Anda di halaman 1dari 40

CLINICAL SCIENSE SESSION

SYOK DAN TERAPI CAIRAN

Penyusun:
Aang Setiawan
Marsha Marvella
Mega Amanda Putri
Nurul Uyun

Perceptor:
Suwarman, dr., Sp.An-KIC., M.Kes

BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
RS. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2015
SYOK

I. PENDAHULUAN
Syok merupakan suatu keadaan dimana sistem sirkulasi tidak dapat memenuhi
kebutuhan perfusi jaringan, sehingga mengakibatkan terjadinya hipoksia jaringan dan sel.
Karena hipoksia, pada syok terjadi gangguan metabolisme sel, sehingga dapat timbul
kerusakan ireversibel pada jaringan organ vital. Berdasarkan hemodinamik dan
mekanisme terjadinya, syok dibagi menjadi syok kardiogenik, syok hipovolemik, syok
obstruktif dan syok distributif.
Secara patologis, apapun penyebabnya, syok menyebabkan penurunan curah
jantung. Penurunan curah jantung akan menyebabkan penurunan aliran darah sistemik,
penurunan nutrisi jaringan (otak, jantung, ginjal dan jaringan tubuh lainnya), penurunan
nutrisi vaskuler, peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan volume darah yang
kembali ke jantung dan akhirnya akan lebih memperberat curah jantung.
Penanggulangan syok pada dasarnya bertujuan untuk mengembalikan perfusi
jaringan kembali ke keadaan normal. Untuk itu selain menemukan penyebab syok, sangat
penting menstabilkan aliran darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki. Terapi
cairan seringkali merupakan terapi inisial pada pasien syok yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, sehingga diharapkan dapat mengoreksi sistem sirkulasi
tubuh.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi
Syok merupakan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke jaringan. Hal ini didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang diawali oleh
hiporperfusi akut, sehingga terjadi hipoksia jaringan dan disfungsi organ vital. Syok
adalah kondisi mengancam jiwa yang terjadi saat tubuh tidak mendapatkan aliran darah
yang adekuat. Syok membutuhkan penanganan segera karena kondisi tubuh dapat
memburuk dengan sangat cepat.

2.2 Klasifikasi, Patofisiologi dan Gejala Klinis


2.2.1 Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik disebut juga sebagai syok preload yang ditandai dengan
menurunnya volume intravaskular. Penurunan volume intravaskular ini menyebabkan
penurunan volume intraventrikuler kiri pada akhir diastol yang akhirnya menyebabkan
berkurangnya kontraktilitas jantung dan menurunnya curah jantung.

2
Penyebab:
Kehilangan darah, misalnya perdarahan;
Kehilangan plasma, misalnya luka bakar
Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang
banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan
penumpukan cairan di lumen usus).

2.2.1.1 Syok Hipovolemik akibat Perdarahan ( Hemoragik )


Gejala klinik syok hemoragik
1. Syok ringan. Takikardia minimal. Hipotensi sedikit. Vasokonstriksi tepi ringan:
kulit dingin, pucat, basah. Urin normal/sedikit berkurang. Pasien mengeluh
merasa dingin.
2. Syok sedang. Takikardia 100-120x/menit. Hipotensi: sistolik 90-100 mmHg.
Oliguria/anuria. Penderita merasa haus.
3. Syok berat. Takikardia < 120 x/menit. Hipotensi: sistolik<60 mmHg. Pucat
sekali. Anuria. Agitasi , kesadaran menurun.

Tabel 1. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah


Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan darah < 750 cc 750-1000 cc 1500-2000cc > 2000 cc
Kehilangan darah (% > 15% 15 30 % 20 40% > 40%
vol darah)
Denyut jantung < 100 > 100 > 120 > 140
Tekanan sistolik Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal / Menurun Menurun Menurun
Cappilary refill Normal (+) (+) (+)
Respirasi 14-20 20 -30 30 40 < 35
Urin > 30 20 -30 5 25 Anuria
Status mental Slightly Mildly Anxious dan Confused dan
anxious anxious confused letargi
Terapi cairan Kristaloid kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
darah darah

2.2.2 Syok Kardiogenik

3
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai kegagalan pompa jantung (pump
failure). Syok ini diakibatkan oleh terjadinya penurunan daya kerja jantung yang
berat, misalnya pada:
Penyakit jantung iskemik, seperti infark
Obat-obat yang mendepresi jantung
Gangguan irama jantung

Gejala Klinis dan Diagnosis :


Diagnosis ditegakkan bila tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg, disertai adanya
oliguria, yaitu bila diuresis kurang dari 20-30 cc/jam. Tidak ada penyebab lain dari
hipotensi, seperti perdarahan, diare, reaksi vagal, aritmia, obat-obatan, dan
dehidrasi. Biasanya penderita tampak gelisah, pucat, extremitas dingin disertai
sianosis perifer, kulit biasanya lembab dan dingin.

2.2.3 Syok Neurogenik


Syok neurogenik terjadi karena adanya peningkatan kapasitas vaskular yang
disebabkan oleh tidak adanya tonus vasomotor secara tiba-tiba. Hal ini bisa
disebabkan oleh:
Anestesi umum yang dalam, menyebabkan penekanan pada pusat
vasomotor yang mengakibatkan paralisis vasomotor.
Anestesi spinal, menyebabkan penghambatan pada aliran impuls saraf.
Kerusakan otak

2.2.4 Syok Anafilaktik


Syok anafilaktik merupakan suatu resiko pemberian obat, baik merupakan
suntikan atau cara lain. Reaksi dapat berkembang menjadi suatu kegawatan
berupa syok, gagal napas, henti jantung, dan kematian mendadak.

Patofisiologi :
Syok anafilaktik merupakan bagian dari reaksi anafilaktik sistemik berat.
Terjadinya syok dapat berlangsung dengan cepat. Kematian terjadi pada penderita
berusia di atas 20 tahun. Sedangkan kematian pada anak biasanya disebabkan
oleh edema laring. Kematian pada usia dewasa biasanya merupakan kombinasi
syok, edema laring, dan aritmia jantung. Syok anafilaktik dapat kambuh 2-24 jam
setelah kejadian pertama.

4
Obat-obat yang sering memberikan reaksi anafilaktik adalah golongan
antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol,
sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies.
Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat
radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain),
vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang,
dll., juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.

Gejala Klinis :
1. Reaksi lokal: biasanya hanya urtikaria dan edema setempat, tidak fatal.
2. Reaksi sistemik: biasanya mengenai saluran napas bagian atas, system kardiovaskuler,
gastrointestinal, dan kulit. Reaksi tersebut dapat timbul segera atau 30 menit setelah
terpapar antigen.
a. Ringan: mata bengkak, hidung tersumbat, gatal-gatal di kulit dan mukosa,
bersin-bersin, biasanya timbul 2 jam setelah terpapar alergen.
b. Sedang: gejalanya lebih berat, selain gejala di atas, dapat pula terjadi
bronkospasme, edema laring, mual, muntah, biasanya terjadi dalam 2 jam setelah
terpapar antigen.
c. Berat: terjadi langsung setelah terpapar dengan alergen, gejala seperti reaksi
tersebut di atas hanya lebih berat yaitu bronkospasme, edema laring, stridor,
napas sesak, sianosis, henti jantung, disfagia, nyeri perut, diare, muntah-muntah,
kejang, hipotensi, aritmia jantung, syok, dan koma. Kematian disebabkan oleh
edema laring dan aritmia jantung.

2.2.5 Syok Septik


Syok septik biasanya ditimbulkan oleh penyebaran endotoksin bakteri gram
negatif (coli, proteus, pseudomonas, enterokokus, aerobakteri), jarang terjadi karena
toksin bakteri gram positif(streptokokus, stafilokokus, klostridium welchii). Syok
septik lebih mudah timbul pada pasien dengan trauma, diabetes melitus, leukemia,
granulositopenia berat, penyakit saluran genitourinarius, atau yang mendapat
pengobatan kostikosteroid, obat penekan kekebalan, atau radiasi. Faktor yang
mempercepat syok septik ialah pembedahan, atau manipulasi saluran kemih, saluran
empedu, dan ginekologik.

Patofisiologi syok septik

5
1. Pada stadium awal curah jantung meningkat, denyut jantung lebih cepat dan
tekanan arteri rata-rata turun. Kemudian perjalanannya bertambah progresif
dengan penurunan curah jantung , karena darah balik berkurang (terjadi
bendungan darah dalam mikrosirkulasi dan keluarnya cairan dari ruangan
intravaskular karena permeabilitas kapiler bertambah), yang ditandai dengan
turunnya tekanan vena sentral.
2. Hipertensi paru-paru oleh karena tahanan pembuluh darah meningkat
disebabkan oleh sumbatan leukosit pada kapiler paru-paru. Pada pasien yang
sudah syok paru-paru ditandai dengan gejala gagal paru-paru progresif, PO 2
arterial turun, hiperventilasi, dispneu, batuk dan asidosis.
3. Koagulasi intravaskular diseminata (D.I.C.) terjadi karena pemacuan proses
pembekuan akibat kerusakan endotelium kapiler oleh infeksi bakteri.

Gejala klinik syok septik


1. Demam tinggi > 38.9 C . Sering diawali dengan menggigil , kemudian suhu turun
dalam beberapa jam ( jarang hipotermi).
2. Takikardia.
3. Hipotensi (sistolik < 90 mmHg)
4. Petekia, leukositosis atau leukopenia yang bergeser ke kiri, trombositopenia.
5. Hiperventilasi dengan hipokapnia.
6. Gejala lokal misalnya nyeri tekan didaerah abdomen, perirektal.
Syok septik harus dicurigai pada pasien dengan demam, hipotensi, trombositopenia, atau
koagulokasi intravaskular yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Sedangkan pada
persangkaan infeksi harus segera dilakukan pemeriksaan biakan kuman dan uji lainnya.

III. PENATALAKSANAAN

Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk


memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu
tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera
ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan
pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas
kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus
terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%.
Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau
hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi

6
dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk
mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi
perifer. Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat,
yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari
dan ditanggulangi. Pada penanggulangan infark miokard, harus dicegah pemberian cairan
berlebih yang akan membebani jantung. Selain itu harus diperhatikan juga oksigenasi
darah yang memadai dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.

Prinsip Dasar Penanganan Syok


Tujuan utama pengobatan syok ialah melakukan penanganan awal dan khusus untuk:
menstabilkan kondisi pasien,
memperbaiki volume cairan sirkulasi darah,
mengefisiensikan sistem sirkulasi darah.
Setelah pasien stabil tentukan penyebab syok

3.1 Terapi Syok Secara Umum

3.1.1 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik diarahkan kepada diagnosis cedera yang mengancam


jiwa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline
recordings) penting untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang
harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat kesadaran.
Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita
mengijinkan.

1 Airway dan Breathing

Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya


pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.

2 Sirkulasi kontrol perdarahan

7
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas
terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi
jaringan. Perdarahan dari luka luar biasanya dapat dikendalikan dengan
tekanan langsung pada tempat perdarahan. Cukupnya perfusi jaringan
menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin
diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.

3 Disability pemeriksaan neurologi

Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat


kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan
sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti
perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.
Perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cedera
intrakranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang.
Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan
tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial.

4 Exposure pemeriksaan lengkap

Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya,


penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari
kaki sebagai bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita,
sangat penting mencegah hipotermia.

5 Dilatasi lambung dekompresi

Dilatasi lambung serikali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada


anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung
yang tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi
saraf vagus yang berlebihan. Distensi lambung membuat terapi syok
menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi lambung
membesarkan resiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu
komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan
dengan memasukkan selang / pipa ke dalam perut melalui hidung atau
mulut dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi

8
lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah baik, masih
mungkin terjadi aspirasi.

6 Pemasangan kateter urin

Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya


hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi
urin.

3.1.2 Akses Pembuluh Darah

Harus segera dapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling baik
dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar (minimal 16
Gauge) sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral. Kecepatan aliran berbanding
lurus dengan empat kali radius kanul, dan berbanding terbalik dengan panjangnya
(Hukum Poiseuille). Karena itu maka lebih baik kateter pendek dan kaliber besar
agar dapat memasukkan cairan dalam jumlah besar dengan cepat.

Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah
lengan bawah atau pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak
memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer, maka digunakan akses
pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis atau vena subclavia dengan
kateter besar) dengan menggunakan teknik Seldinger atau melakukan vena seksi
pada vena safena di kaki, tergantung tingkat ketrampilan dan pengalaman
dokternya. Seringkali akses vena sentral di dalam situasi gawat darurat ditak
dapat dilaksanakan dengan sempurna ataupun tidak seratus persen steril, karena
itu bila keadaan penderita sudah memungkinkan, maka jalur vena sentral ini
harus diubah atau diperbaiki.

Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius


sehubungan dengan usaha penempatan kateter vena sentral, yaitu pneumotoraks
atau hemotoraks, pada penderita yang saat itu mungkin sudah tidak stabil.

Pada anak-anak dibawah 6 tahun, teknik penempatan jarum intraosseus


harus dicoba sebelum menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu yang

9
penting untuk memilih prosedur atau caranya adalah pengalaman dan tingkat
ketrampilan dokternya.

Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis
dan crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang sesuai, pemeriksaan toksikologi,
dan tes kehamilan pada wanita usia subur. Analisis gas darah arteri juga harus
dilakukan pada saat ini. Foto toraks harus diambil setelah pemasangan CVP pada
vena subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisinya dan
penilaian kemungkinan terjadinya pneumotoraks atau hemotoraks.

3.1.3 Terapi Awal Cairan

Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan


ini mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume
vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan berikutnya ke dalam ruang
interstitial dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama.
NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walaupun NaCl fisiologis merupakan
cairan pengganti yang baik namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya
asidosis hiperkhloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya
kurang baik.

Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar


diramalkan pada evaluasi awal penderita. Pada tabel 1, dapat dilihat cara
menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan oleh penderita.
Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang secara akut
diperlukan adalah mengganti setiap mililiter darah yang hilang dengan 3 ml
cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi volume plasma yang hilang
ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Ini dikenal dengan sebagai hukum 3
untuk 1. Namun, lebih penting untuk menilai respon penderita kepada resusitasi
cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya
keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer. Apabilal pada waktu
resusitasi jumlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau
mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka diperlukan
penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau
penyebab lain untuk syoknya.

10
3.2 Terapi Kausal

3.2.1 Syok Hipovolemik

Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma,


baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat.
Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung.
Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak
duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang
besar atau majemuk.

Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard
sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap
perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume
intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi
organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti
ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-
angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan
masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan
akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.

Dengan demikian, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah


menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume
intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit
interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin
yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila
diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam
seimbang. Infus cairan tetap menjadi pilihan pertama dalam menangani pasien hamil. Bila
telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya
infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar
jangan sampai terjadi kelebihan cairan.

Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ


a. Umum

11
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan
untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon penderita.
Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif
yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu,
pengamatan tersebut tidak memberi informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada
status sistem saraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan
perfusi, tetapi kuantitasnya sukar ditentukan.
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi
ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yan
cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin
merupakan salah satu dari pemantau utama resusitasi dan respon penderita. Perubahan
pada tekanan vena sentral dapat memberikan informasi yang berguna, dan risiko
pemasangan jalur vena sentral harus diambil bila kasusnya rumit. Bila diperlukan indeks
tekanan pengisian jantung, maka pengukuran tekanan vena sentral cukup baik untuk
kebanyakan kasus.

b. Produksi Urin
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran
darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin
sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/ jam pada anak-anak dan 2 ml/kg/jam
untuk bayi (dibawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin
dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan
ini menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.

c. Keseimbangan Asam Basa


Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami alkalosis pernafasan karena
takhipnea. Alkalosis respiratorik seringkali disusul dengan asidosis metabolik ringan
dalam tahap syok dini dan tidak perlu diterapi. Asidosis metabolik yang berat dapat
terjadi pada syok yang sudah lama, atau akibat syok berat. Asidosis metabolik terjadi
karena metabolisme anaerobik akibat perfusi jaringan yang kurang dan produksi asam
laktat. Asidosis yang persisten biasanya akibat resusitasi yang tidak adekuat atau
kehilangan darah terus menerus dan pada penderita syok normothermik harus diobati
dengan cairan, darah, dan dipertimbangkan intervensi operasi untuk mengendalikan
perdarahan Defisit basa yang diperoleh dari analisa gas darah arteri dapat berguna dalam

12
memperkirakan beratnya defisit perfusi yang akut. Jangan gunakan sodium bikarbonat
secara rutin untuk mengobati asidosis metabolik sekunder pada syok hipovolemik.

Keputusan Terapeutis Berdasarkan Respon Kepada Resusitasi Cairan Awal


Respon penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk
menentukan terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara
berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah
pengelolaannya berdasarkan respon penderita pada resusitasi cairan awal.
Adalah penting untuk membedakan hemodinamis stabil dari orang yang
hemodinamis normal. Penderita yang hemodinamis stabil mungkin tetap ada takhikardi,
takhipnea dan oligouri dan jelas masih tetep kurang diresusitasi dan masih syok.
Sebaliknya penderita yang hemodinamis normal adalah yang tidak menunjukkan tanda
perfusi jaringan yang kurang memadai,
Pola respon yang potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok : respon cepat,
respon sementara dan respon minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.
a. Respon cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respon kepada bolus cairan awal dan tetap
hemodinamis normal kalau bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat
sampai kecepatan maintanance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan volume darah
minimum (kurang dari 20%). Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan
tambahan atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch nya harus
tetap dikerjakan. Konsultasi dan evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan
terapi awal, karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan.

b. Respon sementara (transient)


Sebagian besar penderita akan berespon terhadap pemberian cairan, namun bila
tetesan diperlambat, hemodinamik penderita menurun kembali karena kehilangan darah
yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan darah pada
kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respon terhadap
pemberian darah menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.

c. Respon minimal atau tanpa respon


Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, tatap tanpa respon, ini
menandakan perlunya operasi sangat segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap

13
diwaspadai kemungkinan syok non-hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio
miokard.
Kemungkinan adanya syok non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok
ini. Pemasangan CVP atau echocardiografi emergensi dapat membantu membedakan
kedua kelompok ini.

Tabel 2 Respon Terhadap Pemberian Cairan Awal


Respon cepat Respon sementara Tanpa respon
Tanda Vital Kembali ke normal Perbaikan sementara, Tetap abnormal
tensi dan nadi
kembali turun
Dugaan kehilangan Minimal (10-20%) Sedang, masih ada Berat ( > 40%)
darah (20 40%)
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
kristaloid
Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera
Persiapan darah Type specific dan Type specific Emergensi
crossmatch
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini ahli Perlu Perlu Perlu
bedah

3.2.2 Syok Septik

Merupakan syok yang disertai adanya infeksi (sumber infeksi). Pada pasien
trauma, syok septik bisa terjadi bila pasien datang terlambat beberapa jam ke rumah sakit.
Syok septik terutama terjadi pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan
kontaminasi rongga peritonium dengan isi usus.

Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan
vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi
perifer menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke intertisial yang
terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh

14
penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan
oksigen karena toksin kuman. Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia sukar
dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin <
0.5 cc/kg/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-
pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai
gejala takikaridia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang
melebar.

Penanggulangan

- Optimalisasi volume intravaskuler

- Pemberian antibiotik, Dopamin, dan Vasopresor

Penanganan medikamentosa pada syok septik


1. Terapi cairan. Pemberian cairan garam berimbang harus segera diberikan pada
saat ditegakkan diagnosis syok septik. Pemberian cairan ini sebanyk 1-2 liter
selama 30-60 menit dapat memperbaiki sirkulasi tepi dan produksi urin.
Pemberian cairan selanjutnya tergantung pengukuran tekanan vena sentral.
2. Obat inotropik. Dopamin sebaiknya diberikan bilamana keadaan syok tidak
dapat diatasi dengan pemberian cairan, tetapi tekanan vena sentral telah kembali
normal. Dopamin permulaan diberikan kurang dari 5 ug/kg berat badan / menit.
Dengan sosis ini diharapkan aliran darah ginjal dan mesenterik meningkat, serta
memperbanyak produksi urin. Dosis dopamin 5-10 ug/kg berat badan / menit
akan menimbulkan efek beta adrenergik, sedangkan pada dosis lebih dari 10
ug/kg berat badan / menit, dopamin tidak efektif ,dan yang menonjol ialah efek
alfa adrenergik.
3. Antibiotika. Pemberian dosis antibiotika harus lebih tinggi dari dosis biasa dan
diberikan secara intravena. Kombinasi pemberian dua antibiotika spektrum luas
sangat dianjurkan karena dapat terjadi efek aditifdan sinergistik. Misalnya
kombinasi pemberian klidamisin ( 600 mg /6 jam) dengan aminoglikosida
( gentamisin atau tobramisin 2 mg/kg berat badan / 8 jam) sebagai terapi
permulaan sebelum mendapatkan uji kepekaan bakteri.

3.2.3 Syok kardiogenik

15
Semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard akut sebaiknya dikirim
segera ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk kateterisasi, angioplasty, dan
operasi kardiovaskuler. Tindakan resusitasi dan suportif harus segera diberikan
bersamaan pada saat evaluasi diagnosis.
- Pastikan jalan napas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi.
- Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankan PO2 70 120 mmHg.
- Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus diatasi
dengan pemberian morfin.
- Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan elektrolit yang terjadi.
- Bila terjadi takiaritmia, harus segera diatasi :
- Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan pemberian
digitalis.
- Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 x / menit harus diatasi dengan
pemberian sulfas atropine.
- Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam penanganan
syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara parenteral dengan
menggunakan pedoman dasar PCWP atau pulmonary artery end diastolic pressure
(PAEDP) atau CVP. Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya,
tetapi dianjurkan untuk memakai cairan salin isotonic. Intravenous fluid tolerance
test merupakan suatu cara sederhana untuk menentukan apakah pemberian cairan
infuse bermanfaat dalam penanganan syok kardiogenik. Caranya :
- Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 mmH 2O), sulit untuk
mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih lanjut, volume
cairan intravaskular harus ditingkatkan hingga LVEDP mencapai 18 mmHg.
Pada keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak 100 ml cairan melalui
infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respons, berupa peningkatan tekanan darah,
peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru
tidak ada atau tidak semakin berat, dan bila PCWP atau PAEDP tidak berubah
atau tidak meningkat > 2-3 cmH 2O di atas nilai awal), maka diberikan cairan
tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit.
- Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau meningkat > 2 mmHg atau
tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15 cmH 2O), tekanan darah tetap
stabil atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin
bertambah, maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam

16
sampai tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP
atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan
PCWP atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg (atau CVP meningkat
sampai 15 cmH2O).
- Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18
mmHg (atau nilai CVP awal 12-18 cmH 2O), maka diberikan infus cairan 100 ml
dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkata
PCWP atau PAEDP (atau CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya
gejala klinis kongesti paru.
- Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai
awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan tes toleransi cairan
intravena, dan pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator.
- Jika PCWP atau PAEDP menunjukkan nilai yang rendah ( < 5 mmHg ), atau jika
nilai CVP < 5 cmH2O , infus cairan dapat diberikan walau didapatkan edema
paru akut.
- Jika pasien menunjukkan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau PAEDP
yang rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus cairan menyebabkan
peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan klinis, maka infus cairan
harus dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali.
- Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume intravaskular
yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade jantung sebelum
pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimlai . Tamponade jantung akibat
infark miokard memerlukan tindakan volume expansion untuk mempertahankan
preload yang adekuat dan dilakukan perikardiosentesis segera.
- Penenganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan pasien dapat
berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan perubahan dalam
regimen terapi.
- Subset 1 : LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg, dan indeks
jantung < 2,5 liter/menit/m2. keadaan ini menunjukkan adanya gagal jantung kiri
dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga pengurangan afterload dapat
dilakukan sebagai terapi pertama.
- Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin dan nitroprusid.
Pada waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan monitor terhadap tekanan
darah dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pemberian nitropusid dimulai
dengan dosis 0,4 mg/kgBB/ menit (dosis awal jangan lebih dari 10

17
mg/menit), kemudian dosis ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit sampai
tercapai efek hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung meningkat
dan gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah
menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak
mencukupi, maka ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5
g/kgBB/menit dan ditingkatkan sampai maksimal 15 g/kgBB/menit. Bila
tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin diganti dengan
dopamin.
- Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam penanganan
syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses iskemia masih
berlangsung dan didapatkan adanya kongesti paru yang berat. Nitrogliserin
diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit dan ditingkatkan 5 mg/menit
setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok dan pump failure, maka
nitroglisern dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun
dengan tekanan preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan
ditambahkan dobutamin dengan dosis 2 -5 g/kgBB/menit. Bila tekanan
darah lebih cepat menurun, maka dobutamin diganti dengan dopamin.
- Selama periode ini, pemasangan intraaortic ballon pump (IABP)
counterpulsation harus dipertimbangkan.
- Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru masih
tetap, maka pemberian diuretik secara perlahan dapat dipertimbangkan.
- Subset 2 : Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan indeks
jantung < 2,5 liter/menit/m2. keadaan ini menunjukkan tanda klasik adanya syok
akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut, dimana tim ballon perlu
digerakkan dan sarana untuk kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima
pasien ini.
- Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan pilihan
utama dengan dosis 2 15 g/menit sampai tekanan darah sistolik mencapai
80-90 mmHg. Kemudian diusahakan untuk mengganti dengan dopamin.
- Jika tekanan darah sistolik 7090 mmHg, dopamin dapat digunakan untuk
terapi awal dengan dosis 5 15 g/kg BB/menit. Bila untuk
mempertahankan tekanan darah diperlukan dosis dopamin hingga 20 30
g/kgBB/menit, di mana efek utamanya merangsang adrenergik perifer, lebih
baik digunakan norepinefrin.

18
- Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang terbaik
adalah dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama dopamin untuk
mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dobutamin tidak dapat digunakan
secara tunggal pada pasien dengan hipotensi berat.
- Subset 3 : Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium kanan dan
ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5 liter/menit/m 2, tekanan
sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal atau meningkat. Pasien dalam keadaan
ini sangat sensitif terhadap kekurangan volume cairan dan sering menunjukkan
respons dengan terapi cairan.
- Prinsip terapi : tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan dengan
pemberian cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil, tekanan
pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium kanan > 20
mmHg.
- Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada keadaan ini
pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada dopamin.
- Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan, maka
dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.
- Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan mengurangi jumlah
miokard yang mengalami nekrosis, sehingga insidens sindrom syok kardiogenik akan
berkurang.
- Sementara menunggu uji yang membandingkan angioplasti dan terapi medis, saat ini
dianggap bahwa angioplasti direk lebih superior daripada terapi suportif semata-mata
maupun terapi trombolitik. Keberhasilan percutaneus transluminal coronary
angioplasty (PTCA) terutama bila dilakukan pada 24 jam pertama setelah timbulnya
gejala syok kardiogenik, pada pasien berusia < 65 tahun, dan dengan single-vessel
disease. Kegagalan PTCA terutama dikaitkan dengan usia pasien yang lancut (> 70
tahun) dan riwayat infark sebelumnya.
- Harapan hidup jangka panjang yang mengecewakan dari penanganan syok
kardiogenik akibat infark miokard dengan terapi medis telah mendorong
dilakukannya tindakan bedah revaskularisasi dini pada pasien yang telah stabil
dengan terapi farmakologis dan IABP. Guyton menyimpulkan bahwa coronary-
artery bypass sugery (CABS) merupakan terapi pilihan pada semua pasien syok
kardiogenik akibat infark miokard, kecuali pada kelompok oktogenarian. CABS juga
dianjurkan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan tindakan angioplasti.
Tindakan operasi dilakukan apabila didapatkan adanya kontraksi dari segmen yang

19
tidak mengalami infark dengan pembuluh darah yang stenosis. Bedah revaskularisasi
sebaiknya tidak dilakukan pada pasien oktogenarian, pasien dengan LVDEP>24
mmHg, skor kontraktilitas ventrikel kiri > 13, dan adanya kerusakan pada organ
sistemik yang ireversibel. Pada pasien dengan kerusakan mekanik, misalnya
robeknya otot papilaris, robeknya septum intraventrikel, maka tindakan operasi akan
efektif terutama bila revaskularisasi juga dapat dilaksanakan.
- Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan miokard
ireversibel, mungkin diperlukan tindakan transplantasi jantung.

3.2.4 Syok anafilaksis


Penatalaksanaan syok anafilaktik tergantung tingkat keparahan, namun yang
terpenting harus segera dilakukan evaluasi jalan napas, jantung dan respirasi. Bila ada
henti jantung, dan respirasi. Bila ada henti jantung paru, lakukan resusitasi jantung paru.
Terapi awal diberikan setelah diagnosis ditegakkan.
Untuk terapi awal, berikan adrenalin 1 : 1.000, 0,3 ml sampai maksimal 0,5 ml,
subkutan atau im, dapat diulang 2-3 kali dengan jarak 15 menit. Pasang torniket pada
proksimal dari suntikan infiltrasi dengan 0,1 0,2 adrenalin 1 : 1000. Lepaskan torniket
setiap 10-15 menit. Tempatkan pasien dalam posisi terlentang dengan elevasi ekstremitas
bawah (kecuali kalau pasien sesak). Awasi jalan napas pasien, periksa tanda-tanda vital
tiap 15 menit. Bila efek terhadap adrenalin kurang, berikan difenhidramin hidroklorida, 1
mg/kg BB sampai maksimal 50 mg im atau iv perlahan-lahan.
Bila terjadi hipotensi (tekanan sistolik < 90 mm Hg), segera berikan cairan iv yang
cukup. Bila tidak ada respon, berikan dopamin 400 g (2 ampul) dalam cairan infus
glukosa 5 % atau Ringer laktat atau NaCL 0,9% atau dekstran , untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik 90-100 mmHg.
Bila terjadi bronkospasme persisten, berikan oksigen 4-6 liter/menit. Bila tidak
terjadi hipotensi, berikan aminofilin dosis 0,5-0,9 mg/kg BB/jam. Berikan aerosol -2
agonis tiap 2-4 jam, misalnya 0,3 ml metaproterenol dalam larutan garam melalui
nebulasi atau adrenalin 0,1-0,3 ml setiap 2 -4 jam.
Untuk mencegah relaps (reaksi fase lambat), berikan hidrokortison 7 10 mg/kg
BB iv lalu lanjutkan hdrokortison suntikan 5 mg/kg BB iv tiap 6 jam sampai 48-72 jam.
Awasi adanya edema laring, jika perlu dilakukan trakeostomi. Bila kondisi pasien
stabil, berikan terapi suportif dengan cairan selama beberapa hari., pasien harus diawasi
karena kemungkinan gejala berulang minimal selama 12-24 jam. Kematian dapat terjadi
dalam 24 jam pertama.

20
IV. KESIMPULAN
Syok adalah kondisi mengancam jiwa yang terjadi saat tubuh tidak mendapatkan
aliran darah yang adekuat. Hal ini dapat merusak banyak organ. Syok membutuhkan
penanganan segera karena kondisi tubuh dapat memburuk dengan amat cepat.
Secara klinis syok ditandai dengan pucat, dingin, berkeringat, nadi lemah,
hipotensi, bertambahnya kecepatan pernafasan dan takikardi dengan penurunan tekanan
darah sistemik dengan tekanan sistole di bawah 70 mmHg, penurunan volume urine dan
terjadinya iskemia yang mengakibatkan turunnya perfusi jaringan
Syok dapat diklasifikasikan menjadi syok kardiogenik, syok hipovolemik yang
dapat disebabkan karena perdarahan dan dehidrasi, syok obstruktif, dan syok distributif
yang diantaranya terdiri dari syok anafilaktik dan syok septik.
Secara umum penanganan syok adalah dengan cara mencari penyebab, mengatasi
penyebab, mengatasi komplikasi dan mempertimbangkan terapi lanjutan. Pada syok yang
penting diatasi adalah hipoksemia, penurunan curah jantung dan hipoperfusi.

TERAPI CAIRAN

I. PENDAHULUAN
Cairan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Cairan membantu
mempertahankan suhu tubuh dan bentuk sel. Cairan juga membantu transpor nutrisi, gas,
dan zat sisa. Menjaga agar volum cairan tubuh tetap relatif konstan dan komposisinya
stabil adalah penting untuk homeostasis.
Terapi cairan dibutuhkan, bila tubuh tidak dapat memasukkan air, elektrolit, dan
zat-zat makanan secara oral misalnya pada keadaan pasien harus puasa lama sebelum
pembedahan, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik,
anoksia berat, mual muntah terus-menerus, dan lain-lain. Selain itu dalam keadaan
tertentu adanya terapi cairan dapat digunakan sebagai tambahan untuk memasukkan obat
dan zat makanan secara rutin atau dapat juga digunakan untuk menjaga keseimbangan
asam basa. Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda
hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa oedem paru dan
gagal nafas.

II. FISIOLOGI CAIRAN TUBUH

21
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, dimana laki-laki dewasa
mengandung air 50-60% berat badan, wanita dewasa 50% berat badan, bayi usia >1
tahun 70-75% berat badan dan bayi usia <1 tahun 80-85% berat badan.

Cairan interseluler
(40% BB) : 28 L

Total cairan tubuh Cairan interstitial


(60% BB) : 42 L (15% BB) : 11 L
Cairan ekstraseluler
(20% BB) : 14 L

Cairan
intravaskular
(5% BB)
Gbr 1. Distribusi total cairan tubuh yang berhubungan dengan berat :3L
badan.

Cairan Ekstraseluler
Endotel kapiler memiliki sifat permeabel terhadap air, kation, anion dan zat
terlarut lainnya seperti glukosa dan urea (tetapi tidak untuk protein). Sebagai akibatnya,
komposisi zat terlarut dalam cairan interstitial dan plasma adalah sama. Natrium adalah
anion utama dan klorida adalah kation utama dalam cairan interstitial. Protein bersifat
anion yang tidak dapat berdifusi dan konsentrasinya lebih tinggi pada cairan plasma.
Konsentrasi Cl- sedikit lebih tinggi didalam interstitial dengan tujuan untuk menjaga
electrical neutrality (kesetaraan Donnan).
a) Komponen intravaskuler :
Volume darah normal kira-kira 70ml/kgbb pada dewasa dan 85-90ml/kgbb pada
neonatus. Selain darah, komponen intravaskuler juga terdiri dari protein plasma
dan ion, terutama natrium, klorida, dan ion bikarbonat. Hanya sebagian kecil
kalium tubuh berada di dalam plasma, tetapi konsentrasi kalium ini mempunyai
pengaruh besar terhadap fungsi jantung dan neuromuskuler.
b) Komponen interstitial :
Komponen interstitial lebih besar daripada komponen intravaskuler, secara
anatomis, berhubungan secara kasar dengan ruang interstitial dari tubuh. Jumlah
total cairan ekstraseluler (intravaskuler dan interstitial) bervariasi antara 20-35%
dari berat badan dewasa dan 40-50% pada neonatus. Air dan elektrolit dapat
bergerak bebas di antara darah dan ruang interstitial, yang mempunyai komposisi
ion yang sama, tetapi protein plasma tidak dapat bergerak bebas keluar dari ruang
intravaskuler kecuali bila terdapat cedera kapiler misalnya pada luka bakar atau
syok septik. Jika terdapat kekurangan cairan dalam darah atau volume darah yang
menurun dengan cepat, maka air dan elektrolit akan ditarik dari komponen

22
interstitial ke dalam darah untuk mengatasi kekurangan volume intravaskuler,
yang diprioritaskan secara fisiologis.

Cairan Intraseluler
Perbedaan utama komposisi cairan intraseluler adalah pada cairan ini kation
utama adalah kalium dan anion utamanya adalah fosfat. Berbeda dengan endotel kapiler,
membran sel adalah selektif permeabel untuk beberapa ion tertentu, dan permeabel bebas
untuk air. Jadi, persamaan tekanan osmotik berlangsung secara kontinyu dan hal tersebut
tercapai melalui pergerakan air melalui membran sel. Osmolalitas antara cairan ekstra dan
intrasel harus selalu setara dimana air bergerak secara cepat antara intraseluler dan
ekstraseluler untuk mengurangi perbedaan osmolalitas.

Solute Solute

Na+ 10 HPO4- Na+ 140 Cl- 114


K+ 150 SO4- 150 K+ 4 HCO3- 30
Mg2+ 4 HCO3-
Prot

WATER
WATER
ICFV ECFV

III. PENGATURAN KEBUTUHAN CAIRAN NORMAL


Jadi pada pasien dengan berat badan 70 kg dengan perkiraan jumlah cairan 2000-
2500 ml dan 70 mmol untuk Na + dan K+, dapat diperkirakan berdasarkan hal-hal berikut
ini:
1. 2000 ml glukosa 5% + 500 ml saline 0,9%
2. 2500 ml glukosa 4% /saline 0,18% ditambah kalium dalam KCl, 1 gram
(13mmol) ditambahkan pada setiap 500ml cairan.

IV. KEHILANGAN CAIRAN


Kehilangan cairan sering terjadi pada pasien bedah. Kehilangan bisa bersifat
sensible atau insensible. Bentuk kehilangan cairan bervariasi, misalnya tindakan suction

23
nasogastrik, pemberian laksatif, dan obstruksi pada lumen usus. Walaupun komposisi
cairan hasil sekresi gastrointestinal bervariasi, tetapi penggantian cairan tetap
menggunakan saline 0,9% dengan 13-26 mmol L -1 kalium dalam KCl. Jika kehilangan
cairan banyak (>1000 ml perhari), maka harus diambil sampel cairan yang cukup untuk
kemudian dikirim ke laboratorium untuk dilakukan analisis biokimia sehingga
penggantian cairan dan elektrolit dapat menjadi lebih rasional. Peningkatan insesible
losses dari kulit dan paru-paru mungkin akan menimbulkan manifestasi klinis berupa
demam atau hiperventilasi. Normal insesibel losses adalah 0,5/kg/jam untuk peningkatan
satu derajat temperatur.
Kehilangan cairan dari tempat dilakukannya operasi merupakan penyebab
tersering pasien bedah. Cairan seperti plasma banyak terdapat disekitar daerah luka,yang
volumenya sesuai dengan tingkat keparahan trauma. Cairan ini biasanya disebut third
space loss karena cairan merembes kedaerah yang proses metabolismenya masih normal.
Walaupun demikian kehilangan cairan ini tidak mudah untuk dikenali, karena rembesan
cairan ini akan direabsorbsi dalam 48-72 jam.

V. PENILAIAN DEHIDRASI
Anamnesis. Sudah berapa lama pasien mengalami kehilangan cairan yang
abnormal? Berapa banyak kehilangannya? Misalnya berapakah frekuensi muntahnya.
Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan luar didapatkan pasien terlihat haus,
mukosa kering, penurunan turgor kulit, hipotensi ortostatik atau takikardia, penurunan
JVP atau CVP dan penurunan diuresis. Pada ginjal dengan fungsi normal, dehidrasi
berhubungan dengan pengeluaran urin 0,5 ml/kgBB/hari. Tingkat keparahan dari
dehidrasi dibagi mejadi ringan,sedang,berat. Kriteria yang dipakai untuk menentukan
tingkat keparahan dehidrasi adalah:
- Mild : Kehilangan 4% berat badan (rata-rata 3 L pada 70 kg BB)
terdapat penurunan turgor kulit,mata cekung, mukosa kering.
- Moderate : Kehilangan 5-8% dari berat badan (rata-rata 4-6 L pada 70
kgBB) terdapat oliguria,hipotensi orthostatik dan takikardia.
- Severe : kehilangan cairan 8-10% (rata-rata 7 ml pada 70 kgBB)
ditemukan oliguria dan sudah terdapat gangguan fungsi
kardiovaskuler.

24
Laboratorium
Derajat hemokonsentrasi dan peningkatan konsentrasi albumin mungkin
bermanfaat pada pasien yang tidak memiliki anemia dan hipoproteinemia.
Peningkatan kadar urea darah dan osmolalitas urin (>650 mmol./kgBB) kemudian
rujuk ke sarana yang lebih lengkap.

VI. DASAR-DASAR TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF


Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian terapi cairan:
a. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35ml/kgbb/hari dan elektrolit
utama Na 1-2mmol/kgbb/hari.

Berat badan Kebutuhan cairan perjam


0-10 4 ml/kgbb/jam
10-20 40+2ml/kgbb diatas 10kg
20 60+1ml/kgbb diatas 20kg
Tabel 1. Kebutuhan harian cairan menurut Holliday Segar

Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan


urin, sekresi gastrointestinal,keringat dan pengeluaran cairan lewat paru atau yang
dikenal sebagai "insensible losses". Cairan yang hilang ini bersifat hipotonis.

b. Defisit cairan dan elektrolit prabedah


Timbul sebagai akibat dari :
Dipuasakannya penderita, terutama untuk penderita bedah elektif rata-rata
sekitar 6-12 jam.
Meningkatnya insesnsible losses akibat hiperventilasi, demam dan
berkeringat banyak.

25
Kehilangan cairan prabedah ini sebaiknya harus segera diganti sebelum dilakukan
pembedahan.

c. Kehilangan cairan saat pembedahan


1. Perdarahan
Secara teoritis jumlah perdarahan dapat diukur dengan tepat dari :
Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah
Dengan menimbang kasa yang penuh darah (ukuran 4X4cm) mengandung
darah 10ml, sedangkan tampon darah mengandung 100-150ml.
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya dapat
ditentukan berdasarkan taksiran dan keadaan klinis penderita.
2. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih
menonjol dibanding perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi
cairan internal. Banyaknya cairan yang hilang dipengaruhi oleh lama dan luas
pembedahan. Perpindahan cairan interna akan mengakibatkan deficit cairan
intravaskuler.

d. Gangguan fungsi ginjal


Trauma, pembedahan dan anestesi dapat mengakibatkan laju filtrasi
glomerular menurun. Reabsorpsi Na di tubulus meningkat, sebagian disebabkan
oleh meningkatnya kadar aldosteron. Meningkatnya kadar hormone anti diuretik
menyebabkan terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na di duktus koligentes
meningkat. Ginjal tidak mampu mengekskresikan " free water" atau untuk
menghasilkan urine hipotonis.

VII. PENATALAKSANAAN TERAPI


a. Pengganti Defisit Prabedah
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavament) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa prabedah sebelum induksi,
kemudian dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan,
sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya.
Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan cairan hipotonis seperti
garam fisiologis, Ringer Laktat, dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya
tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau

26
parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami
pembedahan (elektif) harus mendapat penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama
puasa.
Usia Jumlah Kebutuhan (ml/Kg/Jam)
Dewasa 1,5 2
Anak 24
Bayi 46
Neonatus 3
Tabel 2. Kebutuhan Cairan Rata-rata untuk Rumatan

Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang


seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi
cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.

b. Terapi Cairan selama Pembedahan


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan
dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (pendarahan, translokasi
cairan dan penguapan atau evaporasi)
Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahan dan jumlah
darah yang hilang.
Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis cukup hanya diberikan
cairan rumatan saja selama pembedahan. Misalnya pada bedah mata, ekstraksi
katarak.
Pembedahan dengan trauma ringan, misalnya appendektomi, dapat diberikan cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk
mengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam
berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R
Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk
kebutuhan dasar ditambah 6 ml/kgBB/jam untuk mengganti akibat trauma
pembedahan. Total yang diberikan adalah 8 ml/kgBB/jam.
Pembedahan dengan trauma berat diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk
kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk mengganti akibat trauma
pembedahan. Total yang diberikan adalah 10 ml/kgBB/jam.
Pengganti darah yang hilang.

27
Kehilangan darah sekitar 20% taksiran volume darah akan menibulkan gejala
hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan vena sentral Kompensasi tubuh ini akan
menurun pada seseorang yang mengalami pembiusan sehingga gejala-gejala tersebut
sering kali tidak begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif serta pengaruh
obat dan teknik anestesi yang diberikan. Darah yang hilang dapat diganti dengan
cairan kristaloid 3 kali atau cairan koloid sebanyak darah yang hilang.

c. Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah


Ditujukan terutama untuk:
Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air
untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50 ml/kgBB/jam.
Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya
pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi
darah. Akibat stress pembedahan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung
menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu pada 2-3 hari pasca bedah tak
perlu pemberian natrium. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan
hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis.
Mengganti cairan pada masa pasca bedah. Akibat demam kebutuhan cairan
meningkat sekitar 15 % setiap kenaikan 1 C suhu tubuh. Adanya pengeluaran cairan
lambung melalui sonde lambung atau muntah. Penderita dengan hiperventilasi atau
pernfasan hiperventilasi atau pernafasan lewat tracheostomi tanpa humidikasi.
Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang
belum selesai.
Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.

d. Terapi Cairan pada Pediatrik


Perhitungan jumlah cairan dan elektrolit yang diberikan pada bayi dan anak
berdasarkan :
Adanya tanda-tanda dehidrasi prabedah
Defisit cairan akibat puasa prabedah
Pemeliharaan selama pembedahan
Perkiraan kehilangan cairan akibat pembedahan
Pengaruh suhu tubuh

28
Defisit ini mutlak harus diganti bertahap sebelum pembedahan. Bila ada tanda-
tanda kehilangan cairan lewat rongga ketiga maka penggantian sekitar 10ml/kgBB/jam
dengan Ringer Laktat atau NaCl fisiologis. Untuk cairan rumatan umumnya dipilih N4
(NaCl 0,225% dalam Dextrose 5%).
Untuk pembedahan singkat (kurang dari 1 jam), pada bayi/anak sehat, klinis tidak
ada defisit cairan dan perdarahan minimal, maka terapi cairan dan elektrolit tidak perlu
diberikan karena bayi/anak segera minum (pasca bedah).
Untuk pembedahan yang besar/lama atau bila puasa lama, maka :
Diberikan cairan/rumatan dengan N4
Bila perdarahan lebih dari 10% diberikan Ringer Laktat, Normosol R, dan
transfusi darah
Perkiraan volume darah (EBV = Estimate Blood Volume) :
- Neonatus = 90ml/kgBB
- Bayi-anak 1 tahun = 80ml/kgBB
- Anak >1 tahun = 70ml/kgBB
Perkiraan jumlah sel darah merah (ERCM = Extimated Red Cell Mass)
ERCM = EBV x Hematokrit
100
Acceptable Red Cell Loss(ARCL)
= ERCM-ERCM30 pada hematokrit 30%
Acceptable Blood Loss (ABL)
= ARCL x 3

Prinsip terapi cairan :


Bila kehilangan darah kurang dari 1/3 ABL (kehilangan darah masih dapat
ditolerir) maka penggantian darah yang hilang cukup dengan larutan Ringer Laktat.
Bila kehilangan darah melebihi 1/3 ABL maka penggantian darah yang
hilang dengan larutan koloid (albumin 5%)
Bila kehilangan darah melebihi ABL yaitu sekitar >10% EBV, maka harus
diberikan tranfusi darah atau PRC (Packed Red Cell) ditambah koloid dengan
volume yang sama.
Kehilangan darah pada bayi atau anak sulit diukur dengan pasti sedangkan
kehilangan darah sedikit saja sudah akan dapat menimbulkan gangguan, oleh sebab
itu menghadapi perdarahan pada bayi atau anak perlu perhitungan yang tepat antara

29
lain selain memperhatikan keadaan umum juga perlu mengukur pemeriksaan
hematokrit agar pemberian tranfusi darah tepat pada waktunya.

e. Kehilangan Spesifik dan Cara Penggantiannya


Kehilangan air paling sering terjadi karena intake yang tidak adekuat dan
kehilangan cairan yang terus-menerus, seperti pada berkeringat, demam, atau diare. Cara
rehidrasi terbaik adalah per oral, menggunakan air bersih atau minuman lain. Bila
rehidrasi secara oral tidak memungkinkan, jalan terbaik adalah memberikan larutan
intravena glukosa 5%. Larutan ini tidak bisa dianggap sebagai pengganti makan karena
kandungan karbohidrat dan kalorinya rendah ( hanya 837 kJ atau 200 Kkal/L). Untuk
penderita dengan kondisi stabil dan juga memerlukan terapi elektrolit, 2-3 l larutan
glukosa atau garam fisiologis (4% glukosa dan 0,18% NaCl) menyediakan kebutuhan
harian air dan Natrium untuk dewasa.
Diare dan Muntah
Pada diare dan muntah, terjadi kehilangan air, Natrium, Kalium, serta ion lain.
Pengganti paling baik adalah secara oral menggunakan larutan rehidrasi oral atau
yang sejenis. Larutan rehidrasi oral standar mengandung 20 gran glukosa, 3,5 gr
NaCl, 2,9 gr Trisogium Sitrat Dihidrat, dan 1,5 gram KCl per liter. Penggatian secara
intravena memerlukan larutan garam, glukosa, dan Kalium. Jumlah yang dibutuhkan
dapat ditentukan dengan pemeriksaan hematologi dan elektrolit plasma penderita.
Perdarahan dan Luka Bakar
Penggantian cairan yang ideal adalah dengan komposisi cairannya terdekat
dengan cairan yang hilang, darah, atau plasma. Untuk resusitasi inisial pada pasien
dengan syok hipovolemik, penggunaan larutan garam fisiologis atau Ringer Laktat
adalah umum, tetapi harus diingat bahwa cairan ini cepat keluar dari sirkulasi ke
kompartemen lain. Plasma ekspander memiliki berat molekul yang relatif tinggi,
sehingga dapat bertahan dalam pembuluh darah. Larutan ini dapat digunakan pada
perdarahan hebat untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah, tetapi larutan ini
tidak dapat mengangkut Oksigen.

VIII. PILIHAN JENIS CAIRAN


a. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES=CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harganya murah, mudah didapat, tidak perlu cross
match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat
disimpan cukup lama.

30
Cairan krostaloid jika diberikan dalam jumlah cukup (3-4x jumlah cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi deficit volume
intravaskuler, masa paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan, walau agak hipotonis namun memiliki susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan
dimetabolisme dihati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan
adalah NaCl 0,9% tetapi jika diberikan terlalu banyak dapat mengakibatkan asidosis
hiperkloremik dan menurunkan kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan kadar
klorida.

b. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma
substitute atau plasma ekspander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyaiberat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini
cenderung bertahan agak lama (masa paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler sehingga
koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hemorrhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein yang banyak (misalnya luka bakar).
Kerugian dari plasma ekspander selain mahal juga dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.
Berdasarkan pembuatannya dibedakan 2 jenis larutan koloid, yaitu :
1. Koloid alami, dan
2. Koloid sintesa

Koloid Alami
Yaitu fraksi protein plasma 5 % dan human albumin (5% dan 2,5%). Dibuat
dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam untuk membunuh
virus hepatitis dan virus lainnya.
Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung -
globulin dan -globulin. Prekalikrein activators (Hagemans factor fragments) seringkali
terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu
pemberian infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan
kolaps kardiovaskuler.

31
Koloid Sintesa
1. Dextran :
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuco-
nostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukresa. Dextran mempunyai
efek trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktifitas
faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
2. Hydroxylethyl Strach (Heta Strach) :
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000-1.000.000 rata-rata
71.000 osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 mmHg.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat
urine dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini
juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar amylase
serum (walau jarang)
Low-mollecular-Weight Hydroxyethyl Strach (Penta-strach) mirip heta-strach
mampu mengembangkan volume plasma sampai 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung sampai 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander
yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi penta-
strach banyak dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
3. Gelatin :
Larutan koloid 3,5-4% dalam balance electrolyt dengan berat mlekul rata-rata
35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemaccel)
Urea linked gelatin
Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.
Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan
urea linked gelatin.

Kristaloid Koloid
Keuntungan Murah Bertahan lebih lama di

volume intravaskuler intravaskuler


Mempertahankan/tekanan
dipilih untuk penanganan
onkotik plasma
awal resusitasi cairan pada
trauma atau perdarahan Memerlukan volume yang
lebih sedikit

32
Mengisi volume Edema perifer minimal
intravascular dengan cepat Menurunkan TIK
Mengisi kekosongan ruang
ke3
Kerugian Menurunkan tekanan Mahal
osmotic Dapat menimbulkan
Menimbulkan edema koagulopati
perifer Pada kebocoran kapiler, cairan
Kejadian edema pulmonal pindah ke interstitium
meningkat Mengencerkan factor
Memerlukan volume yang pembekuan dan trombosit
lebih banyak adhesive trombosit
Efeknya sementara
biasa menimbulkan reaksi
anafilaktik dengan dextran
dapat menyumbat tubulus
renal dan RES di hepar
Tabel 5. Keuntungan dan Kerugian Kristaloid dan Koloid

IX. TRANFUSI DARAH


a. Indikasi transfusi darah
Transfusi darah umumnya > 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan
untuk menaikan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Indikasi
transfusi darah adalah :
1. Perdarahan akut sampai hb < 8 gr/dl atau Ht <30.
Pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung Hb < 10 gr/dl.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.
USIA ml/KgBB
Prematur 95
Cukup bulan 85
Anak kecil 80
Anak besar 75-80
Dewasa
Laki-laki 75
Wanita 65
Tabel Volume darah

b. Kehilangan darah

33
Pada bayi angka dengan kadar Hb normal, kehilangan darah sebanyak 10-15%
volume arah, karena tidak memberatkan kompensasi badan, maka cukup diberikan cairan
kristaloid dan koloid, sedangkan diatas 15% perlu transfusi darah, karena ada gangguan
pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang dewasa dengan kadar Hb normal, angka
patokannya ialah 20%. Kehilangan darah sampai 20% ada ganggan faktopr pembekuan.
Cairan kristaloid (RL, Asering,) untuk mengisi ruang intravaskuler diberikan sebanyak
3x lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid diberikan dengan jumlah sama.

Klasifikasi syok hipovolemik berdasarkan jumlah darah yang hilang


Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Darah
=Presentase <15 15-30 30-40 >40
=Volume (cc) 750 800-1500 1500-2000 >2000
Tensi
=Systole Tetap Normal Turun Sangat rendah
=Distole Tetap Meningkat Turun Sangat rendah
Nadi (x/mnt) Sedikit 100-120 120 halus >120 sangat halus
Takikardi
Pengisian kapiler Normal Lambat (>2s) Lambat (>2s) Tidak terdeteksi
Frekuensi nafas Normal Normal Takipnoe Takipnoe
(20x/mnt)
Urine (cc/jam) >30 20-30 10-20 0-10
Ekstremitas Normal Pucat Pucat Pucat, dingin
Warna kulit Normal Pucat Pucat Kelabu
Status mental Sadar Cemas/gelisah Cemas, Mengantuk,
gelisah/menga bingung, tidak
ntuk sadar
Keterangan:
Kelas 1: Tidak perlu tansfusi kecuali kehilangan darah terjadi pada pasien yang
sebelumnya anemia atau pasien tidak mampu mengkompensasi kehilangan sejumlah
darah karena penyakit jantung atau paru yang berat.
Kelas II: perlu pemberian cairan kristaloid atau koloid. Tidak perlu tranfusi
kecuali sebelumnya pasien anemia atau cadangan kardiorespirasinya turun atau jika
perdarahan darah terus berlangsung.
Kelas III: Penggantian volume darah yang cepat dengan kristaloid atau koloid
dan transfusi seldarah merah mungkin dibutuhkan.
Kelas IV: Penggantian volme darah dengan cairan dan termasuk transsfusi sel
darah merah.

34
Keputusan transfusi atas dasar pertimbanan nilai hemoglobin. Pertimbangan
keputusan atas nilai dasar Hb harus dipertimbangkan bersamaan dengan faktor lain
seperti laju kehilangan darah:
Tranfusi sel darah merah tidak diindikasikan bila nilai aktual atau estimasi
konsentrasi Hb > 10gr/dl kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang
membutuhkan kapisitas transport oksigen lebih tinggi (PPOK dan jantung iskemik
berat).
Transfusi sel darah merah selalu diindikasikan bila nilai Hb<7gr/dl. Transfusi
harus diberikan dalam hubungnannya dalam laju kehilangan darah. Jika pasien
stabil, 2 unit darah harus diberikan pada dewasa dan kemudian klinis dan nilai Hb
harus dinilai ulang. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan / atau
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah
dapat diterima.
Bila Hb berkisar 7-10 gr/dl, strategi pemberian tranfusi kurang tepat. Para
klinisi sering memberikan transfusi walaupun bukti yang ada tidak menyarankan.
Tranfusi dapat diberikan bila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna
secara klinis dan laboratorium.
Pada pasien dengan toleransi anemia yang jelek misalnya pasien usia lanjut
lebih dari 65 tahun dan pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan respirasi, nilai Hb
yang lebih tinggi dipertimbangkan bila Hb<8 gr/dl.

c. Bahan yang ditransfusikan


1. Darah lengkap (Whole Blood)
Darah lengkap ada 2 macam, yaitu:
a. Darah segar : masa simpan 4 6 jam
Keuntungan : faktor pembekuan lengkap,fubgsi sel darah merah relatif masih
baik
Kerugian : Pengadaan sulit diperoleh dalam waktu yang tepat, bisa
menimbulkan sifilis,CMV
b. Darah baru : Masa simpan 3 4 hari.
Keuntungan : Pengadaan tidak terlalu sulit,biasanya tersedia di bank darah.
Bahaya penularan sifilis dan CMV tidak ada.
Kerugian : Faktor-faktor pembekuan banyak berkurang, kemampuan
pengangkutan oksigen kurang, kadar K,ammonia dan asam laktat
meningkat.

35
Darah lengkap diindikasikan untuk mengatasi syok hipovolemik akibat
kehilangan darah akut (hebat)atau untuk pengantian kehilangan darah akibat
pembedahan yang melebihi 1500 ml. Dengan trasfusi darah lengkap resusitasi defisit
volume intravaskular pun ikut teratasi. Penyulit yang mungkin timbul adalah faktor V
dan VII bisa menurun demikian jumlah trombosit akibat pengenceran. Untuk
mengatasi penyulit ini sebaiknya diberikan juga trombosit atau fresh frozen plasma.
2. Sel darah merah (SDM)
Keuntungan secara umum :
a. Sebagian besar plasma tidak ikut diberikan sehingga beban sirkulasi pada
penderita berkurang. Hal ini sangat menguntungkan pada usia lanjut,kelainan
jantung dan payah ginjal.
b. Hematokrit dapat diatur
c. Mengurangi penularan penyakit ,seperti hepatitis.
d. Bermanfaat pada penderita gangguan ginjal dimana diperlukan
pembatasan protein.
e. Mengurangi reaksi alergi terhadap protein plasma
f. Mengurangi kemungkinan pembekuan badan-badan penangkis ( anti
leukosit,anti trombosit)
g. Bebas dari zat anti pembekuan.
Kerugian :
a. Bahaya infeksi sekunder dapat terjadi saat pembuatan
b. Masa simpan pendek, 4 6 jam untuk Washed red cells dan 12 jam untuk
Packed red cells pada temperatur 2 6 o C.
Jenis jenisnya :
1) Packed red cells (PRC)
Didapat dari darah lengkap yang diambil/dipisahkan sebagian plasmanya melalui
metoda pemutaran atau sedimentasi/pengendapan. PRC yang dibuat khusus jauh lebih
baik dan relatif tahan lama dalam penyimpanan daripada yang dibuat dengan cara
sedimentasi. 1 Unit PRC berisi 240-340 ml dengan Ht 75-80% dan Hb 24 gr/dl.
Untuk menaikkan Hb 1 gram/dl diperlukan PRC 4 ml/KgBB atau 1 unit dapat
menaikkan kadar Ht 3-5%.
Dengan PRC ini kita mendapatkan :
Hematokrit : 70 80 %
Volume plasma : 15 25 ml
Volune antikoagulan : 10 15 ml

36
Pemberian transfusi dengan PRC bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki
oksigenasi jaringan dan keadaan itu tercapai bila kadar Hb lebih besar 8 gr%,
Keuntungan PRC :
Kemungkinan overload ciculation berkurang.
Reaksi transfusi akibat plasma komponen menjadi minimal
Akibat samping karena volume antikoagulan yang berlebihan
menjadi minimal.
Meningkatkan daya guna dari pemakaina darah karena sisa plasma
dapat dibuat komponen-komponen yang lain.
2) Washed Red Cells
Komponen ini didapat dengan mencuci PRC sebanyak 3 kali dengan
larutan garam fisiologis sama banyak. Sehingga akhirya didapat PRC yang bersih
dari plasma, tetapi masih mengandung sedikit lekosit dan trombosit. Karna
komponen ini tidak mengandung plasma maka komponen ini harus segera
ditransfusikan selambat-lambatnya tidak lebih dari 6 jam setelah pembuatan.
Keuntungan:
Pembentukan antibodi terhadap lekosit maupun trombosit dapat dicegah.
Reaksi Ig A dari plasma donor terhadap anti IgA dari plasmapenderita
tidak terjadi.
Semua allo amntibodi anti A, anti B dan komplement titdak ada.
Kemungkinan penularan hepatitis pasca transfusi minimal.
Hasilnya cukup baik untuk penderita yang sebelumnya ada reaksi
transfusi non hemolitik atau penderita yang membutuhkan transfusi
berulang-ulang.
Kerugian : Karena pembuatan komponen ini memakai proses terbuka maka
kemungkinan kontaminasi bakteri cukup besar.
3) Red Cell Suspension
Plasma
Komponen ini didapat dari pemisahan PRC dari darah lengkap
memalalui metode pemutaran atau sedimentasi. 1 unit plasma berisi 200 ml
diperoleh dari mengendapkan darah lengkap selama 72 jam. Semua faktor
pembekuan ada kecuali faktor V dan VIII. Pada plasma segar beku, faktor V dan
VIII tetap aktif.
Indikasi: - Untuk mengatsi keadaan syok ( sebelum darah datang )
- Memperbaiki volume intravaskuler
- Memperbaiki volume intravaskuler

37
- Menganti protein plasma yang hilang
- Menganti dan menambah jumlah faktor-faktor tertentu yang
hilang,misalnya fibrinogen atau albumin.
Dosis pemberian tergantung keadaan klinis, umumnya 10 15
ml/kg/hari. Hati-hati pada orang tua karena kemungkinan terjadinya payah
jantung atau kelebiahan volume.
Kerugian: -Resiko hepatitis pasca transfusi besar.
-Reaksi transfusi
Keuntungan: Tersedia dengan cepat
Fresh Frozen Plasma
Didapat dari pemisahan darah segar (darah donor kurang dari 6 jam )
o
dengan pemutaran, kemungkinan dibekukan dan disimpan pada tempratur -30
C.
Indikasi : - Penderita yang mengalami perdarahan dengan defisiensi faktor
pembekuan misal penyakit hati dengan hematemesis melena.
- Haemophilia.
- Defisisensi protrombin komplex
- Defisiensi faktor V
Efek samping : - Reaksi allergi
- Menggigil dan demam.
- Resiko Penularan hepatitis.
Cryorecipitate = AHF Concentrate.
Komponen ini didapat dengan cara pemisahan plasma segar atau fresh
frozen plasma yang dicairkan pada temperatur 4C melalui metoda pemutaran
dengan waktu dan kecepatan pemutaran tertentu.
Indikasi:- Haemophilia A
- von Willebrands disease
- Hipofibrinogenemia
- Defisiensi faktor XIII.
Trombosit
Transfusi Trombosit diberikan pada penderita dengan kekurangan
trombosit baik karena primer ataupun sekunder akibat perdarahan. Pemberian
trombosit yang berulang-ulang dapat menyebabkan terbentuknya antibodi
trombosit pada penderita. Jenis-jenisnya :
a. Platelet Rich Plasma
b. Platelet Concentrate

38
Leukosit Concentrate
Komponen ini dibuat dari seorang donor dengan metoda pemutaran
melalui hemonetic -30.
Indikasi:
- Penderita neutropenia dengan febris tinggi yang gagal dengan antibiotika
adekuat.
- Aplastik anemia dengan lekosit kurang dari 2000/ml

X. KESIMPULAN
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu interior dalam
batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander)
secara intervena. Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan dibutuhkan, kalau
tubuh tidak dapat memasukkan air, elektrolit dan zat-zat makanan secara oral misalnya
pada keadaan pasien harus puasa lama, karena pembedahan saluran cerna, pendarahan
banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah tak berkesudahan dan lain-
lainnya. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit dapat dipenuhi. Selain itu
dalam keadaan tertentu adanya terapi cairan dapat digunakan sebagai tambahan untuk
memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau dapat juga digunakan untuk menjaga
keseimbangan asam-basa.

DAFTAR PUSTAKA

1 Price Silvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit,


Edisi 4. EGC,1994: 283-295
2. Noer HMS, Waspadi, Rachman AM, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I.
Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1996.
3. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeons
Committee On Trauma. First Impression, 1998
4. Maier, Ronald V. 2001. Shock. Dalam: Harrisons Principles of Internal Medicine
Volume I: 222-227. New York. Mc Graw Hill.
5. Muhiman, Muhardi dr.,dkk. Editor. Anestesiologi. 1989. Jakarta:CV Infomedika
1. Pt Otsuka Indonesia. Pedoman Cairan Infus. Edisi Revisi VII. 2003
2. Sunatrio, S., dr., SpAn.KIC, Resusitasi Cairan. 2000. Jakarta:Media Aesculapius

39
3. Wayne E. Wingfield, MS, DVM. Fluid and Electrolyte Therapy. 1998.
http://www.cvmbs.colostate.edu/clinsci/wing/fluids/fluids.htm
4. Kolecki, Paul.MD. Shock Hypovolemic. 2005. www.emedicine.com
en.erg/topic532.htm
5. Noer HMS, Waspadi, Rachman AM. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi
ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeons
Committee On Trauma. First Impression. 1998.
7. Michael B. Dobson, alih bahasa Adji Dharma. Penuntun Praktis Anestesi. EGC.
Penerbit Buku Kedokteran

40

Anda mungkin juga menyukai