Anda di halaman 1dari 17

1.

Pengertian Hematemesis Melena


Hematemesis adalah muntah darah dan biasanya disebabkan oleh penyakit saluran
cerna bagian atas. Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam per rektal yang
mengandung campuran darah, biasanya disebabkan oleh perdarahan usus proksimal
(Grace & Borley, 2007).
Hematesis melena merupakan suatu perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)
yang termasuk dalam keadaan gawat darurat yang dapat terjadi karena pecahnya varises
esofagus, gastritis erosif, atau ulkus peptikum. (Arief Mansjoer, 2000)
Hematemesis didefinisikan sebagai muntah darah dan melena sebagai berak
berwarna hitam, lembek karena mengandung darah yang sudah berubah bentuk (acid
hematin). Pada perdarahan saluran makanan bagian atas, warna darah yang dimuntahkan
tergantung dari konsentrasi asam lambung di lambung dan campurannya dengan darah.
Hematemesis umumnya menandakan perdarahan terjadi di sebelah proximal dari
ligamentum Treitz, karena perdarahan dibawah duodenum sangat jarang masuk ke lambung
(Bakta,1999)
Hematemesis adalah muntah darah. Darah bisa dalam bentuk segar
(bekuan/gumpalan atau cairan berwarna merah cerah) atau berubah karena enzim dan
asam lambung, menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi. Memuntahkan
sedikit dartah dengan warna yang telah berubah adalah gambaran nonspesifik dari muntah
berulang dan tidak selalu menandakan perdarahan saluran pencernaan atas yang
signifikan. (Davey, 2006)
Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal, dengan bau
yang khas, yang lengket dan menunjukan perdarahan saluran pencernaan atas serta
dicernanya darah pada usus halus. Tinja yang gelap dan padat dengan hasil tes perdarahan
samar (occult blood) positif menunjukkan perdarahan pada usus dan bukan melena (Davey,
2006)
2. Etiologi Hematemesis Melena
Penyebab terjadinya hematemesis melena, antara lain :
2.1. Kelainan esofagus: varise, esofagitis, keganasan.
2.2. Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum, keganasan dan
lain-lain.
2.3. Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation), purpura
trombositopenia
2.4. Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
2.5. Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol,
dan lai-lain.
Penting sekali menentukan penyebab dan tempat asal perdarahan saluran makan
bagian atas, karena terdapat perbedaan usaha penanggulangan setiap macam perdarahan
saluran makan bagian atas. Penyebab perdarahan saluran makan bagian atas yang
terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 45-50
% seluruh perdarahan saluran makan bagian atas.
2.1. Kelainan di esophagus
a. Varises esophagus
Klien dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya varises esophagus,
tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrium.Pada umumnya sifat
perdarahan timbul spontan dan masif.Darah yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman
dan tidak membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung.
b. Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus sering memberikan keluhan melena daripada
hematemesis.Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis, hanya sesekali
Klien muntah darah dan itupun tidak masif.
c. Sindroma Mallory Weiss
Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat yang pada akhirnya
baru timbul perdarahan.misalnya pada peminum alkohol atau pada hamil muda. Biasanya
disebabkan oleh karena terlalu sering muntah - muntah hebat dan terus - menerus.
d. Esofagitis dan tukak esophagus
Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering intermiten atau kronis
dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada hematemesis.Tukak di
esophagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan jika dibandingka dengan tukak
lambung dan duodenum.
2.2. Kelainan di lambung
a. Gastritis erisova hemoragika
Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah Klien minum obat-obatan yang
menyebabkan iritasi lambung.Sebelum muntah Klien mengeluh nyeri ulu hati.
b. Tukak lambung
Klien mengalami dispepsi berupa mual, muntah , nyeri ulu hati dan sebelum hematemesis
didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium yang berhubungan dengan makanan. Sifat
hematemesis tidak begitu masif dan melena lebih dominan dari hematemesis.
2.3. Kelainan darah : polisetimia vera, limfoma, leukemia, anemia, hemofili,
trombositopenia purpura.
4. Manifestasi Klinis
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan beratnya
kerusakan yang terjadi dari pada etiologinya. Gambaran klinis yang muncul bisa berbeda-
beda, tergantung pada:
1. Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus
2. Kecepatan perdarahan
3. Penyakit penyebab perdarahan (Ponijan, 2012)
Pada hematemesis, warna darah yang dimuntahkan tergantung dari asam hidroklorida
dalam lambung dan campurannya dengan darah. Jika vomitus terjadi segera setelah
perdarahan, muntahan akan tampak berwarna merah dan baru beberapa waktu kemudian
penampakannya menjadi merah gelap, coklat atau hitam. Bekuan darah yang mengendap
pada muntahan akan tampak seperti ampas kopi yang khas. Hematemesis biasanya
menunjukkan perdarahan di sebelah proksimal ligamentum Treitz karena darah yang
memasuki traktus gastrointestinal di bawah duodenum jarang masuk ke dalam lambung
Meskipun perdarahan yang cukup untuk menimbulkan hematemesis biasanya
mengakibatkan melena, kurang dari separuh pasien melena menderita hematemesis.
Melena biasanya menggambarkan perdarahan esophagus, lambung atau duodenum.
Namun lesi di jejunum, ileum bahkan kolon ascendens dapat menyebabkan melena jika
waktu perjalanan melalui traktus gastrointestinal cukup panjang. Diperkirakan darah dari
duodenum dan jejunum akan tertahan di saluran cerna selama 68 jam untuk merubah
warna feses menjadi hitam. Feses tetap berwarna hitam seperti ter selama 4872 jam
setelah perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses warna hitam tersebut
menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah sebanyak 60 mL cukup untuk
menimbulkan satu kali buang air besar dengan tinja warna hitam. Kehilangan darah akut
yang lebih besar dari jumlah tersebut dapat menimbulkan melena lebih dari tujuh hari.
Setelah warna tinja kembali normal, hasil tes untuk adanya perdarahan tersamar dapat tetap
positif selama 710 hari setelah episode perdarahan tunggal.
\Warna hitam melena akibat kontak darah dengan asam HCl sehingga terbentuk
hematin. Tinja akan berbentuk seperti ter (lengket) dan menimbulkan bau khas. Konsistensi
ini berbeda dengan tinja yang berwarna hitam/ gelap yang muncul setelah orang
mengkonsumsi zat besi, bismuth atau licorice. Perdarahan gastrointestinal sekalipun hanya
terdeteksi dengan tes occult bleeding yang positif, menunjukkan penyakit serius yang harus
segera diobservasi
Kehilangan darah 500 ml jarang memberikan tanda sistemik kecuali perdarahan pada
manula atau pasien anemia dengan jumlah kehilangan darah yang sedikit sudah
menimbulkan perubahan hemodinamika. Perdarahan yang banyak dan cepat
mengakibatkan penurunan venous return ke jantung, penurunan curah jantung (cardiac
output) dan peningkatan tahanan perifer akibat refleks vasokonstriksi. Hipotensi ortostatik
10 mmHg (Tilt test) menandakan perdarahan minimal 20% dari volume total darah. Gejala
yang sering menyertai : sinkop, kepala terasa ringan, mual, perspirasi (berkeringat), dan
haus. Jika darah keluar 40 % terjadi renjatan (syok) disertai takikardi dan hipotensi. Gejala
pucat menonjol dan kulit penderita teraba dingin.
Pasien muda dengan riwayat perdarahan saluran cerna atas singkat dan berulang
disertai kolaps hemodinamik dan endoskopi normal, dipertimbangkan lesi Dieulafoy
(adanya arteri submukosa dekat cardia yang menyebabkan perdarahan saluran cerna
intermiten yang banyak) (Davey, 2006).
Keadaan penderita sebelum perdarahanDidapatkan gejala dan tanda sebagai berikut :
1. Gejala-gejala intestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan diare.
2. Ascites, hidratonaks dan edemo.
3. Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
4. Hematomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecilkarena fibrosis. Bila secara klinis
didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana demam bukan oleh sebab-sebab
lain, ditambahkan sirosis dalam keadaan aktif. Hati-hati akan kemungkinan timbulnya
prekoma dan koma hepatikum.
5. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral didinding, koput medusa, wasir
dan varises esofagus.
6. Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu:
7. Impotensi, atrosi testis, ginekomastia, hilangnya rambut axila dan pubis.
8. Amenore, hiperpigmentasi areola mamae
9. Spider nevi dan eritema
10. Hiperpigmentasi

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium
Dilakukan anmnesis yang teliti dan bila keadaan umum penderita lemah atau
kesadaran menurun maka dapat diambil aloanamnesis. Perlu ditanyakan riwayat
penyakit dahulu, misalnya hepatitis, penyakit hati menahun, alkoholisme, penyakit
lambung, pemakaian obat-obat ulserogenik dan penyakit darah seperti: leukemia dan
lain-lain. Biasanya pada perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan
pecahnya varises esofagus tidak dijumpai adanya keluhan rasa nyeri atau pedih di
daerah epigastrium dan gejala hematemesis timbul secara mendadak. Dari hasil
anamnesis sudah dapat diperkirakan jumlah perdarahan yang keluar dengan
memakai takara yang praktis seperti berapa gelas, berapa kaleng dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik penderita perdarahan saluran makan bagian atas yang
perlu diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah, tanda-
tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera diketahui keadaan
yang lebih serius seperti adanya rejatan atau kegagalan fungsi hati. Disamping itu
dicari tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hepatis, seperti spider naevi,
ginekomasti, eritema palmaris, caput medusae, adanya kolateral, asites,
hepatosplenomegali dan edema tungkai.
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan fokus pada
status hemodinamik, pemeriksaannya meliputi :
Tekanan darah dan nadi posisi baring
Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
Kelayakan napas dan tingkat kesadaran
Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume intravaskuler)
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda : (Adi, 2006)
Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi nadi > 100
x/menit
Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20 mmHg.
Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
Akral dingin
Kesadaran turun
Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan hal-hal berikut
Hematemesis
Hematokezia
Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan lavase tidak segera jernih
Hipotensi persisten
Tranfusi darah > 800 1000 ml dalam 24 jam
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan
evaluasi jumlah perdarahan, dengan criteria(10) :
Perdarahan (%) Keadaan hemodinamik
<8 Hemodinamik stabil
8 15 Hipotensi ortostatik
15 25 Renjatan (syok)
25 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)

Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah(10) :


Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites, splenomegali,
eritema palmaris, edema tungkai)
Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik mortalitas dengan
interpretasi :
1) Aspirat putih keruh : perdarahan tidak aktif
2) Aspirat merah marun : perdarahan masif (mungkin perdarahan arteri)
Suhu badan dan perdarahan di tempat lain
Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan saluran
cerna (pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jeghers)
Pemeriksaan laboratorium seperti kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit,
sediaan darah hapus, golongan darah, kadar albumin dan uji fungsi hati (SGOT dan
SGPT) segera dilakukan secara berkala untuk dapat mengikuti perkembangan
penderita.
b. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram untuk daerah
esofagus dan diteruskan dengan pemeriksaan double contrast pada lambung dan
duodenum. emeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai posisi terutama pada
daerah 1/3 distal esofagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada/tidaknya
varises. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, dianjurkan pemeriksaan
radiologik ini sedini mungkin, dan sebaiknya segera setelah hematemesis berhenti.
c. Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendoskop, maka pemeriksaan
secara endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan tepat tempat
asal dan sumber perdarahan. Keuntungan lain dari pemeriksaan endoskopik adalah
dapat dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi, aspirasi cairan, dan biopsi
untuk pemeriksaan sitopatologik. Pada perdarahan saluran makan bagian atas yang
sedang berlangsung, pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau
sedini mungkin setelah hematemesis berhenti.
d. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi
penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab perdarahan
saluran makan bagian atas. Pemeriksaan ini memerlukan peralatan dan tenaga
khusus yang sampai sekarang hanya terdapat dikota besar saja.
Perbedaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (Scba) Dengan Bawah (Scbb)
(Adi,2006)
Perbedaan Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB
Manifestasi klinik Hematemesis dan/atau Hematokezia
umumnya melena
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN : kreatinin) Meningkat >35 <35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

6. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan Klien perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin dan
sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti dan
pertolongan yang lebih baik. Pengobatan Klien perdarahan saluran makan bagian atas
meliputi :
6.1. Pengawasan dan pengobatan umum
a. Klien harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan efek sedatif morfin,
meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.
b. Klien dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila perdarahan
berhenti dapat diberikan makanan cair.
c. Infus cairan langsung dipasang & diberilan larutan garam fisiologis slama belum ada
darah.
d. Pengawasan tekanan darah, nadi, kesadaran Klien dan bila perlu dipasang CVP
monitor.
e. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk mengikuti
keadaan perdarahan.
f. Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan mempertahankan
kadar hemoglobin 50-70 % harga normal.
g. Pemberian obat hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari, karbasokrom (Adona
AC), antasida dan golongan H2 reseptor antagonis (simetidin atau ranitidin) berguna
untuk menanggulangi perdarahan.
h. Dilakukan klisma atau lavemen dgn air biasa disertai pemberian antibiotika yg tidak
diserap oleh usus, sebagai tindadakan sterilisasi usus. Tindakan ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya peningkatan produksi amoniak oleh bakteri usus, dan dapat
menimbulkan ensefalopati hepatik.
6.2. Pemasangan NGT
Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan lambung, lavage
(kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obat-obatan. Pemberian air pada kumbah
lambung akan menyebabkan vasokontriksi lokal sehingga diharapkan terjadi penurunan
aliran darah di mukosa lambung, dengan demikian perdarahan akan berhenti. Kumbah
lambung ini akan dilakukan berulang kali memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan
aspirasi berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam.
Pemeriksaan endoskopi dapat segera dilakukan setelah cairan aspirasi lambung sudah
jernih.
6.3. Pemberian pitresin (vasopresin)
Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada pemberian pitresin per infus akan
mengakibatkan kontriksi pembuluh darah dan splanknikus sehingga menurunkan tekanan
vena porta, dengan demikian diharapkan perdarahan varises dapat berhenti. Perlu diingat
bahwa pitresin dapat menrangsang otot polos sehingga dapat terjadi vasokontriksi koroner,
karena itu harus berhati-hati dengan pemakaian obat tersebut terutama pada Klien penyakit
jantung iskemik. Karena itu perlu pemeriksaan elektrokardiogram dan anamnesis terhadap
kemungkinan adanya penyakit jantung koroner/iskemik.
6. 4. Pemasangan balon SB Tube
Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk Klien perdarahan akibat pecahnya
varises. Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan sesudah Klien tenang dan kooperatif,
sehingga Klien dapat diberitahu dan dijelaskan makna pemakaian alat tersebut, cara
pemasangannya dan kemungkinan kerja ikutan yang dapat timbul pada waktu dan selama
pemasangan.
Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan pemakaian SB tube ini
dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas akibat pecahnya varises
esofagus. Komplikasi pemasangan SB tube yang berat seperti laserasi dan ruptur esofagus,
obstruksi jalan napas tidak pernah dijumpai.
6.5. Pemakaian bahan sklerotik
Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3 % sebanyak
3 ml dengan bantuan fiberendoskop yang fleksibel disuntikan dipermukaan varises
kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan ini tidak memerlukan narkose umum dan
dapat diulang beberapa kali. Cara pengobatan ini sudah mulai populer dan merupakan
salah satu pengobatan yang baru dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian
atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus.
6.6. Tindakan operasi
Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami kegagalan dan
perdarahan tetap berlangsung, maka dapat dipikirkan tindakan operasi . Tindakan operasi
yang basa dilakukan adalah : ligasi varises esofagus, transeksi esofagus, pintasan porto-
kaval. Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu perdarahan berhenti dan fungsi hari
membaik.
Selain cara-cara tersebut diatas, adapula metode lain untuk menghentikan
perdarahan varises esophagus, antara lain :
a. Cyanoacrylate glue injection, memakai semacam lem jaringan (His-toacryl R) yang
langsung disuntikkan intravena.
b. Endoscopic band ligator
Sedangkan pada perdarahan non variceal, dapat dilakukan tindakan-tindakan sebagai
berikut:
a. Laser photo coagulation
b. Diathermy coagulation
c. Adrenalin injection
d. Sclerotheraphy injection
Menurut Djumhana,2011 penatalaksanaan hematemesis melena yaitu :
1. Tatalaksana Umum
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-breathing-circulation
(ABC). Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan memadai, segera dirawat
untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi. Untuk pasien risiko tinggi perlu
tindakan lebih agresif seperti :
a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar minimal no 18. Ini
penting untuk transfuse, dianjurkan pemasangan CVP
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing perlu ETT
c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine
d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain sesuai komorbid
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan endoskopi
Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien dapat diberikan terapi :
a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
b. Pemberian vitamin K 3x1 amp
c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid
2. Tatalaksana Khusus
a. Varises gastroesofageal
1) Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif
a) Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat efek
vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan
tekanan vena porta menurun. Pemberian dengan mengencerkan
vasopressin 50 unit dalam 100 ml Dextrose 5%, diberikan 0,51
mg/menit/iv selama 2060 menit dan dapat diulang tiap 36 jam; atau
setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse 0,10,5 U/menit
b) Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih selektif daripada
vasopressin. Untuk perdarahan varises atau nonvarises. Dosis pemberian
awal dengan bolus 250 mcg/iv, lanjut per infus 250 mcg/jam selama 12
24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
2) Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
3) Terapi endoskopi
a) Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 12 cm.
Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau ditemukan tanda baru
saja mengalami perdarahan (bekuan darah melekat, bilur merah, noda
hematokistik). Efek samping sklerosan dapat dihindari, mengurangi
frekuensi ulserasi dan striktur.
b) Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena perdarahan masif,
terus berlangsung atau teknik tidak memungkinkan. Yang digunakan
campuran yang sama banyak antara polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan
alcohol absolute; dibuat sesaat sebelum skleroterapi. Penyuntikan dari
bagian paling distal mendekati cardia, lanjut ke proksimal bergerak spiral
sejauh 5cm.
4) Terapi radiologi : pemasangan transjugular intrahepatic portosystemic
shunting (TIPS)& perkutaneus obliterasi spleno-porta (Adi, 2006)
5) Terapi pembedahan
a) Shunting
b) Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
c) Devaskularisasi + splenektomi (Djumhana, 2011)
b. Tukak peptic
1) Terapi medikamentosa
a) PPI (proton pump inhibitor) : obat anti sekresi asam untuk mencegah
perdarahan ulang. Diawali dosis bolus Omeprazol 80 mg/iv lalu per infuse
8 mg/kgBB/jam selama 72 jam. Antasida, sukralfat, dan antagonis
reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi
mukosa perdarahan (Adi, 2006).
b) Obat vasoaktif
2) Terapi endoskopi (Djumahana, 2011).
a) Injeksi (Adi, 2006) : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan
dengan adrenalin (1:10000) sebanyak 0,51 ml/suntik dengan batas 10
ml atau alcohol absolute (98%) tidak melebihi 1 ml
b) Termal : koagulasi, heatprobe, laser
c) Mekanik : hemoklip, stapler
3) Terapi bedah
3. Memulangkan pasien
Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 14 perawatan.
Perdarahan ulang (komorbid) sering memperpanjang masa perawatan. Bila tidak ada
komplikasi, perdarahan telah berhenti, hemodinamik stabil serta risiko perdarahan
ulang rendah pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya pulang dalam keadaan
anemis, karena itu selain obat pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan
preparat Fe (Djumahana, 2011).

7. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien Hematemesis Melena adalah koma hepatik (suatu
sindrom neuropsikiatrik yang ditandai dengan perubahan kesadaran, penurunan intelektual,
dan kelainan neurologis yang menyertai kelainan parenkim hati), syok hipovolemik
(kehilangan volume darah sirkulasi sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun),
aspirasi pneumoni (infeksi paru yang terjadi akibat cairan yang masuk saluran napas),
anemi posthemoragik (kehilangan darah yang mendadak dan tidak disadari).
Syok hipovolemik
Anemia
Gagal ginjal akut
Sindrom hepatorenal koma hepatikum
Anemia karena perdarahan (PB PAPDI,2005)

8. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan.
Tanda : Takikardia, takipnea/hiperventilasi (respons terhadap aktivitas).
b. Sirkulasi
Gejala: Hipotensi (termasuk postural), takikardia, disritmia (hipovolemia,
hipoksemia), kelemahan/nadi perifer lemah, pengisian kapiler lambat/perlahan
(vasokontriksi), warna kulit: Pucat, sianosis, (tergantung pada jumlah
kehilangan darah, kelembaban kulit/membrane mukosa: berkeringat
(menunjukkan status syok, nyeri akut, respon psikologik).
c. Integritas Ego
Gejala: Faktor stress akut atau kronis (keuangan, keluarga, kerja), perasaan tidak
berdaya.
Tanda :Tanda ansietas, misalnya gelisah, pucat, berkeringat, perhatian
menyempit, gemetar, suara gemetar.
d. Eliminasi
Gejala : Riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya karena perdarahan GI
atau masalah yang berhubungan dengan GI,
misalnya luka peptic/gaster, gastritis, bedah gaster, radiasi area gaster,
perubahan pola defekasi/ karakteristik feses.
Tanda: Nyeri tekan abdomen; distensi, bunyi usus: sering hiperaktif selama
perdarahan, hipoaktif setelah perdarahan, karakter feses: diare, darah warna
gelap, kecoklatan, atau kadang-kadang merah cerah; berbusa, bau busu
k (steatore), konstipasi dapat terjadi (perubahan diet, penggunaan antasida),
haluaran urine: menurun, pekat.
e. Makanan/Cairan
Gejala: Anoreksia, mual, muntah (muntah yang memanjang diduga
obstruksi pilorik bagian luar sehubungan dengan luka duodenal), masalah
menelan; cegukan, nyeri ulu hati, sendawa bau asam, mual/muntah,
tidak toleran terhadap makanan, contoh makanan pedas, coklat; diet khusus
untuk penyakit ulkus sebelumnya, penurunan berat badan.
Tanda: Muntah: Warna kopi gelap atau merah cerah, dengan atau tanpa bekuan darah,
membran mukosa kering, penurunan produksi mukosa, turgor kulit buruk
(perdarahan kronis), berat jenis urin meningkat.
f. Neurosensori
Gejala: Rasa berdenyut, pusing/sakit kepala karena sinar,
kelemahan, status mental: tingkat kesadaran dapat terganggu, rentang dari agak
cenderung tidur, disorientasi/bingung, sampai pingsan dan koma (tergantung pada
volume sirkulasi/oksigenasi).
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Nyeri, digambarkan sebagai tajam, dangkal, rasa terbakar, perih; nyeri hebat
tiba-tiba dapat disertai perforasi, rasa ketidaknyamanan/distress samar-samar
setelah makan banyak dan hilang dengan makan (gastritis akut),
nyeri epigastrium kiri sampai tengah/atau menyebar ke punggung terjadi 1-2
jam setelah makan dan hilang dengan antasida (ulkus gaster), nyeri epigastrium
terlokalisir di kanan terjadi kurang lebih 4 jam setelah makan bila lambung kosong
dan hilang dengan makanan atau antasida (ulkus duodenal), tak ada nyeri (varises
esophageal atau gastritis), faktor pencetus: makanan, rokok, alkohol, penggunaan
obat-obat tertentu (salisilat, reserpin, antibiotic, ibuprofen), stressor psikologis.
Tanda: Wajah berkerut, berhati-hati pada area yang sakit, pucat, berkeringat, perhatian
menyempit.
h. Keamanan
Gejala: Alergi terhadap obat/sensitive, misalnya ASA.
Tanda:
Peningkatan suhu,spider angioma, eritema palmar (menunjukkan sirosis/hipertensi
portal).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit volume cairan b/d dehidrasi, syok hipovolemik, dan perdarahan berlebihan
b. Pola napas tidak efektif b/d penurunan curah jantung akibat dari kehilangan darah
secara tiba-tiba.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi tidak
adekuat
d. Nyeri Akut b/d syok kardiogenik. Ditandai dengan Ds : pasien mengatakan nyeri dada
e. Hipertermi b/d peningkatan suhu tubuh. Ditandai dengan Do : suhu 37 Cf.
f. Ansietas b/d ancaman kematian

3. Renpra pada klien dengan Hematemesis dan Melena


DAFTAR PUSTAKA
Adi, P. 2006. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Jakarta : FKUI. : 289 97
Davey, P. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga. 2006 :
36 7.
Djumhana, A. 2011. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas :
pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran_cerna_b
agian_atas.pdf .Diakses pada tanggal 05 Agustus 2015 pukul 23.41 WIB
Mansjoer, Arif (2000). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1(3rd ed.). Jakarta: Media.
Aesculapius.
Mubin (2006).Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis Dan Terapi(2ndEd.). Jakarta:
EGC.
M.Syaifoellah Noer.1996.Ilmu Penyakit Dalam .FKUI.Jakarta
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. Edisi 4.Jakarta : EGC
Sylvia, A Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Keperawatan.Edisi
6.Jakarta : EGC
PB PAPDI. Standar Pelayanan Medik. Jakarta : PB PAPDI. 2005: 272 3.
Ponijan, A.P. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas :
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31735/4/Chapter%20II.pdf . 2012.
Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan : dalam Harrison (Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. 1999 : 259 62.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
volume 2. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai