PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Arus reformasi yang melanda Indonesia memberikan perubahan yang mendasar terhadap
format kelembagaan negara republik ini. Salah satunya adalah adanya perubahan
(amandemen) UUD 1945. Implikasi dari perubahan ini yakni, tidak ada lagi status lembaga
tertinggi negara. Lembaga penyelenggara negara sekarang posisinya sejajar, sama-sama
sebagai lembaga negara.1 Hubungan antar lembaga negara menjadi horizontal tidak lagi
vertikal.
Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali dalam teori Montesquie pada karyanya,
Esprit des lois, yang diterbitkan pada tahun 1748. teori ini muncul atas kritik dan
pembelajaran Montesquie terhadap konstitusi Inggris. Dalam tulisannya Montesqiue
menyimpulkan bahwa:
..ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang atau badan yang
sama, maka tidak akan ada lagi kebebasan sebab terdapat bahaya bahwa raja atau
badan legislatif yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan
melaksanakannya dengan cara yang tiran.4
Pemikiran Montesquie ini dianut pula oleh pemikir Inggris sendiri, Blackstone. Dalam
karyanya Commentaries on the Laws of England (1765), menyatakan: Apabila hak untuk
membuat dan melaksanakan undang-undang diberikan kepada orang atau badan yang sama,
maka tidak akan ada lagi kebebasan publik.5
Dalam konteks keindonesiaan, perihal yang diutarakan oleh Mantesquieu dan Blackstone
sebelum diadakan perubahan (amandemen) UUD 1945 telah menjadi kenyataan. Pasal 5 ayat
(1) UUD 1945 sebelum amandemenselanjutnya ditulis UUD 1945, menuliskan: Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.6 Penjelasan dari pasal ini adalah: Kecuali executive power, Presiden bersama-sama
dengan dengan Dewan perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara.7
Teori pemisahan kekuasaan ini pula yang mendasari adanya perubahan terhadap UUD
1945. secara filosofis, perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk menerangkan bahwa,
pertama, UUD 1945 hanya sebagai moment opname dari berbagai kekuatan politik dan
ekonomi yang dominan pada saat UUD 1945 tersebut dirumuskan. Kedua, UUD 1945
disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya yang tidak akan pernah sampai kepada tingkat
kesempurnaan. Pekerjaan manusia tetap memiliki kelemahan maupun kekurangan. Secara
yuridis, para perumus UUD 1945 menunjukkan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan
ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan
mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Secara sosiologis-historis, sejak awal
pembuatan UUD 1945 bersifat sementara, yang dikemudian hari dapat disempurnakan dan
dilengkapi.9
1. Rumusan Masalah
Tulisan berikut difokuskan untuk meneliti dalam hal apa saja hubungan antara legislatif
(DPR) dengan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) yang diakomodasi dalam UUD NRI
1945? Sehingga dapat menjawab apakah pemisahan kekuasaan negara (separation of power)
memang benar-benar terdapat dalam konstitusi Indonesia sekarang dan diterapkan dalam
hubungan kelembagaan antara lembaga legislatif (DPR) dengan lembaga eksekutif
(Presiden/Wakil Presiden).
I. PEMBAHASAN
Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diikat
dengan prinsip cheks and balances, dimana lembaga-lembaga negara tersebut diakui
sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya
mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan
kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD.11 Dengan
dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri
UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.
Tidak adanya penjelasan UUD ini juga bisa mengakibatkan hubungan antara lembaga-
lembaga negara menjadi kurang harmonis. Antara lembaga negara yang satu dengan lembaga
negara yang lain bisa-bisa saling menjatuhkan.
Parlemen dalam sejarah kuno, misalnya di Inggris, mempunyai kekuasaan hingga bisa
masuk ke urusan privat dan mencampuri urusan publik warga negara. Posisi parlemen sangat
kuat. Dicey seperti mengutip pendapat Coke berujar:
Posisi parlemen yang seperti ini dikarenakan kekuasaan yang diterima oleh parlemen
berasal langsung dari rakyat. Akan tetapi, kekuasan parlemen ini bila tidak dikontrol akan
melahirkan sebuah kedaulatan parlemen yang tidak tak terbatas (absolut). Telah wajar bahwa
kekuasaan yang absolut akan melahirkan kekuasaan yang korup. Seperti yang dituliskan
Blackstone dalam karyanya Commentaries on the Laws of England (1765) menuliskan:
..untuk tujuan yang sama, Montesquie, kendati begitu saya percayai, menyatakan
bahwa: karena Roma, Sparta dan Chartage kehilangan kebebasan mereka dan
kemudian sirna, maka konstitusi Inggris pun suatu hari nanti akan kehilangan
kebebasannya, dan akan sirna: kebebasan ini akan hilang ketika kekuasaan legislatif
menjadi lebih korup daripada kekuasaan eksekutif.14
Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh para menteri. Jumlah
anggota eksekutif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota legislatif, hal ini
bisa dimaknai karena eksekutif berfungsi hanya menjalankan undang-undang yang dibuat
oleh legislatif. Pelaksanaan undang-undang ini tetap masih diawasi oleh legislatif.
I.
1.
i.
I.
1.
i.
1.
1.
i.
3. Pertanggungjawaban langsung
Presiden/Wakil Presiden merupakan akibat
dari dipilihnya Presiden/Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum;
3. Kepala pemerintahan (eksekutif) yang biasanya disebut dengan Perdana Menteri walau
dipilih langsung oleh rakyat, tetapi hakekatnya dia dipilih karena menjadi anggota dari
kelompok mayoritas yang duduk di lembaga perwakilan (parlemen);
5. Ada pemisahan fungsi antara kepala pemerintahan dengan kepala negara. Kepala
pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh
Raja/Presiden/Sultan atau semacamnya.
Sistem hukum Common Law biasa dipakai oleh negara-negara Anglo Saxon. Pelopornya
adalah Inggris pada abad pertengahan. Dalam sistem hukum Common Law, selain undang-
undang yang dibuat oleh parlemen (statute law) masih terdapat undang-undang lain yang
disebut Common Law, yang dihasilkan dari keputusan hakim. Jadi dalam hal ini, hakim ikut
menciptakan hukum. Perihal ini dinamkan sebagai case law atau judge-made law (hukum
buatan hakim).21
Hakim yang juga berperan membentuk hukum, dalam sistem hukum Common Law
dipandang tidak melangkahi kewenangan legislatif sebagai pembuat undang-undang, karena
hukum yang dibuat oleh hakim berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatif. Di Inggris
misalnya, A.V. Dicey berujar bahwa: Kekuasaan hakim pada hakekatnya bersifat legislatif
(essentially legislative authority of judges). Maksud hukum buatan hakim disini adalah
bahwa putusan hakim terdahulu mengikat pada hakim yang mendatang apabila diterapkan
dalam perkara yang sama.22 Jadi berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatifyang
memang berfungsi sebagai pembuat undang-undang/hukum. Hukum yang dibuat oleh hakim
ada, bila ada perkara yang diajukan kepadanya, sedangkan hukum yang dibuat legislatif ada,
meskipun tanpa ada perkara apapun, karena ia berfungsi sebagai pembuat undang-undang.
Sistem hukum kedua adalah Civil Law yakni sistem hukum yang tidak mengenal azas
case law atau judge-made law. Penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim itu tidak
mungkin. Di Prancis misalnya, dimana kodifikasi hukum telah diadakan semenjak zaman
Napoleon, para hakim dengan tegas dilarang menciptakan case law. Hakim harus mengadili
perkara hanya berdasarkan pada hukum yang termuat dalam kodifikasi atau hukum yang
telah dibuat oleh legislatif saja.23 Hal ini dalam ilmu hukum dinamakan dengan aliran
Legisme atau Positivisme perundang-undangan, yakni suatu aliran yang mempunyai
pendapat bahwa: undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya.
Perkara yang diajukan kepada hakim diadili dengan undang-undang yang telah ditetapkan
oleh lembaga legislatif. Namun, apabila undang-undang tidak mengatur, maka hakim boleh
menggunakan putusannya sendiri (tentunya hal ini berkenaan dengan azas ius curia novit,
hakim dilarang menolak perkara karena dianggap tahu akan hukumnya). Tetapi putusan
hakim yang terdahulu tidak mengikat pada hakim yang mendatang, walau perkara yang
diajukan serupa. Jadi tidak ada precedent dalam sistem hukum Civil Law.24
Sebagaimana dituliskan pada lembar sebelumnya bahwa konsep Trias Politica pertama
kali dikenalkan oleh Montesquie dalam karyanya Esprit des Lois (1748) dan juga John
Locke, seorang filsuf Inggris, dalam karyanya Two Traetises on Civil Goverment (1690).
Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan:
pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making
function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule
application function); ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili pelanggaran
undang-undang (rule adjudication function).27
John Locke mengemukakan Trias Politica dengan pembagian kekuasaan negara menjadi
tiga kekuasaan yakni, pertama, kekuasaan legislatif sebagai pembuat peraturan dan undang-
undang. Kedua, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana dan pengadil undang-undang. Ketiga,
kekuasaan federatif sebagai kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga
keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain seperti membuat aliansi dan
sebagainya.28
Untuk menciptakan sebuah dinamisasi dan mengurangi kekuasaan yang korup, maka
penyelenggaraan negara sebaiknya dijalankan oleh tiga lembaga dengan fungsi masing-
masing, yakni lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang, lembaga eksekutif sebagai
lembaga pelaksana kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diatur dalam undang-undang,
dan lembaga yudikatif sebagai lembaga pengadil undang-undang. Disini diperlukan adanya
pemisahan kekuasaan (separation of power) antara ketiga lembaga tersebut.
Pada awalnya kekuasaan pembuat, pelaksana sekaligus pengadil undang-undang ada pada
satu tangan, yakni pada tangan raja sebagai penguasa tunggal. Kekuasaan raja yang
sedemikian menciptakan otoritas penuh bagi raja untuk menjalankan kekuasaannya tanpa
kritik. Salah satu implikasi yang ditimbulkan adalah absolutisme dan koruptisme kekuasaan.
Jelas absolutisme dan koruptisime ini tidak dibenarkan dalam penyelengaraan negara, apalagi
dalam tataran kedaulatan rakyat.
Pendapat menarik lahir dari Strong tentang teori Separation of Power. Menurut Strong,
teori Separation of Powerdengan kajian sistem ketatanegaraan Inggrislahir dari tendensi
untuk mendelegasikan kekuasaan kerajaan dengan jalan mendelegasikan kekuasaan rangkap
tiga,
Pendapat Strong ini mengidentifikasikan bahwa Separation of Power tidak lahir dari
kebutuhan untuk mengurangi terjadinya kekuasaan yang absolut dan korup. Tetapi lahir
dari bertambahnya urusan negara yang kompleks dan dinamisasi masyarakat yang cepat.
Jadi adalah sebuah kecelakaan dan salah saat ada pandangan bahwa Separation of
Power adalah jalan untuk mengurangi kekuasaan yang absolut dan korup.
Dalam konstitusi pra-amandemen negara ini, kedaulatan negara berada ditangan rakyat
dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dari MPR inilah,
kedaulatan rakyat dibagi secara vertikal ke lembaga tinggi negara dibawahnya. Prinsip yang
dianut adalah pembagian kekuasaan (division or distribution of power).
Dari studi singkat terhadap kontitusi (UUD NRI 1945), ditemukan beberapa bentuk
hubungan antara legislatif dan eksekutif tersebut misalnya dalam bidang, pertama, kekuasaan
legislasi (membuat undang-undang). Terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.31 Pasal 20 ayat
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama.32
Kedua pasal ini mensuratkan adanya pengurangan kekuasaan legislasi Presiden. Presiden
dikembalikan ke posisi sebagai pelaksana undang-undang, bukan pembentuk undang-undang
dan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang.33 Posisi DPR sebagai pembuat undang-
undang ini semakin diperkuat oleh konstitusi dengan Pasal 20 ayat (5): Dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.34 Pada
bidang kekuasaan legislasi, pemisahaan kekuasaan (Separation of Power) dalam konstitusi
pasca-amandemen (UUD NRI 1945) telah diakomodir.
Ketiga, kekuasaan militer dan diplomatik. Terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain.37 Ayat (2) Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.38 Dan
Pasal 13 ayat (2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.39 Ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.40
Presiden hanya memperhatikan pertimbangan DPR apabila mengangkat duta besar dan
menerima penempatan duta besar negara lain. Kata memperhatikan disini berarti bukan
sebuah keharusan? Kata memperhatikan menurut hemat penulis adalah sebuah bentuk
saling imbang (balances) antara DPR (legislatif) dengan Presiden (eksekutif).
Keempat, kekuasaan yudikatif. Terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) Presiden memberi
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.41
Pasal ini jelas mensuratkan adanya prinsip saling imbang (balances) antara DPR dengan
Presiden.
I. PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan tentang hubungan antara DPR dengan Presiden/Wakil Presiden diatas,
dapat diketahui bahwa UUD 1945 pasca-amandemen (UUD NRI 1945) telah mengakomodir
teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dengan prinsip saling imbang dan saling
awas (checks and balances principle).
Tetapi beberapa pasal dalam UUD NRI 1945 juga ada yang tidak mengakomodir prinsip
saling imbang dan saling awas. Misalnya, Pasal pemakzulan ( Pasal 7A UUD NRI 1945).
Mungkin dari sinilah perlu ada amandemen terhadap UUD 1945. Konstitusi bukanlah
barang mati yang tidak bisa dirubah, konstitusi tetap harus menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Karena perubahan peradaban manusia dengan segala kompleksitas
permasalahannya lebih cepat dari pada perubahan hukum.