1. Identitas Jurnal
a. Judul :
Effect of Utilizing Conflict Management Strategies for ICU Nurses on Patient Care
(Pengaruh Penggunaan Strategi Manajemen Konflik pada Perawat ICU dalam
Perawatan Pasien)
b. Pengarang : Heba K. Obied dan Safaa E. Sayed Ahmed
c. Edisi Jurnal : 2016
2. Identifikasi Topik Penelitian
a. Topik
Jurnal ini membahas mengenai bagaimana pengaruh penggunaan
manajemen konflik dalam perawatan pasien di ruang ICU medis dan di ICU
jantung. Penggunaan manajemen konflik ini dibandingkan setelah dan sesudah
diberikan program edukasi mengenai manajemen konflik.
b. Latar Belakang Masalah
Intensive Care Unit (ICU) suatu lingkup area yang memiliki multidisiplin dan
alatalat yang canggih dimana perawat merawat pasien yang sakit kritis dan
keluarga mereka yang kebingungan sehingga dalam hal ini perawat dalam
keadaan yang penuh tekanan kerja. Untuk tetap menjaga kualitas perawatan
pasien kritis, perawat ICU harus berkolaborasi dengan tim kesehatan lain yang
memiliki nilai, tujuan dan peran yang berbeda sehingga hal ini dapat memicu
timbulnya konflik.
Konflik dapat dilihat sebagai sikap perebutan kekuasaan, dimana setiap
orang memiliki niat menetralkan, melecahkan atau bahkan menghilangkan
pesaing. Terdapat beberapa definisi dari konflik, Abigel (2011) menyatakan konflik
sebagai suatu proses komunikasi dalam situasi yang bermasalah dengan
karakteristik bermasalah. Jambrek (2008), menyatakan bahwa konflik merupakan
suatu proses interaksi sosial, dimana ketertarikan dan kegiatan dari pihak yang
terlibat saling bertentangan dan tidak mampu merealisasikan tujuan dari salah
satu pihak seperti perebutan sumber, kekuatan atau hak dari individu atau
organisasi.
Konflik di ruang ICU muncul dari berbagai sumber seperti perbedaan
interpersonal dalam hal usia, pengalaman, opini, dan nilai, selain itu juga
disebabkan oleh estimasi pribadi yang tidak sesuai, kesalahan dalam komunikasi,
kurangnya keadilan, deskripsi pekerjaan yang tidak jelas, harapan dan kebijakan.
Selain itu, lingkungan kerja ICU yang penuh tekanan juga bisa terjadi akibat
berhadapan dengan peralatan yang canggih, pasien dengan penyakit kritis,
bekerja dengan tim kesehatan yang lain, adanya dominasi dokter, sumber daya
yang terbatas, pekerjaan yang berlebihan, kekurangan perawat bisa berkontribusi
terjadinya konflik. Konflik interpersonal di lingkungan ICU bisa terjadi antara
perawat satu dengan perawat yang lainnya, klien, keluarga klien, kepala bidang
keperawatan atau dengan tim kesehatan lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik merupakan situasi kerja seharihari di
ruang ICU. Hal ini memiliki dampak positif dan juga dampak negatif atau
berbahaya. Adanya konflik yang sedikit dapat menstimulus terjadinya diskusi,
meningkatkan pemahaman tentang isuisu yang berbeda dan menghasilkan solusi
yang kreatif yang dapat berkontribusi menghasilkan keputusan yang lebih baik.
Sedangkan konflik yang tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan terjadinya
penurunan kepuasan staff, loyalitas, komitmen, kerjasama dan kinerja. Selain itu
juga dapat meningkatkan kelelahan kerja, kelelahan emosional, membuang-buang
waktu dan permusuhan.
Thomas dan Kilmann (1987) menyebutkan bahwa terdapat lima gaya
dalam manajemen konflik berdasarkan tingkat ketegasan dan kerjasama.
Competing style, berkarakter tegas namun tidak ada unsur kerjasama, dimana
salah satu pihak mencoba untuk memaksakan pendapatnya dalam mengambil
keputusan. Gaya ini cukup efisien dalam situasi yang darurat yang mana tidak ada
waktu untuk diskusi dan diperlukan keputusan sesegera mungkin. Accommodating
style, dikarakteristikkan tidak ada unsur ketegasan namun terdapat unsur
kerjasama, salah satu pihak mengesampingkan pendapatnya untuk kepuasan
orang lain. Compromising style, dikenal dengan tingkat moderat dari ketegasan
dan kerjasama dimana kedua belah pihak tidak memaksakan kepentingan
mereka. Collaborating style, dikenal oleh ketegasan dan kerjasama dari pihak
terkait yang saling menghormati ide ide dan nilai nilai yang lain untuk
menemukan solusi yang memuaskan kedua belah pihak. Avoiding style
dikarakteristikkan dengan tidak adanya ketegasan dan kerjasama, kedua belah
pihak meninggalkan konflik tanpa menyelesaikannya. Gaya ini bisa digunakan
ketika dibutuhkan lebih banyak informasi adan analisa terkait permasalahan atau
pada kondisi salah satu pihak lebih kuat.
Penelitian pada perawat perawat di unit keperawatan keritis menunjukkan
bahwa mereka lebih suka pendekatan dengan avoidance style untuk menghadapi
konflik dengan dokter atau tim kesehatan lain daripada melakukan konfrontasi.
Model pelayanan kesehatan tradisional dikarakteristikkan dengan dominasi dokter
yang tidak melibatkan perawat dalam pembuatan keputusan berdasarkan rencana
perawatan pasien dan membuat perawat merasa terintimidasi dan tertekan.
Penggunaan strategi avoidance menyebabkan komunikasi yang buruk,
menimbulkan hasil perawatan yang buruk termasuk kesalahan pengobatan,
kesalahan penggunaan IV, pasien jatuh dan dapat menyebabkan tingkat stress
semakin meningkat di kalangan perawat.
The Americans Association of Critical-Care Nurses membuat standar
lingkungan kerja yang sehat yang dapat diidentifikasi dari penguasaan manajemen
konflik dan kemampuan berkomunikasi yang merupakan hal penting untuk
memastikan kualitas pelayanan pasien, meningkatkan moral tenaga kesehatan
dan keselamatan pasien. Sehingga, untuk mencapai keberhasilan organisasi
kesehatan harus menciptakan budaya saling memahami dan kerjasama untuk
menghadapi konflik di tempat kerja. Bagaimanapun juga keterbatasan biaya
membuat orgnisasi pelayanan kesehatan tidak mampu menyediakan semua
kebutuhan program pendidikan, jadi fakultas keperawatan bertanggungjawab
untuk mendukung stafstaf keperawatan dengan keilmuan dan ketrampilan yang
dibutuhkan dan berkontribusi terhadap kualitas pelayanan pasien. Sehingga
penelitian kami bertujuan untuk mengevaluasi dampak dari pemanfaatan strategi
manajemen konflik untuk perawat ICU dalam melakukan perawatan pasien.
c. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh
penggunaan strategi manajemen konflik untuk perawat ICU pada perawatan
pasien.
Tabel (2) Pada perawat ICU medis, faktor-faktor yang sangat berkonstribusi terhadap
terjadinya konflik yaitu karakteristik personal dari teman sesame perawat yaitu sebanyak
(78%), kebijakan administrative yaitu sebanyak (77%), lingkungan tempat kerja atau ICU
sebanyak (76%) dan interaksi antara perawat dan dokter yaitu sebanyak (72%).
Sedangkan pada perawat ICU jantung didapatkan faktor-faktor yang berkonstribusi
antara lain lingkungan tempat kerja atau ICU yaitu sebanyak (83%), karakteristik
personal dari teman sesame perawat dan kebijakan administrative yaitu sebanyak
(76%).
Tabel (3) merupakan tabel yang menjelaskan terkait dampak dari konflik di tempat kerja
pada kinerja perawat sebelum dan sesudah dilakukan program edukasi. Dari hasil
observasi didapatkan bahwa sekitar 2/3 perawat ICU medis (78% dan 62%) sering
mengalami konflik di tempat kerja sebelum diberikan intervensi berupa program edukasi.
Namun, setelah dilakukan intervensi berupa program edukasi, konflik yang dialami
perawat mengalami penurunan menjadi (9% dan 18%).
Tabel (4) menunjukkan tentang dampak konflik pada perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan terhadap pasien sebelum dan sesudah dilakukan program
edukasi. Sebelum dilakukan program edukasi, baik perawat ICU medis maupun perawat
ICU jantung sering menghindari pasien untuk ikut serta dalam merencanakan asuhan
keperawatan, menyembunyikan informasi dari pasien dan mengabaikan pemberian
dukungan emosional terhadap pasien.
Gambar (1) dalam tabel ini dijelaskan beberapa gaya manajemen konflik yang dilakukan
baik perawat sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Sebelum dilakukan intervensi,
baik perawat ICU medis maupun perawat ICU jantung lebih memilih menggunakan gaya
manajemen konflik avoiding dan hanya sedikit perawat yang memilih gaya manajemen
konflik kolaborasi. Namun, setelah dilakukan intervensi, kedua perawat tersebut beralih
menggunakan gaya manajemen konflik kolaborasi dan gaya manajemen konflik
akomodasi.
Tabel (5) terdapat perbedaan yang signifikan antara pengetahuan perawat di ruang ICU
medis dan perawat di ICU jantung sebelum dan sesudah dilakukan intervensi
manajemen konflik, dimana nilai p yang didapatkan yaitu (p=0,000).
Tabel (6) hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara status
pernikahan dengan dampak konflik terhadap perawatan pasien pada perawat ICU
medis, dimana nilai p yang didapatkan yaitu (p=0,023). Sedangkan pada perawat ICU
jantung didapatkan hubungan yang signifikan antara jumlah anak yang dimiliki perawat
ICU jantung dengan dampak konflik dalam menyelesaikan masalah, dengan nilai p yang
didapatkan yaitu (p=0,048).
D PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat ICU mengatakan bahwa
penyebab konflik tersering dikarenakan karakteristik individu, lingkungan kerja, kebijakan
organisasi, kurangnya komunikasi antara perawat dan dokter. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Johansen tahun 2012 bahwa konflik dapat terjadi akibat
kurangnya dukungan organisasi, kurangnya alokasi sumber daya, komunikasi yang buruk,
serta kompleksitas pekerjaan yang menyebabkan tingginya beban kerja. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa beberapa dampak konflik yang muncul adalah hubungan kerja yang
buruk serta menurunnya produktivitas. Sesuai dengan penelitian Chandola mengatakan
bahwa konflik dapat menyebabkan kinerja yang buruk dan akan berakibat pada
menurunnya kualitas pelayanan, meningkatnya absensi serta biaya perawatan, dan
meningkatkan turnover.
Strategi manajemen konflik yang paling banyak dilakukan pada perawat ICU pada
pre-intervensi didapatkan data bahwa sepertiga responden memilih strategi menghindar,
seperempat responden memilih strategi compromising (mengobankan), serta sebagian
kecil memilih strategi kolaborasi. Hal ini dikarenakan kurangnya pengalaman, rasa percaya
diri, dominasi dokter dalam membuat keputusan, sehingga responden merasa takut untuk
menghadapi konflik dan memilih untuk menghindar. Namun hasil yang didapatkan berbeda
pada post-intervensi responden lebih banyak memilih strategi akomodasi serta kolaborasi
untuk mengatasi konflik.
Dilihat dari segi pengetahuan mengenai definisi konflik, strategi manajemen konflik,
serta dampak konflik. Adanya perbedaan antara pre dan post intervensi. Pada post
intervensi jarang ditemukan hubungan kerja yang buruk serta pengabaian pasien oleh
perawat yang jarang terjadi. Semakin meningkatnya pengetahuan akan meningkatkan
kinerja sehingga akan meningkatkan kepuasan pelayanan. Sehingga diharapkan rumah
sakit memberikan kebijakan dalam pengadaan pengembangan dan pendidikan
berkelanjutan bagi perawat. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan
yang signifikan antara jumlah anak dengan konflik kerja, hal ini bertolak belakang dengan
penelitian Abudi (2012) bahwa tidak ada hubungan antara konflik kerja dengan kondisi
demografi seperti jenis kelamin, usia, dan status pernikahan. Dapat disimpulkan program
pendidikan bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan perawat ICU
dalam melakukan manajemen konflik.
Gusty, Reni P, dkk. (2012). Pengaruh Pelatihan Komunikasi Asertif pada Perawat Pelaksana
yang Mengalami Konflik Interpersonal terhadap Kinerjanya dalam Memberikan
Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Solok. Jurnal. Sumatra Utara:
Universitas Andalas
Kuntoro, Agus. (2010). Buku Ajar Manajemen Keperawatan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan : Teori &
Aplikasi, (Ed. 4). Jakarta : EGC
Rostandi P. , Juli & Fathi, Achmad. (2012). Gaya Kepemimpinan dan Manajemen Konflik
Kepala Ruangan di Instalasi Rindu A RSUP H. Adam Malik Medan. Jurnal.
Sumatra Utara. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara