Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Arus reformasi yang melanda Indonesia memberikan perubahan yang mendasar terhadap
format kelembagaan negara republik ini. Salah satunya adalah adanya perubahan
(amandemen) UUD 1945. Implikasi dari perubahan ini yakni, tidak ada lagi status lembaga
tertinggi negara. Lembaga penyelenggara negara sekarang posisinya sejajar, sama-sama
sebagai lembaga negara.1 Hubungan antar lembaga negara menjadi horizontal tidak lagi
vertikal.

Dalam UUD 1945 pra-amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi


lembaga tertinggi negara, lembaga-lembaga negara dibawahnya menjadi lembaga tinggi
negara seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung
(DPA), Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga tinggi
negara harus bertanggung jawab kepada lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat yang
dipegang oleh MPR dalam pelaksanaannya dijalankan oleh lembaga negara dibawahnya
(distribution of power) dan lembaga-lembaga negara tersebut bertanggung jawab kepada
MPR. Misalnya, Presiden sebagai mandataris MPR harus mempertanggungjawabkan
kinerjanya kepada MPR.2

Dengan digelarnya UUD 1945 pasca-amandemenselanjutnya ditulis UUD NRI 1945,


status MPR sebagai lembaga tertinggi negara dihapus. Posisi MPR sekarang menjadi
lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Pasal 1 ayat (2) UUD
NRI 1945 mengatakan: Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.3 Setiap lembaga tinggi negara mempunyai fungsi dan kerja masing-
masing serta terdapat pemisahan kekuasaan (separation of power) didalamnya. Lembaga
tinggi negara yang satu tidak bertanggung jawab kepada lembaga tinggi negara lainnya.
Kinerja lembaga tinggi negara dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) yang dijalankan republik ini


mengantarkan setiap lembaga negara mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang
berimbang. Eksistensi tiga kekuasaanlegislatif, eksekutif, dan yudikatifharus dipisah.
Kekuasaan penyelenggaraan negara tidak boleh berada ditangan satu badan.

Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali dalam teori Montesquie pada karyanya,
Esprit des lois, yang diterbitkan pada tahun 1748. teori ini muncul atas kritik dan
pembelajaran Montesquie terhadap konstitusi Inggris. Dalam tulisannya Montesqiue
menyimpulkan bahwa:

..ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang atau badan yang
sama, maka tidak akan ada lagi kebebasan sebab terdapat bahaya bahwa raja atau
badan legislatif yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan
melaksanakannya dengan cara yang tiran.4

Pemikiran Montesquie ini dianut pula oleh pemikir Inggris sendiri, Blackstone. Dalam
karyanya Commentaries on the Laws of England (1765), menyatakan: Apabila hak untuk
membuat dan melaksanakan undang-undang diberikan kepada orang atau badan yang sama,
maka tidak akan ada lagi kebebasan publik.5

Dalam konteks keindonesiaan, perihal yang diutarakan oleh Mantesquieu dan Blackstone
sebelum diadakan perubahan (amandemen) UUD 1945 telah menjadi kenyataan. Pasal 5 ayat
(1) UUD 1945 sebelum amandemenselanjutnya ditulis UUD 1945, menuliskan: Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.6 Penjelasan dari pasal ini adalah: Kecuali executive power, Presiden bersama-sama
dengan dengan Dewan perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara.7

Konstitusi memberi ruang bagi Presiden untuk sekaligus menjalankan kekuasaan


legislatif (pembuat undang-undang) dan kekuasaan eksekutif (yang menjalankan undang-
undang). Akibatnya bisa dilihat, selama hampir 32 tahun (1966-1998) Presidendalam era
Orde Barumenjadi penguasa tangan besi. Seluruh sabdanya menjadi perintah yang harus
dijalankan tanpa ada bantahan, rakyat dibungkam, siapa yang coba membantah apalagi
mengkoreksi perintahnya hanya akan tinggal nama belaka. Mereka akan dikandangkan.
Kebebasan bagi publik dikekang, mungkin juga dibuang di tempat sampah. Lahirlah apa
yang disebut dengan executive heavy.
Bandingkan dengan UUD NRI 1945. Pasal 5 ayat (1) menyatakan: Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.8 Kekuasaan
Presiden dalam kekuasaan legislatif (legislative power) dibatasi hanya pada mengajukan
rancangan undang-undang bukan membentuk undang-undang. Tidak ada lagi penyatuan
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di satu tangan. Pemisahan kekusaan terjadi,
Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang. Sedangkan yang mempunyai
wewenang untuk membuat undang-undang berada ditangan DPR. Terdapat pembatasan
kekuasaan Presiden dan selanjutnya Presiden tidak dapat lagi menjalankan kekuasaannya
dengan sewenang-wenang.

Teori pemisahan kekuasaan ini pula yang mendasari adanya perubahan terhadap UUD
1945. secara filosofis, perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk menerangkan bahwa,
pertama, UUD 1945 hanya sebagai moment opname dari berbagai kekuatan politik dan
ekonomi yang dominan pada saat UUD 1945 tersebut dirumuskan. Kedua, UUD 1945
disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya yang tidak akan pernah sampai kepada tingkat
kesempurnaan. Pekerjaan manusia tetap memiliki kelemahan maupun kekurangan. Secara
yuridis, para perumus UUD 1945 menunjukkan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan
ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan
mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Secara sosiologis-historis, sejak awal
pembuatan UUD 1945 bersifat sementara, yang dikemudian hari dapat disempurnakan dan
dilengkapi.9

Namun kemudian, tidak serta-merta perubahan UUD 1945 ini mempengaruhi


penyelenggaraan kekuasaan negara menjadi lebih baik. Semula sebelum UUD 1945
diamendemen kekuasaan negara cenderung bersifat executive heavy, setelah UUD 1945
diamandemen kekuasaan negara cenderung berubah menjadi legislative heavy. Lembaga
perwakilan (DPR) seakan menumpahkan seluruh dendam dan serapahnya karena hampir 32
tahun (1966-1998) dikekang dan berada dibawah komando eksekutif (Presiden).

Sekilas legislative heavy tersebut diakomodir ke dalam perubahan UUD 1945.


sebelumnya dalam UUD 1945, kewenangan DPR hanya pada tataran memberikan
persetujuan pada rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden (Pasal 20 ayat (1)
UUD 1945), sekarang dalam UUD NRI 1945, kewenangan DPR menjadi berlipat. Mulai dari
kewenangan kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945)
sampai memaksa Presiden untuk menyetujui pemberlakuan undang-undang dengan atau
tanpa pengesahan dari Presiden (Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945).10

1. Rumusan Masalah

Pergeseran kekuasaan eksekutif kepada kekuasaan legislatif nyata-nyata di akomodasi


dalam konstitusi. Lalu, apakah ini berarti teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power)
seperti yang dikemukakan oleh Montesquie dan Blackstonetelah terjadi dalam konstitusi
negeri ini?

Tulisan berikut difokuskan untuk meneliti dalam hal apa saja hubungan antara legislatif
(DPR) dengan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) yang diakomodasi dalam UUD NRI
1945? Sehingga dapat menjawab apakah pemisahan kekuasaan negara (separation of power)
memang benar-benar terdapat dalam konstitusi Indonesia sekarang dan diterapkan dalam
hubungan kelembagaan antara lembaga legislatif (DPR) dengan lembaga eksekutif
(Presiden/Wakil Presiden).

I. PEMBAHASAN

1. Arti Lembaga Penyelenggara Kekuasaan Negara

Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diikat
dengan prinsip cheks and balances, dimana lembaga-lembaga negara tersebut diakui
sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya
mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan
kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD.11 Dengan
dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri
UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.
Tidak adanya penjelasan UUD ini juga bisa mengakibatkan hubungan antara lembaga-
lembaga negara menjadi kurang harmonis. Antara lembaga negara yang satu dengan lembaga
negara yang lain bisa-bisa saling menjatuhkan.

Secara sederhana dapat diketahui bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara dijalankan


oleh 3 (tiga) lembaga yakni, (i) legislatif, (ii) eksekutif, dan (iii) yudikatif.

Legislatif berfungsi membuat undang-undang (legislate). Menurut teori kedaulatan


rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat ini mempunyai kemauan
(Rousseau menyebutnya dengan Volonte Generale atau Generale Will). Rakyat memilih
beberapa orang untuk duduk di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan
dan menyuarakan kemauan rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum (public policy).
Lembaga ini mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang sebagai cerminan dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan umum tadi. Lembaga ini sering disebut sebagai dewan
perwakilan rakyat atau parlemen.12

Parlemen dalam sejarah kuno, misalnya di Inggris, mempunyai kekuasaan hingga bisa
masuk ke urusan privat dan mencampuri urusan publik warga negara. Posisi parlemen sangat
kuat. Dicey seperti mengutip pendapat Coke berujar:

..parlemen secara khusus memilih campur tangan terhadap hak-hak pribadi


sebagai contoh dari otoritas parlemen, contohnya (i) anak perempuan dan keturunan
sah laki-laki atau perempuannya, menurut undang-undang parlemen, dapat mewarisi
kehidupan nenek moyangnya. (ii) parlemen dapat membuat pernyataan tentang bayi,
anak kecil atau akil balig, (iii) juga dapat menghilangkan hak-hak seorang penghianat
setelah kematiannya, dan (iv) memberi kewarganegaraan kepada orang asing, dan
menjadikannya warga negara baru. Ia bisa saja seorang anak haram yang menurut
hukum sah, yaitu, lahir dari seorang pezina, yang suaminya ada dibanyak tempat.13

Posisi parlemen yang seperti ini dikarenakan kekuasaan yang diterima oleh parlemen
berasal langsung dari rakyat. Akan tetapi, kekuasan parlemen ini bila tidak dikontrol akan
melahirkan sebuah kedaulatan parlemen yang tidak tak terbatas (absolut). Telah wajar bahwa
kekuasaan yang absolut akan melahirkan kekuasaan yang korup. Seperti yang dituliskan
Blackstone dalam karyanya Commentaries on the Laws of England (1765) menuliskan:
..untuk tujuan yang sama, Montesquie, kendati begitu saya percayai, menyatakan
bahwa: karena Roma, Sparta dan Chartage kehilangan kebebasan mereka dan
kemudian sirna, maka konstitusi Inggris pun suatu hari nanti akan kehilangan
kebebasannya, dan akan sirna: kebebasan ini akan hilang ketika kekuasaan legislatif
menjadi lebih korup daripada kekuasaan eksekutif.14

Bagaimanapun juga kekuasaan parlemenwalaupun kekuasaannya diberikan langsung


oleh rakyatharus dibatasi agar tidak menjadikan parlemen sebagai lembaga perwakilan
yang korup, dan hanya menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan
mengatasnamakan kepentingan rakyat (kepentingan umum).

Lembaga penyelenggara kekuasaan negara berikutnya adalah lembaga eksekutif yang


berfungsi menjalankan undang-undang. Di negara-negara demokratis, secara sempit lembaga
eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-
menterinya (kabinetnya). Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai
negeri sipil dan militer.15 Oleh karenanya sebutan mudah bagi lembaga eksekutif adalah
pemerintah.

Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh para menteri. Jumlah
anggota eksekutif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota legislatif, hal ini
bisa dimaknai karena eksekutif berfungsi hanya menjalankan undang-undang yang dibuat
oleh legislatif. Pelaksanaan undang-undang ini tetap masih diawasi oleh legislatif.

Selain melaksanakan undang-undang, Eksekutif juga mempunyai tugas untuk


melaksanakan:16

I.

1.

i.

1. Kekuasaan diplomatik, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan


hubungan luar negeri;

2. Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan


undang-undang dan administrasi negara;
3. Kekuasaan militer, yaitu berkaitan dengan organisasi angkatan
bersenjata dan pelaksanaan perang;

4. Kekuasaan yudikatif (kehakiman), yaitu menyangkut pemberian


pengampunan, penangguhan hukum dan sebagainya terhadap
pelaku kriminal atau narapidana;

5. Kekuasaan legislatif, yaitu berkaitan dengan penyusunan


rancangan undang-undang dan mengatur pengesahannya menjadi
undang-undang.

Sistem pelaksanaan kerja dan pertanggungjawaban ekesekutif (pemerintah) didasarkan


atas dua model sistem pemerintahan, sistem pemerintahan presidensiil dan sistem
pemerintahan parlementer. Sistem pemerintahan presidensiil (fixed executive) atau (non-
parlementary executive) adalah apabila ekesekutif bertanggung jawab secara langsung
dengan periode waktu tertentu kepada suatu badan yang lebih luas dan tidak terikat pada
pembubaran oleh tindakan parlemen (legislatif).17 Beberapa ciri penting dari sistem
pemerintahan presidensiil adalah:18

I.

1.

i.

1.

1.

i.

1. Presiden/Wakil Presiden tidak dapat


diberhentikan ditengah masa jabatannya
karena alasan politik (fixed term);

2. Presiden/Wakil Presiden tidak bertanggung


jawab kepada lembaga politik tertentu yang
biasa dikenal dengan parlemen, melainkan
langsung bertanggung jawab kepada rakyat;

3. Pertanggungjawaban langsung
Presiden/Wakil Presiden merupakan akibat
dari dipilihnya Presiden/Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum;

4. Presiden/Wakil Presiden tidak dapat


membubarkan parlemen, begitu juga
sebaliknya parlemen tidak bisa
membubarkan Presiden/Wakil Presiden;

5. Dalam sistem ini, tidak dikenal adanya


pembedaan antara fungsi kepala negara
dengan fungsi kepala pemerintahan;

6. Tanggung jawab pemerintahan berada di


pundak Presiden, oleh karenanya Presiden
berhak menyusun kabinetnya tanpa ada
campur tangan dari parlemen.

Sedangkan sistem pemerintahan parlementer adalah bahwa eksekutif bertanggung jawab


secara langsung kepada parlemen (legislatif )parlemen mempunyai kekuasaan untuk
membubarkan eksekutif jika parlemen kehilangan kepercayaan (trust) kepada eksekutif
atau tunduk pada pemeriksaan yang lebih tidak memihak, seperti misalnya lewat pemilihan
presiden secara berkala.19 Beberapa ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah:20

1. Kepala pemerintahan (eksekutif) sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh legislatif dengan


alasan politik (misalnya dengan mosi tidak percaya terhadap kinerja pemerintah/vote of
convident);
2. Kepala pemerintahan beserta para menterinya bertanggung jawab kepada legislatif
(parlemen);

3. Kepala pemerintahan (eksekutif) yang biasanya disebut dengan Perdana Menteri walau
dipilih langsung oleh rakyat, tetapi hakekatnya dia dipilih karena menjadi anggota dari
kelompok mayoritas yang duduk di lembaga perwakilan (parlemen);

4. Legisaltif/parlemen sewaktu-waktu bisa membubarkan eksekutif;

5. Ada pemisahan fungsi antara kepala pemerintahan dengan kepala negara. Kepala
pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh
Raja/Presiden/Sultan atau semacamnya.

Lembaga penyelenggara kekuasaan negara ketiga adalah lembaga yudikatif (kehakiman)


yang berfungsi mengadili undang-undang. Miriam Budiarjo mengawali pembahasan tentang
lembaga yudikatif dengan memaparkan dua sistem hukum yang biasa dianut oleh negara-
negara di dunia, yakni sistem hukum Common Law dan sistem hukum Civil Law.

Sistem hukum Common Law biasa dipakai oleh negara-negara Anglo Saxon. Pelopornya
adalah Inggris pada abad pertengahan. Dalam sistem hukum Common Law, selain undang-
undang yang dibuat oleh parlemen (statute law) masih terdapat undang-undang lain yang
disebut Common Law, yang dihasilkan dari keputusan hakim. Jadi dalam hal ini, hakim ikut
menciptakan hukum. Perihal ini dinamkan sebagai case law atau judge-made law (hukum
buatan hakim).21

Hakim yang juga berperan membentuk hukum, dalam sistem hukum Common Law
dipandang tidak melangkahi kewenangan legislatif sebagai pembuat undang-undang, karena
hukum yang dibuat oleh hakim berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatif. Di Inggris
misalnya, A.V. Dicey berujar bahwa: Kekuasaan hakim pada hakekatnya bersifat legislatif
(essentially legislative authority of judges). Maksud hukum buatan hakim disini adalah
bahwa putusan hakim terdahulu mengikat pada hakim yang mendatang apabila diterapkan
dalam perkara yang sama.22 Jadi berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatifyang
memang berfungsi sebagai pembuat undang-undang/hukum. Hukum yang dibuat oleh hakim
ada, bila ada perkara yang diajukan kepadanya, sedangkan hukum yang dibuat legislatif ada,
meskipun tanpa ada perkara apapun, karena ia berfungsi sebagai pembuat undang-undang.

Sistem hukum kedua adalah Civil Law yakni sistem hukum yang tidak mengenal azas
case law atau judge-made law. Penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim itu tidak
mungkin. Di Prancis misalnya, dimana kodifikasi hukum telah diadakan semenjak zaman
Napoleon, para hakim dengan tegas dilarang menciptakan case law. Hakim harus mengadili
perkara hanya berdasarkan pada hukum yang termuat dalam kodifikasi atau hukum yang
telah dibuat oleh legislatif saja.23 Hal ini dalam ilmu hukum dinamakan dengan aliran
Legisme atau Positivisme perundang-undangan, yakni suatu aliran yang mempunyai
pendapat bahwa: undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya.

Perkara yang diajukan kepada hakim diadili dengan undang-undang yang telah ditetapkan
oleh lembaga legislatif. Namun, apabila undang-undang tidak mengatur, maka hakim boleh
menggunakan putusannya sendiri (tentunya hal ini berkenaan dengan azas ius curia novit,
hakim dilarang menolak perkara karena dianggap tahu akan hukumnya). Tetapi putusan
hakim yang terdahulu tidak mengikat pada hakim yang mendatang, walau perkara yang
diajukan serupa. Jadi tidak ada precedent dalam sistem hukum Civil Law.24

Lembaga yudikatif menjadi lembaga penyelenggara kekuasaan negara yang tugasnya


menjadi pengadil dari undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga legisalatif. Mekanisme
peradilan untuk mengadili undang-undang ini dikenal dengan istilah judicial review. Di
Indonesia misalnya, fungsi judicial review dijalankan oleh Mahkamah Kontitusi (MK) yang
mengadili Undang-Undang terhadap UUD25 dan Mahkamah Agung yang mengadili peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.26

1. Trias Politica dan Teori Separation of Power

Sebagaimana dituliskan pada lembar sebelumnya bahwa konsep Trias Politica pertama
kali dikenalkan oleh Montesquie dalam karyanya Esprit des Lois (1748) dan juga John
Locke, seorang filsuf Inggris, dalam karyanya Two Traetises on Civil Goverment (1690).
Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan:
pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making
function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule
application function); ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili pelanggaran
undang-undang (rule adjudication function).27

John Locke mengemukakan Trias Politica dengan pembagian kekuasaan negara menjadi
tiga kekuasaan yakni, pertama, kekuasaan legislatif sebagai pembuat peraturan dan undang-
undang. Kedua, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana dan pengadil undang-undang. Ketiga,
kekuasaan federatif sebagai kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga
keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain seperti membuat aliansi dan
sebagainya.28

Untuk menciptakan sebuah dinamisasi dan mengurangi kekuasaan yang korup, maka
penyelenggaraan negara sebaiknya dijalankan oleh tiga lembaga dengan fungsi masing-
masing, yakni lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang, lembaga eksekutif sebagai
lembaga pelaksana kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diatur dalam undang-undang,
dan lembaga yudikatif sebagai lembaga pengadil undang-undang. Disini diperlukan adanya
pemisahan kekuasaan (separation of power) antara ketiga lembaga tersebut.

Pada awalnya kekuasaan pembuat, pelaksana sekaligus pengadil undang-undang ada pada
satu tangan, yakni pada tangan raja sebagai penguasa tunggal. Kekuasaan raja yang
sedemikian menciptakan otoritas penuh bagi raja untuk menjalankan kekuasaannya tanpa
kritik. Salah satu implikasi yang ditimbulkan adalah absolutisme dan koruptisme kekuasaan.
Jelas absolutisme dan koruptisime ini tidak dibenarkan dalam penyelengaraan negara, apalagi
dalam tataran kedaulatan rakyat.

Pendapat menarik lahir dari Strong tentang teori Separation of Power. Menurut Strong,
teori Separation of Powerdengan kajian sistem ketatanegaraan Inggrislahir dari tendensi
untuk mendelegasikan kekuasaan kerajaan dengan jalan mendelegasikan kekuasaan rangkap
tiga,

..proses (pendelegasian kekuasaan/pen.) ini tidak termasuk pembagian kekuasaan


kedaulatan. Proses ini semata-mata hanyalah salah satu cara yang sesuai untuk
mengatasi bertambahnya urusan negara. Spesialisasi fungsi merupakan kebutuhan
yang sederhana dan konsekuensi pendelegasian merupakan sebuah fakta yang
sederhana pula. Namun, ketika kekuasaan raja dibatasi dan gagasan-gagasan
kontitusional mulai dianggap penting, maka fakta yang sederhana ini menjadi suatu
teori. Teori tersebut mengatakan bahwa atas dasar kebebasan, bukan hanya spesialisai
fungsi yang sesuai, tetapi terjadi pembedaan pula fungsi itu pada kekuasaan-
kekuasaan yang berbeda. Inilah kecelakaan dalam memahami sepotong evolusi
pemerintahan biasa..29

Pendapat Strong ini mengidentifikasikan bahwa Separation of Power tidak lahir dari
kebutuhan untuk mengurangi terjadinya kekuasaan yang absolut dan korup. Tetapi lahir
dari bertambahnya urusan negara yang kompleks dan dinamisasi masyarakat yang cepat.
Jadi adalah sebuah kecelakaan dan salah saat ada pandangan bahwa Separation of
Power adalah jalan untuk mengurangi kekuasaan yang absolut dan korup.

Tanpa berniat menafikan pendapat Strong, kenyataannya dengan adanya pemisahan


kekuasaan saja kekuasaan absolut dan korup kerap lahir, apalagi dengan tidak adanya
pemisahan kekuasaan bisa jadi absolutisme dan koruptisme kekuasaan menjadi
keniscayaan.

1. Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden/Wakil Presiden


dalam UUD NRI 1945

Dalam konstitusi pra-amandemen negara ini, kedaulatan negara berada ditangan rakyat
dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dari MPR inilah,
kedaulatan rakyat dibagi secara vertikal ke lembaga tinggi negara dibawahnya. Prinsip yang
dianut adalah pembagian kekuasaan (division or distribution of power).

Akan tetapi dalam konstitusi pasca-amandemen, kedaulatan rakyat itu ditentukan


dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (Separation of Power) menjadi
kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances
(saling imbang dan saling awas).30

Posisi antara legislatif (MPR/DPR) dan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dalam


konstitusi pasca-amandemen adalah sejajar. Berbeda dengan konstitusi pra-amandemen,
legislatif (MPR) berada diatas ekeskutif (Presiden), walau pada kenyataannya eksekutiflah
yang sebenarnya berada diatas dan mengendalikan legislatif. Posisi yang sejajar dalam
konstitusi pasca-amandemen juga menimbulkan hubungan baru antara lembaga legislatif
dengan lembaga eksekutif, berbeda dengan hubungan antar-keduanya dalam konstitusi pra-
amandemen.

Dari studi singkat terhadap kontitusi (UUD NRI 1945), ditemukan beberapa bentuk
hubungan antara legislatif dan eksekutif tersebut misalnya dalam bidang, pertama, kekuasaan
legislasi (membuat undang-undang). Terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.31 Pasal 20 ayat
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama.32

Kedua pasal ini mensuratkan adanya pengurangan kekuasaan legislasi Presiden. Presiden
dikembalikan ke posisi sebagai pelaksana undang-undang, bukan pembentuk undang-undang
dan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang.33 Posisi DPR sebagai pembuat undang-
undang ini semakin diperkuat oleh konstitusi dengan Pasal 20 ayat (5): Dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.34 Pada
bidang kekuasaan legislasi, pemisahaan kekuasaan (Separation of Power) dalam konstitusi
pasca-amandemen (UUD NRI 1945) telah diakomodir.

Kedua, kekuasaan administratif dan kelembagaan. Terdapat dalam Pasal 7A Presiden


dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.35 Dan Pasal 7C Presiden tidak
dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.36

Posisi Presiden/Wakil Presiden dikontrol oleh DPR melalui mekanisme pemakzulan


(impeachment process) serta posisi DPR sama kuat dengan Presiden, karena Presiden tidak
dapat membubarkan DPR. Sepertinya pada bidang kekuasaan ini, kekuasaan DPR lebih besar
dari Presiden, karena DPR bisa mengkontrol Presiden lewat mekanisme pemakzulan. Prinsip
saling awas (checks) bersifat searah dan cenderung legislative heavy. Lalu bagaimana bentuk
kontrol Presiden terhadap DPR? sejauh ini penulis tidak menemukan pasal dalam kontitusi
pasca-amandemen (UUD NRI 1945) yang menyebutkan kontrol Presiden terhadap DPR.
Pasal pemakzulan menurut hipotesa penulis dilandasi pada aksi sejarah Orde Baru yang
memberikan kewenangan sangat besar pada Presiden. Jadi Pasal ini bisa disebut pasal
egois.

Ketiga, kekuasaan militer dan diplomatik. Terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain.37 Ayat (2) Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.38 Dan
Pasal 13 ayat (2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.39 Ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.40

Presiden hanya memperhatikan pertimbangan DPR apabila mengangkat duta besar dan
menerima penempatan duta besar negara lain. Kata memperhatikan disini berarti bukan
sebuah keharusan? Kata memperhatikan menurut hemat penulis adalah sebuah bentuk
saling imbang (balances) antara DPR (legislatif) dengan Presiden (eksekutif).

Keempat, kekuasaan yudikatif. Terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) Presiden memberi
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.41
Pasal ini jelas mensuratkan adanya prinsip saling imbang (balances) antara DPR dengan
Presiden.

I. PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan tentang hubungan antara DPR dengan Presiden/Wakil Presiden diatas,
dapat diketahui bahwa UUD 1945 pasca-amandemen (UUD NRI 1945) telah mengakomodir
teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dengan prinsip saling imbang dan saling
awas (checks and balances principle).

Tetapi beberapa pasal dalam UUD NRI 1945 juga ada yang tidak mengakomodir prinsip
saling imbang dan saling awas. Misalnya, Pasal pemakzulan ( Pasal 7A UUD NRI 1945).

Mungkin dari sinilah perlu ada amandemen terhadap UUD 1945. Konstitusi bukanlah
barang mati yang tidak bisa dirubah, konstitusi tetap harus menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Karena perubahan peradaban manusia dengan segala kompleksitas
permasalahannya lebih cepat dari pada perubahan hukum.

Anda mungkin juga menyukai