Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN KOMPLIKASI ORD

DI RUANG HEMODIALISA RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

By:

ASRORULLAH
NIM. 032001D14005

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT


DINAS KESEHATAN
AKADEMI PERAWAT KESEHATAN
TAHUN AKDEMIK
2016/2017
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. DEFINISI
1. Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang
mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)sehingga ginjal tidak
dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Hudak &
Gallo, 1996).
2. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
(Brunner & Suddarth, 2001). Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi
ginjal dan peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA).
3. Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria.
Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan
sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)
Gambar: Anatomi ginjal
B. ETIOLOGI

Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan
ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber
terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)
diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great
imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat
timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya
perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering
ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer,
2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar,
1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan
pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).

C. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu
dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

D. KLASIFIKASI

Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui


penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR dokter
akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat kadar
kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot
yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)
Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin
Test) dapat digunakan dengan rumus :

( 140age ) mass ( kg ) [ 0,85 if female]


CreatinineClearance
mg
72 serum creatinine ( )
dL

1. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum
merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini
disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi
tidak lagi 100 persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi
ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita
memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
2. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda-tanda seseorang berada pada stadium 2 juga
dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan
baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri
untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
3. Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat
yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa-
sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium
ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau
keluhan pada tulang.
Gejala-gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
Fatigue
Rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
Kelebihan cairan
Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat lagi
mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat
penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar
wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akibat terlalu
banyak cairan yang berada dalam tubuh.
Perubahan pada urin
Urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan protein di
urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye
tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah
atau berkurang dan terkadang penderita sering terbangun untuk buang air kecil
di tengah malam.
Rasa sakit pada ginjal
Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian
penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
Sulit tidur
Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke
seorang ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan
rekomendasi terbaik serta terapi-terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju
penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan juga untuk meminta
bantuan ahli gizi untuk mendapatkan perencanaan diet yang tepat. Penderita
GGK pada stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga kecukupan protein
namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam makanan tersebut, karena
menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah penting bagi kelangsungan
fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus membatasi asupan kalsium apabila
kandungan dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali
didapati kadar dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga
dianjurkan bagi penderita yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman
diperlukan selain pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.
4. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 1530 persen saja dan apabila
seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat
diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia
biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan muncul
komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang,
masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :
Fatigue
Kelebihan cairan
Perubahan pada urin
Rasa sakit pada ginjal.
Sulit tidur
Nausea
Perubahan cita rasa makanan
Dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
Bau mulut uremic
Ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan
yang tidak enak.
Sulit berkonsentrasi
5. Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
Kehilangan nafsu makan
Nausea.
Sakit kepala.
Merasa lelah.
Tidak mampu berkonsentrasi.
Gatal-gatal.
Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
Keram otot
Perubahan warna kulit

E. PATOFISIOLOGI
Infeksi (ISK, glomerulonephritis, pielonefritis), penyakit vaskuler, adanya zat
toksik serta penyakit kongenital dapat mempengaruhi GFR. Khususnya penyakit
vaskuler dapat menghambat suplai darah ke ginjal. Hal ini menyebabkan GFR ginjal
menjadi turun. Kondisi ini menyebabkan kerusakan sebagian nefron. Nefron yang
utuh mencoba untuk meningkatkan reabsorpsi dan filtrasi, sehingga terjadilah
hipertropfi nefron. Yang akan meningkatkan jumlah nefron yang rusak. Selanjutnya
karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance
turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Gagal ginjal kronis juga akan mempengaruhi aktivasi RAA. Dimana renin
akan diproduksi dan akan merangsang angiotensin 1 yang selanjutnya akan diubah
menjadi angiotensin 2 dan akan merangsang sekresi aldosterone. Proses ini akan
menyebabkan retensi natrium dan air sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler
dan pada akhirnya mempengaruhi volume interstitial yang meningkat. Pada penderita
GGK akan timbul sebagai kondisi edema yang biasanya terjadi pada area ektremitas.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin. Kemudian timbul kondisi perpospatemia yang akan
menimbulkan kondis gatal-gatal dikulit. Sindrom uremia juga menyebabkan
gangguan asam basa dalam metabolisme tubuh yang akan mempangaruhi produksi
asam dalam lambung. Produksi asam lambung ini selanjutnya akan mengiritasi
lambung.

PATHWAY
F. TANDA DAN GEJALA
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifestasi klinik mengenai
dihampir semua sistem tubuh manusia, seperti:

1. Gangguan pada Gastrointestinal


Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya
zat toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu
oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut.
Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas
penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus gagal ginjal
kronik, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik
2. Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan
gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
3. Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampir selalu ada pada gagal ginjal kronik.
Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan
apakah suatu gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronik dengan penyebab polikistik
ginjal yang disertai polistemi. Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain
anemi pada gagal ginjal kronik sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi
trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit
dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler terganggu sehingga pada
penderita gagal ginjal kronik mudah terinfeksi oleh karena imunitas yang menurun.

4. Sistem Saraf Otot


Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg
syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa
kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai
penurunan kesadaran atau koma.
5. Sistem Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi. Mekanisme terjadinya
hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau
sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang
sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang
disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijumpai akibat gangguan
elektrolit.
6. Sistem Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada
gagal ginjal kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai
aminore. Toleransi glukosa sering terganggu pada gagal ginjal kronik, juga
gangguan metabolik vitamin D.
7. Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit
dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia,
hiperforfatemi, hipokalsemia. Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai
sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ
seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan
neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
(anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya
darah, HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari
78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil
akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal kehabisan Natrium atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau
penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular
massa.
Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke
dalam ureter, terensi.
Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi
pada saluran perkemihan bagian atas.
Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histoligis.
Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal,
keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa. Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan
demineralisasi.

H. KOMPLIKASI
a. Hiperkalemia
b. Perikarditis
c. Hipertensi
d. Anemia
e. Penyakit tulang (Smeltzer & Bare, 2001)

I. PENATALAKSANAAN

1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg
% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan
yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow
fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).

Gambar. Hemodialisa
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

J. PASIEN CKD DENGAN ORD (OSTEO RENAL DISTROFI)

1. DEFINISI
Osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada GGK akibat gangguan
absorpsi kalsium, hiperfungsi paratiroid dan gangguan pembentukan vitamin D aktif
(kalsitriol). Yang terjadi adalah penimbunan asam fosfat yang mengakibatkan
hiperfosfatemia dan kadar ion kalsium serum menurun. Keadaan ini merangsang
kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon lebih banyak, agar ekskresi fosfor
meningkat dan kadar fosfat kembali normal. Gejala klinis berupa gangguan
pertumbuhan, gangguan bentuk tulang, fraktur spontan, dan nyeri tulang. Apabila
disertai gejala rakitis, akan timbul hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Akan
ditemukan osteoporosis dan osteomalasia.

2. HORMON PARATIROID
Kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon paratiroid (parathiroid hormone,
PTH) yang bersama-sama dengan Vitamin D3 (1.25-dthydroxycholccalciferal), dan
kalsitonin mengatur kadar kalsium dalam darah. Sintesis PTH dikendalikan oleh
kadar kalsium plasma, yaitu dihambat sintesisnya apabila kadar kalsium tinggi dan
dirangsang bila kadar kalsium rendah. PTH akan merangsang reabsorbsi kalsium pada
tubulus ginjal, meningkatkan absorbsi kalsium pada usus halus, sebaliknya
menghambat reabsorbsi fosfat dan melepaskan kalsium dari tulang. Jadi PTH akan
aktif bekerja pada tiga titik sasaran utama dalam mengendalikan homeostasis kalsium
yaitu di ginjal, tulang dan usus.
Kadar normal PTH utuh dalam plasma adalah 10-55 pg/mL. Waktu paruh PTH
kurang dari 20 menit, dan polipeptida yang disekresikan ini cepat diuraikan oleh sel-
sel Kupffer di hati menjadi 2 polipeptida, sebuah fragmen terminal C yang tidak aktif
secara biologis dengan berat molekul 2500. PTH bekerja langsung pada tulang untuk
meningkatkan resorpsi tulang dan memobilisasi Ca2+. Selain meningkatkan Ca2+
plasma dan menurunkan fosfat plasma, PTH meningkatkan ekskresi fosfat dalam urin.
Efek fosfaturik ini disebabkan oleh penurunan reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal.
PTH juga meningkatkan reabsorpsi Ca2+ di tubulus distal, walaupun ekskresi Ca2+
biasanya meningkat pada hiperparatiroidisme karena terjadi peningkatan jumlah yang
difiltrasi yang melebihi efek reabsorpsi. PTH juga meningkatkan pembentukan 1,25
dihidroksikolekalsiferol, metabolit vitamin D yang secara fisiologis aktif.
Efek hormon paratiroid terhadap konsentrasi kalsium dan fosfat dalam cairan
ekstraselular. Naiknya konsentrasi kalsium terutama disebabkan oleh dua efek berikut
ini: (1) efek hormon paratiroid yang menyebabkan terjadinya absorpsi kalsium dan
fosfat dari tulang, dan (2) efek yang cepat dari hormon paratiroid dalam mengurangi
ekskresi kalsium oleh ginjal. Sebaliknya berkurangnya konsentrasi fosfat disebabkan
oleh efek yang sangat kuat dari hormon paratiroid terhadap ginjal dalam
menyebabkan timbulnya ekskresi fosfat dari ginjal secara berlebihan, yang merupakan
suatu efek yang cukup besar untuk mengatasi peningkatan absorpsi fosfat dri tulang.
Absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang yang disebabkan oleh hormon
paratiroid. Hormon paratiroid mempunyai dua efek pada tulang dalam menimbulkan
absorpsi kalsium dan fosfat. Pertama merupakan suatu tahap cepat yang dimulai
dalam waktu beberapa menit dan meningkat secara progresif dalam beberapa jam.
Tahap ini diyakini disebabkan oleh aktivasi sel-sel tulang yang sudah ada (terutama
osteosit) untuk meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat. Tahap yang kedua adalah
tahap yang lebih lambat, dan membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan
beberapa minggu untuk menjadi berkembang penuh; fase ini disebabkan oleh adanya
proses proliferasi osteoklas, yang diikuti dengan sangat meningkatnya reabsorpsi
osteoklastik pada tulang sendiri, jadi bukan hanya absorpsi garam fosfat kalsium dari
tulang.

3. HIPERPARATIROID
Hiperparatiroid adalah karakter penyakit yang disebabkan kelebihan sekresi
hormone paratiroid, hormon asam amino polipeptida. Sekresi hormon paratiroid
diatur secara langsung oleh konsentrasi cairan ion kalsium. Efek utama dari hormon
paratiroid adalah meningkatkan konsentrasi cairan kalsium dengan meningkatkan
pelepasan kalsium dan fosfat dari matriks tulang, meningkatkan penyerapan kalsium
oleh ginjal, dan meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Hormon paratiroid juga
menyebabkan fosfaturia, yang secara tidak langsung menyebabkan terjadinya
hipofosfatemia. Hiperparatiroidisme terbagi menjadi primer, sekunder dan tersier.
Hiperparatiroid sekunder merupakan suatu keadaan dimana sekresi hormon paratiroid
meningkat lebih banyak dibanding dengan keadaan normal, karena kebutuhan tubuh
meningkat sebagai proses kompensasi. Pada keadaan ini terdapat hiperplasi dan
hiperfunsi merata pada keempat kelenjar paratiroid, terutama dari chief cells.
Biasanya penyebab primer adalah gagal ginjal kronik, dan glomerulonefritis atau
pyelonefritis menahun. Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan hiperparatiroid
sekunder adalah osteogenesis imperfekta, penyakit paget multiple mieloma,
karsinoma dengan metastase tulang.
Pada keadaan gagal ginjal, ada banyak factor yang merangsang produksi hormon
paratiroid berlebih. Salah satu faktornya termasuk hipokalsemia, kekurangan produksi
vitamin D karena penyakit ginjal, dan hiperpospatemia. Hiperpospatemia berperan
penting dalam perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan
meningkatkan produksi hormon paratiroid.

4. PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya hiperparatiroidisme sekunder sudah dihipotesiskan
sejak 30 tahun yang lalu, dikenal dengan trade-off theory. Pada GGK, terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus dan jumlah massa ginjal yang berfungsi, sehingga
akan mengurangi ekskresi maupun fungsi metaboliknya. Salah satu substansi yang
tidak dapat diekskresikan oleh ginjal ialah fosfat. Akibatnya terjadi hiperfosfatemia.
Ginjal juga merupakan organ utama yang mensekresikan kalsitriol (1,25(OH)2D3).
Berkurangnya massa ginjal akan mengakibatkan berkurangnya sekresi kalsitriol
(hipokalsitriolemia). Hiperfosfatemia dan hipokalsitriolemia ini merupakan penyebab
utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder.
Pada GGK, terjadinya hiperfosfatemia secara langsung mengakibatkan
hipokalsemia, yaitu melalui mekanisme keseimbangan kalsium dan fosfat: ion
kalsium + hidrogen fosfat CaHPO4. pada hiperfosfatemia, keseimbangan tersebut
bergeser ke kanan, sehingga kadar kalsium menurun. Kesimpulannya, hiperfosfatemia
menyebabkan hal-hal sebagai berikut: (1) hipokalsemia melalui keseimbangan
fisikokimiawi, (2) mengurangi aktivitas kalsitriol dengan menghambat 1
hidroksilase, (3) diduga secara langsung meningkatkan sekresi hiperparatiroid.
Hipokalsitriolemia mengakibatkan hal-hal sebagai berikut: (1)
hiperparatiroidemia melalui hilangnya penghambatan terhadap sintesis pre-pro PTH,
dan hiperplasia sel kelenjar paratiroid, (2) hipokalsemia melalui: berkurangnya
absorbsi kalsium di saluran cerna, terhambatnya reabsorbsi kalsium di tubulus renalis,
dan terhambatnya mobilisasi kalsium dari tulang.

5. MANIFESTASI KLINIS
Karena hiperparatiroidisme sekunder disebabkan oleh berbagai macam
etiologi, maka manifestasi klinis yang sering muncul selalu diserati dengan adanya
manifestasi klinis akibat kelainan yang mendasarinya, yaitu gagal ginjal atau
defisiensi vitamin D (osteomalasia atau miopati). Pasien mungkin tidak atau
mengalami tanda-tanda dan gejala akibat terganggunya beberapa sistem organ pada
kasus hiperparatiroidisme sekunder yang lama dan berat. Gejala apatis, keluhan
mudah lelah, kelemahan otot, mual, muntah, konstipasi, hipertensi dan aritmia jantung
dapat terjadi, semua ini berkaitan dengan peningkatan kadar kalsium dalam darah.
Manifestasi psikologis dapat bervariasi mulai dari emosi yang mudah tersinggung dan
neurosis hingga keadaan psikosis yang disebabkan oleh efek langsung kalsium pada
otak serta sistem saraf. Peningkatan kadar kalsium akan menurunkan potensial
eksitasi jaringan saraf dan otot.
Manifestasi utama dari hiperparatiroidisme terutama pada ginjal dan
muskuloskeletal. Pembentukan batu pada salah satu atau kedua ginjal yang berkaitan
dengan peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor merupakan salah satu komplikasi
hiperparatiroidisme. Kerusakan ginjal terjadi akibat presipitasi kalsium oksalat atau
kalsium fosfat dalam pelvis dan parenkim ginjal yang mengakibatkan nefrolithiasis,
obstruksi, pielonefritis serta gagal ginjal. Nefrolitiasis juga menyebabkan penurunan
fungsi ginjal dan retensi fosfat.
Manifestasi skeletal yang menyertai hiperparatiroidisme dapat terjadi akibat
demineralisasi tulang atau tumor tulang, yang muncul berupa sel-sel raksasa benigna
akibat pertumbuhan osteoklast yang berlebihan, disebut sebagai osteitis fibrosa
cystica. Secara histologis, gambaran patognomonik adalah peningkatan giant
multinukleal osteoklas pada lakuna Howship dan penggantian sel normal dan sumsum
tulang dengan jaringan fibrotik. Pasien dapat mengalami nyeri skeletal dan nyeri
tekan, khususnya di daerah punggung, panggul, tungkai dan persendian lutut serta,
nyeri ketika menyangga tubuh, fraktur patologik, deformitas, osteomalasia dan
kiposkoliosis. Nyeri persendian akibat deposit kristal hidroksiapatite, karena adanya
hiperfosfatemia. Bahkan, dapat terjadi neksrosis avaskular pada caput femoris karena
adanya renal distrofi yang menyebabkan nyeri sendi panggul. Kehilangan tulang yang
berkaitan dengan hiperparatiroidisme merupakan faktor risiko terjadinya fraktur.
Pada pasien dapat disertai dengan gejala disfungsi sistem saraf pusat, nervus
dan otot perifer, traktus gastrointestinal, dan sendi. Manifestasi dari neuromuscular
termasuk tenaga otot berkurang (paroxysmal muscular weakness) yang perlahan-
lahan, mudah lelah, dan atrofi otot yang mungkin menyolok adalah tanda kelainan
neuromuscular primer.
Manifestasi pada traktus gastrointestinal kadang-kadang ringan. Insidens ulkus
peptikum dan pankreatis meningkat pada hiperparatiroidisme dan dapat menyebabkan
terjadinya gejala gastroitestinal.
Pada anak-anak dengan azotemia, terjadi deformitas skeletal berupa
pembengkokan tibia dan femur. Kalsifikasi vaskular dan nekrosis iskemia perifer
dapat menyebabkan warna kulit jari dan kuku menjadi pucat. Kadang, ulcer dan scar
dapat timbul. Dan didapatkan adanya hubungan kejadian stenosis mitral dan aorta
pada pasien anak dengan hemodialisis.

6. PENATALAKSANAAN
Pada kasus defisiensi vitamin D dapat dikoreksi dengan pemberian kapsul
vitamin D 50.000 IU/kapsul satu kali seminggu selama 8 minggu dan dapat diulang 8
minggu lagi apabila tanda defisiensi masih terlihat. Pada kasus gagal ginjal kronik,
National Kidney Foundation (NKF) merekomendasikan penurunan kadar PTH untuk
menormalkan turnover mineral tulang dan meminimalisasi terbentuknya kalsifikasi
ektopik. Pasien yang mengalami dialisis gagal ginjal, biasanya mengalami
peningkatan kadar hormon paratiroid. Berikut pilihan terapi non bedah yang
dianjurkan bagi pasien hiperparatiroidisme sekunder pada kasus gagal ginjal kronik:
1. Restriksi konsumsi fosfat, jika dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
kadar 25-hydroxyvitamin D >30 ng/mL.
2. Phosphate binder Calcium-based phosphate binders, seperti calcium carbonate
atau calcium acetate Non-calcium-based phosphate binders, seperti sevelamer
hydrochloride atau lanthanum carbonate
3. Suplementasi kalsium dibatasi kurang dari 2 gr/hari
4. Vitamin D dan analognya: Calcitriol
Penekanan sekresi hormon paratiroid dengan low-dose calcitriol mungkin
dapat mencegah hiperplasia kelenjar paratiroid dan hiperparatiroidisme
sekunder. Analog calcitriol: Paricalcitol, doxercalciferol, maxacalcitol, dan
falecalcitriol
5. Kalsimimetik, seperti cinacalcet
Kalsimimetik digunakan efeknya dalam meningkatkan sensitivitas reseptor
kalsium dan menghambat pengeluaran dari PTH. Selain itu, kalsimimetik juga
dapat menurunkan kadar fosfor dalam darah. Penyembuhan dengan calcitriol
dan kalsium dapat mencegah atau meminimalisir hiperparatiroidisme
sekunder. Kontrol kadar cairan fosfat dengan diet rendah fosfat juga penting.
Pasien yang mengalami dialysis-dependent chronic failure membutuhkan
calcitriol, suplemen kalsium, fosfat bebas aluminium, dan cinacalcet (sensipar)
untuk memelihara level cairan kalsium dan fosfat.

K. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Aktivitas / istirahat
Gejala: Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur (insomnia / gelisah
atau somnolen)
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
2. Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi lama, atau berat, palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda: Hipertensi, nadi kuat,edema jaringan umum dan pitting pada kaki,
telapak,tangan, disritmia jantung. Nadi lemah halus,hipotensi ortostatik menunjukan
hipovolemia, pucat, kecenderungan perdarahan.
3. Integritas ego
Gejala: Factor stress, contoh financial, hubungan dan sebagainya, perasaan tak
berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian
4. Eliminasi
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen kembung, diare, atau
konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, cokelat,berawan,
oliguria, dapat menjadi anuria.
5. Makanan/ cairan
Gejala: Peningkatan berat badan cepat (edema), penuruna berat badan (malnutrisi),
anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap di mulut (pernapasan
amonia), penggunaan diuretic
Tanda: Distensi abdomen / asites, pembesaran hati,, perubahan turgor kulit /
kelembaban, edema (umum,tergantung), ulserasi gusi, perdarahan gusi / lidah,
penurunan oto, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga.
6. Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom kaki gelisah,
Tanda: Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkosentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat
kesadaran, stupor, koma, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7. Nyeri / kenyamanan
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala ; kram otot/nyeri kaki (memburuk saat malam
hari)
Tanda: Perilaku berhati-hati/ distraksi, gelisah.
8. Pernapasan
Gejala: napas pendek ; dispnea nocturnal paroksimal ; batuk dengan / tanpa sputum
kental dan banyak.
Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman (pernapasan kusmaul),
batuk produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru).
9. Keamanan
Gejala: Kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi
Tanda: Pruritus, demam,(sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara actual terjdai
peningkatan pada pasie yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal.,
petechie,
10. Seksualitas
Gejala: Penurunan libido ; amenorea ; infertilitas
11. Interaksi social
Gejala: kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankn
fungsi peran biasanya dalam keluarga.
12. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala: riwayat DM keluarga (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik,
nefritis herediter,kalkulus urinaria, malignasi, riwayat terpajan oleh toksin, contoh,
obat, racun lingkungan

2. Diagnosa keperawatan
Daftar diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus CKD dengan
komplikasi ORD :
Kelebihan volume cairan b.d penurunan mekanisme regulasi ginjal
Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai oksigen
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Ketidakefektifan perfusi jaringan renal
Gangguan pertukaran gas
3. Rencana asuhan keperawatan
1. Kelebihan volume cairan
Ditandai dengan oedema , hasil laboratorium kadar elektrolit , peningkatan TD,
peningkatan BB, penurunan urine output, turgor kulit buruk
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tanda
kelebihan volume cairan berada pada skala 2* dan 5**
Kriteria hasil:
Pasien rileks
Tidak terjadi oedema, asites, berat badan stabil dan turgor kulit baik
TD 120/80 mmHg, RR 16-20x/menit, N 60-100x/menit, suhu 36,5o-37,2o C
NOC: Fluid Balance

No. Indikator 1 2 3 4 5
1* Tekanan darah: 120/80 mmHg
2* Nadi: 60-100x/menit
3* Turgor kulit
4* Kestabilan berat badan
5** Hipotensi ortostatik
6** Asites
7** Edema perifer
Keterangan penilaian*: Kriteria penilaian**:
1: sangat kompromi 1:sangat parah
2: kompromi sebagian 2: parah
3: kompromi sedang 3: sedang
4: kompromi ringan 4: ringan
5: tidak kompromi 5: tidak
NIC: Fluid/electrolyte Management
Cek TD, suhu, nadi dan RR
Atur intake cairan sesuai indikasi
Monitor hasil laboratorium pada keseimbangan cairan (kematokrit, BUN, albumin,
dll)
Monitor intake dan output
Observasi adanya tanda retensi cairan

2. Intoleransi aktivitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, pasien toleran
terhadap aktivitasnya
Kriteria hasil:
TD 120/80mmHg, RR 16-20x/menit, Nadi 60-100x/menit, suhu 36,5o-37,2oC
Pada saat evaluasi indicator NOC berada pada skor 5
NOC: toleran aktivitas

No Indicator 1 2 3 4 5
.
1. TTV
2. Kekuatan otot
3. Kemudahan melakukan aktivitas
4. Kemampuan untuk berbicara saat aktivitas fisik
Kriteria penilaian:
1: selalu
2: sering
3: kadang-kadang
4: jarang
5: tidak pernah
NIC
Kaji membrane mukosa dan warna kulit
Monitor TTV
Tingkatkan aktivitas motorik secara bertahap sesuai toleransi
Bantu pemenuhan ADL klien
Bantu keluarga dan klien mengidentifikasi tingkat kelemahan aktivitas

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan


Ditandai dengan penurunan nafsu makan, porsi makan berkurang, pemasukan
cairan tidak sesuai kebutuhan, lemah
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
ketidakseimbangan nutrisi dapat teratasi
Kriteria hasil : pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indicator NOC
NOC: nafsu makan

No Indicator 1 2 3 4 5
.
1. Ada keinginan makan
2. Menghabiskan porsi makan
3. Pemasukan cairan sesuai kebutuhan dan indikasi
Kriteria penilaian:
1: selalu
2: sering
3: kadang-kadang
4: jarang
5: tidak pernah
NIC:
Identifikasi makanan kesukaan
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah kalori gizi yang dibutuhkan
klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
Monitor intake dan output
Monitor BB
Berikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi dan bagaimana cara
memenuhinya

4. Gangguan pertukaran gas


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pertukaran gas
dalam tubuh tidak mengalami gangguan
Kriteria hasil : pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indicator NOC
NOC: respiratory status:gas exchange

No Indicator 1 2 3 4 5
.
1. PaO2
2. PaCO2
3. Saturasi oksigen
4. Dsypnea at rest
5. Dsypnea with mild exertion
6. Sianosis
7. Impaired cognition
Kriteria penilaian*:
1: severe deviation from normal range
2: substantial deviation
3: moderate deviation
4: mild deviation
5: no deviation
NIC
a. Monitor rate, ritme, kedalaman dari nafas
b. Monitor adanya suara pernafasan seperti snoring atau crowning
c. Monitor pola pernafasan: bradypnea, tachypnea, hyperventilation, pernafasan
Kussmaul
d. Auskultasi suara nafas
e. Identifikasi suction apabila dibutuhkan
f. Monitor kemampuan pasien untuk batuk efektif
g. Monitor secret pernafasan pasien
h. Kolaborasi terapi pernafasan (missal nebulizer) jika dibutuhkan
5. Gangguan perfusi jaringan Renal
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tidak terjadi
gangguan perfusi jaringan renal
Kriteria hasil : pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indicator NOC
NOC: tissue perfusion:cellular

No Indicator 1 2 3 4 5
.
1. Tekanan darah
2. Fluid balance
3. Heart rhythm
4. Capillary refill
5. Urine output
6. Creatinin clearance
7. Agitation
8. Nausea
9. Vomiting
10. Pain
11. Pale, cold skin
12. Decreased level of consciousness
Kriteria penilaian*:
1: severe deviation from normal range
2: substantial deviation
3: moderate deviation
4: mild deviation
5: no deviation
NIC
a. Kaji Perubahan EKG, Respirasi (Kecepatan dan kedalamannya) serta tanda
tanda chvosteks dan Trousseaus.
b. Monitor data-data laboratorium : Serum pH, Hidrogen, Potasium, bicarbonat,
calsium magnesium, Hb, HT, BUN dan serum kreatinin.
c. Berikan pengobatan sesuai pesanan / permintaan dokter dan kaji respon terhadap
pengobatan.
d. Observasi status hidrasi (kelembaban membran mukosa, TD ortostatik, dan
keadekuatan dinding nadi)
e. Monitor HMT, Ureum, albumin, total protein, serum osmolalitas dan urin.
f. Observasi tanda-tanda cairan berlebih/ retensi (CVP menigkat, oedem, distensi
vena leher dan asites)
g. Pertahankan intake dan output secara akurat
h. Monitor TTV

DAFTAR PUSTAKA
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan),
Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa: Tim
PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan untuk
perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi, By
Mosby-Year book.Inc,Newyork
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification, Philadelphia,
USAUniversity IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome
Classifications,Philadelphia, USA
Puji Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilit II, Edisi III, BP FKUI Jakarta
Hundak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II, Jakarta, EGC.
Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta:
EGC; 2000
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai