Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsure patogen. Misalnya


bakteri, virus, fungi, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia.
Infeksi yang terjadi pada orang normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan
kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh memiliki suatu sistem yang disebut sistem
imun, yang melindungi tubuh dari unsure-unsur patogen.

Sistem ini sangat bergantung pada kemampuannya untuk mengenal molekul-molekul


asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsure patogen dan kemampuan untuk
melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Rangsangan terhadapt sel terjadi
apabila di dalam tubuh masuk suatu zat lain yang oleh sel atau jaringan dianggap asing (non-
self) dari zat yang berasal dari tubuh sendiri (self).

Inflamasi adalah respons terhadap cedera jaringan dan infeksi. Ketika proses inflamasi
berlangsung, terjadi reaksi vaskuler dimana cairan, elemen-elemen darah, sel darah putih dan
mediator berkumpul pada tempat cedera jaringan atau infeksi. Proses merupakan suatu
mekanisme perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-
agen yang berbahaya pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan
jaringan.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan infeksi?

2. Apa yang dimaksud dengan infeksi nosokomial?

3. Bagaimana proses inflamasi?

4. Bagaimana respon imun pada infeksi?

5. Apa yang dimaksud dengan sepsis?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan infeksi.

2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan infeksi nosokomial

3. Untuk mengetahui bagaimana proses inflamasi.

4. Untuk mengetahui bagaimana respon imun pada infeksi.

5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sepsis.

D. Manfaat

1. Mahasiwa mampu menjelaskan tentang konsep infeksi.

2. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang konsep infeksi.

2
BAB II

KONSEP INFEKSI

A. Infeksi

Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau miroorganisme yang mampu menyebabkan
sakit. Jika mikroorganisme gagal menyebabkan cedera yang serius terhadap sel atau jaringan,
infeksi disebut asimptomatik. Penyakit timbul jika patogen berbiak dan menyebabkan
perubahan pada jarigan normal. Jika penyakit infeksi dapat ditularkan langsung dari satu
orang ke orang lain, penyakit ini merupakan penyakit menular atau contagious.

Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi. Perkembangan infeksi terjadi
dalam siklus yang bergantung pada elemen-elemen berikut:

1. Agen infeksious atau pertumbuhan patogen.

2. Tempat atau sumber pertumbuhan patogen.

3. Portal keluar dari tempat tumbuh tersebut.

4. Cara penularan .

5. Portal masuk ke pejamu.

6. Pejamu yang rentan.

Infeksi akan terjadi jika rantai ini tetap berhubungan. Perawat menggunakan
kewaspadaan dan pengendalian infeksi untuk memutuskan rantai tersebut sehingga infeksi
tidak terjadi. Mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan protozoa. Kemungkinan
bagi mikroorganisme atau parasit untuk menyebabkan penyakit bergantung pada faktor-
faktor berikut:

1. Organisme dalam jumlah yang cukup banyak.

2. Virulensi atau kemapuan untuk menyebabkan sakit.

3. Kemampuan untuk masuk dan bertahan hidup dalam pejamu.

3
4. Pejamu yang rentan.

Bentuk penularan ada dengan cara kontak (langsung, tidak langsung, droplet), melalui
udara, melaui peralatan (alat-alat yang terkontaminasi, darah, obat larutan, makanan) dan
melalui vector (kutu, lalat, nyamuk).

B. Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit. Nosokomial berasal dari
kata Yunani nosocomium berarti rumah sakit. Jadi nosokomial artinya yang berasal dari
rumah sakit. Sementara kata infeksi cukup jelas artinya yaitu terkena hama penyakit.

Infeksi nosokomial diakibatkan oleh pemberian layanan kesehatan dalam fasilitas


perawatan kesehatan. Rumah sakit merupakan satu dari tempat yang paling mungkin
mendapatkan infeksi karena mengandung populasi mikroorganisme yang tinggidengan jenis
virulen yang resisten terhadapantibiotik. Unit Perawatan Intensif (UPI) merupakan salah satu
area dalam rumah sakit yang beresiko tinggi terkena infeksi nosokomial. Sayangnya
kebanyakan infeksi nosokomial ditularkan oleh pemberi pelayanan kesehatan.

Infeksi iatrogenik adalah salah satu jenis infeksi nosokomial yang diakibatkan oleh
prosedur diagnostik atau terapeutik. Infeksi traktus uranius yang terjadi setelah insersi kateter
merupakan contoh infeksi infeksi nosokomial iatrogenik. Insiden infeksi nosokomial dapat
diturunkan jika perawat menggunakan pemikiran yang kritis pada saat mempraktikkan teknik
aseptik. Perawat harus selalu mempertimbangkan risiko klien terkena infeksi dan
mengantiipasi bagaimana pendekatan perawatan dapat meningkatkan atau menurunkan
kemungkinan penularan infeksi.

Infeksi nosokomial dapat secara eksogen atau endogen. Infeksi eksogen didapat dari
mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang bukan merupakan flora normal; contohnya
adalah organism Salmonella dan Clostridium tetani. Infeksi endogen dapat terjadi bila
sebagian dari flora normal klien berubah dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan.
Contohnya adalah infeksi yang disebabkan oleh enterokokus, ragi, dan streptokokus.

4
Bila mikroorganisme dalam jumlah yang cukup normalnya ditemukan dalam salah satu
rongga atau lapisan tubuh dipindahkan ke bagian tubuh lain, terjadi infeksi endogen.
Misalnya penularan dari enterokokus, normalnya ditemukan dalam feses, dari tangan ke kulit
sering mengakibatkan infeksi luka. Jumlah mikroorganisme yang diperlukan untuk
menyebabkan infeksi nosokomial bergantung pada virulensi organism, kerentanan hospes
dan daerah yang diinfeksi.

Jumlah tenaga kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, jenis dan jumlah prosedur
invasif, terapi yang diterima, dan lama perawatan mempengaruhi risiko terinfeksi. Tempat
utama untuk infeksi nosokomial termasuk traktus urinarius, luka trauma bedah, traktus
respiratorius, dan pembuluh darah. Infeksi nosokomial meningkatkan biaya perawatan
kesehatan secara signifikan, lamanya masa rawat diinstitusi layanan kesehatan,
meningkatnya ketidakmampuan, peningkatan biaya antibodi dan masa penyembuhan yang
memanjang menambah pengeluaran klien, juga institusi layanan kesehatan dan badan
pemberi dana.

Infeksi nosokomial yang terjadi pada penderita yang sedang dalam proses asuhan
keperawatan di rumah sakit merupakan beban tambahan secara fisik dan psikologi bagi
penderita. Secara fisik, beban tersebut terasa lebih berat karena adanya penyakit tambahan
di samping penyakit dasarnya. Inti dari pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
adalah mengendalikan perkembangbiakan dan penyebaran mikroba patogen. Mengendalikan
perkembangbiakan mikroba patogen berarti upaya mengeliminasi reservoir mikroba patogen
yang sedang/akan melakukan kontak dengan penderita baik langsung maupun tidak
langsung. Sedangkan mencegah penyebaran mikroba patogen berarti upaya mencegah
berpindahnya mikroba patogen, di antaranya melalui perilaku atau kebiasaan petugas terkait
dengan layanan medis atau layanan keperawatan kepada penderita.

Faktor yang juga berperan dalam timbulnya infeksi nosokomial antara lain:

a. Faktor-faktor yang ada dari diri penderita (intrinsic factors), seperti umur, jenis kelamin,
kondisi umu penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai penyakit
dasr (multipatologi) beserta komplikasinya. Faktor-faktor ini merupakan faktor
predisposisi.

5
b. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurutnya standar
pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.

c. Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan
merusak jaringan, lamanya pemaparan (length of exposure) antara sumber penularan
(Ireservoir) dengan penderita.

Tempat dan Penyebab Infeksi Nosokomial


Traktus Urinarius 1. Pemasangan kateter urine.
2. Sistem drainase terbuka.
3. Kateter dan selang tidak tersambung
4. Kantung drainase menyentuh permukaan yang terkontaminasi
5. Teknik penampungan yang tidak tepat.
6. Obstruksi atau gangguan pada drainase urine.
7. Urine dalam kateter atau selang drainase masuk kembali ke
dalam kandung kemih (refluks).
8. Teknik mencuci tangan yang tidak tepat.
9. Mengirigasi ulang kateter dengan larutan.

Luka Bedah atau 1. Persiapan kulit (mencukur dan mebersihkan) yang tidak tepat
Traumatic sebelum pembedahan.
2. Teknik mencuci tangan yang tidak tepat.
3. Tidak membersihkan permukaan kulit dengan tepat.
4. Tidak tepat menggunakan teknik aseptik selama ganti balutan.
5. Menggunakan larutan aseptik yang sudah terkontaminasi.

Traktus 1. Peralatan terapi pernafasan yang terkontaminasi.


Respiratorius 2. Tidak tepat menggunakan teknik aseptik saat pengisapan pada
jalan nafas.
3. Pembuangan sekresi mukosa dengan cara yang tidak tepat.
4. Teknik mencuci tangan yang tidak tepat.

Aliran Darah 1. Kontaminasi cairan intravena melalui pergantian selang atau

6
jarum.
2. Memasukan obat tambahan ke cairan intravena.
3. Penambahan selang penyambung atau stopcocks pada sistem
intravena.
4. Perawatan area tusukan yang tidak tepat.
5. Jarum atau kateter yang terkontaminasi.
6. Gagal untuk mengganti tempat akses intravena ketika tampak
pertama kali ada inflamasi.
7. Teknik yang tidak tepat ketika memberikan bermacam produk
darah.
8. Perawatan yang tidak tepat terhadap pirau peritoneal atau
hemodialisis.
9. Teknik mencuci tangan yang tidak tepat.

Risiko Infeksi Nosokomial di UPI


Perawat yang bekerja di Unit Perawatan Intensif (UPI) terutama harus menyadari praktik
aseptik. Klien berisiko terhadap infeksi karena alasan berikut:
a. Klien UPI merupakan klien penyakit kritis dan seringkali memiliki lebih banyak
penyakit yang mendasari disbanding klien lain.
b. Peralatan invasif seperti selang intravena dan intraarterial lebih banyak digunakan di
UPI.
c. Prosedur invasif lebih banyak dilakukan di UPI daripada daerah perawatan umum
lainnya.
d. Seringkali prosedur pembedahan dilakukan dalam UPI bukan di ruang operasi karena
kondisi kritis klien.
e. Penggunaan antibiotic berspektrum luas secara berlebihan, menimbulkan
mikroorganisme resisten yang nantinya mengakibatkan infeksi.
f. Langkah cepat, aktivitas di upi seringkali dapat menyebabkan perawat dan pemberi
layanan kesehatan lain menjadi kurang rajin menggunakan teknik aseptik.

C. Proses Inflamasi

7
Inflamasi adalah respons jaringan terhadap cedera akibat infekso,fungsi, abrasi, terbakar,
objek asing atau toksin (produk bakteri yang merusak sel hospes atau jaringan hospes).
Inflamasi meliputi rangkaian peristiwa kompleks yang dapat bersifat akut (jangka pendek)
atau kronik.

1. Tanda-tanda lokal respons inflamasi meliputi kemerahan, panas, pembengkakan, dan


nyeri. Gejala kelima yang kadang terjadi adalah hilangnya fungsi, bergantung luas area
cedera.

2. Rangkaian peristiwa dalam inflamasi adalah sebagai berikut:

a. Tahap pertama adalah produksi faktor-faktor kimia vasoaktif oleh sel rusak di area
cedera. Faktor-faktor ini meliputi histamin (dari sel mast), serotonin (dari
trombosit), derivative asam arakidonat (leukotrein, prostaglandin, dan tromboksan)
dan kinin (protein plasma teraktivasi. Faktor-faktorini mengakibatkan efek berikut:

1) Vasodilatasi atau pelebaran diameter pembuluh darah pada area yang rusak
meningkatkan aliran darah dan menyebabkan kemerahan (eritema), nyeri
berdenyut dan panas.

2) Peningkatan permeabilitas kapiler mengakibatkan hilangnya cairan dari


pembuluh ke dalam ruang interseluler. Akumulasi cairan dalam jaringan
menyebabkan pembengkakan atau edema.

3) Pembatasan area cedera terjadi akibat lepasnya fibrinogen dari plasma ke dalam
jaringan. Fibrinogen diubah menjadi fibrin untuk membentuk bekuan yang akan
mengisolasi lokasi yang rusak dari jaringan yang masih utuh.

b. Tahap kedua adalah kemotaksis (gerakan fagosit kea rah cedera). Terjadi satu jam
setelah permulaan proses inflamasi

1) Marginasi adalah perlekatan fagosit (neutrofil dan monosit) ke dinding


endothelial kapilar pada area yang rusak.

8
2) Diapedesis adalah migrasi fagosit melalui dinding kapilar menuju area cedera.
Yang pertama kali sampai di area yang rusak adalah neutrofil, monosit menyusul
ke dalam jaringan dan menjadi makrofag.

c. Fagositosis agens berbahaya terjadi pada area cedera.

1) Neutrofil dan makrofag akan terurai secara enzimatik dan mati setelah menelan
sejumlah besar mikroorganisme.
2) Leukosit mati,sel jaringan mati, dan berbagai jenis cairan tubuh membentuk pus yang
terus terbentuk sampai infeksi teratasi Pus bergerak menuju permukaan tubuh untuk
diuraikan atau menuju rongga internal yang pada akhirnya akan dihancurkan dan
diabsorpasi tubuh.
3) Abses atau granuloma akan terbentuk jika respons inflamasi tidak dapat mengatasi
cedera atau invasi.
a) Abses adalah kantong pus terbatas yang dikelilingi jaringan terimflamasi . abses
ini biasanya tidak terurai secara spontan dan harus dikeluarkan.
b) Granuloma biasanya terjadi akibat prose inflamasi kronik dalam merespons iritasi
berulang. Granuloma merupakan akumulasi sel-sel fagositik dan mikroorganisme
yang dikelilingi kapsul fibrosa.

d. Pemulihan melalui regenerasi jaringan atau pembentukan jaringan parut merupakan tahap
akhir proses inflamasi .

1) Pada regenerasi jaringan . sel-sel sehat dalam jaringan yang tekanan akan membelah
secara mitosis untuk berporiflasi dan mengembalikan massa jaringan.
2) Pembentukan jaringan parut oleh fibroblas adalah respons alternative terhadap
regenerasi jaringan. Jaringan parut mengganti jaringan asli yang rusak.
3) Sifat jaringan yang rusak dan luasnya area cedera akan menentukan apakah akan
terjadi regenerasi atau pembentukan jaringan parut. Kulit memiliki kemampuan yang
tinggi untuk melakukan regenerasi lengkap kecuali jika cedera terlalu dalam atau
luas.

e. Efek sistemik inflamasi meliputi demam dan leukositosis.

9
1. Demam atau suhu tubuh tinggi yang abnormal dapat terjadi dalam kaitanya inflamasi.
a) Pirogen eksogen (pencetusan demam) yang dilepaskan bakteri dan pirogen
endogen yang dilepaskan berbagai leukosit, bekerja pada hipotalamus untuk
mengatur kembali kendali termorgulator normal ke suhu yang lebih tinggi.
b) Penyusaiian tubuh terhadap peningkatan suhu melipiti vasokontriksi untuk
mengurangi panas yang hilang, menggigil dan gemetar untuk meningkatkan panas
tubuh, danpeningkatan laju metabolik. Akibatnya adalah peningkatan suhu tubuh.
c) Demam akan mereda jika infeksi teratasi, kadar pirogen berkurang, dan kendali
termoregulasi normal tercapai.
2. Leukositisis (peningkatan jumlah leukosit dalam darah) terjadi akibat peningkatan
kebutuhan jumlah sel darah putih tambahan dan peningkatan produksi sel tersebut
dalam sumsum tulang belakang.

Proses Inflamasi
Periode Inkubasi Interval antara masuknya patogen ke dalam tubuh dan
munculnya gejala pertama (misalnya campak, 2-3 minggu; pilek,
1-2 hari; influenza, 1-3 hari; gondongan [mumps], 18 hari)
Tahap Prodromal Interval dari awitan tanda dan gejala non-spesifik (malaise,
demam ringan, keletihan) sampai gejala yang spesifik. (selama
masa ini mikroorganisme bertumbuh dan berkembangbiak dan
klien lebih mampu menyebarkan penyakit ke orang lain).
Tahap Sakit Interval saat klien memanifestasikan tanda da gejala yang
spesifik terhadap jenis infeksi (misalnya deman dimanifestasikan
dengan sakit tenggorokan, kongesti, sinus, rhinitis; mumps
dimanifestasikan dengan sakit telinga, demam tinggi,
pembengkakan kelejar parotid dan saliva).
Pemulihan Interval saat munculnya gejala akut infeksi (lamanya
penyembuhan bergantung pada beratnya infesi dan keadaan
umum kesehatan klien; penyembuhan dapat memakan waktu
beberapa hari sampai bulan).

Tanda-tanda utama inflamasi

10
Eritema Kemerahan terjadi pada tahap pertama dari inflamasi. Darah
(kemerahan) berkumpul pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan
mediator kimia tubuh (kinin, prostaglandin, dan histamin).
Histamin mendiatasi arteriol.
Edema Pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi. Plasma
(pembengkakan) merembes ke dalam jaringan interstisial pada tempat cedera.
Kinin medialatasi arteriol, meningkatan permeabilitas kapiler.
Panas Panas pada tempat inflamasi dapat disebabkan oleh
bertambahnya pengumpulan darah dan mungkin juga karena
pirogen (substansi yang menimbulkan demam) yang
mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus.
Nyeri Nyeri disebabkan oleh pembengkakan dan pelepasan mediator-
mediator kimia.
Hilangnya fungsi Hilangnya fungsi disebabkan karena penumpukan cairan pada
tempat cedera jaringan dank arena rasa nyeri, yang mengurangi
mobilitas pada daerah yang terkena.

D. Respon Imun pada Infeksi

Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan hapir semua organisme atau
toksin yang cenderung masuk ke jaringan dan organ. Kemampuan ini dinamakan imunitas
(kekebalan) yang khusus untuk membentuk antibodi serta limfosit untuk menyerang dan
menghancurkan mikroorganisme spesifik atau toksin.

Ketika benda asing masuk ke dalam tubuh, segera dihasilkan zat yang akan bereaksi dan
membuat substansi tersebut tidak berbahaya. Protein asing yag disebut antigen dan substansi
yang dihasilkan untuk berespon terhadap antigen disebut antibodi. Bila sistem imun terpapar
terhadap zat asing maka ada 2 jenis respon imun yang mungkin terjadi yaitu respon imun
non-spesifik dan spesifik. Imunitas mengacu pada kemampuan tubuh menahan dan
mengeliminasi benda asing atau sel abnormal yang potensial berbahaya

1. Respons Imun Non-Spesifik

Respons imun non-spesifik merupakan imunitas bawaan (innate immunity) yaitu


respons terhadap zat asing, dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah

11
terpapar pada zat tersebut. Imunitas ini diturunkan secara alami, tidak selektif dalam
menahan setiap benda asing atau sel abnormal pada saat pertama kali terpapar. Respons
ini mempertahankan tubuh terhadap infeksi, iritasi, bahan kimia, luka jaringan karena
trauma mekanik atau terbakar. Respons imun non-spesifik berperan dengan menyertakan
beberapa agens pertahanan tubuh, misalnya :

a. Pada peradangan menyertakan neutrofil dan makrofag.


b. Interferon untuk menahan serangan virus.
c. Natural Killer Cel, sejenis limfosit menahan serangan virus dan sel tumor.
d. Sistem komplemen, suatu plasma protein.

Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen,
misalnya bakteri adalah dengan menghancurkan bakteri tersebut secara fagositosis
dengan bergerak menuju sasaran yang memunginkannya dilepaskan suatu zat atau
mediator tertentu, yang disebut faktor leukotaktik atau kemotaktik yang berasal dari
bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil atau makrofag yang sebelumnya telah
berada di lokasi bakteri.

Respons imun non-spesifik membentuk lini pertahanan pertama terhadap se lasing,


cedera atau peradangan. Kerusakan jaringan sebagian besar diperantarai oleh fagosit yang
berubah menjadi makrofag, sekresinya menghancurkan bakteri dan sel yang rusak
melalui fagositosis dan pengeluaran zat kimia.

Pertahanan non-spesifik yang bereaksi tanpa memandang apakah agens pencetus


pernah atau belum pernah dijumpai. Misalnya:

a. Peradangan, suatu respons non-spesifik terhadap cedera jaringan. Pada keadaan


seperti ini spesialis fagosit neutrofil dan makrofag dalam member bantuan dari sel-sel
imun jenis lain.
b. Interferon, sekelompok protein yang secara non-spesifik mempertahankan tubuh
terhadap infeksi virus.
c. Sel natural killer. Sel jenis khusus mirip limfosit yang secara spontan dan relative
non-spesifik menyebabkan rupture dan menghancurkan sel pejamu yang terinfeksi
virus dan sel kanker.
d. Sistem komplemen, sekelompok protein plasma inaktif yang apabila membran
plasma. Secara non-spesifik diaktifkan oleh adanya benda asing juga antibodi yang

12
dihasilkan sebagai respons imun spesifik terhadap pertahanan spesifik dan
nonspesifik. Berbagai komponen dalam sistem imun sangat bergantung sehingga
sistem ini sangat aktif.

2. Respons Imun Spesifik

Respons imun spesifik merupakan respons didapat (dari luar organism). Sel-sel leukosit
memegang peran penting dalam proses imun terutama limfosit, yang merupakan inti dalam
proses imun spesifik. Sel ini dapat mengenal setiap jenis antigen baik intraseluler maupun
ekstraseluler, misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah. Responsnya bersifat selektif
yang ditujukan pada materi asing tertentu dan tubuh pernah terpapar sebelumnya. Respon
imun ini dilakukan melalui limfosit.

Respons imun spesifik dimulai dengan aktivitas makrofag (antigen presenting cell) yang
memproses antigen, sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi dengan sel-sel
imun spesifik. Dengan rangsangan antigen yang telah diproses, sel-sel sistem imun
bernefroliferasi (beradaptasi dengan ginjal) dan berdiferensiasi (membedakan) sehingga
menjadi sel yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen.
Respons imun spesifik mencakup imunitas yang diperantarai oleh antibodi yang dilaksanakan
oleh turunan limfosit B dan imunitas yang diperantarai oleh sel yang dilaksanakan oleh
limfosit T.

Respons imun spesifik adalah serangan selektif yang ditujukan untuk membatasi dan
menetralisasi serangan tertentu ysng oleh tubuh telah disiapkan untuk dihadapi, karena tubuh
sebelumnya sudah pernah terpajan ke sasaran tersebut. Terdapat dua kelas respons imun
spesifik :

a. Imunitas yang diperantarai oleh antibodi atau imunitas humoral yang melibatkan
pembentukan antibodi oleh turunan limfosit B.
b. Imunitas yang diperantarai oleh sel atau imunitas seluler, melibatkan pembentukan
limfosit T aktif yang secara langsung menyerang sel-sel yang tidak diinginkan.

Komponen sistem imun melakukan persiapan secara selektif menyerang bahan asing.
Sistem ini tidak tidak saja mampu mengenali molekul asing sebagai sesuatu yang berbeda,

13
tetapi juga mampu membedakan jutaan molekul asing yang berbeda-beda. Termasuk dalam
imun spesifik adalah limfosit, dilengkapi dengan molekul asing spesifik yang dikenal sebagai
antigen. Selama perkembangan limfosit secara tidak sengaja dibentuk untuk menyerang sel
tubuh sendiri, sehingga tidak dapat berfungsi.

Tabel Respons imun non-spesifik dan spesifik terhadap infeksi bakteri

No Mekanisme Imun Non-Spesifik Mekanisme Imun Spesifik

1. Peradangan

Pencaplokan bakteri invasif oleh Pengolahan dan penyajian bakteri oleh


makrofag jaringan makrofag ke sel B spesifik untuk antigen
tersebut

2. Respons vaskuler yang diinduksi oleh Proliferasi dan diferensiasi klon sel B
histamin untuk meningkatkan aliran menjadi sel plasma dan sel pengikat. Sekresi
darah ke tempat peradangan, sehingga antibodi oleh sel plasma yang mengikat
lebih banyak sel efektor imun dan protein bakteri secara spesifik.
plasma.

3. Pengepungan tempat peradangan oleh Penguatan oleh interkulin yang dikeluarkan


bekuan fibrin oleh makrofag.

4. Emigrasi neutrofil anmonosit/makrofag Penguatan oleh sel T penolong yang telah


ke tempat peradangan untuk mencaplok diaktifkan oleh antigen baktei yang sama
dan menghancurkan benda asing dan yang telah diolah dan disajikan oleh
untuk membersihkan debris sel. makrofag.

5. Sekresi zat perantara kimiawi oleh sel Pengikat antibodi dengan bakteri dan
fagositik yang meningkatkan respons penguatan mekanisme nonspesifik yang
imun nonspesifik dan spesifik serta menyebabkan distruksi bakteri yang
mencetuskan gejala lokal dan sistemik bersangkutan.
yang terkait dengan infeksi
Bakteri sebagai opsonin untuk
meningkatkan aktivitas fagosit
Pengaktifan sistem komplemen
Stimulasi sel pembunuh, yang secara
langsung melisiskan bakteri.

6. Pengaktifan non-spesifik sistem

14
komplemen Persistensi sel pengikat yang mampu
berespons secara lebih cepat dan kuat jika
Pembentukan tonjolan membran attack bakteri yang sama kembali masuk
complex yang menimbulkan lubang di
dinding bakteri mengalami lisis. Pengikat
berbagai tahanan peradangan.

3. Respons Imun Primer

Pertemuan awal antara antigen dan antibodi disebut reaksi primer yang tidak memberikan
efek yang dapat dilihat dengan cara biasa. Dalam kondisi yang cocok reaksi primer sering
diteruskan dengan manifestasi yang dapat dilihat. nteraksi antara antigen dan antibodi
termasuk reaksi primer merupakan tahap pertama dalam rangkaian proses biokimia, yang
dapat atau tidak melanjutkan dalam reaksi sekunder atau reaksi tersier. Reaksi primer selain
tidak dapat terlihat juga berlangsung hanya sekejap, bahkan dapat berlangsung pada suhu
rendah.

Pada pemberian antigen pertama sel imunokompeten akan mengadakan difernsiasi


menjadi sel yang sensitive kemudian berproliferasi lebih lanjut, sebagian menjadi sel yang
akan membantu zat anti (immunoglobulin) dan sebagian lagi dipersiapkan untuk menghadapi
masuknya antigen berikut. Bila antigen dapat dieliminasi akan reaksi imunologi tubuh
selesai.

4. Respons Imun Sekunder

Reaksi sekunder dapat berlangsung seperti reaksi primer. Reaksi yang berlangsung dapat
melanjutkan diri dengan bentuk reaksi lain yang bermanifestasi sebagai gejala klinis seperti
syok anafilaktik. Manifestasi tersebuut dinamakan sebagai reaksi tersier.

Pada pemberian antigen kedua ataubenda asing, antigen pemberian pertama masih ada.
Sel yang telah dipersiapkan pada respons imun primer akan berproliferasi dengan cepat,
menjadi sel yang bahkan sampai beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun. Respons
imun sekunder berlangsung lebih cepat, zat anti yang dibentuk lebih banyak dan berumur
lebih lama. Dengan adanya sel memori ini akan memacu pembentukan zat anti yang banyak

15
secara cepat, hanya dibutuhkan antigen dalam jumlah sedikit. Bila antigen dapat dieliminasi
dalam stadium ini, maka reaksi imunologis tubuh selesai tanpa terjadi kerusakan tubuh.

Sifat antigen atau kerusakan genetik tubuh merupakan daktor penyebab. Keadaan ini
sangat merugikan tubuh, karena terjadi kerusakan imunologis dengan akibat timbulnya
Immunologically Mediated Disease (IMD) yang dapat berlangsung sementara atau menetap
bergantung pada daya eliminasi antigen.

E. Sepsis

Sepsis adalah keracunan darah, yang juga digunakan untuk menggambarkan septikemia.
Sepsis mencakup spektrum penyakit yang berkisar dari keluhan seperti demam, menggigil,
malaise, tekanan darah rendah, dan perubahan status mental. sampai gejala disfungsi organ
dan syok.

Sepsis disebabkan oleh kehadiran bakteri (bakteremia) dan organisme pernginfeksi


lainnya atau racun dalam darah (septikemia) atau pada jaringan lain dari tubuh. Sistem
kekebalan tubuh Anda mengakibatkan terbentuknya bekuan-bekuan kecil darah yang dapat
menghalangi aliran darah ke organ vital. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan organ.

Sepsis terutama menyerang bayi, orang tua dan orang-orang dengan sistem kekebalan
yang lemah, meskipun juga dapat terjadi pada orang dewasa muda yang sehat.

Sepsis bisa menjadi situasi serius yang mengancam kehidupan sehingga perlu perawatan
mendesak dan komprehensif. Diagnosis cepat sangat penting, karena sepertiga dari penderita
sepsis meninggal dunia.

Sepsis biasanya dirawat di unit perawatan intensif rumah sakit (ICU). Antibiotik dan
cairan infus dapat diberikan untuk mengobati infeksi dan menjaga tekanan darah agar tidak
menurun terlalu rendah. Pasien juga mungkin perlu respirator untuk membantu pernapasan.
Yang berisiko terkena sepsis adalah :

1. Bayi, anak-anak yang sangat muda, dan orang tua

16
2. Orang-orang dengan luka bakar yang luas

3. Mereka yang dirawat di rumah sakit dengan penyakit serius

4. Setelah operasi besar atau karena sebuah kecelakaan besar

5. Setelah operasi seperti aborsi ilegal atau instrumentasi

6. Pelaku alkohol

7. Orang-orang dengan sistem kekebalan yang lemah. Ini bisa terjadi akibat dari penyakit
seperti AIDS, Diabetes atau karena pengobatan yang menekan kekebalan seperti anti-
kanker (kemoterapi).

BAB III

PENUTUP

17
A. KESIMPULAN

1. Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau miroorganisme yang mampu menyebabkan
sakit.

2. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit. Infeksi nosokomial
diakibatkan oleh pemberian layanan kesehatan dalam fasilitas perawatan kesehatan.

3. Inflamasi adalah respons jaringan terhadap cedera akibat infekso,fungsi, abrasi, terbakar,
objek asing atau toksin (produk bakteri yang merusak sel hospes atau jaringan hospes).
Proses inflamasi meliputi periode inkubasi, tahap prodromal, tahap sakit dan pemulihan.

4. Imunitas adalah kemampuan tubuh manusia untuk melawan hapir semua organisme atau
toksin yang cenderung masuk ke jaringan dan organ. Ada 2 jenis respon imun yang
terjadi yaitu respon imun non-spesifik dan spesifik.

5. Sepsis adalah keracunan darah, yang juga digunakan untuk menggambarkan septicemia.
Sepsis disebabkan oleh kehadiran bakteri (bakteremia) dan organisme pernginfeksi
lainnya atau racun dalam darah (septikemia) atau pada jaringan lain dari tubuh.

B. SARAN

Kita sebagai mahasiswa keperawatan harus mengetahui tentang konsep infeksi, karena
kita sebagai seorang perawat sering mengadakan kontak langsung dengan pasien. Kita juga
harus memperhatika faktor-faktor penyebab infeksi dan menjaga kebersihan dan melindungi
diri sendiri agar tidak menimbulkan infeksi kepada pasien dan tidak tertular infeksi dari
pasien.

18
19

Anda mungkin juga menyukai