lain.

PVC Dalam Keadaan Akut


PVC biasanya terjadi pada penderita AMI. Meskipun pelajaran klasik mengatakan bahwa PVC
merupakan peringatan untuk terjadinya aritmia yang lebih berat sehingga membutuhkan
terapi yang agresif, nilai prediksi dari aritmia : peringatan tak bersifat substansial.
Manajemen klinis aritmia pada penderita AMI berkisar antara terapi rutin untuk semua pasien
untuk mencegah PVC, VT atau VF sampai terapi untuk frekuensi PVC yang tertentu.
Lidocaine iv, antara 50-200 mg bolus dilanjutkan dengan infus continous 2-4 mg/menit
merupakan drug of choise untuk PVC yang dihubungkan dengan AMI akut.

Kedua, procainamide iv 100 mg tiap 5 sampai dosis total 10-20 mg/kg BB dilanjutkan dengan
infus continius 1-4 mg/menit dapat digunakan bila lidocaine tak dapat digunakan atau tak
efektif.

Keadaan akut lain yang dihubungkan dengan adanya PVC adalah ditandai dengan iskemi
miokard yang mendadak dan referfusi koroner seperti angina prinzmetal, trombolisis pada
penderita AMI. Tetapi profilaksi digunakan selama PTCA. Reporfusion aritmia biasnya
mendadak dan membalik sendiri, tetapi potensial terjadi. VT atau VT.
Aritmia yang dihubungkan dengan iskemi akut dapat diterapi awal dengan lidocaine atau
procainemide iv meskipun pencegahan terhadap recurensi harus ditujukan untuk mengatasi
keadaan iskemi. Dalam keadaan reperfusi aritmia, lidocaine iv digunakan dalam beberapa dosis
seperti pada AMI. Terapi profilaksi digunakan selama trombolisis atau PTCA.

PVC dengan bentuk dan frekuensi yang lanjut umumnya terjadi pada gagal jantung berat dan
oedem pulmonum akut seperti yang terjadi pada myocarditis akut dan sub akut.

Terapi anti aritmia diberikan dalam keadaan ini sampai gangguan hemodinamik dan proses
dapat teratasi. Pada keadaan myocarditis dan pericarditis terapi anti aritmia dilanjutkan minimal
2 bulan sesudah resolusi terjadi. Pada waktu itu, pasien harus dievaluasi dengan monitoring
ECG 24 jam tanpa obat diteruskan 2 bulan sesudah itu monitoring ECG 24 jam dengan bebas
obat diulang. Biasanya sesudah 6 bulan tak memerlukan terapi aritmia kembali.

8
PVC Pada Penyakit Jantung Kronis
Adanya penyakit jantung yang kronis akan memperberat gejala klinis PVC. Angka mortalitas
termasuk sudden death meningkat pada pasien yang mempunyai frekuensi PVC intermediate
(klas III- 10 s/d 30 PVC/jam) atau bentuk repetitif (bentuk klas c) pada penyakit jantung kronis
maupun cardiomyopathi. Penurunan ejeksi fraksi (<30%) selanjutnya akan meningkatkan
resiko mortalitas. Sebaliknya, pasien dengan FE > 40% dan PVC pada penderita post AMI
maupun Cardiomyopathi dapat dicapai, tetapi tak diketahui apakah supresi tersebut
mempengaruhi angka mortalitas.

Saat ini pendekatan terapi supresi terhadap PVC bentuk lanjut atau frekuen post AMI masih
kontroversial. Spektrum yang cukup luas terhadap pendekatan klinis tersebut meliputi : 1.
tidak diobati, 2. penyekat saja, 3. obat anti aritmia yang aktif pada membran, dan 4. test
electrofisiologi pada kelompok dengan fungsi ventrikel kiri yang jelek.

Pendekatan kami didasarkan pada bentuk dan frekuensi aritmia ventrikuler dan ejeksi fraksi
ventrikel kiri. Pasien dengan PVC single uniform maupun multiform yang asimptomatik (klas
A atau B) dan ejeksi fraksi > 40% sesudah serangan AMI diterapi dengan penyekat apabila
supresi atau sekurang-kurangnya penurunan PVC dapat dicapai. Pasien dengan salvo atau non
sustained VT (klas C atau D) dan ejeksi fraksi < 40% diterapi dengan anti aritmia klas I
meskipun tak diketahuiapakah risiko sudden death juga dapat ditekan.

Cardiomyopathi merupakan kategori penyakit jantung yang dihubungkan dengan PVC. Risiko
sudden cardiac death tinggi baik pada cardiomyopathi hipertropik maupun dilated dan
meskipun efikasi obat antiaritmia dalam menekan atau mencegah PVC tidak pasti tetapi terapi
tetap diberikan. Hospitalisasi pasien pada awal terapi dianjurkan oleh karena risiko terjadinya
proaritmia pada pasien dengan ventrikel myopathi.

Pemilihan obat antiaritmia untuk menekan PVC pada pasien high risk memerlukan beberapa
pertimbangan termasuk insidensi proaritmia, kejadian efek samping yang tak dapat ditoleransi
dan depresi myocardial. Agen klas IA juga mempunyai risiko tinggi, dapat menyebabkann
suatu tachyaritmia ventrikular yang polimorfik yang dikenal sebagai torsade de pointes,
terutama pada pasien-pasien dengan interval QT yang memanjang yang dulu diterapi, tetapi
dengan procainamide dihubungkan dengan reaksi seperti lupus (lupus-like reaction),
gastrointestinal discomfort, atau agranulositosis.

Quinidine paling sering menyebabkan diare tetapi juga dikaitkan dengan cinchonism, reaksi
alergi, dan trombositopenic purpura. Dysopiramide mempunyai efek samping seperti retensi
urine, mulut kering, abdominal discomfort, yang berkaitan dengan sifat anti cholinergisnya.
Yang lebih penting, pasien dengan penurunan ejeksi fraksi apabila diberikan dysopiramide akan
menginduksi terjadinya CHF.

Antiaritmia klas IB seperti tocainide dan mexiletine meskipun efektif mempunyai insidensi
efek samping pada gastrointestinal dan neurologis yang cukup tinggi. Flecainide dan encainide
yang merupakan agen klas IC tidak merupakan indikasi untuk PVC pada pasien post AMI,
berdasar data dari penelitian CAST. Penelitian tersebut menunjukkan pasien post AMI dengan
PVC yang asimptomatik yang mendapat terapi aktif dengan flecainide atau encainide
mengalami kenaikkan angka mortalitas dibandingkan dengan placebo. Dengan alasan ini,
flecainide dan encainide diberikan hanya untuk aritmia yang mengancam jiwa.

Kadang-kadang kombinasi antiaritmia seperti klas IA dan Klas IB cukup efektif apabila anti
aritmia tunggal tak cukup efektif.Obat klas III hanya diberikan pada aritmia yang mengancam
jiwa meskipun amiodarone mungkin berguna pada disfungsi ventrikel kiri yang berat dan
nonsustained VT yang cukup lama.

9
Agen klas II, penyekat akan menekan PVC sedangkan agen klas IV,Ca antagonis, tak
mempunyai peranan dalam terapi PVC kronis.

Tujuan akhir terapi PVC kronis yang tepat adalah supresi bentuk lanjut PVC seperti salvo,
coupelets, dan nonsustained VT apabila bentuk-bentuk tersebut didapatkan pada monitoring
ambulatoir. Tujuan terapi termasuk supresi 70-80% total PVC pada priode 24 jam supresi
komplit salvo dan nonsustained VT.

Salvo dan Nonsustained Ventrikular Tacycardi


Klasifikasi ini mencangkup salvo 3 sampai 5 implus ventrikel berturut-turut (klas C) dan
nonsustained VT setidak-tidaknya 6 implus berturut-turut yang berlangsung sampai maksimal
30 detik (klas D). Pasien tanpa atau dengan penyakit jantung ringan nampaknya berisiko rendah
terhadap aritmia ini berisiko tinggi terhadap sustained VT. Pasien-pasien dengan
cardiomyopathi atau pnyakit arteri koroner lanjut dan injeksi fraksi rendah merupakan pasien-
pasien dengan risiko yang paling tinggi. Pengobatan untuk elektrofisilogi invasi pada pasien
dengan nonsusaiend VT masih kontroversial dan sampai sekarang masih dievaluasi.

Repetitive Monomorphic Ventricular Tachycardia


Bentuk VT ini ditandai dengan paroxismal singkat yang berlangsung sebentar atau beberapa
detik. Ini pertama kali diidentifikasi oleh Gallavardin pada awal 1920-an. Paroxismal bisa
dipisahkan hanya dengan satu irama sinus,dan tidak diperberat oleh suatu usaha (tindakan).
Kadang-kadang paroxismal menjadi kontinu, kemudian aritmia menjadi suatu sustained VT.
Gangguan irama lebih sering terjadi pada wanita dan biasa benigna. Pengobatan biasanya tidak
diperlukan kecuali ada penyakit jantung yang menyertainya.

Sustained Ventricular Tachycardia


Sustained VT didefinisikan sebagai rangkaian implus ventrikel yang cepat yang berlangsung
lebih dari 30 detik atau yang menyebabkan gangguan hemodinamik yang berat yang
membutuhkan tindakan cardioversi. Apabila tidak didapatkan gangguan hemodinamik, dapat
dinerikan terapi antiaritmia iv.

ECG 12 lead harus direkam untuk mengetahui karakteristik morfologi VT dan pengambilan
sampel darah untuk pengukuran konsentrasi obat antiritmia yang diberikan harus dilakukan
sebelum ditemukan dalam penatalaksanaan awal, bpengetahuan mengenai konsentrasi obat
dalam plasma mungkin akhirnya dapat membantu untuk menentukan apakah gangguan irama
tersebut terjadi sekunder karena terapi adekuat.

Sustained Uniform-Morphology Ventricular Tachycardia


Penatalaksanaan bentuk VT tergantung pada karakteristik klinis VT dan tempat dimana ini
terjadi. Apabila ini muncul dalam 24 jam pertama serangan AMT, harus dilakukan pengobatan
agresif karena VT ini berisiko tinggi untuk berubah menjadi VF.

Apabila pasien tersebut secara hemodinamik tidak stabil segera lakukan DC cardioversi yang
dilanjutkan dengan infus lidocaine selama 24 jam sampai 48 jam. Jika pasien secara
hemodinamik stabil, 75 sampai 100 mg lidocaine iv, dilanjutkan dengan infus 1-4 mg/menit
merupakan first line therapy.

Cardioversi diperlukan jika aritmia tidak mengalami perubahan segera atau pasien mengalami
gangguan hemodinamik. Jika VT tetap terjadi meskipun telah diberikan terapi lidocaine,
procainamide merupakan pilihan berikutnya: 100 mg procainamide bolus diinfuskan dengan
interval 5 menit sampai total loading dose 10-20 mg/kg BB, diikuti dengan infus 2-4 mg/menit.

Apabila lidocaine maupun procainamide tidak efektif dalam menekan aritmia, bretylium toslate
5 mg/kg BB diinfuskan selama 15 menit diulang bila perlu, dilanjutkan 0,5-2 mg/menit infus,
dengan total dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kg selama 24 jam. Bretylium biasanya dapat
ditoleransi dengan baik tetapi sering menyebabkan peningkatan tekanan arteri sistemik pada
awalnya yang diikuti dengan hipotensi ringan. Oleh karena itu, penggunaan obat tersebut harus

10
dilakukan dengan hati-hati. Terapi antiaritmia bisa dihentikan 48-72 jam kemudian, oleh
karena resiko terjadinya VT ulang kecil.

Torsade de Pointes
Polimorfik VT ini terjadi karena gangguan repolarisasi dan prolonged QT Interval, meskipun
pola ECG yang sama dapat terjadi dengan normal QT Interval. Ini terjadi paling sering sebagai
respon proaritmia terhadap obat anti aritmia klas IA, tetapi dapat juga terjadi, walaupun jarang,
dalam kaitannya dengan agen antiaritmia klas IC. Penyebab-penyebab torsade de pointes yang
lain mencakup bradikardi kronis (AV block total SVR), hipokalemi, derivat klorpromazin dan
antidepresi tricyclic. Aritmia ini dapat juga terjadi sebagai bagian sindroma prolonged QT
congenital atau bersamaan dengan transient ischemia dan reperfusi selama infark mioksad
terapi trombolisis, atau Prinzmetal angina.

Terapi pertama ditujukan untuk mengoreksi underlying cause atau faktor pemberat. Atrial atau
ventrikel pacing sering diperlukan. Cardioversi biasanya menghilangkan torsade de pointes
hanya sementara.

Isoproterenol 2-10 mg/menit secara efektif meningkatkan denyut jantung dan memperpendek
interval QT akan tetapi harus dihindari pada pasien dengan iskemi aktif. Prolonged QT
kongenital dengan aritmia ventrikel yang symptomatik yang sesuai mungkin memerlukan
penyekat beta dan/atau partial symphattectomy. Obat lain adalah Magnesium Sulfat 2 mg.

Ventrikel Fibrilasi
Ventrikel Fibrilasi (VF) merupakan irama terminal dan membutuhkan defibrilasi segera dengan
200 Ws atau lebih. CPR harus dikerjakan sampai defribilasi berhasil. Beberapa obat
antiaritmia akan meningkatkan ambang defibrilasi dan ambang itu dapat diturunkan dengan
menggunakan bretylium, lidocaine atau apinephrine.
Sekali irama pasien kembali normal, obat antiaritmia profilaksi (lidocaine atau procainamide
atau bretylium pada kasus reccuran yang bertahan) harus diberikan dan semua gangguan
metabolik maupun elektrolit harus dikoreksi. VF paling sering terjadi pada tempat iskemi akut.
VF merupakan underlying aritmia pada kebanyakan pasien dengan sudden cardia carrest. Jika
tak dikaitkan dengan AMI, test elektrofisiologi dianjurkan sebagai petunjuk terapi. Pemberian
terapi harus dituntun oleh monitoring ambulatoir atau exercise test jika tak dapat dilakukan test
elektrofisologi.

Pasien yang refrakter terhadap obat dan tidak memiliki penyakit jantung yang memerlukan
pembedahan harus menjalani implementasi AICD. Terapi antiaritmia secara konkomitan
mungkin diperlukan untuk mencegah shock yang berlebihan dari AICD karena aritmia yang
berulang.

5. BRADIARITMIA

Bradiaritmia merupakan akibat sekunder dari gangguan pembentukan impuls jantung atau dari
gangguan konduksi AV. Meskipun sering asimptomatis, gejala hipoperfusi bisa terjadi dan
memerlukan penanganan segera. Langkah pertama penatalaksanaan adalah meningkatkan
danyut jantung. Atropin sulfat, 0,5 1 (0,01 mg/kg) harus diberikan iv dan diulang dua sampai
tiga kali, jika perlu. Simpatomimetik amin seperti isoproterenol bisa digunakan, tetapi dengan
hati-hati; tetapi harus dihindarkan pada pasien-pasien dangan gejala ischemic. Temporary
extternal pacing merupakan cara yang non invasif dan sederhana untuk meningkatkan denyut
jantung dan dalam beberapa keadaan menggantikan transvenous pacing. Ini menawarkan
alternatif yang cepat untuk pasien-pasien dimana jalan vena sulit atau merupakan kontra
indikasi relatif (yaitu pasien-pasien yang menerima obat trombolisis). Selain itu, ini ideal untuk
pasien-pasien yang mengalami episode bradicardi yang sementara. Keterbatasannya adalah
pada sejumlah pasien dimana capturenya gagal atau tidak konsisten. Temporary transvenous
demand pacing memberikan peningkatankecepatan ventrikel yang stabil dan reliable pada saat
yang diperlukan. Dual-chamber pacing diindikasikan bagi pasien yang mendapat keuntungan

11
dari synchronized atrial contraction (yaitu pasien-pasien dengan infark ventrikel kanan dan
dinding interior)

Selain meningkatkan heart rate, beberapa obat yang diketahui dapat menyebabkan bradicardi
harus dihentikan. Penyekat beta, Ca antagonis, clonidine dan metildopa merupakan oabt-oabat
yang menyebabkan bradicardi; sedangkan quinidine, procainamide dan licocaine menyebabkan
bradicardi simptomatik persisten tanpa penyebab-penyebab reversible yang bisa diidentifikasi
memerlukan permanent pacing.

6. KEGAGALAN PEMBENTUKAN IMPULS

Sinus Bradicardi
Sinus bradicardi adalah suatu irama dimana setiap impuls muncul secaranormal dari SA node,
tetapi kecepatannya < 60 x/menit. Morfologi gelombang P identik dengan pada irama sinus
normal, kadang-kadang interval PR memanjang. Sinus bradicardi bisa terjadi pada pasien tanpa
dasar penyakit jantung. AMI, dan berkaitan dengan obat-obat tertentu, ketidakseimbangan
otonomik, hypothermia, hypothyroidisme, dan hyperkalemia. Irama tersebut tidak memerlukan
pengobatan kecuali jika pasien simptomatik. Penghilangan faktor pemberat merupakan langkah
pertama dalam terapi. Jika ini tidak berhasil, atau jika pasien memerlukan obat chronotropic
negatif sebagai penatalaksanaan medis, permanent pacing mungkin diperlukan.

Sick Sinus Syndrome (SSS)


SSS merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh pembentukan impuls abnormal, yang biasanya
disertai oleh kelainan konduksi intraartial dan AV. Sindrom ini berkaitan dengan spektrum bradi
dan taciaritmia yang luas. Beberapa pasien menunjukkan sinus bradiaritmiayang tetap atau
intermiten, sementara yang lainnya memiliki sinus bradiaritmia yang bisa bergantian dengan
normal sinus rhythm dan/atau supraventrikuler tachyaritmia (tachy/bradi sindrom). Terapi
harus dicadangkan untuk pasien dengan rekaman EKG bradiaritmia atau tachiaritmia dan
gejala-gejala yang sesuai dengan priode aritmia. Pasien-pasien dengan SSS khususnya rentan
terhadap bradicardi yang diinduksi oleh penyekat beta, Ca antagonis, dan obat-obat antiaritmia.
Karena obat-obat iti sering digunakan untuk mengobati tachiaritmia yang berkaitan dengan
SSS, permanent pacing mungkin diperlukan.

7. GANGGUAN KONDUKSI AV

Block Derajat I
AV block derajat 1 ditandai secara ECG dengan interval PR yang melebihi 200 ms. Ini bisa
dilihat dalam kaitannya dengan peningkatan tonus vagal, obat-obat vagotonik, digitalis,
penyekat beta, hipokalemi, carditisakut, stenosis trikuspid, penyakit chageas, dan beberapa
bentuk penyakit jantung congenital. Prolonged interval PR dapat terjadi pada individu normal
yang mencerminkan peningkatan vogotonia. Pasien dengan AV block derajat 1 tidak pernah
simptomatik sehingga baik TPM bukan merupakan indikasi.

AV Block Derajat II
AV block Mobitz I atau fenomena Wenckebach ditandai secara ECG dengan impuls yang
terjadi berturut-turut dengan PR interval yang meningkat secara progresif sampai impuls itu
tidak diblok dan gelombang P tidak diikuti oleh kompleks QRS. Ini merupakan bentuk yang
paling sering dari AV Block derajat II dan biasanya asimptomatik. Biasanya tidak berkembang
menjadi high grade AV Block; oleh karena itu, prophylactic pacing tidak diperlukan kecuali jika
pasien simtomatik dan terapi vagolitik tidak efektif. Adanya AV Block tipe I biasanya tidak
mempengaruhi secara buruk prognosis pasien.

12
Sebaliknya, Mobitz tipeII yang jarang, berimplikasi pada penyakit sistem konduksi yang lebih
signifikan. Ini ditandai oleh impuls konduksi yang berurutan dengan PR interval yang tetap dan
blokade impuls yang tiba-tiba. Karena alasan ini, permanent pacing merupakan indikasi
terutama untuk melindungi pasien dari kejadian simtomatik.

Paroximal AV Block menghasilkan rangkaian impuls atrial yang berurutan yang gagal.
Mengkonduksi ventrikel dan mungkin berlangsung sampai 10-20 detik. Permanent pacing
diperlukan kecuali jika penyebab yang reversible dapat diidentifikasi dengan jelas.

AV Block Total
AV Block Total atau AV Block Derajat III ditandai dengan pemutusan konduksi yang komplit
dalamjaringan AV junctional; impuls supraventricular tak dapat mengaktifkan
ventrikel.Ventrikel selanjutnya diaktifkan oleh pacemakar Idionodal atau Idioventricular
dibawahnya dengan kecepatan 20-50 kali/menit. Sehingga ada dua pacamakar independen yang
mengontrol irama jantung, satu untuk atrium dan satu untuk ventrikel. Kedua irama tersebut
tidak sinkron karena tiap pacamakar mengeluarkan kecepatannya sendiri-sendiri.

AV Block Total dengan gejala akut membutuhkan penanganan segera baik dengan agen
farmakologi (atropi atau aisoproterenol), TPM atau intracardiac pacing. Isoproterenol harus
dihindarkan dengan adanya ischemia. AV Block Total padaAMI inferior biasanya bersifat
sementara tetapi bisa sampai dua minggu untuk membaik. Sebaliknya, AV Block Total yang
berkaitan dengan AMI anterior mungkin permanen sehingga membutuhkan permanent, ini tetap
menunjukkan risiko tinggi untuk kejadian dimasa mendatang, dan beberapa penulis
menganjurkanpemasangan PPM bahwa setelah AV block sementata dalam infark anterior.

AV Block Congenital
AV Block total dapat terjadi sebagai akibat suatu anomali congenital. Kompleks QRS biasnya
normal atau mendekati normal, oleh karena tempat blockya hampir selalu didalam AV node
atau bundlw His. Denyut jantung resting biasanya berkisar antara 45-65 kali/ menit dan pasien
biasanya asimptomatis; serangan sinkop jarang terjadi. Evaluasi diagnostik harus meliputi test
exercise untuk memastikan apakah pasien dapat mencapai denyut jantung yang adekuatdalam
respon terhadap stres. Jika pasien asimptomatik dan denyut meningkat cukup lemayan dengan
execise selanjutnya mungkin tidak diperlukan. Tetapi, AV block congenital yang berkaitan
dengan gangguan jantung congenital struktural berimplikasi risiko yang lebih tinggi.

2% Disosiasi
Secara ECG diagnosis AV disosiasi ditegakkan apabila gelombang P dari irama sinus atau
bentuk lain dari aktivitas elektrik atrial tidak berkaitan dengan atau tidak menghasilkan
hubungan dengan kompleks QRS dari irama idionodal atau adioventrikeler yang ectopic.
Adanya AV disosiasi menunjukkan adanya gangguan aktivitas pacamakar intrinsik yang normal
atau peningkatan focus dibawahnya atau didapatnya AV block total. Meskipun demikian
diagnosis AV disosiasi tidak sinonim dengan AV block total.

Jika pasien dengan AV disosiasi simptomatik, gangguan iramanya. Sebagai contoh, Focus
ectopic ventrikel bisa menjadi predominan selama sinus bradicardi yang ekstrim. Penekanan
ventricular escape beat dengan obat antiaritmia dapat memperberat under yang bradicardinya
dan simptom pasien. Pengobatan yang sesuai dalam contoh ini akan ditunjukkan terhadap
bradicardi; pacing akan mengurangi bradicardi, menghilangkan simptom pasien, dan menekan
ectopic ventrikel.

Indikasi Pacing
Pacu jantung diidentifikasikan untuk pengobatan bradiaritmia simptomatik yang tidak responsif
terhadap terapi medis. Dalam AMI anterior, temporary pacing diidentifikasikan untuk AV block
jika ini berkaitan dengan denyut jantung yang terlalu lambat dan/atau pengurangan cardiac
output. Perkembangan RBBB, khususnya dalam kaitannya dengan left hemiblock, sering
mendorong perkembangan AV block total dan biasanya memerlukan prophylactic pacing.
Teknik external pacing, dalam beberapa contoh, telah menggantikan kebutuhan akan
menyelipkan temporary transveneus pacamaker. Ini terutama bisa diterapkan dalam AMI
13
anterior, dimana AV block biasanya sementara. LBSS baru, atau LBBB dan RBBB yang ada
sebelumnya tidak memerlukan pacing. Permanent pacing sering dianjurkan untuk pasien yang
memiliki AV block total sementara selama AMI anterior, meskipun tidak jelas apakah
mortalitas terpengaruh. Permanent pacing diperlukan sesudah AV block total dalam infak
dinding inferior. Kalau tidak ada AMI atau recent MI, permanent pacing merupakan terapi yang
dipilih untuk bradiaritmia simptomatik tetap atau intermittent yang tidak memiliki penyebab
cardial atau noncardial yang bisa diidentifikasikan.

8. CARDIOGENIC SHOCK

Definisi
Adalah sindrom klinik dari hipotesa (tekanan sistolis kurang dari 90 mm Hg atau 30 mmHg
lebih rendah dari tekanan darah basal sebelumnya) rendahnya output urene (kurang dari 20
ml/jam atau oliguria), terjadinya perubahan mental dan perfusi kulit yang sangat kurang
dimana-mana kesemuanya ini diakibatkan oleh penyakit jantung intrinsic (kones. 1974).

Insidental cardiogenic shock pada miocard akut sekitar 15% (Schieidt, 1970) dengan angka
kematian yang cukup tinggi, melebihi 90%. Mengingat sedikitnya penderita yang tertolong,
diagnosa ini pada pasien pada pasien tertolong perlu dipertanyakan. Shock terjadi pada
kerusakan ventrikel kiri lebih daro 40%.

Cardiogenic shock disebabkan oleh berkurangnya aliran darah koroner besar, biasanya pada
adanya gangguan miokard sebelumnya atau perubahan akut dalam mekanisme penampungan
darah, misalnya ruptur otot papilaris, septum interventrikularis atau dinding ventrikel kiri atau
gagal jantung stadium akhir misalnya kardiomiopati (Kones, 1974).

Kriteria
Sindrom klinik shock bukan merupakan satu kesatuan saja, akan tetapi merupakan keadaan
yang dinamis dengan 3 stadia.
1. Stadium 1. Pada fase awal pasien bisa tak ada keluhan. Tekanan darah bisa normal atau
sedikit turun. Mekanisme kompensasi berupa rangsang simpatis terjadi dan berakibat
vosokonstriksi parifer (kulit dingin) dan takhikardi. Stadium ini sering dikatakan sebagai
keadaan prashock.
2. Stadium 2. Walaupun sudah ada mekanisme kompensasi, pada stadium ini tekanan darah
makin turun dan mulai terjadi hipoperfusi organ. Secara klinis terlihat adanya penurunan
tekanan darah, takhikardi dan rasa lelah sekali.
3. Stadium 3. Pada stadium ini disfungsi organ mulai menonjol. Cardiac output, turun,
produksi urine sangat rendah dan terjadi perubahan mental dan kelelahan, agitasi,
somnolen.

Pemeriksaan
Tanda klinis tergantung pada stadium saat ditemukan, diantaranya berupa kulit yang dingin dan
sianosis parifer, takhikardi dan gangguan kesadaran.

Diagnosa Banding
Shock hipovolemik, septic, shock.

Pengelolaan
Secara umum, kelembaban dan suhu kamar harus diatur seadekuat mungkin agar mengurangi
beban jantung (Ansari dan Burch, 1968)

Morphin sulfat 5 mg. i.v. selama 2 menit, kadang diperlukan untuk mengatasi nyeri dan edema
paru, tekanan darah tak nyata terpengaruh (Miller et al, 1970), demikian pula kontraktilitas
miokard (Zelis et al, 1970)

Diazepam 2-5 mg i.v. untuk penenang

14
Lidocain i.v. 1-3 mg/menit setelah bolus 50-100 mg diberikan pada takhikardi ventrikel
(Thomson et al, 1971)

Kateterisasi arterial lewat arteri brachialis atau femoralis untuk mengukur tensi, waktu sirkulasi
dan cardiac output.

Asam basa dan balans elektrolit perlu dimonitor, alkalosis akan menaikkan kontraktilitas
miokard (Lorcovic, 1966), sedangkan asidosis menurunkannya (Clancy et al, 1967). Pasien
kardiogenik shock yang tertolong mudah terjadi lacticasidosis. Selama pengobatan, perlu
diketahui bahwa PH arteri dapat secara paradok turun, akibat mobilisasi asam laktat dari pool di
area parifer (Sriussadapron dan Cohn, 1968).

Teknik Monitoring
Penderita dilindungi dengan infus, monitor tanda vital, gas darah, urine output, elektrolit, BUN
dan kreatinin.

Kriteria Perbaikan/Pulang
Tekanan darah naik, perfusi jaringan baik, urine output naik, kesadaran membaik.

9. GAGAL JANTUNG

Definisi
Merupakan gambaran kegagalan jantung untuk memberikan aliran darah yang dibutuhkan,
dengan sendirinya nutrisi dan oksigen untuk proses metabolisme jaringan.

Kriteria
a. Kerusakan miokard secara langsung :
1. penyakit jantung koroner;
2. keadaan kekurangan vitamin (beri-beri);
3. miokarditis;
4. kardiomiopathi
b. Proload yang tinggi :
1. atrial septal defect;
2. ventrikular septal defect;
3. aortic regugitation;
4. mitral regurgitation;
5. patent ductus arteriosus
Alterload yang tinggi :
1. aortic stenosis;
2. systemic hipertension;
3. pulmonic stenosis;
4. coarctation of the ventricle
c. Keterbatasan pengisian ventrikel :
1. mitral stenosis;
2. constrictive pericarditis;
3. restrictive cardiomyopathies.

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik diagnostik, rekaman elektrokardiografi foto thoraks, pemeriksaan pulmonary
disease, infeksi paru.
Edema akibat penyakit ginjal dan hepar.

Pengelolaan
Gagal jantung derajad ringan
1. digoxin, dosis dikurangi pada gangguan fungsi ginjal
2. diet, rendah garam
3. aktivitas, dikurangi sesuai dengan kemampuan
15
Gagal jantung derajad sedang
1. digoxin dengan loading dose dan dosis pemeliharaan
2. diet, tanpa garam
3. aktivitas, pembatasan aktivitas dengan istirahat secukupnya.

Gagal jantung derajad berat


Seperti pada gagal jantung sedang, hanya pasien perlu opname, obat vasodilator.

Kriteria Sembuh
Frekuensi jantung normal, tidak sesak nafas, edema dan sianosis menghilang.

Kepustakaan

Kones, R.J. (1974): Cardiogenic shock mechanism and management. Futura publising company.

Scheidt, S., Ascheim, R., Killip, T. (1970) : Shock after miocardial infraction. Amer. J.
Cardiol. 26 : 579-582.

Ansari, A., burch. G.D. (1969): Climatic factors in is chemic heart disease. South Med.J. I62:579-582.

Miller, R.L., Forsyth., R., McCord, C et al (1970): The selective changes in regional blood flow
produced by morphin, Clin. Res. 18:341.

Zelis, R., Amsterdam, E.A., Spann, J.F. Jr et al (1970) : The inotropic and peripheral circulaty affects
of morphine in man, Clin. Res 18 : 341.

Thomson, P.D. Rowlad, M., Melmon, K.L. (1971) : The in fluence of heart man. Amer. Heart J. 82 :
417 421.

Lorkovic, H. (1966): Influence of changes in pH in the mechanical activity of cardiac muscle. Clin.
Res 19: 711-720.

Clancy, R.L.,Cingolani,H.E., Taylor, R.R.et al (1967): Influence of sodium bicarbonate on myocardial


performance. Amer. J. Physiol 212: 917-923.

Sriussadapron, S., Cohn, J.N. (1968): Lactate metabolism in clinical and experimental shock.
(MIClin.15:519.

16
10. ANGINA PEKTORIS

Definisi
Angina pektoris (AP) adalah komplek gejala berupa sakit di dada atau daerah disekitarnya yang
berulang, yang berhubungan dengan iskemia atau disfungsi miokardium tetapi tidak disertai
nekrosis miokard. Yang khas dari angina pektoris sakit dada terjadi setelah kerja atau olah raga
dan segera membaik setelah istirahat atau mendapat nitrogliserin.

Etiologi
Sebagai penyebab terbanyak adalah aterosklerosis koroner.

Gejala
Dengan an amnesis yang teliti penyakit ini akan memberikan keluhan khas. Rasa sakit bersifat
berat dan menekan, dengan lokasi di retrostemal. Sakit dapat menjalar (radiasi) keleher, dagu
bahu dan lengan kiri (ulnar). Keluhan lain berupa nafas pendek, diaferesis, takut dan lelah.
Sebagai faktor prespitasi dapat berupa kerja atau olah raga, stress, emosi, hawa dingin, makan
kenyang, dan berbagai keadaan yang meningkatkan kebutuhan metabolik.

Ada 3 macam angina pektoris yaitu AP STABIL (STABLE AP), AP TAK STABIL
(UNSTABLE AP), dan PRINZMETAL AP.

ANGINA PEKTORIS STABIL

Gejala
Keluhan sakit dada biasanya satu sampai beberapa menit, sangat jarang sampai 15 menit. Sakit
sangat mudah hilang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin. Keluhan sakit dada tidak
berubah, baik frekuensi, lama, berat, maupun faktor presipitasinya dalam waktu lebih dari 60
hari.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya tidak menunjukkan tanda yang khas, kecuali mumgkin adanya
tanda dari faktor risiko berupa hipertensi atau xantelasma. Pada waktu serangan mungkin
didapatkan suara gallop S3 atau S4.

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan serial kadar enzim jantung normal (serial pemeriksaan
kadar CKMB, SGOT, LDH tidak menunjukkan perubahan yang khas). Perlu pemeriksaan kadar
gula darah, kholesterol, DHL dan LDL-kholesterol, trigliserid, dan asam urat.

Foto Rontgen Dada


Foto Ronhtgen dada biasanya normal, atau tak khas sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya.

Elektrokardiografi
Elektrografi biasanya menunjukkan gambaran yang normal bila direkam diluar serangan.

Menitor Holt er
Monoter Holter dapat merekam EKG selama 24 jam dapat mencacat perubahan segmen ST-T
bila terjadi serangan.

Uji Latih Jantung


Uji latih jantung dengan sepeda (ergometer) dan threadmill dapat menunjukkan perubahan ST-
T yang khas untuk iskimiamiokard.

17
Ekokardiografi
Ekokardiagrafi dapat digunakan untuk mengetahui kelainan anatomis dan gerakan otot jantung.
Pada waktu serangan sakit dada biasanya tampak gerakan hipokinetik pada segmen otot yang
mengalami iskimia.

Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis sakit dada yang khas dan bukti adanya iskemi miokard.
Diagnosa banding: prolaps mitral; aorta disekans; gastritis, cholelithiasis, esofagitis; gangguan
psikologis.

Manajemen

Umum
Terutama merubah gaya hidup dan memperbaiki faktor-faktor resiko yang ada pada penderita.
Berolah raga teratur dan menghindari faktor presipatasi sangat penting. Penderita AP stabil tak
perlu dirawat dirumah sakit.

Medikamentosa
Terdapat beberapa macam preparat obat yang digunakan untuk mengobati dan mencegah
terjadinya AP, yaitu preparat nitrat (Nitrogliserin, isosorbit dinitrat, isosorbit mononitrat),
betablocker (propranolol, metoprool, dsb), Antagonis kalsium (nifedipin, diltiazem, verapmill).
Aspirin digunakan sebagai pencegahan baik primer maupun sekunder.

Revaskularisasi
Bila ada indikasi kuat untuk dilakukan kateterisasi jantung (minsalnya hasil Uji Latih Jantung
menunjukkan respon iskemik berat) dapat dirujuk ke RS lain.

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL

Keluhan
Ap tak stabil dapat memberikan keluhan berupa: (1) Sebelumnya telah menderita AP stabil
tetapi kemudian memberikan keluhan yang lebih berat, lebih lama dan lebih sering (crescendo);
(2) Ap yang dapat timbul pada waktu istirahat atau kerja minimal; (3) Ap yang baru dirasakan
pertama kali (biasanya dalam 1 bulan) terutama yang timbul dengan kerja minimal.

Pemeriksaan Fisik
Seperti halnya AP stabil tidak memberikan hal yang spesifik.

Foto Rontgen
Juga tak memberikan gambaran khas.

Elektrokardiografi
EKG 12 sandapan biasanya telah dapat menunjukkan gambaran perubahan segmen ST-T yang
khas, Yang dapat normal kembali bila gejala sudah mereda.

Laboratorium
Hasil pemeriksaan serial enzim jantung normal, tidak didapatkan perubahan kadar yang khas.

Diagnosis banding
Infark miokard akut; aorta disekans: emboli paru.

18
Manajemen
- Perawatan
Dirawat di Unut Koroner Intensif CCU)
- Medikamentosa
Dengan preparat nitrat, betablocker, maupun antagonis kalsium. Aspirin juga merupakan
Obat untuk pencegahan yang penting .pada fase akut dan berat dapat digunakan heparin.
- Revaskularisasi

ANGINA PRINZMETAL

Keluhan
Penderita AP ini memberikan keluhan yang khas, berupa sakit dada yang tiba-tiba terjadi
ditengah malam pada istirahat atau tidur. Biasanya tidak didahului oleh kerja fisik berat
maupun stess emosional.

Pemeriksaan Fisik
Seperti Ap biasanya tidak ditemukan hal yang khas.

Foto Rontgen dada


Foto rontgen tidak memberikan gambaran yang khas.

Elektrokardiografi
Diluar serangan gambaran EKG-12 sandapan biasanya normal. Pada waktu serangan terdapat
perubahan segmen ST-T yaitu adanya elevasi segmen ST.

Laboratorium
Hasil pemeriksaan serial enzim jantung normal (tidak meninjukkan perubahan khas).

Manajemen
1. Perawatan di CCU
2. Pada waktserangan dapat diberikan preparat nitrat (nitrogliserin)sublingual.Untukmencegah
serangan sangat baik diberikan antigonis kalsium (nifedipin, diltiazem, verapamill) dan
preparat nitrat peroral maupun yang transdermal.

11. MIOKARD INFARK AKUT

Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya
injury atau nekrosis seluler ireversibel pada suatu bagiab dari miokardium, sebagai akibat
penurunan aliran darah yang lama dan mendadak dibawah tingkat kritis.

Gejala
Biasanya didahului gejala prodromal perasaan tak enak di dada atau keluhan seperti angina
pektoris stabil maupun tak stabil. Perasaan tersebut biasanya tak diperhatikan penderita.

Gejala yang mencolok dari penderita IMA biasanya perasaan sakit di dada yang sangat hebat,
kadang sampai tidak dapat ditoleransi penderita. Tetapi kadang sangat ringan bahkan tidak
terasa sama sekali.

Sakit dada dapat digambarkan sebagai penekan, tertindih benda berat, mencekik atau
mencengkeram. Dapat juga seperti menusuk, mengebor, mengiris, dan membakar.

Lokasi sakit dada biasanya retrostemal,yang dapat menjalar ke kedua dinding dada. Tetapi
predileksi lebih ke dada sebelah kiri. Seperti pada AP rasa sakit dapat menjalar keleher, dagu,
bahu, lengan dan tangan kiri, (ulnar), menyebabkan parestesi di lengan, tangan dan jari IV-V.

19
Kadang sakit terasa di epigastrium dan menyerupai berbagai bentuk gangguan abdomonal.
Disini IMA dapat dikelirukan sebagai indigestion.

Sakit dirasakan lebih dari 30 menit, bahkan dapat sampai berjam-jam. Khas sakit tidak hilang
dengan pemberian preparat nigrat sublingual.

Pemeriksaan Fisik

Hasil pemeriksaan fisik tergantung komplikasi. Suara jantung terdengar jauh dan lemah
(muffled). Gallop atrial (S4) terdengar bila compliance ventrikel terganggu. Adanya gallop S4
menunjukkan adanya disfungsi ventrikel. Adanya bising sistolik di apex menunjukkan adanya
ruptura corda atau disfungsi otot papilaris. Bising gesek perikard menunjukkan adanya
perikarditis akibat infark. Bising Pansistolik di SIC IV-V parastemalis kiri menunjukkan adanya
VSD.

Laboratorium
Untuk menegakkan diagnosis pasri IMA perlu memeriksa serial kadar enzim jantung dalam
darah (CKMB, SGOT, LDH). Hasil pemeriksaan secara serial kadar enzim-enzim tersebut
menunjukkan kadar yang khas sesuai dengan waktu.

Elektrokardiografi
Penderita IMA dapat mempunyai gambaran EKG yang berbeda-beda:
1. EKG normal atau nonspasifik
2. Perubahan gelombang ST-T berupa depresi ST atau T terbaik (inveted)
3. EKG yang spesifik, yaitu terjadi perubahan-perubahan yang khas berupa adanya elevasi ST,
perubahan gelombang T, dan timbulnya gelombang Q patologis .
Gambaran EKG pada 1dan 2 disebut infark bukan gelombang Q (Q wave inferction).

Elektro-ekografi
Tampak daerah yang mengalami infark tipis dan echodence dengan abnormalitas gerakan otot
jantung yang terkena.
Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara infark miokard yang akut yang telah lama.

Manajemen
Perawatan: perlu dirawat di CCU
Pengobatab tergantung dari komplikasi yang terjadi. Komplikasi terbanyak adalah aritmia;
payah jantung, dan syok kardiogenik.
Untuk sakit dada dapat diberikan morfin atau petidin. Kadang dengan pemberian Novalgin
injeksi vena hasilnya cukup baik.
Untuk pencegahan sekunder dapat diberikan preparat salisilat (aspirin) dan beta bloker
Terapi trombolitik Digunakan untuk penderita ima anterior yang datang kurang dari 6 jam
sejak sakit dada yang pertama.

12. ENDOKARDITIS

Definisi (Dukrack, DT,1990)


Endokarditis infektif adalah suatu penyakit yang disebabkan infeksi mikroba yang menyerang
lapisan endotelium jantung.
Bentuk karakteristiknya adalah terbentuk vegetasi, yang dapat menyerang katub, endokardium
dan endotel pembuluh darah besar. Hal tersebut akan menimbulkan suatu sindrom endecarditis
infekti.

20
Terminologi
SBE : Subacute bacterial endocarditis
ABE : Acute bacterial endocarditis
NVE : Prosthetic valve endocarditis
NBTE : Non bacterial thrombotic endocarditis
Subacut berlangsung beberapa minggu-bulan, umumnya disebabkan streptokokus viridans.
Acute berlangsung beberapa hari-minggu (terdiagnosis kurang dari 2 minggu) umumnya
disebabkan stafilokokus aureus.

Sejarah
Riviera (1646), Lancist (1706), Morgagni (1761) melukiskan penderita yang meninggal dengan
tanda-tanda endokarditis.
Jean Babtiste Bouilland (1824) memperkenalkan istilah endocarditis.
Virchow (1846) pada necropsy menemukan vagetasi pada katub jantung.
Winge & Heiberg (1869) menemukan bakteri didalam vegetasi.
Pengobatan endokarditis pertama kali dengan penisilin (1940) oleh Dawson (Durack DT,
1990).

Klasifikasi Klinik
Akut bila penyakit berlangsung beberapa hari sampai minggu; diagnosis ditegakkan kurang dari
2 minggu.
Subakut berlangsung beberapa minggu sampai bulan.
Jalan masuk (portals entery) dan jenis mikro organisama
Akut : umumnya disebabkan stapilokokus aureus, pnemokokus, streptokokus A, gonokokus,
histoplasma capsulatum, brusela, listeria, dll.
Portals entry :
Prosedur intravena : stapilokokus, kandida aspergilus, coliform basil.
Alkoholism : pneumokokus
Infeksi kulit, tulang, paru, kateter i.v, infus, A V shunt: stapilokokus
Infeksi purperalis/kulit : strptokokus A
Kecanduan obat iv, protesa katub : polibakteri (campuran)
Subakut : Umumnya disebabkan strptokokus viridans, streptokokus fekalis, streptokokus
bovis, kadang stapilokokus aureus.
Portal of entry:
Manipulasi gigi, ekstraksi gigi, tonsilektomi, bronkoskopi : streptokokus viridans, Prostatitis,
infeksi saluran kencing : streptokokus fekalis.
Gangguan intestinal, malignitas colon : streptokokus bovis, (Peiletier, Peterdorf, 1987).

Epidemilogi
Diperkirakan di negara berkembang 6 7 kasus/10.000/tahun.
Di Inggris, 1985, dilaporkan : 3000 4000 kasus/tahun
Di Amerika Serikat 13.000 kasus/tahun
Di RSUP Dr. Sardjito terdapat : 7 kasus pada tahun 1991 1993, 5 wanita, 2 pria, meninggal 1
orang wanita dari 7.214 penderita penyakit dalam atau dari 1.376 penderita penyakit jantung
yang dirawat.

Pada umumnya menyerang anak muda. Walaupun penemuan antibiotika maju pesat namun
kasus endokarditis masih sering dijumpai, hal ini mungkin disebabkan banyak dijumpai
penyalahgunaan obat iv, banyak prosedur diagnosis dan pengobatan yang invasif, harapan
hidup penyandang cacat congenital dan usia lanjut lebih panjang dimana mempunyai
predisposisi terjadinya endokarditis. Selain itu berkembangnya sarana diagnosis yang lebih
baik menyebabkan kasus endokarditis dapat dideteksi lebih banyak.

21
Faktor Predisposisi
Risiko tinggi : Katub jantung protesa, penyakit jantung kongenital, penyakit katub aorta,
insufisiensi mitral, pernah endokarditis, P D A, V S D, Coarctatio aorta, sindrom Marfan.
Resiko sedang : prolaps mitral, mitral stenosis penyakit katub trikuspidal, pulmonal, hipertrofi
septum asimetris, sklerosis aorta, kateter jantung kanan/pulmonalis.
Resiko rendah : A S D, eterosklerosis plaque, penyakit jantung koroner, aortitis, pacu jantung.
(Durack, 1985 cit Sartono, Mariani B, 1987).

Patogenesis
Yang berlangsung terutama faktor hemodinamik dan kerusakan struktur jantung. Oleh karena
itu faktor hemodinamik endokarditis banyak menyerang jantung bagian kiri, selain itu pengaruh
ventury effect berperan.

Pada kerusakan struktur, misalnya kelainan katub menyebabkan struktur katub rusak/tak rata,
ini akan menyebabkan terjadi agregasi trombosit pada daerah yang rusak. Agregasi trombosit
ini akan berkembang menjadi proliferasi yang masih stril sehingga disebut non bacterial
thrombotic endocarditis. Jika bakteri kedalam tubuh, maka terjadilah bakteriemia.

Bakteri yang masuk dalam darah tadi akan masuk kedalam tempat-tempat proliferasi yang steril
tadi terbentuk koloni bakteri sehingga timbul infektive endokarditis.

Selanjutnya dapat sembuh, tetapi dapat pula berlanjut menimbulkan komplikasi-komplikasi


antara lain :

Bila menempel pada korda tendinea dapat terjadi ruptur korda. Pada kuman yang sangat
patogen dapat menyebabkan ulserasi dan destruksi katub yang hebat, selain menyerang katub
dapat berlanjut ke otot dan annulus dapat menimbulkan gangguan konduksi, abses miokard dan
aneurisma.

Pada kuman yang kurang patogen akan membentuk fibrin vegetatif tadi dapat lepas menjadi
emboli. Emboli ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi tergantung dimana
menyangkutnya, seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan. Misalnya dapat ke tulang,
pembuluh darah menjadi trombus, paru, otak menimbulkan stroke, lien, ren menimbulkan
glomerulonefritis/infark, gastro intestinal, jantung menjadi infark, ekstremitas, kulit, mata dapat
menjadi buta dan lain-lain (Weistein, L. 1988, Durack, DT, 1990, Korsenlowski O, Kaye, D,
1992).

Gambaran Klinik
Dikenal sebagai tetrad :
1. Tanda infeksi
Panas dapat rendah, kadang intermiten, kadang hektik, kelemahan, malaise, banyak
keringat, mialgia, artralgia, splenomegali.
2. Tanda kelainan jantung
Timbul bising, kelainan katub, dekompensasi jantung, blok jantung, ruptur korda dll.
3. Tanda emboli (40%)
Timbul ptekia, abses otak/lien, hemiparesis/plegia, buta tiba-tiba, iskemia ekstremitas,
melena, hemoptoe infark miokard.
4. Tanda Fenomena immunologik
Spilinter haemorhagis (di kuku) 20%
Nodule Osler (di jari kaki, nyeri) 10 20%
Roth spot (di retina) 10 25%
Glomerulonefritis
Janeways spot (tak nyeri) (Oakley, 1985)

22
Diagnosis
Pada pemeriksaan laboratorium mungkin dapat dijumpai leukositosis, anemia normositik
normokrokik, KED meninggi, protein uria, hematuria.
Pada pemeriksaan penunjang: kultur darah, kultur sumsum tulang.
Ekokardiografi dapat dilihat vegetasi, kelainan katub, ruptur korda.
Pada EKG dapat dilihat gangguan koduksi infark miokard.
Rontgen dada dapat dilihat pembesaran jantung, udem paru, emboli paru.

Diagnosis Banding
Antara lain harus dipikirkan kemungkinan dengan demam rhematik dengan karditis, penyakit
jantung rhematik dengan insufisiensi katub, neoplasma, tumor jantung, streptokokus
glomerunefritis, diseksi aorta, panas yang tak tahu sebabnya (fever of unknown origin = FVO)

Pengobatan
I. Pada prinsipnya oleh karena disebabkan infeksi maka diperlukan antibiotika yang sesuai,
efektif termasuk jenis yang sesuai, dosis cukup, lama pemberian cukup.
Hal yang tidak menguntungkan adalah lokasi infeksi tersebut mempunyai vaskularisasi
kurang, daerah dengan fagositosis lemah, sehingga dosis harus cukup tinggi untuk
mendapatkan kadar antibiotika sesuai dan cukup pada daerah tersebut, dengan waktu lama
dan cara pemberian yang sesuai. Sebagai contoh dimana predisposis dan jenis bakteri
diketahui : Orang muda dengan penyakit katub jantung rhematik/congenital dengan
isolasi atau kultur bakteri adalah streptokokus viridas.
Pengobatannya adalah
- Aq Penicillin G 20 juta U/hari iv (4-5 juta U/6 jam iv) selama 4 minggu atau
penicillin G 20 juta U/hari iv + Gentamycin 1 mg/kg BB tiap 8 jam i.v selama 2
minggu.
- Alternatif lain :
Capalotin 1,5 gr iv tiap 4 jam selam 4 minggu (weinsten, L, 1988)
Jika bakteri belum diketahui (Durack, 1990)
Pada endokarditis akut :
Nafcillin 2,0 gr iv tiap 4 jam ditambah
Ampicillin 2,0 gr iv tiap 4 jam ditambah
Gentamycin 1,5 mg/kg BB tiap 8 jam iv sekurang-kurangnya untuk 2 sampai 6
minggu.
Pada endokarditis subakut :
Ampicillin 2,0 gr iv tiap 4 jam ditambah
Gentamycin 1,5 mg/kg BB tiap 8 jam iv sekurang-kurangnya 2 sampai 6
minggu.
II. Diit cukup tinggi kalori, mudah dicerna.
III. Mobilisasi : immobolisasi sampai proses terkuasai
IV. Manajemen komplikasi : dekompemsasi jantung, emboli dan lain-lain.
V. Mungkin dibutuhkan pembedahan jika terjadi antara lain decompensasi jantung berat,
obstruksi katub, infeksi yang tak terkontrol.

Prevensi dan Profilaksi


1. Hati-hati untuk merawat/tindakan pada penderita risiko tinggi (Durack, 1990)
2. Eduksi penderita risiko tinggi, terutama higienis
3. Pemberantasan sumber infeksi/bakteri
4. Jika mengerjakan tindakan/manipulasi pada penderita risiko tinggi dipikirkan antibiotika
profilaksi.

23
Tindakan/instrumentasi yang mempunyai risiko terjadinya bakteriemia :
a. Tindakan pada gigi/rongga mulut, kerongkongan, cabut gigi, bedah mulut,
tonsilektomi, bronkoskopi
b. Tindakan traktus digestivus dan genitourinarius : manipulasi kandung empedu,
uretra, prostat, abortus/persalinan. Jarang pada curetage, IUD, biopsi hati,
proktoskopi, pemeriksaan pelvis, berium inloop.

Antibiotika untuk :
a. Penicillin G 1 juta U im + penicillin proscain 600.000 Uim diberikan sampai 1 jam
sebelum tindakan, dilanjutkan penicillin V 500 mg per oral setiap 6 jam sebanyak 8 dosis
atau oral penicillin V 2 gr, per oral, sampai 1 jam sebelum tindakan dilanjutkan 500 mg/6
jam sebanyak 8 dosis.
Jika alergi penicillin : Erytromicin 1 im oral, sampai 1 jam sebelum tindakan, dilanjutkan
500 mg oral/6 jam sebanyak 8 dosis.
b. Penicillin kristal G 2 juta U im/iv atau ampicillin 1 gr im/iv ditambah gentamycin 1,5
mg/kg BB im/iv. Diberikan samapi 1 jam sebelum tindakan, dilanjutkan dengan dosis
sama tiap 8 jam sebanyk 2 kali.
Untuk yang alergi penicillin diberikan : Vankomisin 1 gr iv ditambah streptomycin 1 gr im
diberikan sampai 1 jam sebelum tindakan, diulang setelah 12 jam.
(Recommedation of Committee of the American Heart Association cit Sartono, Mariani B,
1987).

Kepustakaan

Durack, DT, 1990, Endocarditis, in Hurst, JW and Schlant, JC (eds). The heart, seventh edition, Mc
Graw Hill, New York, 1230 -1255.

Korzeniowski, O, Kaye, D, 1992, Infective Endocarditis in Braunwakd, E (ed) Heard Diseace, 4 th ed,
WB Sauders Co., Philadelphia, 1078 -1105.

Oakley, C, 1985, Infective endocarditis. Medicine international, 7. Medical Education International


Ltd., 872 -888.

Pelletier, L, Peterdorf R, 1987.Infective Endocarditis in Harrisons Principle of Internal Medicine, 11


Graw Hill, New York, 970 985

Sartono, Mariani B, 1987, Pencegahan dan pengobatan endokarditis infeksiosa, Majalah Pengakit
Dalam FK Unair, 13: 3.213-223.

Weistein, L, 1988, Infective endocarditis, in Branwals (ed) Health Disease, WB Sauders Co,
Philadelphia, 1093-1134.

24

Anda mungkin juga menyukai