Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Osteoporosis merupakan masalah yang sudah tidak asing lagi di dunia. Osteoporosis
adalah salah satu penyakit kronis tidak menular yang dikarakterisasikan dengan adanya
penurunan kepadatan, kekuatan, dan struktur tulang sehingga menyebabkan penderitanya
lebih rentan mengalami patah tulang.(1) Berdasarkan data World Health Organization,
pada tahun 2000 diperkirakan hampir 9 juta pria dan wanita usia 50 tahun di dunia
mengalami osteoporosis atau sekitar 1% dari populasi dunia pada saat itu. Dari jumlah
itu, sebanyak 17,4% penderita osteoporosis berada di Asia Tenggara. (2) 2 Di Indonesia
sendiri, jumlah penderita osteoporosis belum dapat dipastikan. Penelitian yang ada
melaporkan bahwa penderita osteoporosis di Indonesia kira-kira 10% pada tahun 2005.
Akan tetapi, angka ini tidak bisa dijadikan gambaran prevalensi osteoporosis di
Indonesia karena data tersebut hanya diperoleh'dari mereka yang secara sukarela datang
memeriksakan densitas tulangnya.(3) Menurut data DepKes RI tahun 2004, analisa data
yang dilakukan ada 14 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa masalah osteoporosis
di Indonesia telah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai, yaitu 19,7%. Lima provinsi
dengan risiko Osteoporosis tertinggi adalah Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah
(24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,82), dan Jawa Timur (21,42).
Diagnosis osteoporosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kepadatan mineral
tulang (bone mineral density, BMD) menggunakan alatdua/x-ray absorptiometry (DXA).
Dengan kata lain, rendahnya kepadatan mineral tulangadalah salah satu faktor risiko
osteoporosis dan patah tulang.(1) Faktor risiko osteoporosis lainnya antara lain usia, jenis
kelamin, indeks massa tubuh yang rendah, ras, adanya riwayat patah tulang, adanya
riwayat patah tulang dalam anggota keluarga, gangguan hormon, anoreksia nervosa,
asupan kalsium dan vitamin D yang rendah, aktivitas fisik yang kurang, alkohol, rokok,
dan penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid dan beberapa obat antikejang. (1)
Sindrom Metabolik juga merupakan salah satu masalah medis dimana prevalensi
penderita sindrom metabolik meningkat secara cepat di kota-kota industrialisasi. (4)
Sindrom Metabolik dikarakteristikan dengan adanya obesitas abdomen, hipertensi,
resistensi insulin, dan dislipidemia. Sindrom Metabolik berkaitan dengan penyakit
kardiovaskular dan resiko terkena penyakit Diabetes type 2. (5) Beberapa study telah
dilakukan untuk melihat hubungan antara Sindrom Metabolik (MS) dengan Bone
Mineral Density (BMD). Namun, hasilnya masih tidak konsisten. Beberapa komponen
MS mungkin memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kepadatan tulang. Bahkan MS
memiliki 2 faktor yang berlawanan, yaitu obesitas yang dikenal protektif terhadap
osteoporosis, dan inflamasi yang memicu pemecahan tulang. (4) Obesitas dapat memicu
peningkatan BMD karena berkaitan dengan kadar 17 -estradiol yang lebih tinggi serta
beban mekanik yang lebih berat. Akumulasi lemak visceral berkaitan dengan tingginya
inflamasi akibat sitokin yang mempengaruhi regulasi aktivator reseptor dari nuclear
kappa B ligand yang berdampak terhadap pembongkaran tulang sehingga menurunkan
BMD. meskipun Hiperglikemia merupakan prekursor dari fraktura osteoporotik, namun
hubungan antara tingginya gula darah atau resistensi insulin dengan BMD tidak
diketahui secara jelas. Begitu juga hubungan antara hipertensi dan dislipidemia dengan
BMD yang belum diketahui secara pasti. (6)
Pada penelitian sebelumnya, yaitu study MINOS, dimana penelitian dilakukan untuk
meneliti hubungan antara MS dengan BMD pada 762 pria selama 10 tahun. hasilnya,
pria dengan MS memiliki BMD lebih rendah pada tulang panggul, sebagian besar tubuh,
dan tulang distal lengan bawah. Perbedaan ini terkait dengan obesitas abdomen (diukur
dengan lingkar pinggang, rasio pinggang-panggul, massa lemak sentral) sedangkan
komponen MS yang lain tidak berpengaruh. Pria dengan MS juga memiliki insiden
fraktura vertebal dan periferal yang rendah yang ada hubungannya dengan
hiperlipidemia.(5) Hasil yang mirip juga didapatkan pada penelitian berbasis U.S
population sampel dimana femoral neck (FN-BMD) dijumpai lebih rendah pada
kelompok dengan MS dan berkaitan signifikan dengan obesitas abdomen dan diabetes .(8)
Sedangkan pada penelitian lain menyebutkan bahwa MS memiliki hubungan negatif
dengan BMD pada lumbar spine, dan femoral neck. faktor independent yang
berpengaruh pada BMD di femoral neck pada wanita postmenopause adalah C-Reactive
Protein (CRP) dan tekanan diastol (DBP). sedangkan pada lumbar spine, faktor
independent yang berpengaruh terhadap rendahnya BMD pada wanita postmenopause
adalah HDL kolesterol dan DBP.(4) Pada Rotterdam Study, MS berkaitan dengan FN-
BMD yang lebih tinggi. selain itu, MS dan komponen-komponennya memiliki hubungan
yang berkebalikan dengan resiko osteopenia dan osteoporosis.(6)
Berkaitan dengan hasil yang belum konsisten tersebut, penulis ingin meneliti
pengaruh dari tiap komponen MS terhadap BMD pada wanita postmenopause khususnya
pada populasi di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana pengaruh tiap-tiap komponen sindrom metabolik terhadap tingkat
kepadatan tulang pada wanita post menopause?
- Apakah terdapat perbedaan pengaruh tiap komponen sindrom metabolik terhadap
tingkat kepadatan tulang pada wanita post menopause?
C. Tujuan
- Tujuan Umum:
Mengetahui hubungan tiap-tiap komponen sindrom metabolik serta komponen mana
yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepadatan tulang pada wanita post
menopause
- Tujuan Khusus:
Memperoleh data Bone Mineral Density beberapa jenis tulang pada wanita
postmenopause baik dengan sindrom metabolik maupun tanpa sindrom metabolik
Mengetahui resiko terjadinya osteoporosis pada wanita postmenopause yang
mengalami sindrom metabolik
D. Manfaat
Memberikan informasi atau gambaran mengenai hubungan antara sindrom metabolik
dengan kepadatan tulang pada wanita post menopause
Sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian yang serupa dengan desain yang
berbeda bagi peneliti lain