Anda di halaman 1dari 67

PENYAKIT DALAM

1. DEMAM TIFOID
Tifus perut, Typhus abdominalis, Typhoid fever

Definisi
Penyakit sistemik ditandai oleh demam akut akibat infeksi mikroba gram-negatif Salmonella
sp. (lebih dari 500 spesies). Selmonella yang banyak dikenal di Klinik adalah Salmonella
typhi, S. paratyphi A, B, dan C.

S. typhi resisten dan dapat hidup lama di air keruh, makanan yang tercemar (terkontaminasi)
dan pakaian yang tercemar. Mikroba salmonela yang ikut makanan sampai di usus
menembus mukosa usus halus dan dengan cepat menyebar ke sisitem limfe, kelenjar limfe
dan aliran darah. Imflamasi lokal dijumpai beberapa saja sehingga pada fase ini sering tidak
memberikan gejala.

Jumlah bakteri yang tertelan ikut mengambil peran dalam terjadinya penyakit (jika jumlah
bakteri 109 maka 95 % akana menimbulkan penyakit, sedang dalam jumlah 10 3 hanya
menimbulkan gejala yang ringan saja).

Masa inkubasi sekitar 3 30 hari (rerata 5 10 hari). Setelah terjadi bakteremia, basili
berkembang biak dalam sistem retikuloendoteil (SRE) dan bakteremia muncul
bergelombang menginfeksi plaque Payeri, kandung empedu, dan hepar. Jika usus terinfeksi
basili ini, dinding usus menjadi tipis dan cenderung terjadi perforasi.

Mikroba salmonela mengandung endotoksin, dapat menimbulkan demam, leukopenia,


trombositopenia dan hiperplasi SRE.

Kriteria Diagnosis
- Kelemahan badan yang berangsur-angsur, disertai demam, nyeri kepala, nyeri
tenggorokan, batuk, kemudian diare atau konstipasi.
- Demam meninggi bertahap, seperti tangga, mencapai maksimum, kemudian berangsur
menurun.
- Bradikardia relatif, (hepato) splenomagali, dan perut kembung dengan nyeri tekan.
- Leukopenia, kultur salmonella sp. positif (darah, urine, dan/atau feses)
- Titer (Aglutinasi) Widal positif, meningkat.

Pemeriksaan Klinis
Minggu Pertama
- Demam umumnya meninggi secara bertahap, nyeri kepala, nyeri perut anoreksia.
- Pembesaran lien menjelang akhir minggu pertama.

Minggu Kedua
- Demam kontinyu, penderita tampak sakit dan diam saja (apatis).
- Lemah, delirium, bahkan mungkin timbul koma.
- Hepatosplenomegali.

Minggu Ketiga
- Disorientasi mental, toksemia, diare kehijau-hijauan.
- Mungkin terjadi perforasi usus atau
- Perdarahan usus

Minggu Keempat
- Demam mereda dan perbaikan umum

1
Komplikasi
Perdarahan usus, perforasi usus, infeksi lokal supurative (pielonefritis, kolesisititis, artritis,
dsb)

Diagnosis Banding
- Malaria
- Dengue, lassa fever
- Shigellosis
- Leptospirosis
- Hepatitis mononukleosis infeksiosa
- Demam paratifus, sering kulit dibedakan dengan demam tofoid, namun biasanya lebih
ringan, lebih singkat perlangsungan klinisnya, angka mortalitasnya lebih rendah. Basili
yang menyebabkan kelainan klinis yang mirip terutama yang disebabkan salmonella
paratyphi A, B, dan S choleresis. Demam paratifus umumnya didahului oleh
gastroenteritis Salmonela.

Pemeriksaan Khusus
- Jumlah leukosit (leukopenia)
- Pada minggu pertama kultur darah atau AST positif pada 90% kasus
- Kultur feses pada minggu kedua dan ketiga
- Titer aglutinin (Widal) terhadap somatik (O) dan flagela (H) umumnya positif pada
minggu ketiga (positif dan negatif palsu sering dijumpai).

Prevensi
Dapat dilakukan dengan vaksinasi

Penatalaksanaan
- Indikasi Rawat Inap
- Penderita demam Tifoid sebaiknya dirawat inap di rumah sakit.
- Umum
Rawat Umum
- Tirah baring selama demam masih ada
- Diet tinggi kalori tinggi protein, boleh makanan padat, namun rendah serat.
- Demam sebaiknya tidak diterapi dengan antipiretika, tapi cukup dengan kompres
dingin saja.
- Jika pasien tampak toksik, hidrokortison dengan dosis 100mg setiap 8 jam, IV

Antimikroba
- Kloramfenikol 4 dd 500 mg, diberikan sampai lebih kurang 2 minggu, kontrol
jumlah leukosit setiap 5 7 hari
- Ko-trimoksazol, 2dd 2 tablet (1 tablet forte)
- Amoksisilin 2 dd 2000 mg, Ampisilin 4 dd 1 2 gram.
- Pefloksasin atau Ofloksasin (jika resisten terhadap antimikroba lain)
- Salisifat, laksansia dan lavemen supaya dihindari (mencegah kemungkinan
perdarahan dan perforasi)
- Perforasi usus harus diatasi dengan pembedahan
- Karier (Carrier) diatasi dengan ampisilin atau kolesistektomi.

Lama Perawatan
- Umumnya selama demam ditambah 3 7 hari bebas panas
- Relaps mungkin terjadi setelah penghentian terapi
- Penderita resiko tinggi seperti bayi, usia lanjut, malnutrisi dan debilitas
- Setelah infeksi 6 minggu, pengeluraan mikroba masih dapat berlangsung pada 50%
kasus, setelah 3 bulan pada 5 - 10% kasus.

2
Lama Penyembuhan
Satu minggu

Output
- Sembuh total
- Karier kronik dijumpai pada 5% kasus

Konsultasi
- Dokter spesialis Penyakit Dalam Konsultasi Penyakit Tropis
- Dokter Spesialis Bedah Digesti

Kepustakaan
Asdie AH, 1995, Kapita Selekta Penyakit Infeksi, Yayasan Tawakal, Yogyakarta

3
2. DIABETES MELLITUS

Definisi
Diabetes mellitus akhir-akhir ini tidak lagi dianggap sebagai suatu diagnosis melainkan
sebagai suatu diskripsi sebagaimana anemia dan hipertensi. Diabetes adalah kumpulan
gejala dengan ciri-ciri tertentu yang memberikan gambaran klinis yang disebabkan oleh
aneka macam penyebab (kausa), memerlukan terapi dan mempunyai resiko komplikasi
tertentu yang dapat diperkirakan sebelumnya.

Diabetes mellitus (DM) adalah sindroma klinis heterogen ditandai peninggian kadar glukosa
darah (Hiperglikemia) kronik akibat definisi insulin, relatif atau absolut, dan /atau
hiperglukagonemia (WHO, 1985; Unger & Foter, 1992). Akibat difisiensi insulin akan
timbul serentetan gangguan metabolisme karbohidrat (KH, hidrat arang), lemak dan protein.
Penampilan klinis diabetes mellitus pada fase awal, gejala dana kelainan umumnya adalah
akibat dari metabolisme, sedang pada keadaan lanjut adalah akibat (sering disebut
komplikasi) kelainan vasa (angiopati, vaskulopati). Jadi pada diabetes mellitus ada dua
komponen kelainan, metabolik dan angiopatik (Asdie, 1988).

Diabetes mellitus dibedakan menjadi beberapa kelas, kelas klinis dan kelas statistik (Tabel
2-1). Diabetes mellitus tergantung insulin (DMT) atau DM Tipe I adalah kelompok
penderita yang untuk mempertahankan hidupnya perlu insulin dari luar (eksogen), umumnya
terdapat pada usia muda, mudah jatuh dalam ketoasidosis, terkait dengan HLA tertentu, dan
destruksi sel B pankreas. Destruksi pankreas dapat melalui imunologis (HLA), infeksi virus
dan pankreatitis.

Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau DM Tipe II adalah kelompok
penderita yang timbulnya pada usia dewasa, tidak tergantung insulin dari luar tidak terkait
dengan tipe HLA tertentu. Pada kelompok ini dibedakan lagi menjadi bentuk yang tidak
gemuk (DM Tipe IIa) dan yang gemuk (DM Tipe IIb).

Diabetes mellitus terkait Malnutrisi (DMTM) merupakan kelompok yang disertai stigma
malnutrisi pada usia muda. Kelompok ini dibedakan menjadi bentuk Diabetes Pankreatik
Fibrokalkulosa (Fibrocalculous Pancreatic Diabetes, FCPD) dan bentuk Diabetes Pankreatik
Difisiensi Protein (Protein Delficient Pancreatic Diabetes, PDPD).

Diabetes Tipe lain dadalah bentuk diabets yang terkait dengan keadaan atau sindroma
tertentu. Termasuk dalam kelas ini adalah penyakit adalah penyakit pankreas, penyakit
hormonal, akibat obat atau bahan kimia, kelainan reseptor insulin, sindroma genetik tertentu,
sirosis hati.

Diabetes mellitus gestasional adalah bentuk diabetes yang muncul karena adanya kehamilan.
Toleransi glukosa kembali normal setelah persalinan.

Kriteria Diagnosis
Diabetes mellitus dibedakan menjadi beberapa kelas seperti (Tabel 2-1). Sebagai patokan
diagnosis diabetes disajikan dalam Tabel 2-1.

Pemeriksaan

Anamnesis
Gejala klinis kemungkinan tidak dijumpai, dan ditemukan secara kebutulan. Gejala awal
dapat berupa poliuria (frekuensi dan volume urine bertambah banyak), polidipsia (minum
bertambah banyak akibat haus) dan polifagia (terutama pada DMTI), berat badan bertambah.
Pada fase lanjut berupa poliuria dan penurunan berat badan. Umumnya pada fase lanjut
pasien datang dengan aneka macam keluhan dan kelianan, seperti mata kabur (ganti-ganti
kaca mata), infeksi kulit oleh jamus (taenia pedis, onikomikosisi, kandida balanitis,
veginitis). Perlu ditanyakan pula adanya gejala/penyakit yang sama pada anggota keluarga
yang lain.

4
Tabel 2-1. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Kelas Klinis
- Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DMTI)
Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI)
a. Tidak gemuk
b. Gemuk
Diabetes Mellitus Terkait Malnitrisi (DMTMI)
Diabetes Mellitius Tipe Lain
- Panyakit Pankreas
- Penyakit Hormonal
- Akibat Obat atau Bahan Kimia
- Kelainan Insulin atau Reseptornya
- Sindrom Genetika tertentu
- Sirosis Hati
- Tolerasi Glukosa Terganggu (TGT)
- Tidak Gemuk
- Gemuk
- Yang berhubungan dengan keadaan atau sindron tertentu
- Diabetes Mellitus Gestasional (DM Hamil)

Kelas Resiko Statistik


(Pasien dengan toleransi glukosa yang normal, tetapi jelas mempunyai resiko
yang lebih besar untuk timbul DM);
- Toleransi glukosa pernah abnormal
- Toleransi glukosa potensial abnormal

Pemeriksaan Fisik
Tidak spesifik, kecuali jika telah ada komplikasi.

Tabel 2-2. Patokan Diagnostik Kadar Glukosa Darah Sewaktu

Bukan DM Belum Pasti DM


Plasma Vena < 100 100-200 > 200
Darah Kapiler < 80 80-200 > 200
Ket : Pemeriksaan dengan metode enzimetik, nilai dalam satuan mg/dl

Pemeriksaan Penunjang
Kadar glukosa darah, plasma vena atau darah kapiler, khususnya pada mereka yang
termasuk resiko tinggi, seperti usia lebih 40 tahun, gemuk, tekanan darah tinggi (hipertensi),
riwayat keluarga diabetes, riwayat melahirka bayi dengan BB > 4000 gram, riwayat
diabetes pada kehamilan, dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dnegan
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu (Tabel 2-2).

Jika ahasil meragukan, dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan beban 75 gran
glukosa. Dua hasil abnormal pada pemeriksaan sesaat, atau pada pemeriksaan yang berbeda
dapat menegakkan diagnosa diabetes mellitus (Tabel 2-3).

5
Tabel 2-3. Nilai Diagnostik Glukosa Pasca Beban Glukosa 75

Katagori Plasma Vena Darah Kapiler


Diabetes Mellitus Puasa > 140 > 120
2 jam pasca beban > 200 > 200
Toleransi Glukosa Puasa > 140 > 120
Terganggu 2 jam pasca beban 140 - 200 140 - 200
Ket : Pemeriksaan dengan metode enzimatik, nilai dalam satuan mg/dl

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan diabetes jangka pendek adalah menghilangkan komplikasi, baik
makroangiopati maupun mikroangiopati, dan neuropati. Hal demikian akan dicapai dengan
cara pengendalian atau perawatan mandiri. Kriteria mengendalian diabetes disajikan dalam
Tabel 2-4 (Perkeni, 1993).

Tabel 2-4. Kriteria Pengendalian Diabetes Mellitus

Parameter Baik Sedang Jelek


Kadar Glukosa Darah Puasa < 120 < 140 > 200
2 jps (mg.dl) < 140 < 200 > 235
HbA, C (%) 46 68 >8
Kolesterol Total (mg/dl) < 200 < 240 > 240
HDL-kolesterol (mg/dl) > 40 < 40 < 35
Trigliserida (mg/dl)
Tanpa PJK < 200 > 200 > 400
Dengan PJK < 150 > 150 >200
Indeks Masa Tumbuh :
Pria 20 - 27 25 27 > 27
Wanita 19 - 23 23 25 > 25
Tekanan Darah (mg/dl) < 140/90 < 160/95 > 160/95
Ket : 2 jps = 2 jam pasca sarapan ( Sumber : Perkeni, 1993)

Penatalaksanaan diabetes dapat dilakukan di luar rumah sakit (ambulans). Namun kadar
glukosa darah terlalu tinggi > 350 mg/dl, terdapat infeksi akut terpaksa dirawat di rumah
sakit.
Pada pertemuan pertama dengan penderita diabetes, yang perlu dilakukan adalah :

Anamnessis dan Pemeriksaan Fisik Lengkap


- Mencatat TB, BB, Tekanan Darah, dan kondisi nadi kaki
- Menentukan BBI (Berat Badan Idaman)
- Pemeriksaan darah rutin, kadar glukosa darah puasa dan 2 jam pasca sarapan (2jps)
- Albumin urine dan sedimen urine
- Ureum dan kreatinin
- Lipid darah : kolesterol total, trigliserida, dan HDL-kolesterol
- ALT (SGPT), albumin serum
- HbA,C, kemudian diperiksa setiap 3 bulan
- EKG
- X-foto thorax
- Funduskopi

Penyuluhan Sepintas tentang :


- Penyakit diabetes, tidak bisa disembuhkan tetapi dapat dikendalikan
- Komplikasi diabetes
- Perawatan kaki

6
Kunjungan kedua dan ketiga :
- Dilakukan setiap bulan
- Diperiksa kadar glukosa darah puasa dan 2 jps
- Ditanyakan tentang kesulitan pelaksanaan diet yang telah direncanakan
- Diperbincangkan kemungkinan konsultasi ke dokter spesialis terkait
- Kunjungan berikutnya dilakukan setiap 1 3 bulan tergantung pada hasil pemantauan
kadar glukosa darah.

Setiap Tahun :
- Pemeriksaan fisik lengkap
- Albumin urine, sedimen urine
- Ureum dan kretinin
- ALT, albumin serum
- Lipid darah
- EKG
- Funduskopi

Indikasi Rawat Inap di Rumah Sakit


Pengendalian diabetes jika kadar glukosa darah sangat tinggi (>350 mg/dl), gejala
mencolok, timbul komplikasi berat (koma diabetik, koma hipoglikemik, gangren diabetik,
sindroma Kimmelstiel-Wilson, Gagal Ginjal berat).

Umum
Pola Hidup Sehat
- Mencapai dan mempertahanakan berat badan idaman
- Merencanakan diit dengan komposisi gizi yang seimbang, cukup protein, karbohidrat
dan lemak. Komposisi diet kabohidrat 60 75 % kalori, protein 10 15 %, dan lemak
sisanya; jumlah kandungan kolesterol <300 mg/hari; dan kandungan serat 25 g/hari,
diutamakan serat yang larut. Kandungan garam disesuaikan dengan keinginan dan
kondisi penyakit penyerta. Dalam pengaturan diit diperhatikan faktor 3 j yaitu jumlah
kalori, jam makan dan jenis makanan. Jadwal makan dengan porsi kalori dari sarapan
makanan selingan makan siang makan selingan makan malam dan makan
selingan seperti berikut 20% - 10% - 25% - 10% 25% - 10%.

Tabel 2-5. Prinsip Perencanaan Diit Penderita Diabetes

- Restriksi kalori, Olah raga teratur merupakan dasar terapi diabetes


- Jika berat badan berlebih, kurangi jumlah kalori dan anjurkan untuk berolah raga
teratur
Pertahankan diit komposisi berimbang, kontrol porsi makanan
Batasi masukan lemak
- Hindari makanan yang mengandung gula murni
Kontrol kadar trigliserida
Tidak atau berhenti merokok
Tidak minum alkohol
Olah raga memadai, dilakukan teratur

Latihan Jasmani
- Olah raga harus memadai dan dilakukan teratur
- Olah raga hendaknya memenuhi unsur (CRIPE : Continuous, Rythmical, Interval,
Progressive, Endurance) dan mencapai zona sasaran.
- Latihan hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan adanya penyakit penyerta.

7
Tabel 2-6. Takaran Olah Raga

Waktu/mgg Frekuensi Lamanya Intensitas


Tingkat kesegaran
menit (minggu) (menit/kal) (% DNM)
Amat rendah 40-80 4-6 10-20 60
Rendah 90-120 4-6 15-30 60-70
Sedang 120-180 3-5 30-45 70-80
Tinggi 180-300 3-5 30-60 70-80
Atlit 300-800 5-7 60-120 70-90

Continuous berarti olah raga yang dilakukan harus terus menerus, misalnya selama 30 menit
berkesinambungan. Rythmical berarti olah raga yang dilakukan harus berirama yaitu
melatih otot untuk kontraksi dan relaksasi; selama latihan harus berkesinambungan. Latihan
harus progresstive, yaitu bertahap, dimulai dari pemanasan (warming up), latihan yang
dikehendaki, kemudian berangsur-angsur dilakukan pendinginan (cooling down). Latihan
endurance atau daya tahun dilakukan untuk memperbaiki kesegaran kardiovasa (Olefsky,
1985). Program latihan CRIPE ini dilakukan teratur, 3-5 kali seminggu.

Latihan olah raga yang dilakukan memenuhi takaran yang sesuai (Vignati & Cunningham,
1985). Takaran olah raga disesuaikan dengan kondisi penderita (Tabel 2-6). Jika takaran
kurang, manfaat yang diperoleh tidak begitu nyata, sedang jika berlebihan dapat
membahayakan dirinya. Yang harus dipertahankan pada takaran olah raga adalah intensitas,
lama dan frekuensi latihan. Intensitas latihan adalah beban kerja permenit. Hal ini dapat
diketahui dengan menghitung detak nadi selama latihan. Detak nadi maksimal (DNM) yang
boleh dicapai selama latihan adalah :

DNM = 220-USIA (dalam tahun)

Intensitas latihan yang optimal adalah latihan yang mencapai zona latihan (training zone
atau target zone) yaitu 72-87% detak nadi maksimal. Lama latihan adalah mempertahankan
latihan olah raga yang dijalankan dalam zona latihan paling sedikit selama 25 menit. Lebih
lama akan lebih baik. Frekuensi latihan paling sedikit 3 kali seminggu, dan jika mungkin
dilakukan sebanyak 5-6 kali seminggu.
Tambahan Obat
Jika penderita telah melaksanakan aturan makan dan olah raga dengan baik selama 1-6
bulan, tetapi diabetesnya belum terkontrol baik, maka kepada penderita ditambahakan obat,
antidiabetik oral atau insulin.

Tabel. 2-7. Obat Antidiabetik oral yang beredar di Indonesia

Nama Generik Dosis Awal Dosis Maksimal


SULFONILUREA
- Aksi Pendek
Tolbutamid 500 mg 1500 mg
- Aksi Sedang
Glibenklamid 2,5 mg 15 mg
Glipizid 5 mg 20 mg
Gliklazid 80 mg 240 mg
Glikuidon 30 mg 120 mg
- Aksi Panjang
Klorpropamid 100 mg 500 mg
BIGUANIDA
Metformin 500 mg 3000 mg
LAIN-LAIN
Acarbose 50 mg 300 mg

8
Obat Antidiabetik Oral (Tabel 2-7)
Pemilihan obat antidiabetik oral hendaknya didasarkan pada :
- Potensi Antidiabetik Intrinsik
- Kecepatan Aksi Obat
- Lama Aksi Obat
- Cara Metabolisme dan Ekskresinya

Golongan sulfonilurea (SU) diberikan terutama untuk penderita dengan berat badan normal,
hati-hati dengan penderita yang gemuk. Klorpropamid tidak dianjurkan untuk penderita
dengan komplikasi gagal ginjal dan usila karena risiko hipoglikemia. Untuk usila
dianjurkan menggunakan preparat yang waktu paruhnya singkat (Tolbutamida dan
glikuidon). Penderita yang mungkin berhasil dengan terapi solfunilurea adalah
- Timbulnya hiperglikernia pada usia diatas 30 tahun
- Menderita diabetes kurang lima tahun
- Berat badan normal atau gemuk
- Taat mengikuti aturan diit yang diberikan
- Tidak termasuk yang tergantung insulin

Kontraindikasi terapi sulfonilurea adalah : diabetes mellitus tergantung insulin, kehamilan,


bedah mayor, infeksi, stres, atau trauma berat, riwayat alergi terhadap sulfonilurea,
predisposisi hipoglikernia berat (penyakit ginjal atau hepar yang nyata).

Golongan biguanida yang dianjurkan adalah metformin, dianjurkan untuk penderita dengan
IMT >30, atau pada penderita dengan IMT 27-30 dikombinasi dengan sulfonilurea. Cara
akerja metformin sampai sekarang para pakar masih berbeda pendapat (bailey, 1992).
Diantara efek konsisten adalah :
- Tidak memacu sekresi insulin dari pankreas
- Tidak menaikkan tapi sedikit menurunkan berat badan
- Tidak menyebabkan hipoglikernia
- Menurunkan hiperglikernia pada penderita diabetes dan tidak menurunkan glukosa
darah pada orang non-diabetik.
Jika dengan tambahan obat sulfonilurea atau biguanida dosis telah maksimal tetapi diabetes
belum terkendali, dapat dicoba dengan kombinasi sulfonilurea + biguanida atau biguanida +
sulfonilurea atau diterapi dengan insulin.

Insulin (Tabel 2-8)


Penggunaan insulin terutama untuk penderita yang tergantung insulin (DMTI) disamping
diit yang sesuai kebutuhannya.

Untuk DMTI jika setelah mengatur diit dan olah raga, jika dalam waktu 1-6 bulan diabetes
belum terkontrol dengan baik, ditambahkan obat antidiabetik oral. Insulin ditambahkan jika
kadar glukosa darah belum juga terkontrol baik walau telah mendapatkan obat antidiabetik
oral dosis maksimal, atau jika gejala klinis masih mengganggu penderita. Bagi penderita
yang berat badannya menurun dengan cepat, dengan komplikasi akut; pada kehamilan atau
DM Gestasional yang tidak terkendali dengan pengaturan diit.

Karena terapi insulin memerlukan suntikan tiap hari, terangkan kepada penderita sebelum
memulai terapi, tempat menyuntik yang harus berpindah-pindah, teknik cara mengambil
(nyedot) insulin dari botol, cara mencampur insulin jika digunakan campuran insulin aksi
pendek dengan aksi panjang, cara menimpan insulin dan alat suntik yang belum terpakai.

9
Tabel 2-8. Preparat Insulin

Nama Preparat Aksi Puncak (jam) Lama Aksi


Aksi Pendek
Insulin Reguler, Actrapid Semilente 0,5-4 5-7
Aksi Sedang
NPH insulin, insulin lente 4-12 18-24
Monotard HM; Insultard
Aksi Panjang
Insulin Ultralante, PZI 14-24 24-36

Terapi dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan pelan-pelan samapai dicapai kontrol yang
dikehendaki.

Penyuluhan
Masyarakat dan kelompok risiko tinggi ikut aktif dalam pencegahan primer, yatiu mencegah
peninggian kadar glukosa darah dengan melaksanakan pola hidup sehat.

Pencegahan sekunder adalah usaha dokter dan penderita diabetes untuk mencegah
komplikasi menahun atau akut.

Pencegahan tersier adalah upaya untuk mencegah berlanjut dan bertambah parahnya
komplikasi yang telah timbul pada penderita (mungkin memerlukan peralatan canggih di
rumah sakit pusat rujukan).

Materi penyuluhan meliputi :


- Apakah diabetes mellitus itu ?
- Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya diabetes
- Penatalaksanaan diabetes secara umum
- Perencanaan makan dan olah raga teratur
- Obat-obat yang berpengaruh terhadap kadar glukosa darah (yang menaikkan dan
menurunkan kadar glukosa darah)
- Mengenal dan mencegah timbulnya komplikasi akut maupun kronik
- Penatalaksanaan diabetes jika menderita penyakit lain (tuberkulosis, penyakit hati, gagal
ginjal kronik)
- Jika makan di luar rumah (dalam perjalanan, di restauran)
- Kontroversi dalam pengetahuan dan penelitian dan teknologi mutakhir diabetes
- Pemeliharaan kaki

Khusus
- Kaki diabetik
- Tindakan bedah
- Kehamilan
- Penderita diabetes yang berpuasa

Perawatan Intensif
Koma hipoglikemikum, koma diabetikum (katoasidosis, hiperosmoler non-ketotik), Asidosis
laktat, sepsis.

Lama Perawatan
- Bervariasi

Masa Pemulihan
- Bervariasi

10
Output
- Kadar glukosa darah terkendali
- Komplikasi diabetes terhambat

Komplikasi
Jika kadar glukosa darah tidak dapat terkendali baik, maka komplikasi kronik dapat berupa :
Komplikasi Makrovasa
- Penyakit Serebrovasa (stroke, GPDO)
- Penyakit Jantung Aterosklerotik Koroner (angina pektoris dan infark miokard).
- Penyakit kaki diabetik (resiko ganggren, ulkus)
Komplikasi Mikrovasa (mikroangiopati, mikrovaskulopati)
- Ratinopati diabetik (resiko kebutaan)
- Nefropati Diabetik (resiko Sindroma Kimmelstiel-Wilson, Gagal Ginjal)
- Neuropati Diabetik (paling sulit diatasi)
- Rentan terhadap infeksi

Konsultasi yang Diperlukan


Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Endokrin Metabolik
- Jika dengan terapi obat terjadi gagal primer atau skunder
- Terdapat komplikasi

Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Nefrologis


- Jika terdapat nefropati dengan kadar kreatinin > 5 mg/dl
- Jika terdapat gagal ginjal terminal
- Jika disertai hipertensi yang resisten terhadap pengobatan

Spesialis Mata
- Semua penderita diabetes hendaknya dikonsulkan ke Dokter Mata untuk diagnostik dan
evaluasi retinopati.
- Jika terdapat gangguan visus walau kadar glukosa darah sudah mendekati normal
- Penurunan visus mendadak

Spesialis Neurologi
- Neuropati yang disertai nyeri

Kepustakaan

ADA (American Diabetes Assosiation) 1998, Guide to Non-Dependent (Type III) Diabetes :
Diagnosis and Treatment, 2nd ed American Diabetes Association, Inc. Alexandria, Virginia.
Asdie, A. H. 1987a Hiperglikernia dan Komplikasi Akut Diabetes. B.I. Ked. 19(2): 41-4
........., 1987b Hiperglikernia dan Komplikasi Kronik Diabetes. B.I. Ked. 19(2): 95-101
........., 1988 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Pada Orang Dewasa . B.I. Ked 20(3); 87-96.
........., 1989 Diabetes Mellitus dan Sulfonilurea. B.I. Ked 21 (1): 1-13
........., 1990 Insulin Resisten dan Hipertensi Esensial, Temu Ilmiah RS Bethesda, Yogyakarta,
Desember 1990.
........., & Handiman, D. 1989 Patogenesis Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus. B.I. Ked.
21(3): 91-8
Bachmann, W., Lotz, N & Mehnert, H. 1986 Insulin/Sulphonylurea Combination Therapy in Type-II
Diabetes. Karger, Besel.
........., & Mezitis, N.H.E. 1990 Combination Therapy with Insulin and sulsonylureas for Type II
diabetes, Diabetes Care 13:687-95.
Horton, E.S. 1991 Exercise dalam H.E. Lebovitz, R.A. DeFronzo, S. Genuth, R.A. Kresiberg, M.A.
Pleifer & W.A. Tamborlane (eds) Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorders,
American Diabetes Association, Inc. Alexandria, Virginia, pp. 112-9 dan 124-6.
Klip, A & Leiter, L.A. 1990 Cellular Mechanism of Metformin, Diabetes Care 13: 696-704
Lebovitz, L.E. 1991 Sulfonylurea Drugs dalam H.E. Lebovitz, R.A. DeFronzo, S. Genuth, R.A.
Kreisberg, M.A. Pleifer & W.A. Tamborlane (eds) Therapy for Diabetes Mellitus and

11
Related Disorders, American Diabetes Association, Inc. Alexandria, Virginia, pp. 112-9 dan
124-6.
Olefsky, J.M. 1985 Proceedings of a Syimposium : Current Reseach in Clinical Application of the
Second Generation Sulfonylurea Glyburide, Am.J.Med79 (suppl. 3B): -12-22.
Perkeni, 1994, Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia, Boehringer Mannheim
Indonesia
Schiffrin, A & Belmonte, M.M. 1992 Comparison between Subcutaneous Insulin Infusion and
Multiple Injection of Insulin: A One Year Prospective Study, Diabetes 31:255-60.
Skyler, J.S. 1991 Insulin Treatment dalam H.E. Lebovitz, R.A. DeFronzo, S. Genuth, R.A.
Kreisberg, M.A. Pleifer & W.A. Tamborlane (eds) Therapy for Diabetes Mellitus and
Related Disorders, American Diabetes Association, Inc. Alexandria, Virginia, pp. 112-9 dan
124-6.
Tjokropawiro, A. 1991 Petunjuk Praktis terapi Kombinasi OAD dan Insulin pada Penderita
Diabetes Mellitus: Suatu Indikasi untuk DM Tipe 2 Tertentu dan DM Tipe X dalam
Askandar Tjokropawiro, M. Sukahatya, Soewanto, Ari Sutjahjo & H. Tandra (eds) Naskah
Lengkap Simposium Nasional Perkembangan Mutkhir Endokrinologi Metabolisme. Hal
150-78. Surabaya, 6-7 September 1991.
Unger, R.H. & Foster, D.W. 1992 Diabetes Mellitus dalam JD Wilson & Foster (eds) Williams
Textbook of Endocrinology, 8th ed. WB Sauders Company, Harcount Brace Javanovich, Inc.
Philadelphia. Pp. 1255-333
WHO, 1985 Diabetes Mellitus, Tech. Rep. Ser. WHO Geneve
Vignati, L & Cunningham, LE, 1985 Exercise and Diabetes dalam A. Marbie, L.P. Krall & R.F.
Bradley (eds) Joslins Diabetes Mellitus. 12th edition Lea & Febiger, Philadelphia, Hal. 453-
61.
Wu, M.S Johnston, P. Sheu, W.H.-H Hollenbeck, C.B. & Jeng C.Y Golfine, I.D. Chen, Y.DI &
Reaven, G.M. 1990 Effect of Metformin on Carbohydrate and Lipoprotein Metabolism in
NIDDM patiens, Diabetes Care 13:1-8.

12
3. KETOASIDOSIS DIABETIK

Definisi
Katoasidosis diabetik (KAD) merupakan salah satu bentuk komplikasi akut diabetes mellitus
(DM). Tetapi katoasidosis dapat pula merupakan komplikasi penderita non-DM yang
mendapat terapi difenihidantoin (dilantin) dosis tinggi, suntikan diazoksida intravena, atau
kortikosteroida dosis tinggi.

KAD merupakan keadaan gawat darurat medis yang ditandai dengan poliuria, polidipsia,
pernafasan yang dalam dan cepat (haus udara, pernafasan tipe Kussmaul) dan nyeri otot
skelet dan perut.

Etiologi
Faktor presipitasi KAD pada DM umumnya adalah penghentian pemakaian insulin atau obat
antibiotik oral (OAD), kontrol diabetik jelek yang telah berlangsung lama, infeksi akut,
serangan kardiovasa akut, stres berat, fisik maupun psikis. Pengidap DM tergantung insulin
(DMTI) mempunyai kecenderungan tinggi untuk menderita koma KAD.

Patofisiologi
Defisiensi insulin, relatif atau absolut, merupakan prasyarat timbulnya KAD. Selain itu,
kadar glukagon plasma biasanya meninggi. Dengan adanya difisiensi insulin, lipolisis
meningkat sehingga kadar asam lemak bebas (ALB = FFA, Free Fatty Acid) dan gliserol
serum meningkat pula. Tanpa tersedianya insulin yang cukup, hepar tidak mengatasi beban
ALB yang tinggi ini. Akibatnya, terjadi peningkatan produksi dan pelepasan asam
asetoasetat dan beta-hidroksibutirat, dengan ratio 1:3. Dengan adanya difisiensi insulin yang
berat, otot tidak mampu mengoksidasi asam keton, sehingga timbul ketonemia dan
ketonuria. Akibatnya terjadi penurunan pH darah arteri dan kadar bikarbonat serum
(asidosis).

Terhadap metabolisme protein, difisiensi insulin menyebabkan peningkatan katabolisme


sehingga terjadi aminoasidemia dan kehilangan nitrogen. Aminoasidemia memacu proses
glukkoneogenesis, sehingga menambah hiperglikernia yang ada. Adanya
hiperglukoneogenesis meningkatkan proses glukoneogenesis. Efek difisiensi insulin
terhadap metabolisme karbohidrat adalah menurunkan kadar pembakaran glukosa di
jaringan perifer.

Hiperglikernia yang terjadi, bila melampaui ambang ginjal (180 mg/dl), akan menimbulkan
glukosuria dan diuresis osmotik yang akan disertai oleh kehilangan air, natrium, kalium,
fosfat dan magnesium. Karena rasa haus tidak terganggu pada KAD, maka hiperglikernia
yang terjadi jarang melebihi 600 mg/dl. Namun begitu, hiperosmolaritas ringan atau sedang
sering dijumpai pada KAD.

Penurunan kadar (deplesi) natrium sering tertutupi oleh adanya dehidrasi yang mencolok,
sedang deplesi kalium sering tidak terdeteksi dalam serum, karena dengan adanya asidosis,
ion Na+ dan H+ masuk ke ruang intraseluler mengganti ion K+ yang keluar. Deplesi
magnesium menimbulkan iritabilitas neuromuskuler dan gangguan kesadaran, termasuk
serangan jantung. Deplesi fosfat dapat menyebabkan defisiensi 2,3-difosfogliserol (2,3-
DPG), jadi menurunkan kapasitas ikat eritrosit terhadap oksigen.

Dari proses yang terjadi tersebut dapat disimpulkan bahwa akibat defisiensi insulin akan
timbul kelainan berupa (1) hiperglikernia; (2) dehidrasi, hipovolernia, dan hiperosmoler; (3)
lipolisis; (4) asidosis; (5) gangguan keseimbangan elektrolit; dan (6) keseimbangan nitrogen
negatif. Keseimbangan ini harus dikoreksi dalam pelaksanaannya.

13
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis KAD umumnya muncul beberapa hari atau minggu setelah penghentian
terapi yang biasanya dipakai, insulin atau obat antidiabetik oral (OAD). Timbul anoreksia
mual, muntah dan gejala lain yang dapat dilihat dalam Tabel 3-1.

Tabel 3-1. Manifestasi Klinis KAD

- Anoreksia, mual, muntah


- Dehidrasi, mata cekung dan lunak, mukosa kering, elastisitas kulit menurun,
takikardia, hipotensi, syok
- Nyeri di otot skelet, nyeri perut difus (bukan tipe paritonaal), nyeri pleura
- Pernafasan dalam dan cepat, pernafasan Kussmaul (pH < 7,2: bila pH < 6,9
frekuensi nafas lambat)
- Kelemahan badan dan kelelahan
- Tonus otot menurun (terutama kalau disertai hipokalemia)
- Depresi susunan syaraf pusat (SSP), nyeri kepala : bingung; stupor, sopor; dilatasi
pupil; koma

Komplikasi KAD dapat dibagi menjadi dua kelompok, yang berkaitan dengan terapi yang
diberikan atau dengan perlangsungan penyakit. Yang berhubungan dengan terapi adalah
hipoglikemia, hipokalemia, dan endema serebri. Semua komplikasi yang berhubungan
dengan terapi dapat dihindari dengan pengamatan yang teliti selama pemberian terapi pada
waktu koreksi KGD (kadar glukosa darah), gangguan elektrolit, dan osmolaritas. Bukti-bukti
klinis menunjukan bahwa endema serebri disebabkan akumulasi metabolit non-glukosa di
jaringan otak. Benda yang secara osmotik aktif tersebut (osmolal ideogenik), belum
teridentifikasi secara spesifik. Terjadinya ederna serebri ini biasanya terjadi apabila
penurunan KGB terlalu cepat sampai kurang dari 250 mg/dl.

Derajat asidosis memerlukan perhatian khusus dalam terapi. Jika pH darah Arteri < 7,1
terjadi penurunan fungsi kardiovasa dan respirasi dan resiko yang mengancam jiwa
penderita, aritmia dan atau henti kardiorespirasi (cardiorespiratory-arrest). Dalam hal ini
jelas kiranya pemberian bikarbonat secara penuh merupakan kontra-indikasi karena
gangguan kardiorespirasi tidak perlu diatasi dengan cepat, dan resiko penurunan status
mental penderita.

Komplikasi yang berkaitan dengan pelangsungan KAD adalah hipotensi, syok, trombosis,
dan gagal ginjal. Hipotensi dan syok berkaitan dengan dehidrasi dan hipovolemia; dan akan
segera membaik dengan terapi KAD yang cukup. Apabila hipotensi dan syok tetap saja
berlangsung walau dengan terapi yang cukup, penyebab yang lain harus dicari. Pada
penderita (golongan) lanjut umur (glamur), infark miokard akut dan atau gagal jantung tidak
jarang terjadi. Trombosis arteri sering terjadi, terutama di arteri karotis, koroner, iliaka,
masenterika dan renalis. Timbulnya biasanya beberapa jam atau hari setelah terjadinya KAD
dan sering merupakan penyebab kematian penderita. Oliguria dan azotemia yang progresif
walaupun dengan terapi yang cukup, menandakan adanya gangguan ginjal yang kronik,
infeksi traktus urinarius, infeksi traktus urinarius akut, obstruksi saluran kencing dan atau
nekrosisi tubuler akut.

Diagnosis
Kriteria diagnosis KAD meliputi :
1. Klinis (lihat Tabel 3-1)
2. Pemeriksaan Darah :
- KGD > 300mg/dl (biasanya sekitar 600 mg/dl)
- Bikarbonat (HCO3)<20 mEq/1
- Osmolalitas serum > 300 mOm/1
3. Pemeriksaan Urine
- glukosuria
- katonuria

14
Hiperglikernia pada KAD mungkin saja hanya sekitar 250 mg/dl. Hal ini mungkin
disebabkan karena muntah yang terlalu banyak atau diit sebelum terjadi KAD relatif kurang
karbohidrat. Jika fasilitas laboratorium tidak memungkinkan, pemeriksaan pH darah dan
benda keton, bahkan bikarbonat pun dapat ditangguhkan. Osmolalitas serum dapat
diperkirakan dengan perhitungan memakai rumus berikut :

Osm serum = 2 (Na+ + K+) + KGD (mg/dll) + BUN (mg/dll)


18 2,8

Klasifikasi KAD
Klasifikasi KAD yang berikut (Tabel 3-2) perlu diketahui karena masing-masing
mempunyai manifestasi klinis, laboratoris, perbedaan dalam penatalaksanaan dan
prognosisnya. Pada dasarnya klasifikasi ini tergantung pada derajat asidosis, kadar
bikarbonat dan pH darah vena.

KAD Ringan
KAD ringan atau KAD derajat I, asidosis ringan (belum ada pernafasan Kussmaul,
bikarbonat atau HCO3 anatara 15-20 mEq/I dan atau pH darah antara 7,30-7,35.

Derajat KAD Macam KAD pH Darah HCO3 (mEq/I)


I - Ringan KAD Ringan 7,35 7,30 15 20
II - Sedang Prekoma diabetik 7,30 7,10 10 15
III - Berat Koma diabetik 7,10 6,90 8 10
IV - Parah Koma diabetik berat < 6,90 <8

KAD Sedang
KAD derajat II atau KAD sedang atau Prekoma diabetik, terdapat asidosis sedang, mulai
timbul adanya pernafasan Kussmaul, HCO3 atau karbonat antara 10 -15 mEq/I dan atau pH
darah vena antara 7,10 7,30.

KAD Berat
KAD derajat III atau KAD berat atau Koma diabetik, asidosis berat, jelas ada pernafasan
Kussmaul, dengan kadar bikarbonat atau HCO3, antara 8 10 mEq/I dan atau dara vena
antara 7,10 6,90.

KAD Parah (sangat berat)


KAD derajat IV = KAD parah (sangat berat) atau koma diabetik berat, asidosis sangat berat,
pernafasan menjadi lambat, sehingga tidak kelihatan lagi adanya pernafasan Assmaul, kadar
bikarbonat atau HCO3 kurang dari 8 mEq/I dan atau pH darah vena < 6,90.

Prognosis KAD derajat IV ini sangat jelak karena pada pH darah 6,80, kegiatan metabolisme
sel berhenti. Kadar HCO3 kurang dari 8 mEq/I kadangkala tidak merupakan petunjuk
adanya asidosis berat asal saja pH darah masih baik. Keadaan ini karena proses kompensasi
respirasi tidak mampu mengatasi. Jadi nilai darah pH darah lebih akurat dari pengukuran
kadar HCO3 atau bikarbonat.

Diagnosa Banding
Disfungsi susunan saraf pusat pada DM, selain KAD harus dipikirkan pula kemungkinan :
1. Hipoglikernia
2. Koma hiperglikemik hiperosmoler non-ketotik (HONK)
3. Asidosis laktat
4. Asidosis metabolik akibat gagal ginjal atau stroke.

Disfungsi neurologis dapat bervariasi dari kebingungan sampai adanya perubahan


kepribadian sampai psikosis pada hipoglikernia dan HONK. Gambaran klinis dan laboratoris
disajikan dalam Tabel 3-3.

15
Tabel 3-3. Diagnosis Diferensial Koma Diabetik

Katagori Timbulnya Gejala Tanda Klinis & Laboratoris


Hipoglikemia Tiba-tiba Berkeringat, kolaps Dilatasi pupil, berkeringat,
takikardia, perubahan tingkah
laku, bingung sampai koma,
KGD < 60 mg/dl
Katoasidosis 1 24 jam Poliuria, polidipsia, Pernafasan Kussmaul, dehidrasi
mual, muntah, diare, sedang sampai berat, bingung
nyeri otot dan perut sampai koma dalam, KGD
300-800 mg/dl
Hiperosmoler 1 hari Ambilan air tidak Dehidrasi berat, somnolen
2 minggu cukup, somnolen sampai koma dalam, kejang
poliuria lokal, KGD > 1000 mg/dl
Asidosis Laktat 1 24 jam Kelemahan Kulit hangat, vasodilatasi,
mencolok, terdapat pernafasan dalam, anion gap
penyakit hepar besar, tanpa ketonemia
jantung dan ginjal
sebelumnya

Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam penatalaksanaan KAD adalah memastikan diagnosis. Sambil
menunggu hasil pemeriksaan, lakukan persiapan terapi yaitu dengan memasang lini infus
intravena dan skema terapi seperti yang tercantum dalam Tabel 3-4.

Tabel 3-4. Skema Penatalaksanaan KAD

1. Pemastian diagnosis
Ambil darah vena untuk pemeriksaan KAD, pH darah, ureum, kreatinin,
elektrolit, bikarbonat, Hb, Hmt, leukosit, trombosit, osmolalitas serum, kultur
F
darah
A
Pemantauan EKG; TVS; tanda vital
S
2. Pasang lini infus intravena
E
3. Pasang kateter urine (dauer catheter) dan pantau curah urine
4. Kalau perlu, pasang pipa nasogastrik (NGT)
I
5. Insulin reguler, dosis rendah, IM atau IV
6. Antibiotika spektrum luas, bakterisidal, dosis tinggi
7. Bikarbonat, kalau diperlukan
Batas Fase I dan II KGD 250 mg/dl atau reduksi urine
F 1. Lini infus dengan dekstross 5% atau Maltosa 10% dengan tetesan 30-
A 50/menit
S 2. Berikan insulin reguler, 4 unit, selanjutnya 4-6 unit/4-6 jam
E 3. Kalium, parenteral bila kadar K+ < 4 mEq/I atau oral dengan air tomat atau kaldu
1-2 gelas/24 jam
II 4. Diit cair atau lunak dengan karbohidrat kompleks

Penatalaksanaan KAD Fase I


Rehidrasi
Dengan pemberian cairan, saline normal (Na Cl fisiologis) atau cairan hipotonik, KGD
mungkin sudah sedikit menurun. Skema pemberian cairan disajikan dalam Tabel 3-5, yang
banyaknya tergantung pada derajat KAD yang dijumpai pada penderita. Keperluan cairan
mungkin mencapai 5-8 liter atau 60-100 ml/kg BB dalam 24 jam atau kira-kira 10% BB

16
Tabel 3-5. Pemberian Infus pada Koma Diabetik

1. NaCl 0,9 %
a. 1000 ml pertama dihabiskan dalam 30 menit (250 tetes/menit)
b. 1000 ml kedua dihabiskan dalam 60 menit (200 tetes/menit)
c. 1000 ml ketiga dihabiskan dalam 120 menit (100 tetes/menit)
d. 1000 ml keempat dihabiskan dalam 240 menit (60 tetes/menit)
2. Cairan NaCl 0,9 % selanjutnya, 500 ml/4 jam, disesuaikan dengan status
hidrasi penderita
3. Jika KGD mencapai 250 mg/dl (penatalaksanaan fase 2), Infus diganti dengan
cairan dextrose 5 %, dosis insulin diturunkan sepenuhnya
4. Jika kadar Na > 155 mEq/I, cairan infus yang diberikan harus yang hipotonik
(NaCl 0,4 % atau N)
5. Jika diperlukan kalium (ada hipokalemia), berikan dengan dosis 20-40 mEq/I

Terapi rehidrasi mempunyai efek baik sebagai berikut :


a. mengatasi dehidrasi, ekspansi cairan ekstravasa, dan memperbaiki nefropati fungsional
b. memperbaiki perfusi jaringan
c. mengatasi asidosis, yang dengan demikian fungsi miokard dapat diperbaiki,
memperbaiki vasodilatasi parifer
d. menekan hormon anti-insulin (katekolamina, hormon tumbuh, kortisol)
e. meningkatkan kepekaan insulin di jaringan perifer

Cairan infus yang dapat digunakan adalah NaCl 0,9 % atau Ringer Lactate dengan
kecepaten kira-kira 250 tetes/menit pada pemberian 1000 ml pertama dan kedua. Tetesan
kemudian diturunkan menjadi sekitar 100 tetes/menit untuk pemberian 1000 ml ketiga dan
sekitar60 tetes/menit untuk 1000 ml keempat. Biasanya telah terlihat adanya perbaikan dari
kondisi penderita (kesadaran, pernafasan menjadi normal, KGD menurun, dsb)
Jika dalam 4-12 jam terapi keadaan penderita belum ada perbaikan, mungkin faktor pencetus
atau adanya komplikasi lain belum teratasi. Sebagai pedoman dalam pemberian terapi
cairan, dapat pula dijalankan separuh dari keperluan diberikan dalam 12 jam pertama,
sedang sisanya dihabiskan dalam 12 jam berikutnya.

Cairan hipotonik (NaCl 0,4 %) diberikan hanya kalau pemeriksaan kadar Na+ > 155 mEq/I.

Pemberian Insulin
Pemberian insulin akhir-akhir ini dianut cara pemberian dosis kecil, intramuskuler atau
intravena. Dalam keadaan dehidrasi, syok, asidosis, dan adanya infeksi terdapat resistensi
terhadap insulin, reseptor maupun post-reseptor. Oleh karena itu kalau empat faktor tersebut
dapat diperbaiki, maka insulin yang diberikan akan lebih efektif. Beberapa keuntungan
pemberian insulin dosis kecil antara lain :
a. penurunan KGD lebih pelan, kemungkinan terjadinya edema serebri insya Allah
terhindari
b. kemungkinan terjadinya komplikasi hipoglikernia pada fase 2 lebih jarang
c. kemungkinan hipokalernia pada fase 2 juga jarang
d. bahaya kumulasi insulin lebih rendah (waktu paruh insulin cara IV 4-5 menit, tetapi efek
biologiknya 20 menit, sedang cara IM 120 menit)

Cara Intravena
Diberikan terutama kalau penderita didapatkan adanya syok atau hipotensi. Dosis awal 0,3
Unit/kg BB (anak 0,15 Unit/kg BB), diberikan secara bolus. Kemudian diberikan melalui
infus dengan 50 Unit Insulin Reguler dicampur dengan 500 ml NaCl 0,9 % dengan
kecepatan 1 ml/jam (6 unit/jam). Pemberian infus sebaiknya dikontrol dengan alat pediatric
minidrip atau electronic drop counter. Cairan infus + insulin harus selalu dibuat baru setiap 6
jam, karena sebagian dari insulin akan terikat pada botol atau plastik plabot, walau tidak
banyak mempengaruhi hasil terapi. Untuk anak diberikan 0,1 Unit/kg BB/jam.
17
Perhatian
Jika dalam 2 jam sesudah terapi dimulai, KGD tidak menunjukkan penurunan paling sedikit
20% dari KGD sebelumnya, maka jangan ragu-ragu untuk mengulangi pemberian insulin
secara bolus, dengan dosis yang sama atau lebih tinggi. Pada sebagian penderita ada yang
memerlukan insulin lebih tinggi.
Cara Intramuskuler
Cara ini cukup efektif, kecuali kalau pada penderita ditemukan adanya hipotensi atau syok.
Dosis awal diberikan 20 unit (anak 0,25 Unit/kg BB), intramuskuler. Selanjutnya dosis
berkisar antara 4-8 unit (anak, 0,1-0,15 Unit/kg BB), tergantung pada hasil pemeriksaan
KGD atau reduksi urine.

Substitusi Kalium
Pemberian kalium mungkin diperlukan, khususnya jika kadar K + darah < 4 mEq/I.
Umumnya diberikan 20-40 mEq/I dalam bentuk larutan KCl atau KH 2PO4. Defisit kalium
tubuh biasanya berkisar 4-6 mEq/Ikg BB. Substitusi kalium diberikan per-infus, 25ml
(25mEq/I) KCl dicampurkan pada larutan infus NaCl 0,9% atau maltosa 10% atau dekstrosa
5%.
Kadar K+ darah tidak menggambarkan keadaan defisit kalium intraseluler. Lakukan
pemantauan defisit K+ dengan rekaman EKG.
Penggantian defisit kalium ini tidak perlu semuanya diganti melalui infus. Jika kadar K +
darah telah mencapai 5 mEq/I, tidak perlu diberikan infus KCl. Biarkan tubuh memenuhi
sendiri kekurangan kalium yang ada.

Bikarbonat
Morris et al. (12) dari penelitiannya terhadap penderita KAD dengan pH darah antara 6,90 -
7,14 mendapatkan bahwa pemberian terapi bikarbonat tidak mempengaruhi hasil terapi.
Mereka juga menyimpulkan bahwa yang terpenting dalam mengatasi KAD adalah rehidrasi
dan pemberian insulin, bukan pemberian bikarbonat.
Jika diperlukan, pH darah < 7,0 atau kadar bikarbonat darah < 12 mEq/I dan penderita dalam
keadaan hipotensi dan syok, pemberian terapi pengganti bikarbonat harus hati-hati, karena
mengandung bahaya. Bahaya yang mungkin timbul adalah :
- peningkatan asidosis SSP, sedang didalam darah asidosis telah menurun. Keadaan ini
membawa resiko edema serebri. Normalisasi asidosis SSP umumnya tercapai setelah 6-
8 jam terapi;
- kecenderungan terjadinya hipokalemia;
- pergeseran disosiasi oksihemoglobin ke kiri sehingga ambilan oksigen oleh jaringan
terhambat, jadi dapat menambah hipoksia jaringan;
- dengan pemberian bikarbonat pH darah akan cepat normal, tetapi pCO 2 turun sehingga
mekanisme kompensasi hiperventilasi juga menghilang.
Tetapi pemberian bikarbonat juga bermanfaat, karena asidosis yang terjadi dapat
menyebabkan (1) resistensi insulun di jaringan parifer, (2) vasodilatasi parifer, sehingga
memperberat syok atau hipotensi, gangguan perfusi jaringan, (3) menurunkan kuat kontraksi
miokard, (4) predisposisi aritmia kordis, dan (5) menurunkan responsi vasa terhadap amin
presor.
Jika memang diperlukan penambahan biokarbonat, lakukan perhitungan defisit bikarbonat
dengan rumus :

Pedoman Pemberian Bikarbonat :

Defisit HCO3 = (25-HCO3) serum X BB (kg)


5
Tidak semua defisit bikarbonat harus dikoreksi sekaligus. Yang dikoreksi biasanya hanya
separuh keperluan, sisanya dikoreksi tubuh sendiri. Dosis infus bikarbonat (Meylon) 44-88
mEq/I, bila pH darah 6,90 7,00 (kadar bikarbonat 8 12 mEq/I); atau 132 mEq/I bila pH
darah < 6,90 dengan kecepatan pemberian 44 mEq/2 jam.

18
Antibiotika
Walau hasil kultur darah belum menunjukkan bukti adanya infeksi pada penderita, tidak ada
jeleknya diberikan antibiotika dalam kombinasi berikut :
- Sefalosporin dan surbenesilin;
- Sefalosporin dan amigdalosida;
- Sulbenisilin dosis tinggi, 3 dd 2 gram atau lebih, intravena;
- Sefalosporin dosis tinggi, 2-6 gram/hari;
- Ampisilina dengan dosis 3 dd 2 gram atau lebih, intravena.
Jika hasil pemeriksaan kultur darah dan tes sensitivitas antibiotika telah ada, terapi dengan
antibiotika yang sesuai dapat diberikan.

Ingat
Fungsi leukosit pada keadaan dengan KGD > 200 mg/dl, terganggu, baik dalam fungsi
pembasmian bakteri. Keadaan ini perlu antibiotika dosis tinggi.

Tabel 3-6. Pemantauan Terapi Koma Diabetik

Pemantauan Setiap
- EKG, TVS, tanda vital, kalau perlu tekanan arterial Intensif
- Nadi, tekanan darah, respirasi (bila diluar UPI) 30 menit
- Curah urine, auskultasi jantung dan paru 1 jam
- Kadar elektrolit serum, Hmt, EKG, KGD, keton dalam urine,
osmolalitas darah (hari pertama) 2 jam
- Ureum dan kreatinin; trombosit 4 jam
- Keseimbangan cairan, elektrolit, leukosit, amilase, kolesterol,
SGOT, SGPT, Alkali fosfatase, LDH, CKMB 24 jam
- KED, Albumin 7 Globulin, elektroforesis, golongan darah,
funduskopi, X-foto thoraks sekali saja

Pemantauan Terapi
Keberhasilan terapi KAD sebagian tergantung pada pengawasan penderita selama terapi.
Untuk itu, skema dalam Tabel 3-6 dapat dipakai sebagai pedoman.

Penatalaksanaan Fase 2
Batas yang disepakati antara fase 1 dan fase 2 KAD adalah perbaikan klinis dan KGD
sebesar 250 mg/dl. Bahaya yang mungkin timbul pada fase 2 adalah terjadinya serangan
hipokalemia dan hipoglikemia, tetapi dengan cara pemberian insulin dosis kecil bahaya
tersebut sangat sedikit (2).

Pengaturan Cairan dan Elektrolit


Pada fase 2 penderita telah sadar sehingga diberi minum sedikit-sedikit dan infus dengan
kecepatan yang lebih pelan (sekitar 30 tetes/menit), dengan dekstrosa 5 % atau Maltosa 10
%. Setiap pemberian cairan dekstose atau maltosa harus disertai pemberian insulin 4 unit,
Subkutan, untuk proses metabolisme intraseluler

Substitusi Kalium
Pada fase 2 ini mungkin masih memerlukan terapi substitusi kalium. Hipokalemia
merupakan predisposisi terjadinya aritmia kordis dan kematian mendadak.
Jika kadar kalium serum masih kurang dari 4mEq/I atau pada rekaman EKG menunjukkan
tanda adanya hipokalemia, berikan preparat kalium seperti pada fase 1. Jika kadarnya
anatara 4-5 mEq/I berikan preparat oral atau dengan air tomat atau kaldu 1-2 gelas/12 jam,
pisang atau lainnya.

Pemberian Insulin
Pada awal fase 2 pemberian insulin intravena atau intramuskuler masih diperlukan, sesuai
dengan kondisi penderita. Selanjutnya diberikan subkutan dengan dosis 4-6 unit, setipa 4-6
jam.

19
Diit Karbohidrat Kompleks
Pada fase 2 kepada penderita sudah boleh dimulai dengan pemberian diit cair atau bubur
kasar dalam bentuk karbohidrat kompleks.

Kepustakaan
Alberti, K.G..M/M. 1981 Diabetik emergencies. Med Internat 8:343-45.
......, Hockaday. T.D.R., & Turner, R.C. 1973 Small doses intramuscular insulin in the treatment of
diabetik coma. Lancet 2:515-19.
Asdie, A.H. 1987 Hiperglikemia & komplikasi akut diabetes mellitus. B.I Ked. 19(3):95-102.
Barnes, H.V. 1983 Diabetic ketoacidosis dalam spivak, J.L dan Bernes, H.V. (Eds.). Manual of
Clinical Problems in Internal Medicine. 3 rd ed. Asian edition, Little, brown & Co. Boston;
pp. 53-58.
Bergenstal, R.M. 1985 diabetic ketoacidosis; How to treat, when possible, prevent. Postgrad Med
77: 151-61.
Felts, P.W. 1983. Ketoacidosis. Med Clin N Amer 67:831-43.
Finebrg, S.E. & S.E. & Levin, R.M. 1977 Diabetic ketoacidosis and non-ketotic hyperosmolar
hyperglycemic coma dalam Cohen, A.S. Freidin, R.B. & Samuels, M.A. (Eds,.) Medical
Emergencies. Little, Brown & Co. Boston; pp.163-80.
Foster, D.W. & McGarry, J.D. 1983 The metabolic derangement and treatment of diabetic
ketoacidosis. N. Eng. J Med 309: 159-69.
Grosser, K.D. 1973 Akute endogene Vergiffungen (Stoffwechselkrises) dalam Gross, R., Grosser,
K.D., & Sieberth, H-G. (Eds) Der Intemistische Notfal. F.K. Sechattauer Verlag Stuttgart, pp.
364-77.
Johnston, D.G., & Alberti, K.G.M.M. 1980 Diabetic emergencies: Pratical aspect of the
management of diabetic ketoacidosis and diabetic during surgery. Clin Endocrinol Metab 9:
437-500
Lever, E & Jaspan, J.B. 1983 Sodium bicarbonate therapy in severe diabetic katoacidosis Ann
intern Med 105-836
NDDG 1979
Sperting M.A. 1984 Diabetic katoacidosis Pediat Clin N Amer 3: 591-610
WHO 1985 Diabetic Mellitus Techn ser 727 WHO Geneve

20
4. GAGAL GINJAL AKUT (GGA)

Definisi
Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah sindroma klinik dengan aneka macam sebab yang ditandai
oleh penurunan fungsi ginjal secara mendadak dengan penurunan filtrasi glomeruler (GFR),
oliguria (produksi urine < 400 ml/24 jam), dan retensi substansi yang berbahaya yang dalam
keadaan normal dikeluarkan lewat urine. Pada sebagaian kasus, diuresis tetap normal selama
pelangsungan penyakit (GGA non-oligurik, uremia non-oliguria). Kenaikan kreatinin serum
biasanya 0,5-1 mg/hari, sedang urea nitrogen (BUN) 10-20 mg/dl/hari. Kesembuhan
sempurna dapat terjadi, namun mortalitas masih sangat tinggi mencapai 40-60%.

Tabel 4-1. Etiologi Gagal Ginjal Akut

Azotamia Pra-renal
Hipovolemia (akibat perdarahan, diare, luka bakar dan lain sebagainya).
Vasodilitasi/Kenaikan permobilitas parifer (anafilaksis, sepsis, antihipertensi).
Resisntensi vasa ginjal meninggi (akibat anstesia, pembedahan, inhibitor
prostaglandin, sindroma hepatorenal) Penyakit Kardiovasa (gagal jantung kongestif,
infark miokard, emboli paru)
GGA Renal
Gangguan vasa ginjal (hipertensi maligna, emboli vasa, vaskulitas nekrotising,
purpura thrombositopenik trombotik, sindroma jemolitik-uremik)
Penyakit Glomeruler (glomerulonefritis akut pasca infeksi, proliferatif difusa, dan
prograsif cepat : lupus eritematosus sistemik; endokarditis infeksiosa).
Nekrosis tubuler Akut iskemia, agen nefrotoksik, seperti : aminoglokosida, bahan
kontras radiografi, metal , hidrokarbon, anestesis; rabdomiositis dengan
mioglobinuria.
Penyakit interstisial Inefritis alergika akibat antibiotika, diuretika, allopurinol,
rifamfisin, fenetyon, obat AINS.
GGA Pasca renal
Obstruksi ureter (fibrosis retroperitoneal, tumor retroperitoreal, striktura bilateral
pasca operasi atau radiasi, batu ureter bilateral)
Obstruksi uretra (BPH-benign prostaic hypertrophy, tumor prostat, striktur uretral)

Patofisologis, faktor utamanya adalah iskemia korteks ginjal, obstruksi tubulus, back leak
dari filtrat, penurunan koefisiensi ultrafiltrasi glomerulus. Etiologi dibedakan atas 3
kelompok penyebab, pre-renal, renal dan pasca renal (Tabel 4-1). Istilah GGA dan NTA
(nekrosis tubuler akut) sering digunakan sebagai sinonim. GGA sebenarnya adalah sindroma
klinis yang disebabkan oleh aneka macam kelainan yang ditandai oleh penurunan fungsi
ginjal secara akut, sedang NTA merupakan gagal ginjal akut yang disebabkan oleh gangguan
hemodinamik atau akibat nefrotoksik.
GGA renal disebabkan oleh penyakit ginjal primer, seperti : glomerulonefritis akut,
nefrosklerosis, hipertensi maligna; nefritis interstisialis akibat alergi terhadap obat
(ampisillin, furosemid, antiinflamasi non-steroid, dan sebagainya); Nekrosis Tubuler
Akut/Nefropati Vasomotor Akut dapat sebagai akibat lanjut dari GGA pra-renal, toksik
(aminoglikosid, merkuri dan sebagainya); iskemik-toksik misalnya pada mioglobinuria,
hemolisis intravaskuler, pigman, malaria, sepsis dan sebagainya.
GGA pasca-renal umumnya karena obstruksi alir urine batu ureter, hipertrofi prostat,
karsinoma, fibrosis retroperitoneal, sehingga tekanan intratubuler meningkat dan timbul
vasokonstriksi ginjal. Akibatnya terjadi penurunan GFR.

Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan urine dan darah
- Jumlah : Oliguria, curah urine < 400 ml/24 jam anuria, curah urine <
100 ml/24 jam
- Warna : Coklat kemerahan
- Berat Jenis : BJ menetap sekitar 1,010
- Osmolalitas : Sekitar 300-400 mOsm/L

21
- Kadar Na & Ureum : Na < 70 mEq/L, ureum < 160 mMol/L, Rasio kreatin
urine/plasma < 20/1

Pemeriksaan

Anamnesis
Anamnesis hendaknya ditujukan untuk mengetahui lamanya keluhan, adanya penyakit
penyerta atau yang mendahului, trauma yang baru terjadi, obat yang digunakan, atau
paparan terhadap bahan toksik.

Pemeriksaan Fisik
Status kardiovaskuler, pemeriksaan pelvis, rektum, kateterisasi untuk mengetahui ada
tidaknya volume urine rsidu.

Pemeriksaan Penunjang
Kimia darah dan urine seperti yang diatas
USG ginjal, IVP, jika perlu Arteriografi

Manajemen

Indikasi Rawat Inap di Rumah Sakit


Semua kasus GGA harus dirawat inap di rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk
menangani (adanmya mesin hemodialisis, setidak-tidaknya adanya fasilitas untuk peritoneal
dialisis).

Umum
- Cari dan atasi pra dan post-renal (keseimbangan cairan & elektrolit)
- Cari bukti-bukti adanya iskemia, nefrotoksin atau penyakit perenkim ginjal.
- Usahakan curah urine bertambah dengan pemberian cairan atau obat furosemid

Tabel 4-2. Diagnosis banding Gagal Ginjal Akut

Pra-renal Renal Pasca-renal


Albuminuria - + Bervariasi
Oliguira +++ +++ Bervariasi
Berat jenis urine > 1,020 1,010 1,012 Normal, piuri
Sedimen normal silinder epitel hematuri
Osmolaritas (mOsm/l > 400 Isosmotik
Osmolaritas (U/P) > 1,5 1 -1,5
Urine Na (Meq/I < 20 > 40
Kreatinin U/P > 30/1 < 20/1

Terapi Konservatif
- Lepas dauer kateter (bila terpasang)
- Catat masukan dan keluaran (balans) cairan
- Ukur berat badan setiap hari (kalau mungkin)
- Pembatasan cairan, 4000 ml + keluaran cairan sehari sebelumnya
- Nutrisi tinggi kalori (2500-3000 kalori/hari), dengan protein 30-40 g/hari, karbohidrat
minimal 100 g/hari; kalau perlu berikan nutrisi parenteral
- Lakukan perubahan dosis pengobatan kalau diperlukan
- Berikan pengikat fosfat
- Atasi hiperkalemia dan asidosis

Antibiotik profilaksi
Jika perlu

22
Khusus
Indikasi tindakan terapi aktif masih kontroversial, ada yang menganjurkan untuk dilakukan
sedini mungkin. Karena biaya relatif tinggi, sebaliknya baru dilakukan bila terapi
konservatif tidak berhasil.

Yang berikut disetujui untuk dilakukan dialisis :


- hiperkalemia, > 7 mEq/L, yang disertai arimia kordis yang tidak dapat diatasi dengan
obat-obat anti aritmia.
- Asidosis berat, pH < 7,1 atau CO2 < 5,0 mEq/L
- Kadar ureum > 200 mg/dl
- Hipervolemia, edema paru atau gagal jantung kongestif
- Perikarditis uremik
- Sindroma uremik berat
- Perdarahan gastrointestinal

Perawatan Intensif
Jika timbul kondisi gawat darurat (komplikasi)

Lama Perawatan
Umumnya sekitar 1 bulan

Lama Pemulihan
Bervariasi, 2 minggu

Output
Sembuh sempurna

Komplikasi
Hipervolemia, hipovolemia, hiperkalemia, asidosis metabolik, hipertensi, aritmia kordis,
kejang dan infeksi

Konsultasi yang diperlukan


Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Nefrologis
Spesialis Bedah Urologi

Daftar Pustaka
Adu, D. 1982 Acute renal failure, Med. Intermat, 1: 1079
Anderson, R.J. & Scrier, R.W. 1987 Acute renal failure dalam Braunwald, E. Issebacker, K.J.;
Petersdorf, R.G.; Wilson, J.D. martin, J.B. & Fauci, A.S. (Eds) Harrisons Principles of
Internal Medicine. 11th ed . McGraw-Hill International Editions. Health Profession Series,
New York, pp: 1149
Dowbom. J.K. 1986 Acute renalfaiture Med. Intermat 2:1309,4.
Finn, W.F. 1979 Acute renal faiture dalam Gootschalk, C.W. (Ed.). Strauss and Welts Diseases of
the Kidney. 3. Little Brown & Co. Boston. P. 179.

23
5. HEPATITIS VIRUS AKUT

Pandangan Umum
Hepatitis Virus Akut adalah infeksi sistemik yang terutama mengenai hepar (hati, liver0
disebabkan oleh 5 jenis virus, virus hepatitis A (HAV), hepatitis B (HBV) dua macam virus
Non-A Non B, satu macam ditularkan melalui darah (Hepatitis C), sedangkan yang lain
ditularkan lewat oral (Hepatitis E) dan hepatitis delta yang terkait HBV (Hepatitis D).

Walaupun kelima jenis virus dapat diidentifikasi, namun gejala klinisnya mirip satu dengan
yang lain, mulai dari yang tidak bergejala (asimptomatik) sampai dengan yang berat
(fulminant, acute yellow atrophy) yang umumnya fatal.

Ada pula kelompok pasien yang berjalan subklinis menjadi kronik dan dengan cepat
berakhir menjadi sirosis hati (cirhosis hepatis) bahkan ada yang berakhir dengan hepatoma
(lebih sering pada kelompok yang ditularkan kewat darah, HBV, non-A, non-B, dan delta).

Kelainan morfologis hepatitis virus berupa infiltrasi monosit (terutama limfosit, plasma sel,
sedikit eosinofil) panlobuler, nekrosis sel hati, hiperplasia sel kupffler, dan aneka tingkat
kolestasis.

Kerusakan sel hepar berupa degenerasi dan nekrosis sel hati, gelembung sel, degenerasi
asidofilik hepatoris (Councilman-like bodies). Sel besar tampak seperti kaca pada sitoplasma
terlihat pada bentuk kronik; sel ini berisi HbsAg. Bentuk berat ditandai dengan adanya
bridging hepatic necrosis, disebut pula nekrosis konfluen atau subakut.

Pemeriksaan imunofluoresensi atau imunoperoksidase digunakan untuk menentukan lokasi


HbsAg pada sitoplasma dan membran plasma, sedang HbcAg terutama di nukleus Antigen
delta terlihat di inti hepatosit, dan HAV di sitoplasma.

Epidemiologis hepatitis dijumpai di seluruh pelosok dunia, menyerang semua umur, kedua
jenis kelamin.
- Hepatitis A umum disebarkan melalui fekal-oral
- Hepatitis B melalui parenteral, namun HbsAg ditemukan pula di saliva, air mata, cairan
seminal, serebrospinal, asites, air susu ibu, cairan sinovia, caioran lambung, cairan
pleura, urine, bahkan dijumpai pula pada feses.
- Hepatitis delta endemik di Afrika Utara, Eropa Selatan dan Timur Tengah, dan ditularkan
lewat kontak fisik. Didaerah non endemik, hepatitis delta ditularkan lewat transfusi
darah berulang-ulang, terutama pada pengguna narkotik dan pasien hemofilia.
- Hepatitis non-A non-B (Hepatits C) terutama pada pasien yang mendapat pooled produk
darah, resikonya 0,3-9 kasus/1000 unit transfusi.
- Hepatitis E (enteric non-A non-B hepatitis) ditularkan lewat oral.

Gejala prodromal berupa anoreksia, nausea, vomitus, kelemahan badan, malaise, artralgia,
mialgia, nyeri kepala, fotopobia, faringitis, batuk, pilek, 1-2 minggu mendahului ikterus.
- Nausea, vomitus, dan anoreksia sering disertai gangguan penciuman dan rasa
pengecapan.
- Jika ikterus telah muncul, gejala prodromal biasanya menghilang. Hepar membesar dan
nyeri tekan, pada beberapa kasus menyerupai ikterus obstruktiva.
- Serum aminotransferase (AST dan ALT) meninggi, namun tidak ada korelasi linier
antara peninggian enzim tersebut dengan keparahan penyakit.
- Neutropenia, Limfopenia diikuti dengan limfositosis relatif, dengan limfosit atipik (2 -
20%) pada fase akut.
- Pemanjangan masa protrombin (PT. Prothrombine time) pada fase akut. Menunjukan
keparahan penyakit dan prognosis penyakit umumnya jelek.

24
HEPATITIS A

Definisi
Radang hati (heper) akibat infeksi virus hepatitis A (HAV) virus A termasuk famili
picomavirus, tidak beramplop kecil RNA simetris, resisten terhadap panas, asam dan eter,
dapat ditularkan lewat fekal oral.

Efidemiologi
Endemis diseluruh bagian dunia, namun tidak seluruhnya diketahui prevalensinya sebab
banyak yang asimptomatis dan anikterus. Di banyak negara industri prevalensinya menurun,
misalnya 42% penduduk AS menunjukkan antibodi anti-HAV, namun yang simptomatik
kurang dari 5%. Diduga karena perbaikan sanitasi. Di negara berkembang biasa dijumpai
pada anak.
Masa inkubasi 3-5 minggu dengan rerata 28 hari. Ditularkan fekal-oral, banyak dijumpai di
daerah kumuh. Tidak dijumpai adanya faktor resiko pada 40% populasi.
Replikasi virus di usus dan hanya sebentar saja terdapat dalam serum, sehingga transmisi per
enteral jarang.

Manifestasi Klinis
Infeksi pada anak usia 2 tahun kurang umumnya sangat ringan dengan gejala yang menimal.
Pada orang dewasa gejala dijumpai pada 76-97% kasus, biasanya didahului dengan gejala
yang tidak khas (lihat gejala prodromal di atas)

Timbul ikterus, urine seperti the, dan fases pucat. Ikterus umumnya berlangsung 1-2
minggu. Pada fase ini sulit membedakannya dengan jenis hepatitis yang lain. Penyembuhan
sekitar 2 bulan.

Diagnosis
Marker sirosis lgM-HAV dijumpai selama 45-50 hari setelah timbulnya gejala. Sebaiknya
dilakukan pada pemeriksaan marker hepatitis B.

Diagnosis Banding
Jenis hepatitis yang lain, ikterus hemolitika, dan ikterus obstruktiva. Reaksi obat.

Terapi
Pada saat timbul ikterus penumpahan virus telah berhenti, sehingga penderita tidak perlu
diisolasi. Pemberian imunoglobulin (Ig) dapat mencegah atau menghilangkan gejala :
- Profilaksis sebelum kontak
0,03ml/kg apabila bertempat tinggal di daerah endemik < 2 bulan
0,06 ml/kg jika berdiam lebih lama, diberikan setiap 5 bulan
profilaksis setelah kontak 0,03 ml/kg BB
untuk orang-orang yang resiko tinggi, perawat dsb.

Jangan diberikan rutin untuk mereka yang kontak hanya sebentar, seperti di sekolah, kantor
atau pabrik.
Vaksinasi HAV memberikan serokonversi 90-100% kasus.

Prognosis
Umumnya baik, tidak dijumpai adanya bentuk kronik atau resiko keganasan.

25
HEPATITIS B

Definis
Radang yang disebabkan double stranded virus DNA. Untuk replikasi virus memerlukan
enzim transkriptase.

Epidemiologi
Di negara Asia Tenggara infeksi diduga terjadi pada anak, dan 15-20% menjadi karier
HbsAg dalam serumnya. Di negara industri transmisi terjadi pada masa seksual aktif
sebagai penyakit STD (sexually transmitted disease), terutama pada pria homoseksual,
pemakai suntikan yang telah terkontaminasi, penyalahgunaan obat intravena. Cara penularan
berbeda antar negara. Masa inkubasi 4-26 minggu.

Manifestasi Klinis
Mirip dengan jenis yang lain. Gejala dan kelainan klinis lebih ringan pada anak (9% pada
balita) dibanding orang dewasa (33% pada usia > 30 tahun). Mungkin disertai gejala ekstra
hepatik berupa artralgia, kelainan kulit, dan anemio aplastik.

Diagnosis
Sirosis sudah memadai

Diagnosis banding
Jenis hepatitis yang lain

Tabel 5-1. Petanda Serologik Hepatitis

Petanda (markrt) Infeksi Akut/Kronik Masa Rekoveri Pasca Vaksinasi


HbsAG + - -
Anti-HBc + + -
Anti-HBs - + +

Terapi
Interferon alfa atau gama, terutama untuk bentuk kronik.

Prevalensi
Vaksinasi dengan rekombinan HbsAg. Calon yang perlu divaksinasi adalah merka yang :
- pekerja berkaitan dengan produk darah
- pengguna obat intravena yang HbsAG negatif
- bayi dari ibu dengan HbsAg positif
- berpergian ke daerah endemik
- orang yang dirawat di perawatan jompo
- orang yang suka melacur

Pasca Kontak
Tentukan status penerima dan donor, ada tidaknya HBV dan HIV. Berikan 5 ml HBlg kepada
penerima transfusi. Jika donor HbsAg positif dan penerima negatif, berikan iminusasi aktif
dengan HBsAG rekombinan dalam waktu 48 jam, interval 0,1 dan 3 bulan.

Responder Rendah
Terdapat pada 4 % populasi, 20 % pada usia > 60 tahun, 5 % pada kelompok homoseksual
atau sebagai akibat pemberian HBsAG.

26
HEPATITIS C
(HEPATITIS Non-A Non-B)

Definisi
Radang hati yang disebabkan oleh virus RNA single stranded yang termasuk famili
flavivirus. Bertanggung jawab dalam terjadinya hepatitis Non-A Non-B pasca transfusi.

Epidemiologi
Merupakan kasus hepatits pasca transfusi. Dulu disebut hepatitis non-A Non-B. Pada
30-50% kasus tidak diketahui rute infeksi. Biasanya sporadik. Transmisi perinatal belum
terbukti nyata. Transmisi seksual menunggu konfirmasi.
Faktor resiko diantaranya adalah :
- Sosial ekonomi/tingkat pendidikan rendah 3x
- Kontak seksual/rumah tangga 6x
- Ganti-ganti partner seksual 11x

Menifestasi Klinis
Pada seranga akut, gejala ringan, 75% kasus asimptomatik dan ikterus. Kasus fulminan
sangat jarang. Manifestasi ekstra hepatik diduga berkaitan dengan anemia aplastika.
Merupakan calon hepatitis kronik persisten.
Hampir 50% kasus menunjukkan gambaran klinis dan laboratoris hepatitis kronik. Pada
20% kasus menjadi sirosis hati dengan gejala ringan.

Diagnosis
Dengan penentuan anti-HVC, namun positif palsu tinggi. Jika positif perlu konfirmasi ke
laboratorium yang mempunyai fasilitas RIA dan test netralisasi, pemeriksaan fungsi hati.
Dijumpai genom yang berbeda untuk tiap daerah, HVC 1 dan HVC 2.

Diagnosis Banding
Bentuk hepatitis yang lain.

Terapi
Interferon rekombinan, namun angka relaps dan biaya tinggi. Rebavirin pada beberapa kasus
menunjukkan hasil yang mirip di atas.

Prognosis
Pada 50% kasus menjadi bentuk kronik. Pada 20% kasus menjadi sirosis hati. Diduga
berkaitan dengan hepatoma.

HEPATITIS D
(Hepatitis Delta)

Definisi
Radang hati yang disebabkan oleh virus RNA yang tidak lengkap dan memerlukan HBV
untuk dapat menimbulkan infeksi. Disebut pula hepatitis delta.

Epidemiologi
Terdapat bersama dengan infeksi HBV atau superinfeksi pada penderita yang terkena infeksi
HBV. Banyak dijumpai di Eropa Selatan Tengah. Di negara Barat berkaitan dengan penyalah
guna obat intravena.

Manifestasi Klinis
Jika ada koinfeksi dengan HBV, maka manifestasi klinisnya tertutupi oleh virus tersebut.
Pada bentuk superinfeksi dapat berupa kekambuhan atau pemberatan pada sirosis hati.
Jarang menimbulkan hepatitis fulminan.

27
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui diterminasi HDAg dengan ELISA. HDAg mungkin dijumpai
intermiten pada kasus kronik. Harus juga diperiksa kemungkinan adanya HIV, HbsAG, dan
VHC, terutama pada penyalah-guna obat intravena.

Diagnosis Banding
Bentuk hepatitis yang lain.

Terapi
Sedang dalam percobaan dengan interferon.

Prognosis
Jika berada bersama HbsAg cenderung menjadi sirosis hati. Memperberat perlangsungan
hepatitis B.

HEPATITIS E
(Entric Non A Non B Hepatitis)

Definisi
Radang hati disebabkan virus yang tidak beramplop. RNA single stranded. Hepatitis Non-
A Non-B yang transmisinya enterik.

Epidemiologi
Dapat timbul dalam bentuk epidemik maupun sporadik. Berkaitan dengan air minum yang
terkontaminasi. Virus dijumpai pada fases 28-45 hari setelah terinfeksi dan 9 hari sebelum
timbul gejala. Epidemi di Asia, Afrika, Amerika Tengah, diduga timbul setiap dua atau tiga
tahun. Mungkin berkaitan dengan virus Normwalk yang berkaitan dengan diare hebat.

Manifestasi Klinis
Malaise, anoreksia, nausea, vomitus, demam, nyeri kepala, pruritus, artralgia, ikterus, nyeri
perut kanan atas, urine seperti the, feses pucat.

Terapi
Terapi imunoglobulin, namun hasilnya belum dapat dipastikan.

Prognosis
Bagus, sembuh sempurna. Mortalitas mencapai 20% pada wanita hamil.

Tabel 5-2. Pola Serologi Hepatitis Virus

HBsAG Anti-HBs Anti-HBc HBeAg Anti-HBe Interpretasi


+ - IgM + - Infeksi HBV akut Infeksius
+ - IgG + - Infeksi HBV kronik Infeksius
+ - IgG - + Infeksi HBV subakut/kronik,
infektivitas rendah
+ + + +/- - 1. Salah satu tipe HbsAG dan
anti-HBs (heterotipe) biasa.
2. Proses serokonversi dari
HbsAG Anti-HBs (jarang)

- - IgM +/- +/- 1. Infeksi HBV akut


2. Jendela anti-HBe
- - IgG +/- +/- 1. Status karier HbsAg derajat
rendah
- + IgG - +/- 2. Pasca infeksi sudah lama
- + - - - Sembuh dari infeksi HBV
1. Pasca

28
Sumber
Dienstag JL. Wands JR. & Isselbacker KJ. 1991. Acuta Hepatitis dalam JD. Wilson, et al
(eds.) Harrisons Principles of Internal Medicine. 12 ed. McGraw-Hill Insc New York
Toronto. Pp1322-37.

Tabel 5-3. Pemeriksaan Serum Pasien Hepatitis Virus Akut

HBsAG IGM Anti-HAV IGM Anti-HBc Interpretasi


+ - + Hepatitis B akut
+ - - Hepatitis B kronik
+ + - Hepatitis B kronik superinfeksi Hepatitis
A.
+ + + Hepatitis akut A dan B
- + - Hepatitis A akut
- + + Hepatitis akut A dan B (HbsAG tidak
terdeteksi).
- - + Hepatitis B akut (HbsAG tidak terdeteksi).
Sesuai dengan Hepatitis non-A non B
- - -

Sumber :
Dienstag JL. Wands JR & Isselbacker Kj. 1991. Acute Hepatitis dalam JD. Wilson, et al
(eds.) Harrisons Principles of Internal Medicine. 12ed. McGraw-hill Inc. New York
Toronto. pp. 1322-37.

Diagnosis
Belum tersedia

Diagnosis banding
Jenis hepatitis yang lain

Kepustakaan
Dienstag JL. Wans JR. & Isselbacker KJ. 1991. Acute Hepatitis dalam JD. Wilson, et al (eds.)
Harrisons Principles Internal Medicine. 12ed . McGraw-Hill Inc. New York Toronto. pp
1322-37.

29
6. KRISIS HIPERTENSI

Definisi
Krisis hipertensi ditandai oleh kelainan progresif dari fungsi ginjal, dan otak pada penderita
hipertensi berat atau kenaikan mendadak tekanan darah diastolik, biasanya > 120 mmHg.
Angka kejadian krisis hipertensi berkisar antara 1-7 % dari kasus hipertensi. Krisis lebih
sering terjadi pada usia 40-60 tahun setelah menderita hipertensi 2-10 tahun. Keadaan yang
sering kali berkaitan dengan krisis hipertensi adalah hipertensi esensial pielonefritis kronik,
dan glomerulonefritis.

Pada penderita usia muda (dibawah 30 tahun) pielonefritis kronik dan glomerolunefritis
lebih sering sebagai penyebab. Keadaan lain yang berkaitan dengan krisis hipertensi ini
adalah lupus eritematosus sistemik, skleroderma, poliarteritis nadosa, stenosis arteri renalis
unilateral, trombosis atau emboli, toksemia gravidarum, pasca radiasi area ginjal,
aldosteronisme primer, hiperadrenokortisisme, feokromositoma, tumor ginjal dengan produk
ektopik rentin, dan minum efedrina, amfetamina, atau makanan kaya tiramina bagi penderita
yang sedang minum obat penghambat monoamina oksidase (MAO inhibitor).

Klasifikasi
Joint National Committe on Detection, Evaluation of High Blood Pressure membedakan
krisis hipertensi menjadi dua keadaan, yaitu hipertensi gawat darurat (hypertensive
emergency) dan hipertensi gawat (hypertensive urgency)

Hipertensi Gawat Darurat


Hipertensi Ensefalopati adalah sindroma klinis akut reversibel sebagai akibat kenaikan
tekanan darah secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat terjadi pada orang normal (normo-tensif)
yang oleh sesuatu sebab tekanan darahnya mendadak naik menjadi, mis. 160/100 mmHg.
Pada penderita hipertensi kronik kedaan ini mungkin tidak terjadi walau tekanan darahnya
mencapai 225 mmHg. Disebutkan bahwa terdapat autoregulasi di otak. Aliran darah di otak
berjalan dengan baik jika tekanan darah arterial rerata (mean arterial blood pressur)
berkisar antara 60-120 mmHg, sedang pada penderita hipertensi kronik tekanan arterial ini
bergeser kekanan. Jika tekanan darah arterial rerata melampaui nilai ambang autoregulasi
otak, maka akan terjadi hiperfusi dan kebocoran cairan ke jaringan otak sehingga timbul
gejala ensefalopati.

Hipertensi Maligna Berat Dengan Komplikasi disfungsi Organ sasaran


Keadaan ini disebut pula sebagai hipertensi akselerasi (accelerated hypertension). Tekanan
darah yang tinggi > 200/130 mmHg akan mengakibatkan arteriolitis nekrotik di organ
sasaran (ginjal dan otak). Terjadi Kerusakan arteriole yang progresif yang dapat berakibat
nefrosklerosis dan retinopati berupa perdarahan dan eksudasi (KW III), dengan atau tanpa
edema papil (KW IV). Termasuk dalam ketegori ini adalah :
- gagal jantung kiri akut disertai edema paru,
- infark miokard akut atau angina pektoris, unstable,
- aneurisma aorta disekans (disecting aortic aneurysme)
- gangguan pembuluh darah otak (GDPO)
- gagal ginjal progresif
- eklampsia atau hipertensi berat pada kehamilan disertai distres fetal,
- trauma kepala
- luka bakar luas.

30
Tabel 6-1. Gambaran Klinis Hipertensi Gawat Darurat

Tekanan darah : Biasanya tekanan darah diastolik > 130 mmHg


Funduskopi : Perdarahan eksudat, dengan/tanpa edema papit
Status : Sakit kepala, bingung, somnolen, stupor, visus menurun defisit lokal,
Neurologis kejang, koma
: Iktus nyata, hipertrofi, gagal jantung
Jantung : Oliguria, azotemia
Ginjal : Mual, muntah
Gastrointestinal

Hipertensi Gawat
Tekanan darah tinggi disertai disfungsi organ saaran, akan tetapi potensial menyebabkan
komplikasi kerusakan organ sasaran. Oleh karena itu, tekanan harus diturunkan secepatnya
(24 jam). Termasuk dalam katagori ini adalah :
- Hipertensi maligna (accelerated hypertension)
- Hipertensi perioperatif
- Feokromositoma dan sindroma withdrawal akibat penghentian obat anthipertensi yang
mendadak
- Infark otak aterotrombotik dengan hipertensi berat

Manifestasi Klinis
Kelainan ginjal, mata, dan susunan saraf pusat mungkin mencolok, akan tetapi perubahan-
perubahan pada ketiga organ ini biasanya terlihat selama perjalanan penyakit. Tekanan
darah pada umumnya menetap tetapi dapat pula sangat berfluktuasi. Tekanan darah diastolik
yang lebih besar dari 120 mmHG sama sekali tidak menunjukkan atau mengarah akan
kemungkinan adanya krisis hipertensi. Diagnosis krisis hipertensi harus ditafsirkan melalui
gejala dan tanda klinis yang ada.
Perubahan awal dari mata dapat berupa eksudat lunak, perdarahan dan atau edema papil.
Edema papil merupakan komponen yang bervariasi terutama pada mereka yang perjalanan
penyakitnya akut dan pelan-pelan, akan tetapi pada mereka yang perjalannya akut dan
progresif, edema papil mungkin tidak dijumpai. Edema papil biasanya diikuti oleh
neuroretinitis, tatapi dapat pula dijumpai sendirian.

Bermacam tingkat kebutaan dapat dijumpai, dan dapat dipulihkan dengan terapi yang sesuai.
Tetapi harus pula diketahui bahwa perubahan mata mungkin tetap berlanjut sampai beberapa
minggu setelah tekanan darah terkontrol. Nekrosis fibrinoid arteriola dengan kebocoran
plasma, kesekitarnya menimbulkan eksudat cotton wool perdarahan bentuk nyala api akibat
pecahnya pembuluh darah. Edema papil dapat timbul akibat edema serebri lokal atau
menyeluruh. Kebutaan sebagai akibat neuroretinitis dan atau spasmearteria obliteratif berat.

Hipertensi ensefalopati mungkin timbul mendadak atau pelan-pelan dan biasanya didahului
atau disertai nyeri kepala berat. Manifestasi neuroiogik bervariasi, tetapi biasanya berakhir
dengan kejang dan koma. Kelainan petologik primer yang mendasarinya adalah emboli
kecil multipel di otak yang berkaitan dengan edoma serebri. Proses ini terjadi akibat
vasokontriksi yang menyertai tekanan darah yang meninggi Vasokontriksi arteri di otak
lebih ringan dibandingkan vasa perifer, tetapi ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan
kapiler di otak dan edema.

Hipertensi ensefalopati sering sulit dibedakan dengan edema paru pada penderita dengan
hipertensi atau ansietas dengan peninggian tekanan darah yang sementara saja. Perubahan
neuro-psikiatrik dari ketiga macam penyakit ini sangat mirip. Hipertensi-ansefalopati
dijumpai pada beberapa kasus loksemia grevidanum dan pada anak atau remaja dengan
nefritis akut walaupun tekanan darah sekitar 140/90 mmHg, karena tekanan darah pada
kelompok umur ini mungkin sudah menunjukkan peninggian tekanan diastolik 30-50
mmHg.

31
Gagal ginjal seringkali ada dan mungkin mendominasi gambaran klinis krisis hipertensi.
Gambaran patologinya berupa nekrosis fibrinoid dan endarteritis artericole glomerulus dan
arteri interlobuler ginjal. Akibatnya akan timbul iskernia dan nekrosis glomeruli dan timbul
gagal ginjal. Selain dari itu, kelainan lain pada ginjal mungkin tampak, misalnya
pielonefritis kronik. Krisis hipertensi mungkin timbul mendadak sebagai gagal ginjal akut
(GGA) oliguria dengan atau tanpa ensefalopati. Hanya sekitar 40% kasus menunjukkan
edema papil, tetapi hampir 50% menunjukkan perdarahan dan/atau eksudat.

Krisis hepertensi harus selalu dipikirkan jika menegakkan diagnosis GGA akibat vaskulitis
akut, glomerolunefritis, atau ATN (acute tubular necrosis). Uremia progresif merupakan 30-
60% kematian akibat hipertensi maligna. Dan telah nyata bahwa akan sangat bermanfaat
terhadap penderita demikian bila tekanan darah diasoliknya diturunkan menjadi sekitar 90-
100 mmHg. Dengan menurunkan tekanan darah akan memperbaiki iskernia dan akan
diikuti dengan perbaikan fungsi ginjal, walaupun pada beberapa keadaan fungsi ginjal akan
tampak memberat pada saat penurunan tekanan darah. Fungsi ginjal umumnya akan
membaik beberapa minggu atau bulan berikutnya.

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan darah secepat dan seaman
mungkin. Penurunan tekanan darah secara cepat mengandung resiko hipoparlusi otak.
Dianjurkan agar penurunan tekanan darah diastolik jangan kurang dari 110 mmHg.
Kelompok penderita hipertensi gawat darurat memerlukan rawat inap di rumah sakit, sedang
hipertensi gawat boleh dilakukan di luar rumah sakit. Evaluasi awal penderita hipertensi
gawat darurat dan hipertensi gawat disajikan dalam Tabel 6-2.

Tabel 6-2. Evaluasi Hipertensi Gawat Darurat dan Hipertensi Gawat

Anamnesis
- Riwayat hipertensi dan obat yang digunakan
- Masukan obat simpatomimetik atau vasopresor
- Gejala serebrat, kardiovasa dan gangguan visus
Pemeriksaan Fisik
- Tekanan darah
- Funduskopi
- Status neurologis
- Status cardiorespirasi
- Status hidrasi
Pemeriksaan Penunjang
- Humatokrit dan pn darah apus
- Urinalisis
- Kadar kreatinin, glukosa darah, elektrolit
- X foto thorax
- EKG

- Furosemid 40 mg intravena
- Nitropusida Natrium
Dosis diberikan 0,5-1,5 ug/kg BB/menit. Aksi kerjanya sangat cepat, namun
memerlukan pemantauan tekanan darah sepanjang pemberian.
- Hidralazina (MAO inhibitor)
Efekbya memperkuat vasodilator dari epinefrin dan isorpterenol
- Nitrogliserina
- Kombinasi Fantolamina dan propranolol
- Reserpin
Efeknya tidak menentu, dosis 1 mg intramuskuler, diulang dengan dosis dua kali dalam
4 jam setelah pemberian pertama jika belum diperoleh hasil yang diinginkan.
Dosis maksimal sekali beri 10 mg, dosis sehari 20 mg.

32
- Klonidin
Pemberian Intravena, pada awalnya menaikkan tekanan darah (dapat dicegah dengan
pemberian fentolemina, 5 menit sebelum injeksi atau dengan jalan diencerkan) :
Intravena
Klonidin 150 g (1 ampul) dilarutkan dalam 10 ml larutan glukosa 5%,
disuntikkan pelan-pelan (5 menit). Lakukan pengukuran tekanan darah setiap 10
menit. Efek puncak dicapai 30-60 menit setelah pemberian. Jika setelah 40
menit tekanan diastolik masih > 120 mmHg, pemberian klonidin dapat diulangi.
Bila tetap tidak memuaskan boleh diberikan dalam bentuk infus.
Infus
Diberikan dengan dosisi 0,9-1,05 ml Dextrose 5%. Kecepatan infus disesuaikan
dengan respon penurunan tekanan darah diastolik yang dikehendaki.
Intramuskuler
Jika diberikan intramuskuler penurunan tekanan darah terjadi pelan-pelan,
berlangsung sekitar 4 jam. Dosis maksimal sehari 1200 g.
- Diazoxida
Daya kerjanya langsung pada otot polos menyebabkan vasodilatasi. Sangat efektif
sebagai obat antipertensi, namun tidak boleh diberikan kepada penderita dengan edema
paru, aneurisma aorta disekans, koarktasi aorta dan perdarahan intraserebral. Dosis
150 mg diberikan intravena dalam 30 detik (bolus, didahului pemberian furosemida 40
mg intravena), atau dengan infus 300-450 mg (mg/kg BB) dengan kecepatan 15
mg/menit, selama 20-30 menit. Efek hipotensinya berlangsung 4-12 jam.

Kepustakaan
Ferguson, R.K. and Vlases, P.H. 1986 Hypertensive emergencies and urgencies. JAMA SEA
November : 41:7
Fennrty, F.A. Jr. 1972 Hypertensive encephalopathy Am.J. Med. 52:672-5
JNC 1988 The 1988 Report of the Joint National Commite on Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure, Arch Intern Med 148 : 1023-38
Kaplan, MN 1990 Clinical Hypertension th ed. Williams & Wikins baltimore, pp. 268-82.
Lowenthal, D.T. 1979 The pharmacologic approach hypertencive crisis dalam Coodley, E.L.; Oaks,
Major, D.A. & Bhradwaja, K. (Eds.) Internal Medicine Update 1979-1980. Grune & Stratton
Inc. New York, pp.
WHO 1978 Arterial Hypertension. Report of a WHO Expert Committee. MI Tech Rep Ser 628
WHO Geneve.

33
7. KRISIS TIROID

Definisi
Krisis tiroid (krisis hipertiroid, thyrotoxic crisis, thyroid storm) merupakansindroma klinis.
Gawat darurat medis yang ditandai oleh agregasi manisfestasi hipertiroidisme
(tiroroksikosis) berupa demam, gejala kardiovasa, gastrointestinal, dan saraf sentral yang
menjolok. Penampilannya dalam klinik sangat bepariasi. Keparahan klinis juga sangat
berpariasi, mulai dari yang berupa febris pasca tiroidektomi sub-total,hipotensi,atau koma
yang dapat berakhir dengan kematian penderita (Tabel 7-1). Naudzubillahi mindzalik.

Tabel 7-1. Menifestasi Klinis krisis Tiroid

- Hiperpireksia
- Gangguan kardidiovasa
gagal jantung kongestik, aritmia kordis, takikardia
- Gangguan Gastrointestinal
muntah, diare
- Gangguan neurologis
agitasi, gelisah, delirium, apatis, miopati, stupor, sopor, koma

Etiopatogenesis
Krisis tiroid dapat timbul akibat tidak tepatnya terapi pada penderita dengan penyakit
Graves, atau penyakit hipertiroidisme pada umumnya.
Patogenesis krisis tiroid belum seluruhnya jelas. Peninggian kadar hormon tiroid pasca
penghentian terapi yod, palpasi kelenjar tiroid, anestesi dengan eter, atau pasca terapi yod-
radioaktif. Penurunan protein ikat tiroksina, pra-albumin, meningkat pasca bedah atau stres
lainnya yang dapat meningkatkan kadar tiroksina bebas dalam darah.
Produksi panas badan tidak dapat lagi dikompensasi dengan vasodilatasi dan diaforesis.
Overproduksi panas badan ini diduga akibat peningkatan lipolisis. Efek lipolisis
kotekolamina diperkuat oleh hormon tiroksina atau hormon tiroksina mempunyai efek
langsung terhadap jaringan lemak. Peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak berakibat
peningkatan pemecahan ATP sebagai tenaga untuk reesterifikasi. Hal ini merupakan
penyebab peningkatan konsumsi oksigen dan termogenesis pada krisis tiroid.

Manifestasi Klinis
Krisis tiroid merupakan agregasi hipertiroidisme yang berupa : hipermatabolisme,
peninggian suhu badan (hiperpireksia) sampai 41 C, kulit hangat, kemerahan, banyak
keringat; kelainan kardiovasa berupa takikardia yang tidak proporsional dengan peninggian
suhu badan, aritmia supraventrikuler, takiaritmia, atau gagal jantung kongestif; gangguan
gastrointestinal berupa mual, muntah, diare (defekasi frekuen), hepatomegali yang mungkin
disertai gangguan fungsi hari dan ikterus; gangguan susunan saraf pusat (SSP) berupa
gelisah, tremor, labilitas psikis, psikosis, dan berlanjut menjadi apatis, stupor, sopor dan
koma.

Diagnosis
Jika dijumpai gambaran hipertiroidisme akan memudahkan diagnosis, terutama jika ditemui
adanya aftalmopati, dermopati, struma, gerakan hiperaktif dan takikardia. Jika ada
kecerugian ke arah krisis tiroid, segera lakukan pemeriksaan penunjang yang meliputi kadar
T4, T3, kolesterol total, ureum, tes fungsi hati, kultur darah.

34
Diagnosis Diferensial
Ansietas

Tabel 7-2. Terapi Krisis Tiroid

1. Obat Antitiroid
a. Propilitiourasil (PTU), 4-6 dd 200 mg, per-oral, atau
b. Metimazol (neomercazol), 4-6 dd 20 mg, per-oral
2. Kontrol sekresi Hormon Tiroid
a. Solutio Lugoli, 30 tetes/hari
b. Natrium yodida, 1 gram, intravena, tiap 8 jam, pelan-pelan
3. Mengatasi efek Matobolik Hormon Tiroid
a. Propranelol (Inderal, beta-blok), 4-6 dd 1-2 mg, intravena atau 3-6 dd 20 mg,
per-oral
b. Reserpin, 4-6 dd 1,0-2,5 mg, intramuskuler
c. Sulfas guanetidina, 50-15- mg/hari, per-oral
4. Terapi Bantuan Uum
a. Cairan dextrosa, elektrolit dan vitamin
b. Kompres dingin, kipas angin atau matras dingin
c. Hidrokortisona, 200-300 mg/hari, intravena
d. Digitalisasi, sedativa, antibiotika sesuai dengan keperluan

Petalaksanaan
Sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium, terapi sudah dapat dimulai. Tetapi
ditujukan untuk menghambat sintesis dan sekresi hormon tiroid; mengatasi efek metabolik
hormon tiroid yang telah beredar dalam sirkulasi; mencari dan mengobati faktor pencetus,
seperti infeksi atau lainnya dan memberikan terapi suportif umum yang diperlukan
(Tabel 7-2)

Obat Antitiroid
Obat antitiroid harus segera diberikan dengan dosis yang cukup tinggi, seperti propiltiourasil
(PTU), 4-6 kali sehari 200 mg, per-oral; atau matimazol (Neomercazol), 4-6 kali 20 mg/hari.
Biasanya efek obat sudah terlihat 1 jam pasca pemberian. PTU mempunyai efek perifer,
mencegah deyodinisasi tiroksina perifer, yang dengan demikian kadar T3 perifer akan
menurun.

Yodida
Sebaiknya preparat yodium diberikan 1 jam sesudah pemberian PTU, untuk menghindari
resiko makin meningginya produksi hormon tiroid. Yodida dapat dengan cepat menghambat
pelepasan hormon tiroid dari kelenjar tiroid. Preparat yang diberikan umumnya solutio
Lugoli (pekat) 30 tetes sehari, per-oral, atau dengan Natrium Yodida, 1 gram, intravena
pelan-pelan, setiap 8 jam.

Mengatasi Efek Perifer Hormon Tiroid


Untuk mengatasi efek hormon tiroid yang telah beredar didalam sirkulasi darah pemberian
preparat beta blocker atau obat yang dapat menetralkan efek katekolamina di perifer dapat
menolong. Walaupun hubungan antara tiroksina dan katekolamina belumjelas, tetapi banyak
gejala dan tanda hipertiroidisme yang mirip dengan atau diperberat oleh katekolamina.
Pemberian reserpin, 1,0-2,5 mg diberikan intramuskuler, setiap 4-6 jam, dapat memperbaiki
keadaan penderita dalam 4-8 jam kemudian.

Propranolol (InderalR) dengan dosis 1-2 mg/kg BB, intravena pelan-pelan, efektif dalam
mengatasi kelainan kardiovasa, seperti takikardia, takiaritmia; dan manifestasi psikomotor
dari hipertirodisme, tremor, banyak keringat, menurunkan mortalitas usus dan menurunkan
konsumsi oksigen jaringan. Dosis yang diberikan bisa mencapai 240-320 mg sehari,
terutama pada usia muda. Efek propranolol dapat bertahan selama 4 jam (parenteral) atau 8
jam (per-oral). Walaupun toleransi terhadap propranolol umumnya baik, pemberiannya harus
hati-hati terutama pada mereka yang menunjukkan gagal jantung kongestif atau asma
bronkial. Pada manusia sebaiknya diberikan obat reserpina atau sulfas guanetidina. Ada
35
yang melaporkan pemberian propranolol dapat menyebabkan kerusakan permanen pada
miokard kasus hipertiroidisme.
Sulfas guanetidina dengan dosis 50-150 mg, per-oral, efektif selama 24 jam, tetapi efeknya
baru tercapai setelah beberapa hari pemakaian.

Terapi Bantuan Umum


Hipertermia harus segera diatasi dengan kompres dingin (ice-packs), kipas angin atau
selimut dingin. Hipertermia jangan diobati dengan preparat aspirin, karena obat ini dapat
menaikkan kadar T4 dsan T3 di perifer samapi 100 200% dari kadar sebelumnya. Adanya
dehidrasi dapat diatasi dengan pemberian cairan infus (Tabel 7-3) yang sekaligus dapat
dipakai untuk gangguan elektrolit yang ada, akibat muntah dan diare.

Preparat kortikosteroid, hidrokortisona 200-300 mg dalam cairan infus diberikan selama 4-6
hari, kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan. Preparat ini diberikan karena pada
keadaan hipertiroidisme berat, akan disertai defisiensi adrenal relatif, sehingga dapat
memperjelek penderita.

Terafi suportif lainnya seperti, sedativa, antibiotika diberikan sesuai dengan keperluan.
Antibiotika sebaiknya diberikan dalam bentuk spektrum luas. Sebaiknya diberikan pula
vitamin B kompleks dan vitamin C 1000 mg/Hari.

Tabel 7-3. Terafi infus pada krisis Tiroid

1. Laevulosa 10% (20%) 1500 ml/hari


2. Triofusin E, atau PE 900 1000 ml/hari
3. Dextrose 5% atau Ringer dextrose
4. Maltosa (Martosa 10%)
5. AminoFusin TPN. Aminovel 600 500 ml/hari
6. Plasma ekspanda<Dextran L

Jika dengan terapi konservatif diatas 12-24 jam, belum ada perbaikan, dapat dilakukan
dialisis peritonial. Diharapkan dengan cara ini tiroksina dapat dikurangi lewat cairan dialisat
60-80% dari kadar semula. Insyaa allah.

Kepustakaan
Groser, K-D.1973 Akutew endogene Vergiftungen dalam Groos, R; Grosser,K-D. Sieberth, H-G.
(Eds.) Der Intemisticxhe Notfall. F.K. Schattauer Verlag, Stuttgart, pp. 387-403.
Levin R.M. 1977 Diagnosis and management of endocrine emergencies daam Cohen. A.S; Feidin,
R.B. & Samuels, M.A. (Eds.). Medical Emergencies Little, Brown & Co. Boston, 149- 62.

36
8. SYOK (RENJATAN)
Definisi
Syok adalah sindroma klinis gawat darurat akibat adanya insufisiensi sirkulasi yang
disebabkan oleh aneka macam penyebab. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan
ketidakcukupan aliran darah di tingkat mikrosirkulasi jaringan sehingga perfusi jaringan
menjadi rendah, timbul gangguan metabolisme dan keseimbangan hemodinamik. Perfusi
jaringan yang rendah menyebabkan hipoksia sel dan gangguan pembuangan hasil
metabolisme. Hasil akhir dari proses ini dapat menyebabkan gangguan pada tingkat seluler
atau kematian sel jaringan.

Syok timbul jika terjadi gangguan pada salah satu sistem sirkulasi, yaitu (1) jantung yang
berfungsi sebagai pompa (2) resistensi saluran darah, dan (3) volume darah sirkulasi. Jika
oleh sesuatu sebab kemampuan jantung untuk memompa darah untuk mencukupi kebutuhan
jaringan menurun (kardiogenik), atau oleh karena volume darah yang rendah (hipovolemia)
atau karena sesuatu sebab resistensi pembuluh darah meninggi atau menurun sehingga
volume darah yang kembali ke jantung menurun (distribusi), maka dapat timbul sindrom
syok.

Menurut patofisiologinya, syok dibedakan menjadi tiga fase, yaitu : fase kompensasi, fase
progresif, dan fase ineversibel. Progresifitas fase ini tergantung pada penyebab yang
mendasari. Pada fase kompensasi, penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi
sedemikian rupa sehingha timbul gangguan perfusi jaringan terapi belum cukup untuk
menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi
untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet, dan penurunan aliran darah
ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi
dan menaikan volume darah dengaa konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi
adanya penurunan kadar O2 didaerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi
peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikan curah jantung, dan
meningkatkan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveoler. Walau aliran darah keginjal
juga menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan
fitrasi glomeruder. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka fitrasi glomuruder juga
menurun.

Fase progresif terjadi jika tekanan darah arterial tidak lagi mampu mengkonpensasi
kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi
mencukupi, sehingga terjadi gangguan seluler diseluruh tubuh. Pada saat tekanan darah
alteri menurun, aliran darah menurun, hipoksi jaringan bertambah nyata, gangguan seluler,
metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.

Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonsitriksi sehingga terjadi
bendungan vena, vena balik (venous retum) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti
dengan aliran darah kejaringan tetapi tidak kembali kejantung. Peristiwa ini dapat
menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas
(disseminated interavascular coagulation ) atau KID.

Menurunnya aliran darah ke otak menybabkan kerusakan pusat vasemotor dan respirasi di
otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan
terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) Yang ikut
memperjelek syok(vasodiltasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus
menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke
sirkulasi.

Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul
sepsis, KID bertambah nyata, integritas sistem retikuloendotelia rusak, integritas mikro
sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolismedari
erobik menjadi anerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam
laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.

37
Fase selanjutnya disebut fase Ireversibel karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian
luas sehingga tidak dapat diperbaiki.Kerusakan O2 mempercepat timbulnya ireversibilitas
syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup,
paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia
dan hiperkarbia muncul dan innaa lillaahi wa innaa ilaihi rajiun menjadi kenyataan.

Kriteria Diagnosis
- Penurunan tekanan darah sistolik > 30 mmHg
- Tanda perfusi jaringan kurang
- Takikardia, pulsus lemah

Pemeriksaan

Anamnesis
- Penderita mungkin tidak bisa diwawancara, sehingga riwayat sakit mungkin hanya
didapatkan dari keluarga/teman dekat atau orang yang mengetahui kejadiannya.

Pemeriksaan Fisik
- Kulit
suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu
syok berlanjut terjadi hipovolemia)
warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok
hemoragi terminal)
basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik)
- Tekanan Darah
Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHG (lebih tinggi pada penderita yang
sebelumnya mengidap hipertensi; normal atau meninggi pada awal syok septik)
- Status Jantung
akikardia, pulsus lemah dan sulit diraba (pada syok septik mungkin seler, pada fase
ireversibel, lambat dan tidak teratur)
- Status Respirasi
Respirasi meningkat dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat
(pada septik syok respirasi meningkat jika kondisi menjelek)
- Status Mental
gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan
kesadaran menurun, gelisah, orientasi sekitar menurun, sopor;
koma
- Fungsi Ginjal
Oliguria, anuria (curah urine < 30 ml/jam, kritis)
- Fungsi Metabolik
asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai
alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui)
alkalosis respirasi akibat takipnea
- Sirkulasi
tekanan vena sentral, PAWP (pulmonary arterial wedge pressure) dan LVEDP (left
ventricular end diastolic pressure)
menurun pada syok hipovelemik
meninggi pada syok kardiogenik
- Keseimbangan Asam Basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea; penurunan
pO2 karena adanya aliran pintas di paru)

Pemeriksaan Penunjang
- Darah (Hb, Hmt, jumlah leukosit, golongan darah) kadar elektrolit, kadar ureum,
kreatinin, glukosa darah;
- Analisis gas darah;
- Kultur darah dan tes sensitivitas;
- Pemeriksaan EKG dan enzim jantung (AST, CK-MB, HBDH, LDH)
38
- Keteterisasi jantung untuk mengukur PAWP dan LVEDP sesuai keperluan.

39
Diagnosis Banding
- Semua jenis syok
- Sinkope
- Histeria

Manajemen
- Memerlukan Tim yang tangguh, terlatih, dan kerjasama harmonis
- Tujuan manajemen syok adalah :
Memperbaiki atau menaikkan curah jantung agar memenuhi kebutuhan jaringan
Memperbaiki distribusi darah jika curah jantung tidak dapat ditingkatkan dengan
baik
Mempertahankan tekanan darah agar perfusi jaringan otak, jantung dan fitrasi
glomeruler tetap terjamin

Indikasi Rawat Inap di Rumah Sakit


Semua jenis syok memerlukan rawat inap dan intensif

Umum
- Mencari penyebab syok
- Jalan nafas terbuka, ventilasi cukup (mungkin diperlukan intubasi endotrakheal,
trakheostomi, dan/atau bantuan ventilasi) pasang topeng O2, berikan 4 liter/menit
- Sirkulasi
- Restorasi volume darah dengan pengganti plasma (mannitol), darah PRC, atau cairan
lainnya sesuai kebutuhan
- Hentikan perdarahan yang terjadi
- Pantau tekanan vena sentral dan PAWP
- Ukur tekanan darah sesering mungkin
- Takar curah urine (pertahankan curah urine > 30 ml/jam)
- Pengawasan intensif selama pemberian cairan

Khusus
- Obat Farmakologik
Tergantung penyebab yang mendasari syok
Vasopresor (kontraindikasi untuk syok hipovolemik)
Vasodilator

Perawatan Intensif
Semua bentuk syok memerlukan rawat intensif

Lama Perawatan
Bervariasi

Output
- Sembuh sempurna
- Mati

Komplikasi
- Depresi miokard
- Shock lung
- Gagal ginjal akut
- Hipertensi pasca resusitasi

Konsultasi yang Diperlukan


- Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Kardiologis
- Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropis
- Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Endokrin Metabolik
- Spesialis Anestesi

40
Macam-macam Syok
Tergantung kausa yang mendasari terjadinya syok, secara klinis syok dibedakan menjadi
beberapa golongan (Tabel 8-1)

Tabel 8-1. Kausa Syok

Hipovolemia Kardlovasa
Perdarahan Infark miokard
Dehidrasi Gagal jantung parah
- Muntah dan diare Aritmia
- Diuretika Stenosis aorta dengan gagal jantung
- Diabetes (melitus atau insipidus) Insufisiensi katup aorta atau mitral akut
- Gangguan masukan air Emboli paru masif
Luka bakar parah Tampodane kordis
Kelainan internal Aneurisma aorta disekans
(pankreatis, nasites, obstruksi usus)

Jarang dijumpai (tidak terduga) Tonus vasa menghilang


Penyakit Adison Sepsis
Mixedema Trauma sumsum tulang belakang
Overdosis obat
Sumber : Braunwald & Williams (1987)

SYOK HIPOVOLEMIK

Definisi
Syok hipovolemik adalah syok yang disebabkan oleh penurunan volume darah sirkulasi
yang biasanya disebabkan perdarahan atau kehilangan plasma (luka bakar), atau cairan
bebas-protein dan kehilangan elektrolit (ketoasidosis diabetik atau dehidrasi akibat diare dan
vomitus) yang kesemuanya akan berakibat penurunan vena balik (venous retum) dan
penurunan curah jantung. Akan tetapi dapat pula disebabkan oleh keadaan lain, seperti
anofilaksis, krisis Addison, hipopituitasme dsb.
Dengan adanya penurunan volume darah maka tekanan darah arterial menurun, dan
mekanisme kompensasi akan berperan. Tahanan (resistensi) vasa parifer meningkat untuk
meningkatkan tekanan darah, vena dan anyaman darah dan meningkatkan curah jantung.

Manifestasi Klinis
41
Tabel 8-2. Hubungan Penurunan Volume Darah dengan Manifestasi Klinis

Jumlah Penurunan
Syok
defisit (ml) volume darah
Derajat Tanda Klinis
0 500 0 10 % Nol Tidak ada
Kompensasi cukup, asimptomatik,
500 1000 15 20 % Ringan takikardia, hipotensi ringan,
vasokonstriksi perifer
1000 1750 25 35 % Sedang Curah jantung menurun, nadi 100-120
per menit, tekanan darah sistolik 90-100
mmHg, Vasokonstriksi nyata, berkeringat
banyak, bulu kulit berdiri, Ansietes,
gelisah, curah urine menurun.
1750 2500 35 50 % Berat Nadi > 120/menit, tekanan darah sistolik <
60 mmHg, vasokonstriksi nyata
berkeringat banyak, syok, anuria,
ekstravasasi cairan atau koagulasi
intravasa disembata

SYOK KARDIOGENIK
Syok kardiogenik adalah syok disebabkan gangguan jantung, seperti infark miokad akut,
miokarditis, aritmia, perforasi septum, tamponade kordis, perikarditis eksudativa, emboli
paru dsb.

SYOK DISTRIBUTIF
Termasuk dalam syok distributif adalah syok yang disebabkan adanya penurunan tonus vasa,
seperti yang terdapat pada sepsis, anafilaksis, trauma sumsum tulang belakang, dan
overdosis obat.

DEFEK OBSTRUKTIF
Gangguan perfusi akibat adanya obstruksi fisik pada sistem kardiovasa yang menjadi
penyebab gangguan hemodinamik, termasuk dalam kategori ini adalah emboli paru,
aneurisma aorta disekans, miksoma atrial, tamponade kordis, dan tension-pneumotoraks.

Sebab Lain
Termasuk yang jarang dan tidak terduga sebelumnya adalah syok pada penyakit Addison,
dan mixedema (myxedema)

Kepustakaan
Braunwald E, Williams GH. Alterations of arterial pressure and the shock syndrome dalam
Braunwald E, Isselbacher K.J, Petersdorf RG, Wilson JD, Martin JB, & Fauci AS (Eds.)
Harrisons Principles of internal Madicine. 11th ed. Mc Graw-Hill Internasional Editions.
Health Profession Series, New York. 1987 pp.153.
Emanueisen EDG 1986 Shock dalam KL Emanuelsen & JM Rosenicht (eds) Handbook of Critical
Care Nursing. A Wiley Medical Publication, John Wiley & Sons, Singapore, pp. 417-31.
Houston MC, Thomson L, & Robertson D. 1984 Shock : Diagnosis and Management, Arch Intern.
Med 144 : 1433-39
Leier CV 1991 Cadiogenic Shock dalam JE Parilip (ed.) Current Therapy in Critical Care
Medicina, 2 th ed. BC Decker Inc. Phidelphia, pp. 54-8

42
9. SYOK (REAKSI) ANAFILAKSIS

Definisi
Syok anafilaksis merupakan sindrom klinis yang mengancam jiwa penderita akibat reaksi
imunologis tipe segera (Tipe II), antara antigen spesifik dengan antibodi pada jaringan
sasaran (sitottropik, tissue fixing antibody = IgE). Reaksi anafilaksis dapat dibedakan atas 3
tahap : (a) aktivisi sel sasaran (target cell)., antigen terikat pada IgE pada permukaan
mastosit atau sel basofil, (b) pelepasan mediator dari sel sasaran (bahan vasoaktif), dan (c)
pengaruh bahan vasoaktif terhadap organ sasaran.

Etiologi
Penyebab reaksi/syok anifilaksis adalah obat, gigitan serangga dan beberapa jenis makanan.
Lihat Tabel 9-1.

Tabel 9-1. Kausa Syok Anafilaksis

Obat Makanan

Protein - kacang-kacanga
- Serum heterolog - mangga
- Vaksina - biji wijen
- Ekstrak alergen - jeruk
Non protein - ikan laut
- Antibiotika - tomat
- Sulfonamida - putih telur
- Anestesi lokal - coklat
- Salisilat - susu
Sengatan - zat pengawet
- Tawon madu - dan sebagainya
- Semut merah Lain-lain
- Dan sebagainya - olah raga (berlari)

Patofisiologi
Anafilaksi sitotropik merupakan reaksi anafilaksis yang paling banyak dijumpai dalam
klinik. Pada waktu terjadi kontak ulang antigen-antibodi yang terjadi dipermukaan sel Mast
9mastosit), yang merupakan katalisator pelepas beberapa mediator kimiawi dari organ
sasaran (target organ). Mediator yang dilepaskan, ada yang telah terbentuk sebelum terjadi
reaksi antigen-antibodi (preformed) dan ada pula yang baru terbentuk setelah reaksi (newly
generated). Zat vasoaktif yang paling banyak terlibat adalah histamina dan SRS-A. Selain
itu, ECF-A, asam hidrolase, protease netral dan proteoglokan juga berperan.
- Histamina, pada manusia, dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler,
kontraksi tunika muskularis bronkioli, dan stimulasi sekreasi kelenjar eksokrin.
- SRS-A (Slow Reacting Substance of Anaphylaxis), suatu asam lemah dan senyawa
vasoaktif lainnya (kallikrein basofil atau kinin, PAF atau Platelet Activating Factor),
berperan pula dalam proses reaksi anafilaksis, lebih poten dari histamina atau potensiasi
efek histamina.
- ECF-A (Eosinophil Chemotactic Factor of Anaphylaxis) mempunyai efek menarik sel
eosinofil ke tempat reaksi, dan kemudian terjadi pelepasan bahan mediator sekunder.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis reaksi anafilaksis dapat berupa sistemik maupun lokal :
- Reaksi lokal : urtikaria dan angioedema
- Reaksi sistemik : terjasi pada organ sasaran

Pneumokok dan streptokok. Dulu septik syok dianggap identik dengan syokinfeksi gram
negatif.

43
Patofisiologi
Patofisiologi syok septik tidak seluruhnya dimengerti, yang paling sering adalah vena
kapasilitas, tonus venula menghilang. Akibatnya terjadi venodilatasi, dengan akibat relatif
hipovolemik, vena balik kejantung menurun. Bersamaan dengan penurunan tonus venula,
terjadi alir pintas arteriovenula, resistensi perifer meninggi, dan refleks nodus sinoatrial
meninggi. Diduga endotoksin dan produk bakteri lainnya mempunyai efek langsung
terhadap sisitem kardiovasa, aktivasi sistem kaskade kinin-kalikrein.

Manifestasi Klinis
- Pada fase awal terjadi status hiperdinamik, disebut syok hangat, biasanya mendadak
dengan menggigil, demam, mual, muntah, diare, lungkrah (tampak letih) : ekstremitas
hangat, curah jantung normal atau meninggi, tekanan darah normal, dan tekanan nadi
meninggi. Sentralisasi darah di vena perifer dan splanknikus dapat menyebabkan vena
balik menurun sehingga curah jantung juga menurun.
- Fase berikutnya adalah syok dingin yang ditandai ekstremitas dingin, resistensi perifer
meninggi, curah jantung rendah, tekanan nadi kecil, hipotensi, vsokonstriksi arteri.
Denga menurunnya perfusi jaringan, oksigenasi jaringan berkurang, metabolisme
anaerobik mulai terjadi dan produksi asam laktat meninggi. Respirasi menyesuaikan,
kesadaran menurun, curah urine juga menurun.
- Mungkin berupa hipotensi yang tidak diketahui sebabnya, bingung, disorientasi, atau
hiperventilasi.

Komplikasi
- Gangguan koagulasi : KID (koagulasi intravasa diseminata) atau SD (sindrom
defibrinogenasi), terutama penurunan kadar faktor II, V, VIII, fibrinogen dan trombosit.
- Fibrinolisis (kadar FDP meninggi)
- Pardarahan jarang terjadi, tetepi sering terjadi mikrotrombi di paru
- Gagal respirasi karena sindroma distres respirasi akut (ARDS), mungkin timbul shock
lung (beberapa hari kemudian)
- Gagal ginjal, bermula dengan oliguria dan dapat berakhir dengan nekrosis tubeler akut
- Gagal jantung, akibat pelepasan faktor depresan.

Pemeriksaan Laboratorium
- Hematokrit meninggi, leukositosis, jumlah trombosit menurun (tapi mungkin normal)
- Kadar ureum dan kreatinin darah meninggi; bila asmolalitas urine < 400 mOsm/l, dan
osmollitas urine/plasma > 1,5, sangat mungkin karena gagal ginjal dari hipovolemik.
- Elektrolit serum : Na +, asam laktat meninggi, Cl HCO menurun
- Fase awal alkalosis respirasi, fase akhir asidosis metabolik.

Terapi
- Persiapan : pasang TVS atau pulmonary wedge pressure, tekanan nadi untuk volume
sekuncup, vasokonstriksi, curah urine tiap jam
- Bantuan pernafasan bila pO2 < 70 mmHg
- Perbaikan volume dengan darah (bila anemia), plasma, atau koloid; cairan
Dextrose/saline lebih baik dari laktat; HCO3 untuk menaikkan pH menjadi 7,2-7,3;
mungkin memerlukan tambahan cairan sampai 8-12 liter dalam beberapa jam;
pemberian cairan harus tetap cepat walau ada oliguria, berikan furosemida untuk
mempertahankan tekanan TVS sekitas 10-12 cm H2O, taua tekanan arteri paru 16-18 cm
H2O.
- Antibiotika : memerlukan kultur darah dan dari tempat yang diduga sebagai sumber
infeksi; bila kausa telah diketahui berikan kombinasi gentamisin (atau tobramisin) dan
sefalosporin atau penisilin semisintetik.
- Tindakan bedah : fokus infeksi (abses, infark atau nekrosis usus, radang kandung
empedu, infeksi uterus, pielonefrosis) harus dibuang atau dilakukan drainase.
- Obat vasoaktif : Dopamina dimulai dengan dosis 2-5 g/kg/menit, dapat dinaikkan samapi
curah irune atau tekanan darah membaik (sekitar 20 g/kg/menit, terutama stimulan
alpha-adrenergik dan dapat dijumpai vasokonstriksi ginjal dan sirkulasi splanknikus);
isoproterenol mempunyai efek vasodilatasi dan inotropik positif terhadap jantung pada
pemberian 2-8 g/menit.
44
- Diuretika : Apabila penggantian volume telah tercapai, berikan furosemida untuk
mempertahankan curah urine > 30-40 ml/jam
- Glukokortikoida : mungkin bermanfaat bila diberikan awal; metil prednisolon (30
mg/kg) atau deksametason (3 mg/kg, dapat diulang tiap 4 jam.

Cara Pengecatan gram


Pengecatan gram merupakan dasar dalam diagnostik bakteriologi dan mebagi bakteri
menjadi 4 golongan atas dasar bentuk dan pengecatan spesifik; bentuk batang gram positif,
bentuk koki gram positif, bentuk batang gram negatif dan bentuk koki gram negatif.
Dengan mengetahui termasuk dalam golongan mana organisme penyebab akan merupakan
informasi penting untuk diagnosis, prognosis dan pemilihan antibiotika yang sesuai.

Untuk membuat pengecatan gram :


1. Buat preparat apus tipis dari sputum, pus, cairan sebrospinal, pada gelas obyek yang
bersih.
2. Biarkan preparat tersebut mengering dalam suhu kamar
3. Fiksasi preparat dengan cara melewatkan gelas objek, satu atau dua kali di atas lampu
brand spiritus
4. Tuangi preparat dengan violet kristal (warna biru)
5. Cuci dengan air mengalir
6. Tuangi preparat dengan solusi Gram Iodine (warna coklat)
7. Cuci dengan air mengalir
8. Dekolorisasi dengan alkohol sampai bagian tertipis dari preparat menjadi tidak berwarna
biru lagi
9. Cuci dengan air mengalir
10. Tuangi dengan safranina atau fukhsin basik (warna merah)
11. Cuci dengan air
12. Keringkan preparat dengan menutul-nutulkan kertas penyerap
13. Preparat siap diperiksa (gunakan pembesaran kuat dengan minyak emersil)

Hasil pengecatan gram yang baik, nukleus, polimorfonuklier berwarna pink, sedang kalau
dekolorisasi kurang baik akan berwarna biru. Kalau over dekolorisasi, kelompok koki gram
positif akan berwarna pink. Preparat yang pengecatannya tidak baik sebaiknya segera
dibuang.

Kepustakaan
Dale DC, & Petersdorf RG.192 Septic Shock dalam Braunwald, E.; Isselbacher, K.J; Wilson, J.D.;
Martin J.B.; Fauci, A.S & Kasper, JH (Eds) Harrisons Pronciples of Internal Medicine.
13th ed. Mcgraw Hill Internasional Editons, Health Profession Series. New York. Pp.476.
Gantz NM.1997 Infectious disease emergencies dalam Cohen AS, Freidin RB, & Samuels MA.
(eds.) Medical Emergencies. Little , Brown & Company, Boston pp. 181-96.
Hayes HR, & Briggs BA. 1981 Shock dalam Wilkins EW, Dineen JJ, & Moncrue (Eds.) MGH
Textbook of Emergenc.Williams & Wilkins, Baltimore. Pp. 38-54
Houston MC, Thompson L. Robertson D. 1984 Shock: Diagnosis and Management, Arch Intern
Med 144: 1433-39
Riecher G. 1982 Einfuehrung in das Thema : Shock, Internist 23:417-24
Sheagren JN. 1981 Septic shock and corticosteroids, N. Engl.J.Med. 305:456-61.

45
11. SINDROMA SYOK TOKSIK

Definisi
Sindroma syok toksik (SST) adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh demam
akut,disertai kelainan berbagai sistem organ tubuh (tiga atau lebih), hipetensi dan kelainan
kulit ( rash) yang menjadi desquamasi setelah 1-2 mimggu kemudian.

Etiologi
Stafiolokok aureus dari vegina dan serviks uteri. Kultur darah negatif.

Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya SST belum seluruhnya diketahui. Oleh karena kultur darah yang
negatif diduga SST sebagai akibat pelepasan eksotoksin kedalam sirkulasi. Mekanismenya
diduga melalui:
- darah haid yang diserap tampon merupakan media kultur yang baik bagi kuman dan
mempercepat produksi eksotoksin;
- Bahan tampon mempermudah pertumbuhan stafilokok dan produk toksin;
- Absorbsi dipermudah karena adanya desquamasi epitel pada saat haid;
- Kemungkinan terjadi refluks darah haid ke kavum peritonei akibat darah haid tertahan
tanpon, dan terjadi penyerapan toksin;
Eksotoksin yang pirogenik tersebut adalah eksotoksin-C yang mirip dengan enterotoksin-F,
yang merupakan glikoprotein dengan berat melekul rendah. Oleh karena itu eksotoksin ini
mudah terserap walau dari mukosa yang utuh sekalipun. Gabungan kedua macan toksin
tersebut mempermudah terjadinya seseorang jatuh ke dalam syok,dengan vasodilatasi perifer
dan peninggalan permeabilitas kapiler. Akibatnya terjadi gangguan distribusi darah dan
diikuti penurunan vena balik, penurunan curah jantung, hipotensi syok dengan segala
akibatnya.

Manifestasi Klinis
Sindroma syok toksin diawali dengan fase prodromal 12-48 jam, pada awal haid, mual,
muntah disertai diare cair. Kemudian diikuti demam mendadak (> 38,9C), nyeri kepala,
otot, hipotensi beberapa organ, tiga atau lebih, terlibat (gastrointestinal, ginjal,hepar, dan
hiperemia mukosa), injeksi sklera, fotofobia dan mungkin disertai perdarahan sub
konjungtiva dan konjungtivitis eksudativa. Pada kasus yang tidak dalam keadaan haid,
dijumpai infeksi kulit, jaringan fokal, pasca persalinan atau pasca bedah dengan tanda
infeksi yang minimal, umumnya pada hari kedua pasca bedah. Hampir sepertiga kasus akan
mengalami SST berulang, tetapi biasanya lebih ringan dan kecenderungan timbul pada hari
haid seperti kejadian yang pertama.

Diagnosis
Kriteria diagnosis SST dapat dilihat alam Tabel 11-1

46
Tabel 11-1 Kriteria Diagnosis Sindroma Syok Toksik

1. Demam mendadak 38,9C


2. Eritemamakula (kadangkala ptekia)
3. Desquamasi telapak tangan dan kaki selam penyembuhan (1-2 minggu kemudian)
4. Hipotensi atau sinkope ortostatik
5. Gangguan fungsi organ (3 atau lebih) gastrointestinal, mual, muntah, diare.
- membrana mukosa : hiperemia vagina, orofaring, konjungtiva
- otot : mialgia dengan peninggan kadar CK
- ginjal : sedimen dengan piuria, oliguria, kadar oreum & kreatinin meninggi.
- hepar : hiperbilirubinemia, SGOT& SGPT meninggi
- hematoligi : trombosit menurun
- susunan saraf pusat : dissorientasi & gangguan kesadaran tanpa kelainan fokal
- kardiorespirasi : hipoksemia (ARDSI), dipresi miokard
- metabolik : kadar kalsium, protein menurun
6. Bukti tidak adanya infeksi ricketsia, leptospirosis, meningokoksemmia, atau rubeola.

Diagnosis Banding
Diantara penyakit yang berikut sering kali dibedakan dengan SST.
- Skarlatina streptokok
- Leptospirosis
- Sindroma uremia hemolitik
- Pnyakit kawasaki
- Rebeola
- Keracunan obat
- Syok septik

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan syok pada umumnya, yaitu koreksi gangguan keseimbangan cairan, atasi
gangguan gagal ginjal, gagal respirasi, KID; drainnase luka atau absesaaaa; berikan
antibiotika parenteral.

1. Koreksi Fungsi Kardiorespirasi


- berikan O2 dosis tinggi
- berikan obat inotropik, terutama bila respon terhadap kereksi cairan, atasi gangguan
gagal ginjal, respirasi, KID; drainase luka atau abses, berikan antibiotika parenteral.

2. Koreksi Cairan
Sebaiknya berikan cairan kristaloid (mungkin sampai 20 liter/jam), dengan paduan TVS.

3. Koreksi Fungsi Ginjal


Biasnya gagal ginjal akan membaik dengan sendirinya dan cukup dengan perawatan
konservatif.

4. Koreksi Asidosis
Biasanya tidak diprlukan apabila hipotensi dapat teratasi, kalau perlu diberikan bikarbonat
dengan dosis 1 mg/kg BB dalam 200 ml larutan infus diberikan pelan-pelan.

5. Antibiotika
Pemberian antibiotika sebaiknya parenteral, dengan golongan sefalosporin, kloksasilin,
vankomisin, gentamisisn, klidamisin atau rifampisin.

47
6. Kortikosteroida
Masih kontroversial, kalau diberikan sebaiknya pada awal terapi dengan dosis farmakologik:
- Hidrokortisona 30-150 mg/kg BB/24 jam
- Metilprednisolon 15-30 mg/kg BB/ 24 jam,
- Deksametasona 1-6 mg/kg BB/24 jam

Pencegahan
- Hindari penggunaan tampon, terutama bagi mereka yang pernah mengalami SST.
- Cucu vagina dengan antiseptik selama haid
- Lebih sering mengganti tampon

Kepustakaan
Davis JP, Chesney PJ,1980. Toxic shock syndrome: Epidemiologic features, reccurence, risk factors
and prevention. N Engl J Med 303: 1429-35.
Glasgow LA. 1980.Staphyloccal infection in the shock syndrome. N. Engl. J. Med. 303: 1473-74.
Locksley RM. 1992 Staphylcoccal infections dalam Braunwald E,Isselbacher KJ, Wilson JD,
Martin JB, Fauci AS. &Kasper JH. (Eds.) Harrisons Pribciples of internal Medicine. 13 th ed.
Mc Graw-hiil International Editions. Health Profession Series. Now York. Pp. 537-43.
Neil G, & Cameron JS. 1980 Tampon shock, Lancet 2:1195.5.
Shands KN, Schmid GP. 1980 Toxic shock syndrome in menstruating women: its assocciation With
tampon use staphyloccocus aureus and the clinical features in 52 cases. N. Engl J Med.
303:143642.
Swartz MN, Fuller AF, & Wolson JS.1980 Toxic shock and tampons. Br Med J 281: 1161-62.

48
12. TUBERKULOSIS PARU

Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,
sejenis bakteri tahan asam (BTA), dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dijaringan
paru. Infeksi pertama atau primer pada anak biasanya sembuh dengan sendirinya,
danseringtidak terdeteksi. Sebagian kecil berlanjut menjadi tuberkulosis primer dan berjalan
progresif. Sebagian kecil lainnya setelah masa laten yang berlangsung beberapa bulan
sampai tahun menjadi bentuk tuberkulosis paru yang progresif yang disebut tipe dewasa.
Infeksi primer pada orang dewasa dapat berlanjut menjadi bentuk tipe dewasa tanpa melalui
bentuk primer seperti pada anak. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak perna berlanjut
menjadi penyakit Malnutrisi, diabetes mellitus, penggunaan obat kortikosteroid jangka
panjang, silikosis, dan debilitas merupakan faktor predisposisi. Sekali terinfeksi
mikobakterium (tuberkolisis primer ) mak orang tadi mempunyai resiko untuk terinfeksi
oleh mikobakterium yang sama. Akhir-akhir ini muncul koloni mikobakterium yang
multiresisten terhadap tuberkolostatika yang sering terlihat pada mereka yang terinfeksi
HIV.

Kriteria Diagnosis
- Gejala dan tanda klinis umumnya minimal, berupa malaise, kelemahan badan, lesu,
nafsu makan menurun (anoreksia), penurunan berat badan, suhu badan sedikit meninggi
pada sore hari, bentuk, ronki krepitasi di apex paru, hemoptoa.
- Gejal dan tanda klinis mungkin tidak ada sama sekali.
- Tes tuberkulin atau PPD positif, terutama jika baru terjadi konversi dari negatif menjadi
positif.
- Adanya infiltrat di apex atau subklavia, sering dengan kavitas.
- Mycobacterium tuberculosis pada sputum, cairan lambung atau usap nasofaring.

Pemeriksaan

Anamnesis
- Gejala mungkin minimal atau tidak ada sama sekali, non spesifik
- Bentuk, rasa malas, mudah payah, lesu, berat badan, menurun, suhu badan meninggi
pada sore hari, keringat malam hari, dan nyeri pleuritik.
- Bentuk darah riak campur darah sugestif untuk adanya penyakit tuberkulosis.
- Mungkin didapatkan gejal dari luar paru, seperti pada laring, usus, ginjal, dan susunan
saraf pusat.
- Riwayat kontak dengan penderita yang sudah diketahui menderita tuberkulosis.

Pemeriksaan Fisik
- Tanda klinis sering tidak ada. Ronki krepitasi di apex atau lobus superius paru yang
persisten mungkin dijumpai. Ronki ini sering terdengar pada pasien inspirasi setelah
bentuk.
- Pada penyakit yang telah lanjut mungkin dijumpai retraksi dinding dada, deviasi trakhea,
mengi (wheeze), ronki basah,tanda konsolidasi paru, atau kavitasi (tidak terandalkan).
- Tuberkulosis tidak dapat disingkirkan hanya melalui pemeriksaan fisik saja. Paling
sedikit diperlukan pemeriksaan foto thorax.

Pemeriksaan Penunjang
- Tes reaksi kulit (tes tuberkulin, PPD)
- Pemeriksaan bakteriolgis
Sputum, mikroskopi langsung dan kultur,
Cairan lambung, kultur, biopsi
- Radiologis
X-foto thorax, mungkin diperlukan lebih dari sekali pemeriksaan, tak ada yang
patognormonik.

49
Diagnosis Banding
- Pneumonia bakterial atau viral
- Abses paru
- Mikosis paru
- Karsinoma bronkogenik
- Sarkoidosis
- Infeksi Mikobakterium atipik

Manajemen

Indikasi Rawat Inap di Rumah Sakit


Untuk diagnosis dan isolasi pasien sementara waktu (2 minggu terapi awal ).

Umum
- Diit TKTP,Istirahat cukup.
- Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
- Isoniazid (H) 400 mg/hari (harus diberikan suplemen piridoksin 25-50 mg/hari)
- Rifampisin (R) 40 mg / hari (jika BB pasien < 50kg)< 600 mg/hari (BB> 50kg).
- Pirazinamida (Z) 3dd 500 mg selama 2 bulan pertama.
- Etambutol (E) 25 mg/kg BB/ hari untuk 2bulan pertama, dilanjutkan dengan 15
mg/kg untuk masa selanjutnya.
- Streptromisin injeksi 1 gram, intramuskuler, setiap hari atau 2 x seminggu.
- Kombinasi OAT yang lazim diberikan adalah 2 HRZ/4-6 HRE (2 bulan
HRZdilanjutkan dengan HRE setiap hari 4 bulan), atau 2HRZE/4-6 H2R2E2
(kombinasi HRZEsetiap hari selama 2 bulan dilanjutkan dengan HRE 2 kali
seminggu selama 4-6 bulan.
- Obat batuk sebaiknya tidak diberikan, kecuali jika sangat mengganggu dapat diberi
codein sulfat 4-6 dd 1-15 mg.

Khusus
- Kortikosteroid (diberikan jika sangat parah dan tampak toksis, mempebaiki perasaan,
nafsu makan, dan menurunkan demam).
- Terapi kolaps untuk pnuemothorax.
- Pembedahanjika ada kecurigaan perubahan kearah ganas, stonosis bronkus, fokus yang
menjadi sumber kekembuhan, menurut empiema kronok.
Perawatan Intensif
Jika ada perdarahan masif, bahaya aspirasi dan resiko penyebaran kebagian lain paru, terapi
anti syok
Pemberian obat penenang (fenobarbital 60-120 mg, subkutan),
Cedein sulfat 4-6 dd 10-15 mg untuk menekan bentuk (tidak boleh morfini),
Dapat ditambahkan pemberian vasopresin 10 UI dalam 10 ml NaCl ),9% (normal salin),
intravena , pelan-pelan.

Lama perawatan
- Umumnya 2-3 minggu
- Lama pengobatan senaiknya 6-8 bulan
- Perbaikan pada X-foto terlihat setelah terapi 4 minggu.
- Konversi sputum setelah 2-3 bulan terapi
- Terapi teratur selama 2 minggu dapat membuat pasien tidak berbahaya terhadap
masyarakat sekitarnya.

Lama Pemulihan
Bervariasi, umumnya 12 bulan setelah dimulai terapi.

Output
- Jika berobat teratur sembuh total (95% kasus)
- Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1% yang mungkin relaps.

50
Komplikasi
- Perdarahan (hemoptoe) masif, aspirasi, syok, pneumonia, abses paru
- Kematian akibat aspirasi
- Sepsis

Konsultasi yang diperlukan


- Spesialis penyakit Dalam Konsultan Pulmonologis
- Spesialis Bedah thorax

Kepustakaan
Asdie, AH 1995. Kapita Selekta Penyakit Infeksi, Yayasan Tawakal Yogyakarta.

51
13. BRONKIEKTASI

Definisi
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus ukuran sedang dengan desstruksi elemen elastik dan
muskuler bronkus. Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi (pnuemonia, Pertusis, atau
tuberkulosis), atau karena obstruksi bronkus (benda asing atau tekanan dari luar). Atelektasis
Dan defek kongenital (situs inversus, kista paru, dan tidak ada sinus frontalis) sering
terdapat bersama dengan bronkiektasis.

Kriteria Diagnosis
- Batuk kronik dengan sputum purulen yang banyak, hemoptoe.
- Ronki pada paru bagian bawah
- X-foto thorax mungkin terlihat bronkogram dengan dilatasi yang khas.

Pemeriksaan
- Anamnesis
- Batuk kronik dengan riak yang perulen, terutama pagi hari.
- Sering ada riwayat serangan pneumonia berulang.
- Hemoptoe, mungkin parah.

pemeriksaan Fisik
- Emasiasi, sianosis, jari tabuh
- Tanda pneumonia mungkin dijumpai
- Ronki basah di paru bagian basal.

Pemeriksaan Penunjang
Sputum tampung jika dibiarkan mengendap terjadi 3 lapis, endapan, cairan dan bagian atas.
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak speksifik, mungkin dijumpai polisitemia sekunder
akibat insufisiensi paru. Preparat apus sputum mungkin dijumpai bakteri pnumokok,
pseudomonas, dan Aerobacter sp.

X-foto paru mungkin dijumpai pertambahan corak di bagian basal dengan bagian-bagian
yang radialusen, bercak-bercak inflamasi kronik; pemeriksaan bronkogram dengan kontras,
mungkin terlihat dilatasi bronkus bentuk kantong, silindrik atau fusiform (bronkografi
merupakan kontraindikasi bagi pasien pada waktu infeksi akut atau bagi pasien yang sensitif
terhadap bahan kontras).

Diagnosis Banding

- Bronkitis kronik

- Tuberkulosis

- Abses paru

- Penyebab hemopteo lain (adenoma atau karsinoma)

Manajemen

- Indikasi Rawat Inap di Rumah Sakit

Kasus yang berat, untuk tirah baring dan diagnostik

- Umum

- Diit TKTP

- Pola hidup sehat

52
- Drainase postural (sikap sujud), pasien harus belajar menemukan sikap yang paling
banyak mengeluarkan sputum, mempertahankan sikap tersebut selama 10-15 menit,
lakukan 2-4 kali sehari, atau tempat tidur bagian kaki ditinggikan 10-15 cm dapat
dicobakan.

- Drainase pertama dilakukan pada saat bangun tidur.

- Pengencer sputum, kalium 4 dd 10-15 setetes dalam segelas air,atau Mukolitik,


Asetilsistein aerosol tablet.

- Drainase bronkoskopik dapat dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya


stonosis atau obstruksi.

- Hindari udara lembab dan berdedu.

- Khusus

- Antibiotika yang sesuai, sebaiknya diberikan kalau perlu saja (jika ada eksaserbasi)

- Penisilin G dengan dosis 4 dd 400.000 UI.

- Amoksilin 3 dd 500 mg, atau 2 dd 1500 mg.

- Tetrasilin, 4 dd 250 mg,

- Mukolitik

Perawatan Intensif

Jika disertai insufisiensi paru, hemotoe hebat (mungkin Fatal).

Lama Perawatan

Bervariasi

Lama Pemulihan

Bervariasi

Output

- Melalui kemajuan antibiotika mungkin sembuh total

- Perlu pengamatan berkala.

- Mungkin diperlukan reseksi, terutama pada usia muda, hemoptoe berulang.

Komplikasi

- Bentuk kronik, rekuren.

- Insufisiensi paru.

- Hemoptoe chronicum.

- Amiloidosis.

53
Konsultasi Yang Diperlukan

- Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Paru

- Spesialis Bedah.

Kepustakaan
Asdie AH & Aside SH. Kapita selekta Penyakit Paru (akan diterbitkan).

54
14. ABSES PARU

Definisi
Lesi inflamasi yang menyebabkan nekrosis jaringan paru, ditandai dengan timbulnya gejala-
gejala sistem respirasi 10-14 hari pasca gangguan fungsi bronkopulmoner atau perubahan
struktur bronkopulmoner sebagai akibat: (10 Aspirasi bahan terinfeksi, (2) supresi refleks
bentuk, (3) Obstrukti bronkus, (4) pneumonia, (5) Iskemia (pasca inferk paru). (6)
Septikemia. Lokasi yang tersering adalah segmen superrior lobus Inferius paru atau bagian
bawah lobus superior paru kanan. Dapatbelanjut menjadi plauritis, atau pistula
bronkopleural, diikuti empiema atau pyopneumothorax).

Kriteria Diagnosis
- Timbulnya gejal 2 minggu setelah kemungkinan adanya aspirasi, obstruksi paru aatu
pneumonia.
- Sepsis, demam tinggi, berkeringat, batuk dengan riak mukopurulen dalam jumlah
banyak, berbau busuk, dan seperti berkarat. Mungkin disertai hemoptoe.
- Densitas paru pada gambaran X-foto, dengan bagian sentral radiolusen atau adanya
permukaan cairan.

Pemeriksaan

Anamnesis
Gejala dapat timbul mendadak atau timbul pelan-pelan, berupa demam tinggi, batuk, nyeri
pleuritik, banyak keringat dingin.
Batuk tidak produktif pada fase awal, selanjutnya timbul mendadak banyak riak, berbau,
diikuti dengan perbaikan gejala sistemik.
Hemoptoe sering dijumpai.
Nyeri pleuritik, terutama pada waktu batuk.
Penurunan berat badan, anemia, osteodistrofi jika abses menjadi kronik.

Pemeriksaan Fisik
Mungkin minimal, tanda konsildasi paru disekitar abses.
Tanda efusi pleura atau pneumothorax jika terjadi fistula bronkopleura.

Pemeriksaan penunjang
Sputum berbau, kelabu atau coklat (bakteri anerobik), atau kehijauan atau kuning (infeksi
piogenik),
Periksa mikroskopi langsung (cat gram) dan kultur.
X-foto thorax
Bronkoskopi

Diagnosis Banding
Kavitasi paru karena tuberkulosis, karsinoma bronkogenik, infeksi mikotik, dan pneumonia
stafilokok.

Manajemen
- Indikasi Rawat Inap Rumah Sakit
Untuk diagnosis dan terapi
- Umum
Sikap sujud, dan bronkoskopi untuk drainase pus
Antibiotika sesuai hasil mikroskopi dan atau kultur, dapat berlngsung 1-2 bulan.
- Khusus
- Jika setelah diterapi selama 2 minggu tidak teatasi,diameter abses > 6 cm, dan
dindinabses tebal, diperlukan resesi abses dengan segera.
- Perawatan intensif
Jika terjadi ruptur pus ke ruang plaura; pasien menjadi kesakitan, toksik
Dapat terjadi perdarahan hebat.

55
Lama perawatan
Umumnya 2-4 minggu

Lama Pemulihan
1 bulan

Output
- Sembuh total
- Dapat menjadi abses kronik
- Kematian akibat toksin dan perdarahan hebat

Komplikasi
- Sepsis
- Empiema atau pyoneumothorax
- Abses kronik
- Bronkiektasis
- Amiloidosis

Konsultasi yang Diperlukan


- Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Pulmonologis
- Spesialis Bedah

Kepustakaan
Asdie AH & Asdie SH, 1995. Kapita Selekta Penyakit Paru (akan diterbitkan).

56
15. STATUS ASMATIKUS

Definisi
Asma adalah penyakit saluran napas bagian bawah yang ditandai oleh hiperreaktivitas
cabang trakhea terhadap aneka macam ransangan, sehingga timbul penyempitan jalan napas
yangluas dan reversibel, dan membaik secara spontan maupun dengan pengobatan. Serangan
asma dapat dimulai dari yang paling ringan sampayang mengancam jiwa. Penyempitan yang
berlangsung beberapa hari atau minggu, walau telah mendapat terapi yang biasa dipakai,
dikenal sebagai status asmatikus (Status asthmaticus).Walaupun asma pada umumnya
reversibel, namun asma dapat berlangsung kronik.

Etiopatogenesis
Kelainan dasar pada pasien asma adalah adanya peningkatan responsi percabangan jalan
napas terhadap stimulus spesifik maupun yang non-spesifik.Semua pasien asma
menunjukkan bronkokonstriksi terhadap inhalasi metakolina atau histemina
(bronkokonstriktor-non-spesifik). Sebagai faktor pencetus timbulnya asmapada pasien dapat
Dilihat pada tabel 15-1.
Pada beberapa pasien menunjukkan adanya faktor herediter atau predisposisi riwayat
penyakit elergi pada diri atau keluarganya, seperti rinitis dan urtikaria.

Kelompok ini sering disebut asma alergi atau asma ekstririnsik. Tes kulit dan provokasi
inhilasi dengan antigen spesifik menunjukkan hasil positif. Kadar lgE serum mungkin
meninggi. Umumnya didasari oleh hepersensitivitas tipe segera atau reaksi alergi tipe l. akan
tetapi pada sebagian kasus didasari reksi tipe lambat, timbul 6-8 jam pasca paparan dengan
alergen dan reaksinya (serangan asma) biasanya berlangsung lama.

Tabel 15-1. Faktor Pencetus Serangan Asma Bronkial

Alergen
Rangsang Farmakologis
Aspirin
Zat pewarna makanan
Senyawa sulfat
Antagonis beta-adrenergik
Faktor lingkungan
Udara
Polusi
Antigen
Lingkungan kerja
Infeksi
Gerak badan (exercise induced asthma)

Stres Emosional
Kelompok pasien yang lain menunjukkan adanya riwayat alergi, tidak menunjukkan reaksi
posisi pasca tes kulit atau tes bronkoprovokasi terhadap antigen (alergen) spesifik.
Kelompok ini disebut asma intrinsik atau asma idiosinkratik.Status asma tikus tidak hanya
disebabkan oleh bronkokonstriksi seperti yang terdapat pada asma bentuk ringan, tetapi oleh
karena adanya penyumbatan jalan napas oleh sputum yang kental dan edema mukosa yang
disebabkan oleh inflamasi. Perlepasan mediator dari sel inflamasi bersama dengan reflesk
autonomik menyebabkan bronkokonsttriksi, peningkatan sekresi mukus, diskrinia dan
peradangan jalan napas.

Peningkatan resistensi dijalan napas akan menyebabkan ekstra kerja bagi otot respirasi dan
keadaan ini memerlukan penyediaan oksigen yang lebih banyak dan meningkatkan produksi
karbondioksida. Ketidakselarasan vantilasi-perfusi diberbagai bagian paru dapat
menimbulkan keadaan hipoksimia yang lebih parah dan asidosis aspirasi, dan peningkatan
resiko kematian karena aritmia kordis.

57
Manifestasi Klinis

Anamnesis
Keluhan utama pasien adalah sesak napas dan bunyi ngik (bising mengi, Wheezing),yang
yang timbul mendadak dan kumat-kumatan . Batuk dengan riak yang kental. Riwayat
adanya alergi pada pasien atau pada familinya

Pemeriksaan Fisik .
Pada pemeriksaan fisik terdengar mengi (wheezing), kesulitan bernapas nampak dari otot
bantu penapasan bekerja keras, dada tampak hiperinflasi (mengembang) dan hipertrofiotot
pernapasan. Suara napas menunjukkan adanya eksperium yang diperpanjang dengan ronki
kering yang menyeluruh.
Pada beberapa kasus mungkin berlanjut menjadi berat dan bahkan dapat mengancam jiwa
pasien (status asmatikus), dengan gejala dan tanda klinis lainnya sebagai tercantum dalam
Tabel 15-2 dalam berbagai kombinasi.

Tabel 15-2 Gejala dan Tanda Klinis Serangan Asma Akut Berat

Respirasi
Bising mengi (wheezing)
Sesak napas berat
Posisi tubuh duduk dan membungkuk
Batuk tidak efektif
Lahap udara
Dada dihiperinflasi
Takipnea (> 30 kali/menit)
Retraksi interkostal

Kordiopulmoner
Berkeringat banyak da/atau dehidrasi
Takikardia (> denyut/ menit)
Pulsus paradoksus (> 10 mmHg: > 18 mmHg gawat).
Puncak alir ekspirasi (PEFR< 200 I/menit;< 120 I/menit, gawat).
Sianosis
Hipotensi

Neorologik
Gelisah
Iritabilitas
Kelelahan
Stupor
Koma (gawat)

Ket: PEFR = Peak expiratory flow rate

Pemeriksaan penunjang
Pada anamnesis singkat usahakan supaya diketahui kejadian yang mendahului serangan
(faktorpresipitasi), lama serangan, obat yang sedang dipakai pasien, dan serangan asma atau
penyakit paru yang serupa yang pernah diderita.

Kalau pasien sudah lama menderita asma dan sering mendapat pertolongan dengan bantuan
ventilasi, lama serangan, maka serangan yang sekarang inipun sangat mungkin serius.
Demikian juga apabila serangan mereda hanya sedikit saja dengan obat yang biasa dipakai
atau menggunakan kortikosteroida, maka serangan ini harus dianggap sangat serius. Kalau
juga pasien mengidap penyakit jantung koroner hindarkan pemakaian obat adrenalina atau
beta-agonik.

58
Pada waktu melakukan penilaian anamnesis, pemeriksaan analisis gas darah (AGD) harus
dikerjakan. Dengan hasil Agd serta anamnesis dan pemeriksaan yang sudah ada, dapat
dilakukan penilaian keparahan asma pada pasien, dapat dipakai sebagai panduan dalam
penatalaksanaan pasien. (Tabel 15-3).

Tabel 15-3. Derajat Keparahan Status Asmatikus

Derajat PaO2 (mmHg) PaCO2 (mmHg) pH FEV1 (L)


1 65-80 36-44 7,40 > 20
2 55-65 <35 >7,45 1-2
3 45-55 40 7,40 <1
4 <45 >45 <7,35 <1

Derajat 1:
Merupakan derajat yang paling ringan. Tekanan oksigen arteri (PaO 2) dan karbondioksida
(PaO2) mungkin mormal atau sedikit menurun.

Derajat 2:
Pada fase ini perbedaan tensi oksigen arteriola-arteri melebar dan timbul hipoksimia. Pasien
sering kali hiper ventilasi, PaO2 menurun dan terjadi alkalosis respirasi. Pada serajat dua ini
terdapat PaO2 rendah dan pH darah meninggi.

Derajat 3:
Sesak nafas nyata, otot bantu pernapasan tampak bekerja keras, ventilasi alvaolar mungkin
menurun, PaO2 mungkin mencapai titik terendah dan mungkin sudah mulai menaik
lagi.Pada keadaan ini harus berhati-hati karena mungkin timbul gagal respirasi. Untuk ini
lakukan pemeriksaan ulang AGD 10-15 menit kemudian dan siapkan alat bantu pernapasan,
intubasiatau vantilator mekanik.

Derajat 4 :
Kalau PaCO2 ternyata naik dan pH darah menurun, maka berarti pasien memerlukan alat
bantu pernafasan.
Sambil menunggu hasil AGD lakukan pemeriksaan volume ekpirasi paksa satu detik (FEV 1)
atau puncak alir ekspirasi (PEFR), keduanya dapat dilakukan di bangsal perawatan
(bedside). Keparahan obstruksi dapat ditentukan dengan kedua macam pemeriksaan ini.
Keparahan obstruksi dapat pula ditentukan dengan adanya pulsus paradoksus, yaitu
menurunkan tekanan sistolik pada waktu inspirasi. Dengan adanya bronkokonstriksi,
penurunan 10 mmHg menunjukkan adanya pulsus paradoksus. Pada status asmatikus
penurunan tekanan sistolik dapat lebih dari 18 mmHg.
Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi X-foto paru, EKG, dan pemantauan kardiologis,
dengan pemeriksaan ini mungkin didapatkan adanya pneumonia atau gagal jantung yang
menyerupai asma. Disamping itu dapat ditentukan terapi komplikasi yang mungkin timbul,
seperti pneumotoraks, pneumomediastinum dan emfisema subkutan. Terapi terhadap
asmanya harus sudah dimulai selama tes ini dikerjakan.

Diagnosis
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang seperti tersebut di atas. Trias
sesak nafas (dispnea), batuk dan mengi, biasanya terdapat bersama pada serangan asma.
Mengi merupakan tanda yang tidak boleh tidak harus ada, sine qua non.

Diagnosis Diferensial
Tidak semua sesak nafas dengan mengi adalah asma bronkial. Tanda ini juga terdapat
pada :
- Gagal jantung kongestif, asma kardiale;
- Bronkitis kronik/emfisema, pneumotoraks

59
- Obstruksi jalan nafas bagian atas oleh benda asing, tumor, edema laring, tumor
karsinoid;
- Emboli paru rekuren
- Pneumonia eosinofilik
- Disfungsi tali suara
- Vaskulitis sistemik yang menyerang paru.

Penatalaksanaan
Begitu Pemeriksaan penunjang sudah dikerjakan, terapi sudah harus dimulai dengan
pemberian oksigen dan bronkodilator (Tabel 15-4). Dengan cara ini Insya Allah, hipoksemia
yang ada dapat diperbaiki, sehingga pemberian oksigen untuk alat vital cukup memadai.
Tiga macam obat yang digunakan dalam penatalaksanaan status asmatikus adalah beta-
adrenergik agonis, aminofilina intravena, dan kortikosteroida. Selama pengobatan,
sebaiknya pemeriksaan AGD tetap dilakukan untuk memantau responsi pasien terhadap
terapi yang diberikan. Selalulah siap dengan kemungkinan diperlukannya alat bantu
pernafasan bila pasien tidak menunjukkan responsi terhadap terapi yang diberikan.

Terapi oksigen
Pemberian oksigen harus diberikan, karena adanya bronkodilator akut akan diikuti dengan
pertambahan hipoksemia. Walaupun jarang, hipoventilasi mungkin timbul pada status
asmatikus. Dengan memakai sonde hidung berikan O 2 dengan kecepatan aliran sekitar 4
liter/menit. Lakukan penyesuaian kecepatan untuk mempertahankan PaO2 di atas 60 mmHg
dan pasien merasa nyaman.

Agonis B Adrenergik
Status asmatikus disertai keadaan resistensi terhadap terapi, walau tidak absolut. Terapi
inhalasi (nebulizerR) memberikan beberapa keuntungan diantaranya adalah toleransi pasien
terhadap inhalasi lebih baik dibandingkan dengan injeksi, efek samping (takikardia, muntah)
minimal, keamanan terapi lebih luas, dan dosis yang diberikan langsung pada jalan nafas.
Namun, terapi parenteral diperlukan untuk pasien yang gelisah, jalan nafas yang iritabel dan
dengan jalan parenteral obat dapat mencapai bronkloli yang tersumbat.

Inhalasi B Agonis
- Terbutalin dengan dosis 5 mg (untuk anak 0,1 sampai 0,6 mg/kg BB dalam 12 jam)
- Metaproterenol dengan dosis 15 mg dalam 2,5 ml salina (larutan garam fisologis) atau
air steril (untuk anak dosis 5-10 mg)

Suntikan B Agonis
- Adrenalin 1:1000 diberikan subkutan 0,3 ml yang kalau perlu dapat diulang 15 samapi
30 menit kemudian, dengan maksimum 3 suntikan
- Terbutalin 0,25 mg kalau perlu diulang 15-30 menit kemudian bila belum terlihat
perbaikan pada pasien, tetapi jangan melebihi 0,5 mg dalam 4 jam pemberian. Pada
anak dosis terbulatin 0,01 mg/kg BB
- Orsiprenalin (metaproteranol) 0,25 mg, subkutan dapat diulang 15-30 menit kemudian,
dengan dosis maksimum mg/24 jam

Metil Xantina
Pemberian kombinasi aminofilina dengan beta-agonis diragukan kegunaannya (Fanta et al.,
1986). Biasanya, diberikan pada keadaan serangan asma ringan, peroral. Bentuk eliksir,
diberikan dengan dosis 5-7 mg/kg BB. Akan tetapi apabila pasien telah minum obat serupa
dalam 12 jam sebelumnya, dosis obat harus diturunkan sampai 50-75%-nya. Responsi
terhadap obat, biasanya dicapai bila kadar obat dalam darah sekitar 10-20 ug/ml.
Pada status asmatikus, berikan intravena, bolus, dengan dosis 5-7 mg/kg BB. Apabila pasien
telah minum obat yang sama dalam 12 jam sebelumnya, turunkan dosis menjadi
50-70%-nya. Pemberian harus perlahan-lahan, dihabiskan dalam 20 menit. Untuk anak,
dosis bolus, diberikan 6 mg/kg BB dan dosis pemeliharaan 0,8-1,0 mg/kg BB.
Efek samping yang mungkin timbul adalah mual dan muntah, dapat pula berupa takikardia,
aritmia kordis dan kejang. Hal ini dengan mudah dihindari kalau dapat dilakukan
pemantauan kadar obat dalam darah.
60
Kortikosteroida
Pemberian kortikosteroida intravena, sebaiknya dimulai sejak awal terapi bersama dengan
beta-agonis atau teofilina, (kecuali jika ada kontraindikasi absolut). Pemberian dalam dosis
besar dapat mencegah progresi asma. Akan tetapi, aksi obat baru tampak beberapa jam
setelah pemberian.

Pemberian dosis tinggi (125 mg metil-prednisolona) pada awal terapi memberikan respon
lebih cepat dalam perbaikan FEV1 dibandingkan dengan dosis menengah (40 mg). Tetapi
setelah 3 hari pemberian, efek keduanya tidak berbeda bermakna. Atas dasar ini, pemberian
metil-prednisolona, dosis awal 125 mg, secara intravena, kemudian diberikan 1 mg/kg,
setiap 6 jam, selama 2 atau 3 hari. Untuk anak dosis yang diberikan 2 mg/kg BB,
dilanjutkan dengan dosis yang diberikan 1 mg/kg BB, setiap 6 jam.

Lakukan pemantauan FEV1 atau PEFR untuk penurunan mengi dan distres. Kalau
menunjukkan perbaikan, segera ganti dengan preparat oral (prednisona atau prednisolona),
dengan dosis tunggal pada pagi hari, 0,5-1,0 mg/kg BB, dengan jadual penurunan bertahap
dalam 7-10 hari.

Apabila pasien ternyata termasuk yang tergantung kortikosteroida, obat ini diberikan
menurut jadual selang sehari (alternate day therapy) untuk mengurangi kemungkinan
timbulnya efek samping obat. Hal ini penting terutama pada anak yang masih tumbuh
kembang. Preparat kortikosteroid efek panjang, seperti deksametasona, jangan digunakan
sebagai terapi pemeliharaan asma, karena risiko penekanan aksis hipotalamohipofisa-adrenal
(HPA).

Alternatif preparat lainnya adalah 4 mg/kg BB hidrokortisona hemisuksinat, intravena,


dilanjutkan dengan dosis 3 mg/kg BB setiap 4-6 jam. Atau berikan dosis 3 mg/kg BB setiap
6 jam terus-menerus. Preparat hidrokortisona lebih murah dari metil-prednisolona, tetapi
mempunyai efek mineralokortikoida yang lebih tinggi.

Tabel 15-4. Obat Untuk Status Asmatikus

Agonis beta adrenergik


61
Nebulizer
Terbutalin, 5 mg (anak 0,1-0,6/kg/12 jam
Metaproterenol, 15 mg dalam 2,5 ml salina (5-10 mg untuk anak)

Injeksi
Adrenalin 1/1000, 0,3 ml dapat diulang setiap 20-30 menit sampai maksimum 3 dosis
(0,01 mg/kg samapai 0,3 untuk anak)
Terbulatin 0,25 mg (0,01 mg/kg untuk anak) dapat diulang 15-30 menit kemudian,
jangan lebih 0,5 mg (0,25-0,5 mg untuk anak) dalam empat jam.

Metil xantina
Untuk serangan asma ringan, teofilina eliksir, 5-7 mg/kg BB (dosis diturunkan sampai
50-70%, kalau dalam 12 jam sebelumnya telah minum obat ini)
Untuk serangan asma berat, berikan intravena, 5-7 mg/kg BB (dosis diturunkan sampai
50-70%, kalau dalam 12 jam sebelumnya telah minum obat ini), berikan pelan-pelan (20
menit), dilanjutkan dengan infus 0,5-0,9 mg/kg BB jam; dengan pemantauan klinis dan
kalau mungkin kadar teofilina dalam darah.

Kortikosteroida
Metilprednisolona : 125 mg (anak 2 mg/kg BB) intravena, dilanjutkan dengan 1 mg/kg
BB setiap 6 jam, untuk dua atau tiga hari; begitu membaik, segera turunkan dosis
menjadi 0,5-1 mg/kg/hari prednisona secara oral, dengan penurunan bertahap dalam
waktu 7 atau 10 hari,
Hidrokortisona : 4 mg/kg BB intravena, dilanjutkan dengan 3 mg/kg BB setipa 4-6 jam,
atau 3 mg/kg BB/6 jam terus menerus.

Obat Anti-Kolinergik
Efek pemberian preparat anti kolinergik terhadap asma akut dan berat tidak dianjurkan,
karena efek terapinya baru mencapai optimal sekitar 60-90 menit kemudian. Oleh karena itu,
obat ini sebaiknya digunakan kalau obat lain tidak memberikan hasil yang diharapkan.
Preparat yang beredar di Indonesia adalah atropin dan preparat ipratropium bromida bentuk
inhalan.

Perbaikan Keseimbangan Cairan


Pemberian cairan pada pasien asma harus hati-hati, walau pada pasien status asmatikus,
tidak diragukan akan kemungkinan adanya dehidrasi.
Pemberian 100-150 ml/jam biasanya sudah mencukupi. Cairan yang digunakan biasanya
Dextrose 5% dalam 1/4 -1/2 N salina. Pemantauan detak nadi, curah urine, fungsi paru, dan
desakan vena jugularis dapat dipakai sebagai panduan terapi. Pada anak kecepatan
pemberian infus didasarkan berat badan anak. Dalam 24 jam, berikan 100 ml/kg untuk 10
kg pertama, 50 ml/kg untuk 10 kg berikutnya, dan 20 ml/kg untuk sisa berat badan.
Contoh : untuk anak dengan berat badan 30 kg maka pemberian cairan adalah 1700 ml/24
jam.

Antibiotika
Antibiotika diberikan apabila ada dugaan infeksi yang menjadi pencetus timbulnya asma
pada pasien. Kalau tidak nyata adanya infeksi, seperti pneumonia, sinusitis, atau otitis
media pada pemeriksaan, sebaiknya antibiotika ditangguhkan dulu.

Indikasi Bantuan Ventilasi


Dengan penatalaksanaan yang baik, gagal respirasi akibat asma diperkirakan tidak lebih dari
5% kasus status asmatikus. Apabila ternyata pasien tidak menunjukkan responsi terhadap
62
terapi yang diberikan, terdapat hipoksemia, PaCO 2 naik di atas 45 50 mmHg dan tombul
asidosis respirasi.
Walau tidak ada indikasi tegas dalam penentuan kapan pasien membutuhkan bantuan
respirasi, tetapi harus selalu diperhatikan akan peninggian PaCO2 dan tanda kepayahan
otot-otot pernafasan, seperti respirasi alternan (pernafasan dada berganti-ganti dengan
pernafasan perut) atau paradoks abdomen (pergerakan ke arah dalam pada saat inspirasi)
Intubasi harus dilakukan oleh personil yang terlatih untuk itu dan cara intubasi apa yang
akan digunakan, nasal atau oral, terserah dokternya. Pada keadaan pasien yang parah cara
oral lebih cepat. Jika pasien tidak kooperatif, boleh diberikan sedativa (diazapam, 5-10 mg,
intravena; atau obat yang sejenis) dan kalau perlu lakukan paralitis otot dengan suksinil-
kolin, 0,3-1,1 mg/kg BB, intravena.
Apabila intubasi telah terpasang, pertahankan PaCO2 di atas 60 mmHg. Kalau perlu berikan
sedativa untuk menghindari kemungkinan terjadinya pneumotoraks karena perlawanan yang
dilakukan pesien.

Menghindari Kekambuhan
Jika pasien telah terlepas dari status asmatikus, pengamatan yang telaiti tetap diperlukan
agar pasien tidak jatuh lagi ke dalam status asmatikus. Pada saat ini, jangan terlalu cepat
menurunkan dosis atau menghentikan pengobatan yang telah memberi efek baik. Hindari
pula penggantian pengobatan yang belum tentu memberikan efek baik. Natrium kromolin
dan kortikosteroida bentuk erosol tidak digunakan sebagai terapi profilaktik dan tidak
berperan dalam status asmatikus. Asetil sistein yang mempunyai efek mukolitik diduga
memperjelek bronkospasme.

Pemberian sedativa harus dihindari kecuali kalau akan dilakukan intubasi, sebab obat ini
mempunyai efek depresan respirasi dan dapat menyebabkan hiperventilasi dan gagal
respirasi. Juga terapi desensitisasi harus dihindari karena tidak mempunyai efek terhadap
status asmatikus, bahkan diduga menambah bronkokonstriksi karena pelepasan mediator.

Kepustakaan
Benatar SR, 1986 Fatal Asthma, N Engl J Med. 314 : 423-29.
Darioli, R. & Perret, C. 1984 Mechanical controlled hypoventilation in status asthmaticus.
Am.Rev.Respir Dis. 129 : 385 87.
Fanta,. C.H., Rossing, T.H., & Mc Fadden E.R. 1983 Glucocorticoids in acute asthma : A critical
controlled trial. Am J Med. 74 : 845-51.
...... & . . ., 1986 Treatment of acute asthma: is combination therapy with sympathomimetics and
methylxanthines indicated ? Am J Med. 80: 5-10
Garrty, E.R., & Gros, N.J. 1987 Prompt manajement for status ashmaticus. J Respir Dis.
(May): 21-32.
Haskell. R.J., Wong, B.M., & Hansen, J.E. 1983 A double-blind, rendomized trial of
methylprednisolone in status asthmaticus. Arch Intern Med., 143: 132-27.
McFadden, E.R. Jr. 1987 Asthma dalam Braunwald, E. Isselbacher, K.J., Petersdor, R.G., Wilson,
J.D., Martin, J.B., & Fauci, A.S. (Eds) Harrisons Principles of Internal Medicine 11ed
McGraw-Hill Internasional Editions. Health Profession Series. New York. Pp. 1060-66.
Menitova, S.M., & Goldring, R.M. 1983 Combined Ventilator and Bicarbonate Strategy in the
Managelent of Status Asthmaticus. Am J Med, 74: 898-901.

16. ASMA BRONKIAL

Definisi
63
Suatu penyakit jalan nafas bagian bawah yang diatandai oleh peningkatan responsi cabang-
cabang trakheobronkial terhadap aneka macam stimuli. Secara fisiologis bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran nafas yang dapat sembuh dengan sendirinya atau dengan
pemberian obat, dan secara klinis ditandai oleh sesak nafas kumat-kumatan, batuk dan
mengi (wheezing).

Asma merupakan penyakit episodik, serangan sesak nafas diselingi oleh masa bebas
serangan. Umumnya, serangan asma berlangsung dalam waktu yang singkat (beberapa
menit sampai jam), dan sesudah itu penderita tampak normal. Akan tetapi pada beberapa
penderita ada yang mengalami sesak nafas ringan harinya. Fasa ini dapat ringan saja atau
diselingi oleh serangan yang berat, dapat sampai pada keadaan darurat medis yang
berlangsung sampai beberapa hari atau minggu yang disebut status asthmaticus.

Dari segi etiologi, asma merupakan penyakit yang hetorogen, sejalan dengan kausa utama
yang mendasari atauyang berkaitan dengan penyebab timbulnya serangan asma. Walaupun
pembagian ini hanya sebagai encer-encer saja, asma dibedakan menjadi asma elergi
(berkaitan dengan adanya elergi pada penderita dan atau keluarganya) dan asma idiosinkrasi
(berkaitan dengan reaksi imunologis).

Faktor-faktor pencetus serangan asma meliputi paparan terhadap berbagai macam alergen
atau faktor-faktor fisik, seperti : udara dingin, panas, polusi udara, asap rokok, latihan
jasmani, infeksi saluran nafas, dan obat-obatan. Reaksi serangan asma didasari oleh Reaksi
Alergi Tipe III (Reaksi Arthus) serangan asma timbul 6-8 jam pasca paparan terhadap
alergen, serangan berlangsung relatif lama dan menimbulkan kerusakan jaringan paru.

Kriteria Diagnosis
- Serangan sesak nafas, mengi (wheezing), batuk dan sputum mukoid yang kumat-
kumatan.
- Eksperium memanjang disertai ronki kering menyeluruh
- Eosinofilia dalam darah dan sputum.

Pemeriksaan

Anamnesis
- Serangan nafas, mengi, batuk dan ekspektorasi mukoid (riak/dahak kental terutama pada
akhir serangan
- Batuk pada malam hari, batuk dan mengi pada waktu kerja dan riwayat sering selesma
pada waktu kecil (masa anak)
- Gatal dalam hidung, tersumbat atau berair mungkin mendahului serangan mengi
- Paparan terhadap alergen serbuk sari, bulu binatang, debu (kutu) rumah, aspirin
- Riwayat latihan jasmani, terpapar udara dingin
- Faktor predisposisi merokok, polusi udara, exasebasi oleh infeksi.

Pemeriksaan Fisik
- Pada waktu serangan tampak khas berupa pasien duduk, berjuang untuk menghirup
udara, dada dalam posisi inspirasi dan menggunakan otot bantu pernafasan.
- Tampak kesulitan dengan ekspirasi. Mengi mungkin terdengar diseluruh ruangan tempat
pasien berada.
- Dada tampak hipeinflasi, hipersonor pada perkusi
- Auskultasi suara nafas dengan ekspirium memanjang, ronki kering nada tinggi (wheez)
pada inspirasi maupun ekspirasi

64
Pemeriksaan Penunjang
- X-foto thorax untuk menyingkirkan kemungkinan adanya lesi intrathorax, pada awalnya
tidak ada kelainan, fase kronik emfisema paru, diafragma rendah.
- Pemeriksaan darah, eosinofilia; kadar IgE, IgA dan IgM meninggi, Igm menurun.
- Tes alergi kulit.
- Tes prpvokasi dengan histamin, asetikolin dan latihan Jasmani (lari).
- Tes faal Paru: penurunan PFR, FEV1, PVC dan rasio FIV1/PVC.
- Pemeriksaan analisis ga darah (khususnya keadaan status asmatikus).

Diagnosis Banding
- Obstruksi jalan napas oleh benda asing, neoplasma, kelenjar limfe.
- Payah jantung kongestik, gagal jantung kiri (asma kardiale).
- Pneumothorax
- Infeksi jalan napas akut, viral maupun bakterial
- Bronkitis kronik, bronkiektasis terinfeksi, emfisema paru.
- Emboli paru

Tabel 16-1. Indeks Prediksi Rawat Inap Asma Bronkial

Faktor Nilai 0 Niali 1


Detak nadi < 120 > 120
Frekuensi resoirasi < 30 > 30
Pulpus paradoks < 18 > 18
PEFR (L/menit) 0- < 120
Dispnea 0- +-++
Otot banti nafas 0- +-++
Weezing +-++

Manajemen

Indikasi Rawat Inap di Rumah Sakit


- Jika telah mendapat obat yang biasa digunakan tidak sembuh
- Jika pada pemeriksaan dijumpai skor 4 dari sistem skorsing dari Fischi et.al (1981), lihat
Tabel 16-1. Skor 4 menunjukkan asma berat dan perlu pengobatan yang intensif
- Uji fungsi paru
PEFR < 16% dari prediksi (< 60 I/menit) atau FEV1 < 0,6 L harus dianggap sebagai
asma berat.

Umum
- Perawatan Umum
- Hentikan atau hindari rokok, polusi udara
- Eliminasi alergen
- Stabilisator sel Mast (Chromolyn), 2 semprotan, efek baru nyata setelah pemakaian
4-6 minggu, dapat diberikan untuk terapi profilaksi
- Pasang infus lini
- Bronkodilator
- Agonis adrenergik : Katekolamin
Adrenalin 0,3 0,5 ml 1:1000, subkutan
Isoproterenol diberikan secara inhalasi 1:200
Orciprenalin, oral 3 dd 20 mg; 3 dd 0,25 mg
Subkutan; 33 dd 3 semprotan
Heksoprenalin, oral 3 dd 0,50 mg
Salbutamol, oral 3 dd 2 mg
- Derivat Xanthin
Teofilin, dosis awal (loading) 6 mg/kg BB, dilanjutkan dengan infus 1 mg/kg BB/jam
untuk 12 jam pertama dan dilanjutkan dengan 0,8 mg/kg BB/jam. Pada kasus
dengan kor puimonale, penyakit hati, gagal jantung kongestif, dosis awal sama,
dilanjutkan dengan dosis 0,1 0,5 mg/kg BB/jam. Jika pasien telah mendapat terapi

65
teofilin sebelumnya, dosis awal tidak diberikan, infus teofilin diberikan 0,5 mg/kh
BB/jam.
Aminofiliri oral 3 dd 120 150 mg.
- Antikolinergik
Atripin, 3 dd 0,25 mg, subkutan
Iptroprium bromida, 3 dd 2 semprotan (metered dose aerosol)
- Kortikosteroid (sebagai antiinflamasi), terutama fase akut tergabung antara
kortikosteroid dan hidrokortison. Loading 4 mg/kg BB (atau dosis ekuivalen) intravena
dilanjutkan dengan infus 3 mg/kg BB/6 jam. Efek terapi kortikosteroid mungkin baru
terlihat setelah 6 jam atau lebih. Setelah 24-72 jam kemudian (tergantung pada efek)
obat dapat diganti bentuk tablet. Umumnya diberikan prednison, 40-60 mg, dosis
tunggal pagi hari, kemudian dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tapering off),
setiap 3-5 hari. Untuk mengurangi efek samping pemberian kortikosteroid diberikan
selang sehari (altemate day). Deksametason tidak bisa diberikan sebagai terapi
pemeliharaan cara selang sehari.
- Metilprednisolon 4 dd 15-20 mg
- Inhalasi kortikosteroid efeknya tergantung dosis yang diberikan
- Ekspektoran-mukolitik
- Bisolvon 3 dd 1 tablet
- Fluimucil, 3 dd 100 mg

Khusus
- Oksigen (O2) dosis 4 liter/menit
- Hidrasi dengan cairan Ringer Laktat, Dextrose 5 %, NaCl fisologis, umumnya diberikan
bersama dengan teofilin atau aminofilin.
- Antibiotik diberikan jika ada dugaan infeksi bakterial
- Eritromisin, 3 dd 250 mg
- Amoksisilin, 3 dd 500 mg
- Tetrasiklin, 4 dd 250 mg
- Doksisiklin, 2 dd 100 mg
- Kontrimoksazol-Sulfametoksazol, 2 dd tablet
- Tambahkan diuretika jika ada gagal jantung kongestif

Perawatan Intensif
Jika ada tanda-tanda gagal respirasi

Lama Perawatan
Bervariasi 3-5 hari

Output
Bebas serangan

Komplikasi
- Infeksi bakterial saluran nafas
- Pneumothorax, pneumoperikardium
- Gagal respirasi
- Emfisma paru

Konsultasi yang diperlukan


- Spesialis penyakit dalam konsultan pulmonologis
- Spesialis anestesia

66
Kepustakaan
American Thoracic Society 1993 Guidelines for the Evaluation of impairment/disability ini patiens
with asthma Am Rev.Respir Dis 147: 1056-61.
Adijono & Hisyam B. 1984 Status Asmatikus dalam AH. Asdie, RM Sarodja & SD Kusumo (Eds.)
Simposium Penatalaksanaan Gawat Paru Masa Kini FK UGM, IDPI Cabang Yogyakarta,
PPTI Wilayah Yogyakarta.
Fischl et.al . (1981) An Index Predicting Relapse and Need fot Hospitalization in Patient With Acute
Bronchial Asthma. N engl J med 305: 783-9.
Hadiarto, Mashabi A, Zulkifli MT, & Farit. M. 1982 Diagnosis dan Penatalaksanaan Status Status
Asmatikus. Bagian Pulmonologi FKUI/RS. Persahabatan, Jakarta.
McFadden ER Jr 1994 Asthma dalam KJ Asselbacher, E Braunwald, JD Wilson, JB Martin, AS
Fauci, & DL Kasper (Eds.). Harrisons Principles of Internal Medicine 13ed Internasional Ed:
McGraw-Hill Health Professions Division. New York, pp. 1167-72.
Skorodin MS. 1993 Pharmacotheraphy for asthma and chronic obstructive pulmonary disease:
Current thinking, practices, and controversies. Arch Intern Med 153: 814.

67

Anda mungkin juga menyukai