Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS KASUS PEMBUNUHAN MUNIR DALAM PEMBANGUNAN

POLITIK SEBAGAI PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAN HUKUM DI


INDONESIA

A. Pendahuluan

Dua belas tahun silam, tepatnya pada 2004, Indonesia dikejutkan

oleh kabar pembunuhan seorang aktivis HAM, Munir Saib Thalib.

Kematianya menimbulkan kegaduhan politik yang menyeret Badan

Intelijen Negara (BIN) dan institusi militer negeri ini. Berdasarkan hasil

autopsi, diketahui bahwa penyebab kematian sang aktivis yang terkesan

mendadak adalah karena adanya kandungan arsenik yang berlebihan di

dalam tubuhnya. Munir dibunuh ketika melakukan perjalanan menuju

Belanda. Ia berencana melanjutkan studi S2 Hukum di Universitas

Utrecht, Belanda, pada 7 September 2004. Dia menghembuskan nafas

terakhirnya ketika pesawat Garuda Indonesia yang ditumpanginya sedang

mengudara di langit Rumania.

Pembunuhan Munir diduga melibatkan banyak orang dan

diskenariokan secara rapi.Orang pertamayang menjadi tersangka

pembunuhan Munir dan akhirnya terpidana adalah pilot Garuda Indonesia

Pollycarpus Budihari Priyanto. Meski Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 20

Desember 2005 dengan nomor 1361/Pid/B/2005/PN.Jkt.Pst, telah

memutuskan hukuman 14 tahun penjara bagi Pollycarpus Budihari

Priyanto,1 otak intelektual dan motif pembunuhan munir masih menjadi

1
misteri setelah dua belas tahun kematian Pejuang HAM, selain itu

dokumenlaporan penyelidikan Tim Pencari Fakta yang dibentuk pada

masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono seolah

dikaburkan dan jauh dari akses publik, bahkan kini dokumen tersebut

dikabarkan hilang.

Lucian W. Pye merumuskan salah satu defenisi Pembangunan Politik

sebagai Pembangunan Administrasi dan Hukum.Sehingga menurutnya

dalam membina masyarakat politik yang harus didahulukan adalah

tatanan hukum dan tatanan adminstrasi.2Proses hukum pengungkapan

kasus pembunuhan politik terhadap Munir berjalan kembali ke titik nol.

Setelah dua belas tahuntahun pasca pembunuhan politik terhadap

aktivis HAM Munir, 7 September 2004, belum terdapat titik terang yang

menunjukkan otak intelektual danmotif para pelaku pembunuhan

sebenarnya. Bahkan penyelidikan pasca berakhirnya masa kerja Tim

Pencari Fakta (TPF) masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudoyono (SBY)nyaris tidak memberikanperkembanganberarti bagi

kasus tersebut, dan pada minggu kedua oktober 2016 publik dikejutkan

dengan kabar hilangnya dokumen laporan hasil penyelidikan Tim Pencari

Fakta (TPF) dari tangan pemerintah yang dinahkodai presiden Joko

Artikel Catatan Imparsial;TembokTebal,PengusutanPembunuhanMunir : sebuah


analisis kebijakan, 2006, hlm. 1.

Baca; Juwono Sudarsono. Pembangunan Politik dan Perubahan Politik

2
Widodo. Tentu hal ini menjadi citra buruk bagi pembangunan politik di

Indonesia dalam, membina tatanan hukum dan tatanan administrasi.

Sebagai sebuah kasus pembunuhan politik, pembunuhan

terhadap Munir tidak dapat dilihat sebagai sebuah pembunuhan yang

dilakukan oleh aktor tunggal, melainkan banyak aktor yang terlibat,

terutama dari lawan politik yang selama ini merasa

terusikdenganapayangMunirlakukan. Bahkan aktor Negara juga dapat

dianggap terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, di

mana dua institusinya yakni perusahaan BUMN PT.Garuda Indonesia

dan Badan Intelijen Negara (BIN) diduga terlibat dalam proses

pembunuhan. Karena itu,negarasemestinya memperbaikikinerja

penyelenggara pemerintahan secara sungguh-sungguh dan

komprehensif dengan perangkat hukum dan administrasi yang ada.

Pengungkapan kasus munir seharusnya menjadi corong bagi negara

dalam membina tatanan hukum dan administrasi yang mengacu pada

nilai kejujuran, kebenaran, keadilan dan ketatanegaraan tercipta tatanan

politik yang bermartabat.

Dalam sebuah edisi khususnya tahun 2014,

majalah Tempo menerbitkan laporan mengenai temuan fakta dan bukti

terbaru kasus pembunuhan aktivis perjuangan hak asasi manusia (HAM),

Munir Said Thalib.3 Dalam opininya, majalah tersebut menyatakan bahwa

Majalah Tempo Edisi Khusus, Fakta Baru Pembunuhan Munir, 8-14


Desember 2014.

3
atas nama keadilan dan kemanusiaan pemerintah Indonesia harus

meneruskan pengungkapan pembunuhan aktivis tersebut. Akan tetapi

seperti kita ketahui, sejumlah proses hukum lewat pengadilan telah

dijalani dan terdakwa pembunuh Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto,

juga telah dijatuhi hukuman pidana penjara. Tempo memandang

pengungkapan kembali kasus ini akan menunjukkan aktor-aktor lain

pembunuh Munir, khususnya aktor intelektual.Bahasa Latin punya

adagium yang sangat pas untuk menggambarkan semangat dari usaha

penelusuran ulang kasus Munir yakni Fiat iustitia, et pereat mundus.

Terjemahan adagium itu dalam bahasa Indonesia kira-kira begini:

tegakkan keadilan meskipun dunia ini hancur.Majalah Tempo bahkan

mendesak supaya kasus pembunuhan Munir ini dibuka oleh pengadilan

HAM atas nama keadilan dan penegakkan supremasi hukum oleh

Negara. Kasus Munir yang sampai hari ini masih menjadi misteri akan

menjadi studi kasus tim penulis dalam refleksi pembangunan politik di

Indonesia.Tulisan ini akan mencoba menemukan tempat kebenaran

dalam membina tatanan hukum dan tatanan administrasi yang

bermartabat pada kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.

B. Tatanan Hukum dan Tatanan Administrasi Dalam Kasus

Munir

Sistem politik yang baik adalah tatanan sistem yang menjamin

terpeliharanya kepastian hukum bagi setiap warga Negara. Azas regulatif

4
yangdapat menjangkau semua lapisan dalam aspek kehidupan berbangsa

dan bernegara, yang mengacu pada nilai keadilan, kejujuran, dan

ketulusandalam mengungkap kebenaran sebab hakikat hukum adalah

terbinanya kebenaran itu sendiri. Pada kasus pembunuhan aktivis HAM

Munir ada kebenaran yang seolah dikaburkan walau proses hukum secara

prosedural telah ditempuh Negara, namun hukum tak sebatas yuridis

formal, pada kasus munir masih banyak teka-teki diruang publik yang tak

dijawab dan seolah dikaburkan oleh Negara.

Siapakah yang sesungguhnya membunuh Munir? Apa motif

pembunuhannya yang sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan ini

merupakan pertanyaan tentang kebenaran dalam penegakkan supremasi

hukum. Maka, di samping keadilan dan kemanusiaan, satu hal yang juga

penting untuk dikaji di sini adalah kebenaran.Namun yang akan dibahas di

sini bukanlah perihal pencarian fakta empiris, melainkan refleksi tentang

arti kebenaran secara filosofis. 12 tahun setelah meninggalnya Munir,

misteri masih bertebaran dan kita gelisah akan apa yang sebenarnya ada

di balik kasus ini. Konspirasi politik? Dendam pribadi? Pertanyaan-

pertanyaan yang harus dijawab oleh Negara demi terbinanya

pembangunan politik di Indonesia. Masalah-masalah mendasar yang

harus diperhatikan di dalam membina hukum nasionalmenurut Mahfud

MD adalah:4

Baca; Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2012, hlm. 50-52

5
1. Hukum harus memelihara integrasi bangsa baik secara

ideologis maupun secara teritorial. Di sini hukum dituntut untuk

menjadi perekat keutuhan bangsa yang menimbulkan semangat

bersatu, sehidup senasib, sepenanggungan; dan selalu

berdampingan secara damai. Tak boleh ada hukum yang

berpotensi mengancam integrasi dan kalau itu ada maka haruslah

dianggap bertentangan dengan tujuan negara dan cita hukum

sehingga harus dicoret atau ditangkalkan di dalam politik hukum

kita. Hukum dalam fungsinya sebagai perekat ikatan kebangsaan

harus berintikan keadilan dan harus bisa memberi penghidupan,

mendorong kesetaraan, dan menjamin keamanan bagi semua

unsur bangsa tanpa boleh membedakan perlakuan karena status

sosial, suku, budaya, politik, agama, dan ekonomi. Terkait dengan

ini maka kebijakan unifikasi dan kodifikasi hukum haruslah benar-

benar selektif tertuju pada bidang-bidang yang benar-benar dapat

diangkat sebagai hukum bersama, sebab pada dasarnya politik

hukum yang bersifat uniformitas seperti itu tidak sejalan dengan

realitas bangsa kita yang majemuk yang memiliki struktur, sistem,

dan dinamikanya sendiri-sendiri.

2. Hukum harus membuka jalan bahkan menjamin terciptanya

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam arti hukum

harus mengatur perbedaan sosial dan ekonomis warga

masyarakat sedemikian rupa agar memberi manfaat yang paling

6
besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Mereka yang

paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek

kesejahteraan, pendapatan dan otoritas harus diberi perlindungan

khusus, bukan dibiarkan bersaing secara bebas dengan yang kuat

karena hal itu pasti tidak adil.

3. Hukum harus menjamin tampilnya tata politik dan kenegaraan

yang demokratis dan nomokratis. Demokratis artinya

mencerminkan kepentingan rakyat yang diseleksi dan ditetapkan

bersama melalui cara-cara jujur, adil, dan bebas (tanpa tekanan)

untuk kemudian diterima apa pun hasilnya sebagai hasil

musyawarah. Nomokratis artinya pelaksanaan dan semua aspek

kehidupan bernegara, termasuk keputusan-keputusan yang harus

diambil secara demokratis, haruslah berpedoman pada aturan-

aturan hukum yang menjamin pengambilan keputusan dan

pelaksanaannya secara jujur dan adil. Dalam kaitan ini rakyat

harus digerakkan untuk berpartisipasi menentukan isi hukum

dengan nilai-nilai keadilan yang diyakininya agar isi hukum itu

bukan hanya merupakan kehendak penguasa.

4. Hukum harus mampu membangun terciptanya toleransi hidup

beragama di antara, para warganya dan menjamin agar tak

seorang pun melanggar atau dilanggar haknya dalam memeluk

dan melaksanakan ajaran agama yang diyakini dan dianut. Tidak

boleh ada produk hukum yang memberi ruang pada intoleransi

7
dalam kehidupan beragama. Hukum yang tujuannya mengatur

agar tidak terjadi benturan antar pemeluk agama diperbolehkan,

tetapi harus dibuat sedemikian rupa agar hukum itu tidak

disalahgunakan atau dijadikan alat untuk melakukan diskriminasi

atau melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kebebasan

beragama. Berdasar tujuan, dasar, dan cita. hukum negara

Indonesia yang diuraikan di atas maka politik hukum dan segenap

pembangunan pranatanya tidak boleh dibelokkan seperti yang

terjadi pada masa lalu baik pada zaman Orde Lama maupun pada

zaman Orde Baru. Pada zaman Orde Lama hukum dijadikan alat

kekuasaan sehingga pembentukan maupun penegakkannya selalu

diintervensi seperti dikeluarkannya berbagai penetapan Presiden

dan pembolehan bagi Presiden untuk turut campur dalam proses

peradilan; sedangkan pada zaman Orde Baru terjadi hal yang

sama tetapi dengan kemasan (pemberian bentuk) peraturan resmi

yang dipaksakan.

Agar masalah mendasar hukum dapat terbina Negara harus

menjadiakn kebenaran sebagai pijakan dalam membangun konstruksi

kepastian hukum bagi setiap warga Negara termasuk dalam pengusutan

kasus munir, demi keberlangsungan pembangunan politik yang

bermartabat.Repotnya, kasus Munir tampak masih dipahami melulu

secara legal-yuridis. Padahal sebagaimana posisi tulisan ini, kebenaran

justru merupakan hakikat dasar dari hukum. Kebenaran itu masih perlu

8
digali lebih lanjut sambil mengerti perimbangan hubungan antara politik

dan kebenaran tadi. Usman Hamid, misalnya, sangat getol menderet

sekian nama elit politik yang dianggapnya dapat mengungkap kembali

kasus Munir, tentunya dengan nama Presiden Joko Widodo di urutan

nomor satu.5 Hal ini terkesan seperti memaksa maling untuk mengakui

bahwa dirinya adalah maling di wilayah kekuasaan para maling itu sendiri.

Dalam arti tertentu, pernyataan Hamid ini senapas dengan pernyataan

Hendropriyono yang melulu mengacu pada standar-standar universal dari

hukum6. Keduanya seperti gambar yang berbeda dari satu mata koin yang

sama, yang jatuh di ruangan gelap, dan hanya meninggalkan bunyi teka-

teki berdencing-dencing.

Bahwa pemrosesan hukum pihak-pihak yang bertanggung jawab

dalam kasus pembunuhan Munir adalah keharusan untuk dijalani

merupakan satu hal, tapi bahwa upaya pengungkapan kasus tersebut

memang menampilkan kebenaran secara benderang untuk kepentingan

bernegara adalah hal yang lain demi terbinanya pembangunan

politik.pengungkapan kasus Munir selain bersandar pada administrasi

keadilan dan penyelesaian secara yuridis, juga harus bergerak menembus

Usman Hamid, Jokowi dan Kasus Munir, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus,
hlm. 118.

Majalah Tempo Edisi Khusus, Abdullah Makhmud Hendropriyono: Saya Bukan


Intel Kemarin Sore, hlm. 68

9
tabir gelap politik yang menutupi kebenarannya. Tulisan ini berpendapat

bahwa kebenaran merupakan hakikat dasar dari keadilan dan hukum

yang berada pada suatu tatanan politikyang sehat.

C. Marabahaya Hilangnya Dokumen Negara

Tidak ada yang aneh dari hilangnya, atau tidak jelasnya

keberadaan, dokumen laporan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir. Ya, tidak

ada yang aneh. Ini hal biasa saja bagi Indonesia. Dokumen TPF Munir

bukan satu-satunya dokumen penting negara yang ketlingsut entah di

mana. Ada sejumlah dokumen penting lain yang keberadaannya sempat

tak diketahui, beberapa di antaranya bahkan belum ditemukan sampais

ekarang. Salah satu contoh yang bisa diajukan adalah hilangnya notulensi

rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI).

Dokumen notulensi itu sangatlah penting, amat penting bahkan,

karena memuat laporan rinci tentang segala perdebatan yang terjadi

dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang sedang merancang konsep

berbangsa dan bernegara. Dari sanalah publik bisa mengetahui

perdebatan, perselisihan, dan konsensus yang terjadi di balik kelahiran

konstitusi Indonesia: Undang-UndangDasar1945.Selain itu Naskah

proklamasi pun sempat hilang.7Dalam buku BM Diah, Toeti Kakiailatu


7

Baca; BM Diah, Wartawan Serba Bisa (1997),

10
menyebut bahwa BM Diah memungut kertas hasil coret-coretan

rancangan naskah proklamasi tersebut dari tong sampah tak lama setelah

naskah proklamasi selesai dirumuskan. Tak ada yang sadar akan

pentingnya kertas itu. Naskah itu baru kembali ke tangan pemerintah atas

inisiatif BM Diah sendiri yang mengembalikannya pada 1992. Artinya,

butuh 47 tahun bagi negara ini untuk dapat memiliki dokumen luar biasa

penting bernama proklamasi. Bahkan dokumen sepenting itu pun nyaris

setengah abad lamanya disimpan oleh perorangan, bukan oleh negara.

Belum lama ini, diminggu kedua bulan oktober 2016, arsip hasil

penyelidikan Tim Pencari Fakta soal kasus pembunuhan aktivis HAM

Munir pun juga dinyatakan hilang. Padahal dokumen yang semula di

Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg) itu sudah diberikan ke

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Barulah kemarin, melalui

pernyataan pers di Cikeas, pihak SBY mau membuka diri bahwa pihaknya

masih menyimpan satu salinan laporan TPF Munir. Lagi-lagi muncul

pertanyaan: mengapa laporan TPF Munir sampai raib dari penguasaan

atau penyimpanan lembaga-lembaga negara? Mengapa SBY baru

sekarang mengatakan bahwa ia memegang salinan laporan akhir TPF

Munir?

"Pernyataan bahwa Kemensetneg tidak memiliki dokumen TPF

jelas tidak masuk akal. Itu pembodohan publik. Seharusnya negara punya

sistem administrasi yang baik. Kalau dokumen TPF hilang, bagaimana

dengan kasus pelanggaran HAM yang lain," ujar Fikri saat konferensi pers

11
di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, jakarta

Pusat, Selasa (25/10/2016).8

Pada 27 April 2016, Kontras bersama dengan LBH Jakarta serta

istri almarhum Munir, Suciwati mendaftarkan permohonan penyelesaian

Sengketa Informasi Publik kepada Komisi Informasi Pusat (KIP) dengan

tuntutan agar termohon Presiden RI melalui Kementerian Sekretariat

Negara mengumumkan hasil laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus

meninggalnya Munir.Selanjutnya, pada 10 Oktober 2016, KontraS

memenangkan gugatan ke KIP dan Kemensesneg harus mengumumkan

berkas TPF kasus Munir ke publik. Menanggapi keputusan KIP tersebut,

Kemensesneg bukannya mengumumkan hasil TPF tersebut melainkan

mengumumkan bahwa Kemensesneg tidak memegang dokumen TPF

Munir.9

Hal ini menyebabkan terhambatnya penyelesaian kasus HAM

pembunuhan Munir. Dengan itikad baik untuk segera menyelesaikan

kasus pembunuhan Munir tersebut, Presiden Joko Widodo

memerintahkan Jaksa Agung, HM Prasetyo untuk kembali mengusut

kasus Munir. Namun kini dokumen TPF raib entah dimana, kejadian ini

Baca; Kompas.com diakses tanggal 26 oktober 2016

http://suluhbali.co/artikel-cegah-politisasi-kasus-munir/

12
menjadi citra buruk bagi Negara dalam memelihara tatanan administrasi

yang sehat.Sebagai bangsa yang lalai menjaga dokumen, tidak jelasnya

nasib arsip tentang Munir itu tidaklah mengejutkan. Naskah Proklamasi

saja pernah tidak diketahui rimbanya, begitu juga arsip kerja BPUPKI.

Bahkan Surat Perintah kebanggaan Orde Baru juga hilang. Ya, pernah

pernah suatu masa ada arsip yang hilang dan justru menjadi dasar hukum

bagi seorang jenderal untuk mengambil-alih kepemimpinan di negeri ini. Ia

mengaku memperoleh mandat (dari Presiden) untuk mengambil-alih

pemerintahan. Surat Perintah Sebelas Maret, atau Supersemar, sampai

kini masih menjadi misteri yang mungkin akan abadi.

Dampak paling fatal dari raibnya dokumen-dokumen penting negara

adalah sejarah menjadi sumir, kabur, atau lebih tepatnya lagi: disumirkan,

dikaburkan. Jika ada episode penting dalam perjalanan sejarah bangsa

ternyata diselumit kekaburan, maka rezim penguasa akan mengisi

kekaburan itu dengan mendesakkan versinya sendiri. Dan versi itu akan

sukar dibantah karena dokumen terpentingnya tidak bisa terakses,

sehingga evaluasi, kritik, atau bantahan akan sulit untuk meyakinkan.

Dampaknya sama: sejarah gampang dibuat kabur, untuk kemudian dari

sanalah versi rezim penguasa bisa didesakkan sebagai versi resmi.

Hilangnya sebuah arsip, bukan tidak mungkin, membuat manipulasi

sejarah menjadi gampang dilakukan. Jika manipulasi itu disebarkan

melalui berbagai saluran resmi, dan menyusup ke dalam kurikulum

pendidikan dan buku pelajaran, sebuah bangsa akhirnya hidup dalam

13
sebuah kebohongan. Disinilah pentingnya rumusan Lucian W. Pye yang

mendefenisikan Pembangunan Politik sebagai Pembangunan Administrasi

dan Hukum.

D. Dinamika Pembentukan Tim Independen Pencari

Fakta Kasus Munir

Pada 24 November 2004 di Istana Merdeka, Suciwati didampingi

Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik (Imparsial) serta Mouvty

Makaarim Al Akhlaq (KontraS) diterima oleh Presiden SBY. Pada

pertemuan itu keluarga Munir meminta Presiden SBY membentuk tim

investigasi independen atas dasar Keppres (Keputusan Presiden) dan

melibatkan beberapa nama tokoh masyarakat seperti Amin Rais

(Mantan Ketua MPR), Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah), dan

Todung Mulya Lubis. Presiden SBY sendiri pada saat itu tidak secara

eksplisit untuk segera memenuhi permintaan tersebut dan lebih bersikap

diplomatis dengan meminta lebih dahulu konsep dasar usulan tim

investigasi kasus Munir.

Sebaga
i tindak lanjut atas pertemuan sebelumnya, pada 26

November 2004 Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik

menyerahkan rancangan tim kasus Munir beserta usulan nama-nama

anggotanya kepada Andi Mallarangeng, juru bicara Kepresidenan di

Halim Perdana Kusumah. Pada 8 Desember 2004, Sekretaris Kabinet

Sudi Silalahi menyatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk

14
menunggu perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat

Kepolisian RI. Ini merupakan bahasa politis untuk menyatakan tidak

bagi tim investigasi independen kasus Munir. Pernyataan yang kurang

lebih sama juga diungkapkan Juru Bicara Kepresidenan, Andi

Mallarangeng seusai menghadiri pelantikan Direktur Badan Intelijen

Negara (BIN) yang baru, Mayjen (Purn) Syamsir Siregar. Andi

Malarangeng menjelaskan bahwa presiden menilai pembentukan tim

independen belum tepat dan kesempatan harus diberikan dulu

kepada Polri untuk menjalankan tugasnya. Ada dugaan keputusan

penolakan atas usulan tim investigasi independen kasus Munir tersebut

merupakan hasil keputusan rapat Presiden dengan anggota kabinet

secara terbatas sehari sebelumnya (7 Desember 2004).

Merasa kecewa dengan sikap penolakan Presiden atas usulan

pembentukan tim independen, istri almarhum Munir, Suciwati, bersama

KontraS, Imparsial serta Kelompok Solidaritas Pembela HAM Indonesia

melakukan konferensi pers bersama di kantor Imparsial, 8 Desember

2004. Menanggapi kekecewaan keluarga Munir, Juru Bicara

Kepresidenan Andi Mallarangeng menjawab dengan bahasa diplomatis

bahwa Presiden SBY tidakmenolak usulan pembentukan tim investigasi

independen, tetapi Presiden SBY lebih memberikan kesempatan dulu

kepada Kepolisian RI untuk menyelidiki kematian Munir.

15
Perkembanga
n menarik terjadi satu hari sesudahnya, 9 Desember

2004, sikap Presiden SBY berubah cukup drastis dalam pernyataan

yang disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Dinyatakan

bahwa Presiden SBY kecewa adanya kesan bahwa dirinya menolak

pembentukan tim investigasi independen kasus Munir. Saat itu bahkan

Presiden SBY telah menginstruksikan Jaksa Agung serta Kapolri untuk

berkoordinasi dengan pihak keluarga almarhum Munir untuk merancang

tim investigasi independen tersebut agar tidak tumpang tindih

dengan ketentuan perundang-undangan Indonesia. Ketidakjelasan dari

sikap Presiden SBY tersebut kemudian mengundang munculnya

berbagai reaksi dari banyak kalangan seperti anggota DPR, tokoh

masyarakat, akademisi, aktivis HAM, hingga organisasi HAM

internasional. Berita akan perubahan sikap dari Presiden SBY ini

menjadi berita utama berbagai media massa nasional. Bantahan dari

Presiden SBY atas kesan adanya penolakan dirinya tehadap usulan

pembentukan tim independen nampaknya lebih disebabkan kekacauan

serta miskoordinasi di dalam tubuh tim juru bicara kepresidenan.

Namun ternyata apa yang telah diinstruksikan Presiden SBY untuk

merancang
tim investigasi independen kasus Munir tersebut belum bisa

terealisasikan secara langsung. Hingga waktu seminggu setelah adanya

pernyataan Presiden SBY tersebut pihak keluarga serta kalangan NGO,

dalam hal ini KontraS dan Imparsial, sama sekali belum dilibatkan dalam

16
perumusan draft tim independen tersebut yang direncanakan disusun

bersama dengan Jaksa Agung, Kapolri, dan Menko Polhukam. Padahal,

sejak 24 November 2004 KontraS dan Imparsial telah menyerahkan draft

pembentukan tim (beserta usulan nama anggotanya). Satu-satunya

undangan yang dikirim pemerintah adalah pada 13 Desember 2004,

itupun hanya untuk membahas langkah investigasi yang telah

dilakukan pihak kepolisian dan sama sekali tidak menyinggung

pembentukan tim investigasi independen.

Pihak pemerintah (dalam hal ini perwakilan Polri, Kejaksaan

Agung, dan Departemen Hukum dan HAM) baru melakukan rapat dengan

pihak keluarga Munir serta tim pengacaranya pada 21 Desember 2004

dengan melakukan pembahasan tentang kewenangan tim independen

yang akan dibentuk. Pihak keluarga dan kerabat Munir mendesak agar

tim ini memiliki fungsi pro-justicia serta kewenangan yang menyerupai

peran Polri. Usulan tersebut ditolak pihak pemerintah dan hanya

menempatkan tim investigasi independen kasus Munir sebagai sebagai

pembantu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan polisi, serta

memberikan rekomendasi bila dianggap perlu. Hasil dari pertemuan

tersebut ternyata ditanggapi secara cepat oleh Presiden SBY. Pada

tanggal 23 desember 2004 dikeluarkanlah Keputusan Presiden

(Keppres) bernomor 111 tentang Pembentukan Tim Pencari fakta

Kasus Munir.

17
Tim Pencari Fakta/TPF kasus Munir versi Keppres ternyata

berbeda dengan yang disepakati pada rapat bersama di mabes Polri 21

Desember 2004, padahal Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng

pernah menyatakan seharusnya apa yang ditetapkan Presiden SBY

sama dengan draft akhir yang disepakati di rapat Mabes Polri

tersebut. Berikut perbandingan tugas dan wewenang TPF versi Rapat

Mabes Polri 21 Desember 2004 dengan versi Keppres No. 111/2004 23

Desember 2004. Seperti table dibawah ini:10

10

Tabel seperti dikutip dari Buku Putih Kontras Bunuh Munir, hal 65,
Januari 2006

18
Tugas dan Wewenang TPF

Versi Rapat Mabes Polri Versi Keppres No. 111/2004,


21/12/2004 23/12/2004
Tugas: Tugas dan Wewenang:

Secara aktif membantu Membantu Polri melakukan


Penyidik Polri Penyelidikan
dalam melaksanakan proses Melakukan hal-hal lain yang
penyelidikan dan penyidikan dianggap perlu
pengungkapan kasus Memperoleh bantuan dari instansi
meninggalnya Munir. Pemerintah Pusat dan Daerah
Wewenang:
memberikan pertimbangan
dan atau pendapat kepada
penyidik Polri, dengan atau
tanpa diminta oleh pihak
Penyidik Polri
mengusulkan arah penyelidikan
dan penyidikan oleh
PenyidikP o l r i , m e m o n i t o r
d a n mengevaluasi
perkembangannya
meminta keterangan dari
pihak- pihak yang
diperlukan serta
berkonsultasi dengan ahli-
ahli dalam dan luar negeri
demi kepentingan jalannya
proses penyelidikan dan
penyidikan.
Kewajiban:

Membuat laporan kepada


Presiden mengenai kegiatan
yang dilaksanakan dan
merekomendasikan kebijakan-
kebijakan bagi Presiden.

Komposisi anggota TPF Versi Keppres No.111/2004, 23

Desember 2004 pun ternyata mengalami perubahan dari

kesepakatan pada rapat di Mabes Polri 21Desember 2004. Nama-

nama yang memiliki karakter politik yang kuat seperti Ahmad Syafii Maarif

19
(Ketua PP Muhammadiyah) serta Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid

(Nahdlatul Ulama) tidak disertakan di dalam susunan tim. Keterlibatan

tokoh-tokoh tersebut padahal amat diperlukan mengingat nuansa politis

kasus meninggalnya Munir amat tinggi dan sudah dipastikan akan banyak

menemui kendala secara serius. Berikut perbandingan susunan anggota

TPF versi Rapat Mabes Polri 21 Desember2004 dengan versi Keppres

No. 111/2004 23 Desember 200411:

Versi Rapat Mabes Polri, 21/12/2004 Versi Keppres No.111/2004,


23/12/2004
1. K.H. Ahmad Syafii Maarief Hanafi 1. Brigjen (Pol) Marsudhi (ketua)
( Ketua PP Muhammadiyah) 2. Asmara Nababn (Wa Ketua)
2. Sint a Nuriyah Abdurrahman Wahid 3. Bambang Widjojanto
3. Asmara Nababan 4. Hendardi
4. Todung Mulya Lubis 5. Usman Hamid
5. Pejabat Pemerintah
6. Munarman
6. Bambang Widjojanto
7. Hendardi 7. Smita Notosusanto
8. Usman Hamid 8. I Putu Kusa
9. Munarman 9. Kemala Chandra Kirana
10. Smita Notosusanto 10. Nazaruddin Bunas
11. Wakil Kepolisian, Brigjend Pol Drs.
Andi Hasanudin Mappalangi, Karo 11. Retno LP Marsudi
Analis Bareskrim Polri 12. Arif Navas Oegroseno
12. Seorang Wakil dari Kejaksaan Agung 13. Rachland Nashidik
RI, Agung, I Putu Kusa, Dir Pratut
Jampidum Kejagung RI 14. Munim Idris
13. Ketua Komnas Perempuan kamala
Chandrakirana
14. Wakil departemen Hukum dan HAM,
Nazaruddin Bunas, Dir Daktiloskopi
Ditjen HAM
15. Wakil Departemen Luar negeri, Des
Alwi, Kasubdit Eropa Dit Eropa Barat,
Ditjen Amero

11

Tabel seperti dikutip dari Buku Putih Kontras Bunuh Munir, hal 65,
Januari 2006

20
Pihak Keluarga dan kalangan NGO pun mempertanyakan

perbedaan konsep TPF sebagai masalah serius dan meminta Presiden

memberi penjelasan resmi atas hal itu, lebih jauh, anggota tim yang

diusulkan dari unsur non-pemerintah menyatakan sulit menjadi bagian

dari tim yang dibentuk Presiden apabila tidak ada penjelasan dari

kepresidenan. Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM), koalisi

organisasi non- pemerintah misalnya melakukan siaran pers yang

menyatakan bahwa pemerintah/presiden telah mengubah hasil

kesepakatan rapat di Mabes Polri, 21 Desember 2004. Para anggota

TPF dari wakil organisasi non-pemerintah menyatakan bila dalam waktu

sebulan masih terjadi ketidakjelasan, mereka siap mengundurkan diri

dari TPF.

Walau pada akhirnya tidak perubahan sama sekali terhadap

konsep TPF bentukan Presiden tersebut, dengan segala keterbatasan

yang ada TPF versi Keppres No.111/2004 yang terdiri dari unsur

pemerintah dan non-pemerintah memutuskan untuk melanjutkan kerja

TPF. Termasuk mereka yang berasal dari unsur non pemerintah yang

menyatakan untuk sementara memutuskan ikut serta dalm TPF

tersebut. Mereka mengambil sikap akan mengundurkan diri jika dalam

pelaksanaan kerjanya terhambat oleh keterbatasan normatif dalam

Keppres tersebut. Setelah TPF berjalan, dua anggotaTPF dari unsur non-

pemerintah, Bambang Widjojanto dan Smita Notosusanto tetap

21
mengambil sikap untuk tidak ikut aktif dalam TPF versi kepresidenan

tersebut.

E. Analisis Hukum Kasus Munir

Dalam menganalisa kasus Munir, ada hal yang mesti diperhatikan

yaitu hukum harus memelihara integrasi bangsa baik. yaitu penanganan

kasus ini mesti ditangani dengan tujuan negara Indonesia sebagai negara

hukum. Tidak ada perbedaan bagi setiap individu di hadapan hukum.

Secara konstitusional, semua warga negara dilindungi dan memiliki

kesamaan hukum.

Integrasi bangsa dilakukan karena ada kesatuan cita yang

menjamin hukum sederajat bagi semua unsur. Unsur pemerintah, unsure

rakyat dan unsur siapa saja yang berada dalam kesatuan negara

Indonesia harus berada dalam hukum yang sama. Pemerintah tidak bisa

bebas dari hukum jika bersalah. Ada peraturan yang membatasi setiap

gerakan seseorang kepada orang lain, apalagi sampai menghilangkan

nyawa warga negara seperti yang dialami Munir.

Kedua, kasus Munir hendaknya menemukan jalan terang bahkan

menjamin terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan di sini sudah terpenuhi jika ada dua orang yang berkasus

merasa sudah puas. Dalam kasus Munir, keluarga dan seluruh aktivis

keadilan merasa belum mencapai keadilan yang setara. Walau pilot

22
Garuda sudah divonis, hal ini tidak menjadi bahan surutnya pencari

keadilan untuk mencari siapa aktor sesungguhnya.

Ketiga, kasus Munir harus menjamin tampilnya tata politik dan

kenegaraan yang demokratis dan nomokratis. Artinya penuntasan kasus

ini harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di

Indonesia. Hukum mesti memberi keadilan tanpa disusupi intrik politik

penguasa. Sistem hukum yang demokratis memberi keluasan bagi

perangkat hukum agar tidak ikut dalam memutuskan kasus sesuai

pesanan. Jalannya elemen-elemen hukum negeri memberi sinyal bahwa

nomokratis di Indonesia berfungsi sesuai tugasnya. Kasus Munir ini harus

tidak terkontaminasi dari ihwal politik. Tatanan politik yang sehat mesti

diturunkan dalam penegakan hukum. Jika tidak, hukum akan minus

keadilan menjelma menjadi kekhawatiran laksana sengatan semut merah

bagi warga negara.

Keempat, kasus Munir ini harus mampu membangun terciptanya

toleransi hidup. Walaupun Munir sebagai pejuang keadilan telah tiada.

Perjuangan menegakkan keadilan untuk semua harus terus berjalan.

Adanya hukum, membuat orang semakin dewasa untuk bertoleransi. Jika

melanggar toleransi beragama misalnya, maka akan mendapat hukuman

dari negara. Terkait kasus Munir, perjuangan untuk mencari siapa

sebenarnya aktor kematian Munir terus dilakukan. Negara jangan

memberi toleransi sedikitpun bagi pelanggar HAM. Lebih baik

23
memenjarakan 1000 orang bersalah, daripada memenjarakan 1 orang tapi

tidak bersalah. Para pendukung Munir terus menyuarakan penuntasan

kasus Munir. Ini harus diselesaikan tanpa menunda-nunda agar keadilan

dapat ditegakkan.

F. Penutup

Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, kita bisa

mengatakan bahwa pembangunan politik membutuhkan kebenaran.

Kebenaran dalam tatanan hukum dan tatanan administrasi yang menjadi

pegangan bagi pembangunan politik yang sehat. Kasus Munir merupakan

contoh lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Kasus Munir juga

merupakan warisan pemerintahan orde baru yang saat itu lebih bersifat

otoriter. Sudah seharusnya kasus Munirdijadikan pelajaran berharga untuk

bangsa ini agar meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter karena

setiap manusia atau warga negara memiliki hak untuk memperoleh

kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa

aman. Apalagi saat ini bangsa Indonesia dalam perjalanan membangun

konstruksi demokrasi yang berkewajiban menjunjung tinggi HAM seluruh

masyarakat Indonesia.

Kasus Munir harus menjadi momentum bagi rezim Jokowi dalam

membina tatanan hukum dan tatanan administrasi yang sehat, dengan

mengungkap tabir yang sampai hari ini masih menjadi misteri setelah dua

belas tahun pembunuhan yang dialami sang aktivis HAM agar tak ada

24
mumir-munir lain yang mengalami nasib sama.Selain itu penyelesaian

kasus munir menjadi corong membina Pembangunan Politik yang

bermartabat di era demokrasi yang telah menjadi pilihan bangsa

Indonesia.

25
DAFTAR PUSTAKA

Artikel Catatan Imparsial. 2006. Tembok Tebal, Pengusutan Pembunuhan

Munir: Sebuah Analisis Kebijakan.

Artikel, Tanius Sebastian. 2016. Jangan Lelah Pada Kebenaran. Harian

Indoprogress.

http://suluhbali.co/artikel-cegah-politisasi-kasus-munir/ diakses tanggal 26

Oktober 2016

Kompas.com. Amuk Munir Sayangkan Hilangnya Laporan TPF Munir,

diakses tanggal 26 oktober 2016.

MD, Mahfud. 2012. Politik Hukum di Indonesia. PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Majalah Tempo. 2014. Edisi Khusus Kasus Munir

Sudarsono, Juwono.1982. Pembangunan Politik dan Perubahan

Politik. Penerbit PT Gramedia Jakarta.

Sukarna.1990. Pembangunan Politik. Penerbit Mandar Maju Bandung.

26

Anda mungkin juga menyukai