Anda di halaman 1dari 15

PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA)

Disusun Oleh: Kelompok 14


Meiana Mumtaza P23133115026
M Zufar Ibrahim P23133115029
Nuke Fernanda P23133115032

Dosen
Moh. Ichsan Sudjarno, SKM. M.Epid
Sri Ani, SKM. MKM

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA II


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI D-IV TINGKAT II
Jl. Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120
Telp.(021)7397641, 7397643.Fax (021) 7397769
2016

1
DEFINISI FLU BURUNG

Flu Burung adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza yang menyerang
burung/unggas/ayam. Salah satu tipe yang perlu di waspadai adalah yang disebabkan oleh
virus influenza dengan kode genetik H5N1 (H= Haemagglutinin, N= Neuramidase) yang
selain dapat menular dari burung ke burung ternyata dapat pula menular dari burung ke
manusia (Iwandarmansjah, 2007). Secara normal, virus tersebut hanya menginfeksi ternak
unggas seperti ayam, kalkun dan itik, akan tetapi tidak jarang dapat menyerang spesies hewan
tertentu selain unggas misalnya babi, kuda, harimau, macan tutul dan kucing. Walaupun
hampir semua jenis unggas dapat terinfeksi virus yang terkenal sangat ganas ini, tetapi
diketahui yang lebih rentan adalah jenis unggas yang diternakkan secara massal.

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang


Komite Nasional Pengendalian Flu Burung (Avian Influenza) Dan Kesiapsiagaan
Menghadapi Pandemi Influenzabahwa perkembangan virus flu burung (avian influenza) di
Indonesia dan dunia cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu sehingga menimbulkan
korban jiwa dan kerugian material yang semakin besar dan telah berimplikasi pada aspek
sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

2
AGEN PENYEBAB

Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A . Virus influenza termasuk famili
Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubahubah bentuk (Drift, Shift), dan dapat
menyebabkan epidemic dan pandemic. Virus influenza tipe A terdiri dari Hemaglutinin (H)
dan Neuramidse (N), kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi kode subtype flu burung
yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2,
H1N2, H7N7. Sedangkan pada binatang H1-H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas
dan menyebabkan flu burung adalah dari subtype A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup
di air sampai 4 hari pada suhu 22o C dan lebih dari 30 hari pada 0 o C. Virus akan mati pada
pemanasan 60o C selama 30 menit atau 56o C selama 3 jam dan dengan detergent, desinfektan
misalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine (Iwandarmansjah, 2007)

3
KARAKTERISTIK

Menurut Atmawinata (2006), gejala penyakit flu burung dapat dibedakan menjadi dua
yaitu gejala pada unggas dan gejala pada manusia.

a. Gejala pada unggas.

1) Pembengkakan pada kepala

2) Ada cairan yang keluar dari hidung dan mata

3) Diare

4) Batuk, bersin, dan ngorok

5) Pendarahan dibawah kulit (sub kutan)

6) Pendarahan titik (ptechie) pada ayam

7) Jengger, dan kulit yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru keunguan

8) Borok di kaki

9) Kematian mendadak

b. Gejala pada manusia.

1) Demam (suhu badan diatas 38o C)

2) Batuk, sesak napas, dan mengeluarkan lendir bening dari hidung

3) Sakit tenggorokan

4) Hilang nafsu makan

5) Diare dan muntah-muntah

4
PERAN LINGKUNGAN

Faktor lingkungan ini dibagi menjadi tiga:

a) Lingkungan Biologis
Faktor lingkungan biologis pada penyakit flu burung yaitu agent. Agent merupakan
sesuatu yang merupakan sumber terjadinya penyakit yang dalam hal ini adalah virus aviant
influenza (H5N1). Sifat virus ini adalah mampu menular melalui udara dan mudah bermutasi.
Daerah yang diserang oleh virus ini adalah organ pernafasan dalam, hal itulah yang membuat
angka kematian akibat penyakit ini sangat tinggi.

b) Lingkungan Fisik

Suhu
Pada suhu lingkungan yang tidak optimal baik suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu
rendah akan berpengaruh terhadap daya tahan tubuh seseorang pada saat itu sehingga secara
tidak langsung berpengaruh terhadap mudah tidaknya virus menjangkiti seseorang. Selain itu
virus flu burung juga memerlukan suhu yang optimal agar dapat bertahan hidup.

Musim
Faktor musim pada penyakit flu burung terjadi karena adanya faktor kebiasaan burung
untuk bermigrasi ke daerah yang lebih hangat pada saat musim dingin. Misalkan burung-
burung yang tinggal di pesisir utara Cina akan bermigrasi ke Australia dan Asia Tenggara
pada musim dingin, burung-burung yang telah terjangkit tersebut akan berperan menularkan
flu burung pada hewan yang tinggal di daerah musim panas atau daerah tropis tempat burung
tersebut migrasi.

Tempat tinggal
Faktor tempat tinggal pada penyakit flu burung misalnya apakah tempat tinggal
seseorang dekat dengan peternakan unggas atau tidak, di tempat tinggalnya apakah ada orang
yang sedang menderita flu burung atau tidak.

5
c) Lingkungan sosial
Faktor lingkungan sosial meliputi kebiasaan sosial, norma serta hukum yang membuat
seseorang berisiko untuk tertular penyakit. Misalnya kebiasaan masyarakat Bali yang
menggunakan daging mentah yang belum dimasak terlebih dahulu untuk dijadikan sebagai
makanan tradisional. Begitu pula dengan orang- orang di eropa yang terbiasa mengonsumsi
daging panggang yang setengah matang atau bahkan hanya seper-empat matang. Selain itu
juga pada tradisi sabung ayam akan membuat risiko penyakit menular pada pemilik ayam
semakin besar.

6
RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT FLU BURUNG
1. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal/ sehat tetapi mereka pada
dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit. Walaupun
demikian pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit
penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di luar tubuh. Tahap pre-patogenesis penyakit flu
burung terjadi karena seseorang interaksi dengan unggas. Interaksi terjadi tidak disengaja,
tidak disadari, dan terjadi karena kebetulan. Interaksi antara manusia dengan sumber
penularan (unggas) secara dominan terjadi di lingkungan sekitar rumah.
2. Tahap Patogenesis
Tahap Inkubasi
Masa inkubasi virus influenza ini pada manusia rata-rata adalah 3 hari karena adanya
tingkat virulensi H5N1 yang tinggi. Tetapi apabila daya tahan tubuh seseorang pada saat itu
baik dan kemampuan virus H5N1 tidak cukup untuk secara cepat menginfeksi manusia dan
menimbulkan penyakit maka masa inkubasi penyakit flu burung dapat berlangsung cukup
lama sampai 20 hari.
Menurut Iwandarmansjah (2007), masa inkubasi pada flu burung ini dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
Masa inkubas pada unggas : 1 minggu
Masa inkubasi pada manusia : 1-3 hari, masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari
sesudah timbul gejala. Pada anak sampai 21 hari.
Tahap Penyakit Dini
Demam tinggi di atas 38C, batuk yang terus menerus badan menjadi lemas, pilek,
sakit tenggorokan, sakit kepala tidak nafsu makan ( anorexia ), muntah nyeri pada bagian
perut, nyeri sendi, diare, Infeksi selaput mata (conjunctivitis).
Tahap Penyakit Lanjut
Dalam keadaan memburuk, terjadi sesak napas hebat, kadar oksigen rendah sementara
kadar karbondioksida meningkat. Ini terjadi karena infeksi flu menyebar ke paru-paru dan
menimbulkan radang paru-paru (pneumonia)
Tahap Pasca Patogenesis
Menurut Dirjen P2PL Depkes RI, Tahap akhir penyakit flu burung dari 31 penderita
ternyata sebagian besar berakhir dengan meninggal yaitu 26 orang (83,8%), sembuh 5 orang
(16,2%), dan mengalam kecacatan (00,0%). Perjalanan akhir penyakit flu burung lebih

7
disebabkan adanya komplikasi pada infeksi paru-paru (pneumonia) berat yang bisa
menyebabkan gagal nafas dan berujung kematian.

8
PENCEGAHAN FLU BURUNG
Dalam menanggulangi flu burung ada beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah pencegahan yang dilakukan pada orang-orang yang
berisiko terjangkit flu burung, dapat dilakukan dengan cara:

a) Melakukan promosi kesehatan (promkes) terhadap masyarakat luas, terutama mereka yang
berisiko terjangkit flu burung seperti peternak unggas.

b) Melakukan biosekuriti yaitu upaya untuk menghindari terjadinya kontak antara hewan
dengan mikroorganisme yang dalam hal ini adalah virus flu burung, seperti dengan
melakukan desinfeksi serta sterilisasi pada peralatan ternak yang bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme pada peralatan ternak sehingga tidak menjangkiti hewan.

c) Melakukan vaksinasi terhadap hewan ternak untuk meningkatkan kekebalannya. Vaksinasi


dilakukan dengan menggunakan HPAI (H5H2) inaktif dan vaksin rekombinan cacar ayam
atau fowlpox dengan memasukan gen virus avian influenza H5 ke dalam virus cacar.

d) Menjauhkan kandang ternak unggas dengan tempat tinggal.

e) Menggunakan alat pelindung diri seperti masker, topi, baju lengan panjang, celana panjang
dan sepatu boot saat memasuki kawasan peternakan.

f) Memasak dengan matang daging sebelum dikonsumsi. Hal ini bertujuan untuk membunuh
virus yang terdapat dalam daging ayam, karena dari hasil penelitian virus flu burung mati
pada pemanasan 60C selama 30 menit.

g) Melakukan pemusnahan hewan secara massal pada peternakan yang positif ditemukan virus flu
burung pada ternak dalam jumlah yang banyak.

h) Melakukan karantina terhadap orang-orang yang dicurigai maupun sedang positif terjangkit
flu burung.

9
i) Melakukan surveilans dan monitoring yang bertujuan untuk mengumpulkan laporan
mengenai morbilitas dan mortalitas, laporan penyidikan lapangan, isolasi dan identifikasi
agen infeksi oleh laboratorium, efektifitasvak sinasi dalam populasi, serta data lain yang
gayut untuk kajian epedemiologi.

2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah pencegahan yang dilakukan dengan tujuan untuk


mencegah dan menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan pengobatan tepat.
Dengan melakukan deteksi dini maka penanggulangan penyakit dapat diberikan lebih awal
sehingga mencegah komplikasi, menghambat perjalanannya, serta membatasi ketidakmampuan
yang dapat terjadi. Pencegahan ini dapat dilakukan pada fase presimptomatis dan fase klinis.
Pada flu burung pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan screening yaitu upaya
untuk menemukan penyakit secara aktif pada orang yang belum menunjukkan gejala klinis.
Screening terhadap flu burung misalnya dilakukan pada bandara dengan memasang alat
detektor panas tubuh sehingga orang yang dicurigai terjangkit flu burung bias segera diobati
dan dikarantina sehingga tidak menular pada orang lain.

3. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier adalah segala usaha yang dilakukan untuk membatasi


ketidakmampuan. Pada flu burung upaya pencegahan tersier yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan pengobatan intensif dan rehabilitasi.

10
PENGOBATAN
Pengobatan penderita flu burung disarankan sebagai berikut:
1. Oksigenasi jika terjadi sesak nafas.
2. Pemberian cairan parental jika terjadi dehidrasi
3. Pemberian obat antivirus oseltamivir 75mg dosis tunggal selama 7 hari
4. Penderita mandapat terapi suportif: nutrisi dengan gizi cukup baik sehingga daya tahan tubuh
meningkat.

EPIDEMIOLOGI

Sampai akhir tahun 2003, HPAI dianggap sebagai penyakit yang jarang terjadi pada
unggas ternak. Sejak 1959, hanya ada 24 wabah primer di seluruh dunia yang pernah
dilaporkan (lihat Tabel 1). Sebagian besar terjadi di Eropa dan benua Amerika. Kebanyakan
wabah tersebut terbatas secara geografis pada daerah tertentu, dengan hanya lima kejadian
yang menyebar ke sejumlah peternakan, dan hanya satu yang dikpaorkan menyebar secara
internasional. Tidak satupun dari wabah-wabah tersebut yang mendekati ukuran wabah H5N1
di asia yang terjadi di tahun 2004 (WHO 2004/03/02). Sampai hari ini semua wabah dalam
bentuk yang sangat patogen disebabkan oleh virus influensa A dari subtipe H5 dan H7.

Di masa lalu, perdagangan ilegal atau perpindahan unggas hidup yang terinfeksi atau
produk-produk darinya yang belum diolah, serta penyebaran virus secara mekanikal melalui
mobiltas manusia (pelancong, pengungsi, dsb) telah menjadi faktor utama dalam penyebaran
HPAIV.

Dimensi baru wabah HPAI mencuat di akhir tahun 2003. Dari pertengahan desember
2003 sampai ke awal Februari 2004, wabah yang disebabkan oleh H5N1 HPAI garis Asia
dilaporkan telah menyerang unggas di Korea Selatan, Vietnam, Jepang, Thailandf, Kamboja,
Republik Demokratik Rakyat Lao, Indonesia dan China. Kejadian wabah yang serentak di
banyak negara oleh virus influensa H5N1 yang sangat patogen pada unggas ini belum pernah
terjkadi sebelumnya. Segala upaya yang dilakukan untuk membendung wabah ini sebegitu
jauh telah gagal. Meskipun pemisahan dan pemusnahan secara pre-emptive sudah dilakukan
terhadap sekitar 150 juta unggas, H5N1 sekarang dianggap menjadi endemik di beberapa
bagian dari Indonesia (sampai akhir Maret 2006 sudah menjangkau 26 dari 31 provinsi) dan
Vietnam, sebagian kamboja, China, Thailand dan mungkin juga di Republik Demokratik
Rakyat Lao.

11
Virus awal, dijumpai untuk pertama kalinya di tahun 1997, adalah hasil proses re-
assortant termasuk paling tidak sebuah virus H5N1 yang berasal dari angsa domestik
(A/goose/Guangdong/1/96, yang menumbangkan unsur HA) dan virus H6N1 yang diduga
berasal dari bebek (A/teal/Hong Kong/W312/97) yang menumbangkan NA dan segmen-
segmen untuk protein internal), yang kemudian mengalami banyak siklus re-asortasi dengan
virus influensa unggas lain yang tidak dikenal (Xu 1999, Hoffmann 2000, Guan 2002b).
Beberapa genotip garis H5N1 yang berbeda juga pernah dilaporkan (Cauthen 2000, Guan
2002a+2003). Apa yang disebut sebagai genotip Z telah mendominasi wabah yang terjadi
sejak desember 2003 (Li 2004).

Dalam bulan April 2005, tingkat epidemi baru terjadi ketika untuk pertama kalinya
strain H5N1 dapat menulari populasi ungas-unggas liar dalam skala besar (Chen 2005, Liu
2005). Di danau Qinghai di Barat Laut China beberapa ribu angsa berkepala bergaris, sebuah
spesies unggas berpindah, sakit dan mati terkena infeksi virus tersebut. Beberapa spesies
burung camar dan juga burung laut lain (cormorants) juga terserang di tempat ini. Ketika di
musim panas dan awal musim gugur tahun 2005, wabah H5N1 dilaporkan untuk pertama
kalinya di wilayah yang secara geografis berdekatan dengan Mongloia, Kazakhstan dan
Siberia Selatan, timbul dugaan bahwa virus tersebut telah disebarkan oleh kawanan unggas
berpindah. Penyebaran wabah ini kemudian meluas di sepanjang jalur perpindahan unggas
dari Asia Dalam ke Timur Tengah dan Afrika, mengenai Turki, Romania, Kroasia, dan
semenanjung Krimea di akhir tahun 2005. Dalam semua kejadian (kecuali di Mongolia dan
Kroasia) wabah ini mengenai baik unggas ternak maupun unggas liar. Banyak kasus yang
dilaporkan yang mengenai unggas ternak terjadi di daerah yang berdekatan dengan danau dan
rawa-rawa yang menjadi tempat singgah unggas air liar. Meskipun hal ini memperkuat
dugaan bahwa unggas berpindah menjadi penyebar virus, patuta dicatat bahwa sejauh ini
virus HPAI H5N1 garis Asia hanya ditemukan di unggas air liar yang sakit berat atau mati.
Status H5N1 yang sebenarnya dalam populasi unggas air liar dan peranannya dalam
menyebarkan infeksi masih menjadi tanda tanya besar. Pada saat ini yang dapat diperkirakan
hanyalah bahwa unggas air liar tersebut dapat membawa virus sampai jauh selama dalam
masa inkubasi (masa tunas), atau agaknya beberapa spesies masih dapat mempertahankan
mobilitasnya meskipun sudah terinfeksi H5N1.

12
Tetapi sementara itu, berbagai penelitian di China telah mengungkapkan lebih banyak
lagi genotip baru dari virus H5N1 garis Asia pada burung gereja (Kou 2005). Tidak satupun
burung gereja tempat virus tersebut diambil untuk diisolasi, ataupun bebek-bebek yang
dicoba diinfeksi dengan virusvirus tersebut yang menunjukkan gejala-gejala sakit. Tetapi
ketika dilakukan percobaan penularan ke ayam, gejala infeksi H5N1 muncul sepenuhnya.
Karena beberapa burung gereja dari kawanan yang sama membawa beberapa genotipe yang
berbeda, yang mungkin tumbuh dari proses re-asortasi dengan virus influensa unggas lain
yang tidak diketahui asalnya, maka diperkirakan bahwa virus serupa H5N1 telah menular ke
burung-burung tersebut sejak beberapa waktu (bulan?) yang lalu. Data ini menandai adanya
langkah penyebaran baru: burung gereja, karena cara hidupnya, telah menjadi mediator ideal
antara unggas liar dengan unggas ternak dan mungkin juga secara dua arah membawa virus
ke populasi unggasunggas tersebut. Infeksi H5N1 ganas yang terjadi pada burung gereja
secara individual (sakit atau mati) di lokasi yang terbatas pernah dilaporkan dari Thailand dan
Hong Kong. Endemisitas HPAIV pada burung-burung seperti burung gereja, walet dan murai
yang hidup dekat dengan hunian manusia bukan saja dapat mendekatkan bahaya pada industri
ternak unggas tetapi juga meningkatkan risiko penularan kepada manusia (Nestorowicz
1987). Sampai tanggal 30 Desember 2005, sebanyak 142 kasus infeksi influensa unggas pada
manusia telah dilaporkan dari berbagai wilayah. Pada saat itu penularan pada manusia masih
terbatas di Kamboja, Indonesia, Thailand, dengan episenter di Vietnam (65,5% dari seluruh
kasus), Sebanyak 72 orang (50,7%) telah meninggal. Jumlah tersebut kini sudah bertambah
lagi terutama dengan meluasnya penyebaran dan bertambahnya kematian di Indonesia. Juga
dari beberapa negara lain (Turki, Irak) sudah ada laporan tentang kasus influensa unggas ini
pada manusia.

Di bawah ini disajikan tabel (Tabel 4) jumlah kasus dan kematian manusia akibat
influensa unggas A (H5N1) yang dilaporkan ke WHO sampai tanggal 24 Maret 2006. Hanya
kasus yang secara laboratorik sudah dikonfirmasi yang dimuat dalam tabel ini.

13
Jumlah kumulatif kasus influensa unggas A (H5N1) pada manusia yang dilaporkan dan
dikonfirmasi ke WHO

Sumber: WHO (http://who.int/csr/disease/avian_influenza/en

14
DAFTAR PUSTAKA
1. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG
KOMITE NASIONAL PENGENDALIAN FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA) DAN
KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI PANDEMI INFLUENZA DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

2. academia.edu.Epidemiologi_flu_burung

3. influenzareport_indonesian.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai