Anda di halaman 1dari 4

PARA BATALION AL-MANSHUROH

Tenggara Monumen Nasional, awal Desember. Langit terbebani


kelabu di atas jalanan putih, serupa diselimuti salju, tetapi di Jakarta tidak
pernah turun salju. Ini hal lain, gerimis, seruan para ulama, nadi bangsa
yang dipersatukan, jiwa yang dipertemukan, semangat yang berkobar,
juga kekecewaan, semua begitu putih dan mengharukan. Hari ini
seharusnya semuanya putih, namun sejarah mencatat hitam, dikata
pemberontakan! padahal hanya memperlihatkan para hati yang tulus
mencintai negaranya. Batalion Al-Manshuroh, sebab sebelum dapat
dikatakan berperang pun, mereka sudah memenangkan hati bangsa ini.
Batalion ini menuangkan tinta putih di atas kertas sejarah, sehingga
tampaklah tokoh-tokoh hitam, sehingga tampaklah apa dan siapa yang
mengotori lembaran bangsa ini.
Hari ini bulan Desember 2016, sejarah seharusnya mencatat
kejadian ini sebagai aksi nyata kecintaan rakyat kepada negaranya,
sebagaimana aku mencatatnya di dalam buku diaryku, ini kesimpulan
setelah mengikuti kajian shubuh tadi. Namaku Khodijah, seorang anak
perempuan yang bangga menjadi bagian dari batalion ini! Namun aku
tidak sedang berdiri di tenggara monas (monumen nasional) seperti yang
aku inginkan. Aku sedang berdiri di pawestren 1 masjid Lawengan, desa
Panjang, kota Solo, sambil membawa sapu dan mengingat-ingat ceramah
kyai Samian saat gerakan sholat subuh berjamaah tadi. Aku duduk setelah
menyelesaikan tugas menyapuku di masjid Laweyan, hening, padahal
kajian ustadz Samian baru berakhir 1 jam lalu. Namun, suasana berbeda
di jalanan desa, ramai, ini waktunya berangkat sekolah. Seandainya aku
mampu turut mengenakan seragam dan berlari kecil di jalanan desa,
sayangnya aku tidak bisa.
Aku memandang sapuku dan tersenyum sendiri, sebuah ide muncul,
ini lebih baik dari pada bersedih hati. Lalu dengan iseng kudendangkan
mars aksi bela islam yang kudengar di radio semalam.
Al-Quran imam kami..
1 Serambi kanan
Al-Quran pedoman kami.

Al-Quran petunjuk kami..

Al-Quran satukan kami..

Aksi bela Islam..aksi bela Islam..

Aksi bela Islam..Allah Allahu Akbar..

Aksi bela Islam..aksi bela Islam..

Aksi bela Islam..Allah Allahu Akbar..

Sedang apa, Khodijah?

Aku tersikap, segara bangkit dan membenahkan sapu yang


kubuat seolah menyerupai bendera merah putih yang digenggam erat
peserta aksi bela Islam di televisi pos kamling. Aku dapati pak Damar
menahan tawa, aku hanya balas menyengir kuda, malu juga ketahuan
seperti ini.

Pingin ke Jakarta pak, ikutan aksi bela Islam sahutku kepada


salah satu pengurus masjid Lawengan ini. Aku suka saat namaku di
panggil lengkap. Bangga sekali rasanya!

kan Ustadz Samian bilang, kalau kita tidak sanggup ke Jakarta,


masih banyak jalan lain, berdoa untuk yang disana, menyebarkan
kebaikan, termasuk menyapu masjid dengan benar, lagian kamu ini masih
kecil, Ja. Baru 10 tahun bukan? aku tersenyum lagi mengiyakan. Tadi
subuh Ustadz Samian berceramah hingga pagi menjelang, judulnya aksi
212 bikin malu, pertamakali mendengarnya aku kaget bukan main,
hampir terjerumus su,udzon pada Ustadz Samian, ternyata bukan begitu
maksudnya, kurang lebih begini bunyi ceramahnya :

...Aksi 212 itu bikin malu orang yang bilang jumlah jamaah hanya
200.000 atau 50.000. Apalagi yang bilang Cuma 1000 makin malu, karena
yang bilang seribu itu harus tahan nelen ludah sendiri karena dikejutkan
kurang-lebih 7 juta peserta jamaah aksi 212.

Aksi 212 itu bikin malu orang-orang yang nyumpahi supaya Aksi 212
diguyur hujan, para jamaah malah bersyukur mendapat berkah berlipat,
yakin doa lebih mustajab di hari jumat plus mustajab di waktu hujan,
malah hujan jadi sarana wudhu' praktis, Kebayangkan 7 juta orang antri
untuk wudhu'. Hujan memang berkah Allah.
Aksi 212 itu bikin malu yang bilang Aksi 212 bermuatan politik, karena
Aksi 212 diikuti oleh semua orang dari seluruh Indonesia, si penista
agama itu kan ikut pilkada DKI, ngapain juga orang dari seluruh pelosok
nusantara dan lain-lain ikut-ikutan, itu karena mereka 1 agama, 1 iman.

Aksi 212 itu bikin malu para pengamat, karena terlalu banyak
membalikkan logika, prediksi, teori, agitasi, provokasi, dan apalah
namanya. Karena Allah meridhoi, Rasulullah bersabda la tajtami ummati
ala al dhalalah. Yadullah fauq al jamah

Bisa dibilang, peserta aksi bela islam baik 212 atau 412 itu sudah
menang, memangkan hati rakyat, mereka itu Thoifah al-Manshuroh...

Aku terdiam, lalu menatap pak Damar yang sudah berlalu


mengecek ini itu di dalam masjid. Pak Damar ini salah satu orang
kepercayaan Ustadz Samian, satahuku Ustadz Samian ini masih sedarah
sama Kasunan Surakarta Hadiningrat yang terkenal pengaruh dakwahnya
itu. Kemudian, kulihat pak Damar keluar melalui pintu masjid yang paling
kecil. Masjid Lawengan ini unik, pintunya ada 5 dan ke-limanya berbeda
ukurannya.

Aku kembali terdiam, memilih untuk menatap masjid Lawengan


yang hijau dan hening saja ketimbang ketahuan melakukan hal aneh-aneh
sama pengurus masjid. Jangan-jangan nanti aku tidak diberi upah
menyapu masjid, tapi kukesampingkan pikiran kotorku, semua pengurus
masjid berperilaku baik.

Aku beranjak segera meletakan sapu di gudang penyimpanan


masjid, lalu kulihat beberapa foto, pertama Ki Ajeng Beluk, kedua Ki Ajeng
Henis, lalu Susuhunan Paku Buwono II serta beberapa tokoh yang
berperan penting dalam penyebaran Islam masa Keresidenan Surakarta
dulu, aku kenal dia dari cerita-cerita almarhumah mbah uti. Mereka pasti
sedih sekarang, pikirku. Dulu merekalah yang memperjuangkan Islam di
tanah Surakarta, bahkan merekalah yang membuat Pura ini di takhlukan
dan menjadi masjid Lawengan hingga saat ini. Dahulu, hampir semua
pemimpin beragama Islam, keseluruhan anggota PETA 2 merupakan ulama
beserta santrinya, bahkan bung Karno saja presiden pertama yang
mengenangkan peci di Asia Tenggara, saat itu Kemerdekan berhasil
direbut. Masyarakat merdeka jiwa dan raganya. Aku, bahkan saat ini
merasa belum merdeka. Toh, sekolah saja tidak mampu.

Namaku Khodijah, tetapi Ibuk dan Bapak memanggilku Oja, mungkin


masih sulit menyebut namaku seperti pengurus masjid atau Ustadz

2 Pembela Tanah air


Samian melakukannya, fasih sekali, aku jadi merasa seperti orang arab
saja saat dipanggil oleh mereka. Kata mereka berdua yang memberiku
nama adalah Nyai Ageng Pati yang baik hati. Aku ingin sekali tubuh
seperti seorang Khodijah yang dapat membela Rasul dan Agamanya
tanpa keluh kesah, mengantarkan makanan setiap hari dengan jarak
begitu jauhnya. Lalu aku bergumam, tetapi keadaan Oja tidak sama,
Nyai Batinku. Semoga Almarhumah Nyai Ageng Pati mengerti bahwa aku
belum bisa tumbuh hebat seperti Khadijah binti Khuwailid yang luar biasa
itu. Aku bukan saudagar kaya, aku tidak cantik ataupun pintar bahkan
sekolah saja tidak mampu, untuk makan saja sulit sekali. Untung saja,
pihak pengurus masjid memberiku upah setiap minggu dengan menyapu
masjid. Upahnya bahkan bisa membantu ibuk yang hanya seorang
pembatik penggilan, apalagi bapak yang hanya seorang nelayan berkapal
kecil. Kata Bapak, ikan tilapia sama bawal putih yang jadi primadona di
Singapura semakin sedikit, cuma ada di tengah lautan, maka dari itu
bapak cuma menangkap ikan pinggiran yang harganya cuma bisa beli
sebungkus rokok saja.

Aku, walaupun miskin dan tidak tahu apa-apa. Tapi aku yakin Allah
sayang, sesuai kata Ibuk, walau tidak sekolah aku tetap bahagia toh
banyak orang diluar sana punya uang berlimpah tapi tidak bahagia,
tertutup hatinya. Kata Ibuk, walau bagaimanapun ditindas, Allah Taala
akan membela agamanya, tidak perlu risau. Aku bangga sendiri dengan
pemikiran cerdasku. Kalau saja aku sekolah, pastinya aku juara kelas!

Oja!!! Ngapain senyam senyum di masjid? Cepat pulang bantu


Ibuk! aku tersikap dengan teguran itu. ngeh Bu teriakku sambil berlari
dan tertawa senang.

Anda mungkin juga menyukai