Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A PENGERTIAN NILAI, NORMA DAN MORAL


a Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok.Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan
kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu adalah
suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.

b Pengertian Norma

Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap


peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan
dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai makhluk budaya,
sosial, moral dan religi.Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang
dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma dalam
perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma
hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang
dikenal dengan sanksi, misalnya:
a. Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri,
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan
masyarakat,
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang
dipaksakan oleh alat Negara.

c. Pengertian Moral

Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan, tabiat,
kelakuan.Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut
tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-
kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak
benar secara moral. Jika sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggao tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik,
terpuji, dan mulia.
Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma, moral pun
dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral, filsafat, moral etika,
moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma dan moral secara bersama
mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
c Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan, tabiat,
kelakuan.Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang yang taat kepada
aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya
,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya terjadi,
pribadi itu dianggao tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa
peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia.
d Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma, moral pun
dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral, filsafat, moral etika,
moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma dan moral secara
bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.

d. Hubungan antara Nilai, Norma dan Moral

Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang


seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia.
Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa
dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang.

Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan
tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih
obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas
sehari-hari.

Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma
akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat
ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya.Sementara itu, hubungan antara
moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya.
Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang
berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

B PENGERTIAN ETIKA POLITIK

Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang dan bagaimana kita dan
mangapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu,atau bagaimana kita harus
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika pada pokoknya
membicarakan masalah masalah yang berkatan dengan prediket nilai susila dan
tidak susila,,baik dan buruk.
Etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu
manusia. Oleh karena itu etika politik berkait dengan bidang pembahsan moral. Hal
ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada
manusia sebagai subjek etika.
Pengertian etika politik berasal dari kata politics yang memiliki makna
bermacam macam kegiatan dalam suatu sitem politik atau Negara yang menyangkut
proses penentuan tujuan-tujuan dari system itu dan diikuti dengan pelaksanaan-
pelaksanaan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari
system itu.

C KANDUNGAN PANCASILA SEBAGAI KONSEP, PRINSIP DAN NILAI


Kalau membicarakan Pancasila sebagai etika politik maka ia mempunai lima
prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan
sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila
memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik
modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan hidup).
1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan
positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda
pandangan hidup, agama, budaya, adat.[5] Pluralisme mengimplikasikan pengakuan
terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi,
toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan
sekelompok orang.

2. Hak Asasi Manusia


Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab.
Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib
diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus
diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, Hak-hak
asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai
berikut;
a. Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara,
masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.
b. Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di
ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan
seblaiknya diancam oleh Negara modern.

Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat dibedakan dalam
bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:
1) Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan
perlakuan wajar di depan hokum.
2) Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
3) Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya
minoritas-minoritas etnik).

3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga
demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup
menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang
sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara
melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan,
solidaritas sebagai manusia.[6] Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia
menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan
keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi.

4. Demokrasi
Prinsip kedaulatan rakyat menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit,
atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk
menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang
lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang
dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka
mau dipimpin. Demokrasi adalah kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan. Jadi
demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam
tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:
a Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi
prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
b Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum
(Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur hakiki
dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).

5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat.
Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat
mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa
masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian
bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan
ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama dengan
sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan,
keadilan social diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang
ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-
ketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama individual. Artinya,
ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang
tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur
politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar
dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas.
Ketidakadilan structural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala
kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang
terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Berdasarkan uaraian di atas, tantangan etika politik paling serius di Indonesia
sekarang adalah:
Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama
dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan
pendapat mereka pada masyarakat.

D DIMENSI POLITIS MANUSIA

a. Manusia sebagai Makhluk Individu-Sosial


Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat mungkin
memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa
sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja. Dalam kapasitas moral
kebebasan manusia akan menentukan apa yang harus dilakukannya dan apa yang
tidak harus dilakukannya. Konsekuensinya ia harus mengambi sikap terhadap alam
dan masyarakat sekelilingnya, ia dapat menyesuaikan diri dengan harapan orang lain
akan tetapi terdapat suatu kemungkinan untuk melawan mereka.
Manusia adalah bebas sejauh ia sendiri mampu mengembangkan pikirannyadalam
hubungan dengan tujuan-tujuan dan sarana-sarana kehidupannyadan sejauh ia dapat
mencoba untuk bertindak sesuai dengannya. Dengan kebebasannya manusia dapat
melihat ruang gerak dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak, sehingga secara
moral senantiasa berkaitan dengan orang lain. Oleh karena itu bagaimanapun juga ia
harus memutuskan sendiri apa yang layak atau tidak layak dilakukannya secra moral.
Ia dapat memperhitungkan tindakannya serta bertanggung jawab atas tindakan-
tindakan tersebut.

b. Dimensi Politis Kehidupan Manusia

Dalam Kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia


baik sebagai individu maupun makhluk sosial suit untuk dapat dilaksanakan, karena
terjadinya perbenturan kepentingan di antara mereka sehingga terdapat suatu
kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah
manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-haknya,
dan masyarakat itulah yang disebut negara. Oleh karena itu berdasarkan sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social, dimensi politis mencakup
lingkaran kelembagaan hukum dan negara, system-sistem nilai serta ideologi yang
memberikan legitimasi kepadanya.
Dan hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan
makhuk sosial, dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara
dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu pendekatan etika politik senantiasa berkaitan dengan
sikap-sikap moral dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala diambil dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian
dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan
dirinya sendiri sebagi anggota masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang
menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindakan-
tindakannya.

E NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI SUMBER POLITIK


Sebagi dasar filsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi
peraturan perundang-undangan, malainkan juga merupakan sumber moralitas
terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai
kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa serta sila ke dua kemanusiaan yang adoil dan beradab adalah
merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) ,
secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-
prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem
filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik,
pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta
moral kemanusiaan dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala
kebijakan, kekuasaan, kewenangan.

F Penerapan Nilai-nilai Etika Pancasila dalam Kehidupan Politik.


Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum),
yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, disahkan dan dijalankan secara
demokratis (legitimasi demokrasi), dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
moral (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam
pelaksanaan penyelenggaraan Negara, baik itu yang berhubungan dengan kekuasaan,
kebijakan umum, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam pancasila. Dengan demikian, pancasila merupakan sumber
moralitas dalam proses penyelenggaraan Negara, terutama dalam hubungannya
dengan legitimasi kekuasaan dan hukum. Pelaksanaan kekuasaan dan penegakan
hukum dinilai bermoral jika selalu berdasarkan pancasila, bukan berdasarkan
kepentingan penguasa belaka. Jadi pancasila merupakan tolok ukur moralitas suatu
penggunaan kekuasaan dan penegakan hukum.
Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber
peraturan perundang-undangan melainkan juga sumber moralitas utama dalan
hubungannya dengan legitiminasi kekuasaan, hukum serta berbagai }kebijakan dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan. Ketuhanan Yang Maha Esa serta sila kedua
Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah merupakan sumber nilai nilai moral
bagi kehidupan kebangsaan dan }kenegaraan. Negara Indonesia yang berdasarkan sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah negara Teokrasi yang mendasarkan
kekuasaan dan penyelenggaraan negara pada ligitiminasi religius.
Kekuasaan kepala negara tidak mendasarkan pada legitiminasi religius
melainkan mendasarkan pada legitiminasi hukum dan demokrasi. Oleh karena itu asas
sila pertama lebih berkaitan dengan legitiminasi moral. Inilah yang membedakan
negara yang Berketuhanan yang Maha Esa dengan teokrasi. Walaupun dalam negara
Indonesia tidak mendasarkan pada legitiminasi religius, namun secara moralitas
kehiodupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan, terutama
hukum serta moral dalam kehidupan bernegara.
Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernyataan tersebut
secara normative merupakan artikulasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi harus diingat, pernyataan tersebut
bukan sebuah penegasan bahwa Indonesia adalah Negara teokrasi yang mendasarkan
kekuasaan Negara dan penyelenggaraan Negara berdasarkan legitimasi religious,
dimana kekuasaan kepala Negara bersifat absolute atau mutlak.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa lebih berkaitan legitimasi moral. Artinya,
proses penyelenggaraan Negara dan kehidupan Negara tidak boleh diarahkan pada
paham anti Tuhan dan anti agama, akan tetapi kehidupan dan penyelenggaraan Negara
harus selalu berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sila
pertama merupakan legitimasi moral religious bagi bangsa Indonesia.
Selain berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara Indonesia juga harus
berkemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan kata lain, kemanusiaan yang adil dan
beradab memberikan legitimasi moral kemanusiaan dalam penyelenggaraan Negara.
Negara pada prinsipnya adalah persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa.
Manusia merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan
Negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan mempunyai kedudukan mutlak dalam
kehidupan Negara dan hukum, sehingga jaminan hak asasi manusia harus diberikan
kepada setiap warga Negara. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mempunyai
keterkaitan yang sangat erat dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedua sila tersebut memberikan legitimasi moral religius (sila Ketuhanan
Yang Maha Esa) dan legitimasi moral kemanusiaan (sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab) dalam kehidupan dan proses penyelenggaraan Negara, sehingga Negara
Indonesia terjerumus ke dalam Negara kekuasaan.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
dan perwakilan juga merupakan sumber etika politik bagi bangsa Indonesia. Sila ini
menegaskan bahwa Negara berasal dari rakyat dan segala kebijakan dan kekuasaan
diarahkan senantiasa untuk rakyat. Sila ini memberikan legitimasi demokrasi bagi
penyelenggaraan Negara.
Oleh karena itu, dalam proses penyelenggaraan Negara, segala kebijakan,
kewenangan dan kekuasaan harus dikembalikan kepada rakyat. Dengan demikian,
aktivitas politik praktis yang menyangkut kekuasaan ekseekutif, legislatif dan
yudikatif serta konsep pengambilan keputusan, pengawasan dan partisipasi harus
berdasarkan legitimasi dari rakyat.
Sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia memberikan legitimasi hukum
(legalitas) dalam kehidupan dan penyelenggaraan Negara. Indonesia merupakan
Negara hukum yang selalu menjunjung tinggi aspek keadilan sosial. Keadilan sosial
merupakan tujuan dalam kehidupan Negara, yang menunjukkan setiap warga Negara
Indonesia mendapatkan perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi
dan kebudayaan.
Oleh karena itu, untuk mencapai aspek keadilan tersebut, kehidupan dan
penyelenggaraan Negara harus senantiasa berdasarkan hukum yang berlaku.
Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan Negara, yang bisa
mengakibatkan hancurnya tatanan hidup kenegaraan serta terpecahnya persatuan dan
kesatuan bangsa.
Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila harus dijadikan
patokan bagi setiap penyelenggara Negara dan rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut
harus diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga pada akhirnya
akan terbentuk suatu pemerintahan yang etis serta rakyat yang bermoral pula

Anda mungkin juga menyukai