Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pria pada dasarnya memiliki struktur anatomi dan fisiologi yang berbeda
dengan wanita. Tuck, dkk (2005) menyebutkan bahwa pria rata-rata memiliki
tingkat kepadatan tulang yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Ditinjau dari
aspek komposisi tubuhnya, Abe, dkk (2002) menyebutkan bahwa pria memiliki
massa otot lebih tinggi dibandingkan wanita, tetapi presentase lemak tubuh pria
lebih rendah daripada wanita. Fungsi otot pria juga berbeda dengan fungsi otot
wanita (Glenmark, dkk: 2004). Pria memiliki kontraktilitas intramuscular lebih
tinggi dibandingkan wanita, sehingga pria cenderung memiliki kecepatan dan
kekutan otot yang lebih baik daripada wanita (Glenmark, dkk: 2004).
Perbedaan struktur anatomi dan fisiologi pada pria dan wanita
menyebabkan perbedaan risiko cedera pada pria maupun wanita tersebut. Burgers,
dkk (2010) menyebutkan bahwa pemberian latihan kekuatan pada wanita yang
sedang mengalami siklus menstruasi akan menyebabkan peningkatan risiko
cedera pada patellar tendon wanita tersebut dibandingkan pria maupun wanita
yang tidak menstruasi. Ristolainen, dkk (2009) menyebutkan bahwa wanita
memiliki risiko cedera otot dan tendon lebih tinggi dibandingkan pria saat
melakukan latihan olahraga, sehingga pemberian dosis latihan pada pria dan
wanita harus memperhatikan perbedaan anatomi dan fisiologi pada pria dan
wanita tersebut.
Pemberian dosis latihan dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin
dapat memberikan kontribusi positif pada kesehatan pria maupun wanita (Boone,
2005). Boone (2005) juga menjelaskan bahwa latihan isometrik berupa seated and
supine positions dapat merangsang respon fisiologis berupa peningkatan tekanan
arterial dan tekanan diastolik, baik pada pria maupun wanita. Ehrnborg, dkk
(2003) menyebutkan bahwa latihan dengan intensitas maksimal akan dapat
meningkatkan serum growth hormone pada pria maupun wanita, sedangkan
latihan fisik intensif pada senam artistik terbukti dapat menunda puncak

1
kematangan usia kronologis tulang, baik pada pria maupun wanita (Markou, dkk:
2004).
Hal yang dapat dilakukan dalam pemberian program latihan olahraga
dengan mempertimbangkan jenis kelamin salah satunya yaitu dengan membuat
program latihan olahraga secara spesifik dan memperhatikan efek dari latihan
tersebut. Misalnya pemberian latihan olahraga aerobik pada wanita yang sedang
mengalami siklus menstruasi. Abbaspour, dkk (2006) menjelaskan bahwa
pemberian latihan olahraga aerobik pada wanita yang sedang mengalami siklus
menstruasi dapat memberikan efek berupa penurunan durasi gejala premenstruasi.
Ghanbari, dkk (2008) juga menjelaskan bahwa latihan olahraga aerobik dapat
menurunkan gejala sindrom dismerorea primer pada wanita yang sedang
mengalami menstruasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini terangkum sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah perbedaan anatomi dan fisiologi pada pria dan wanita?
2. Bagaimanakah perbedaan respon fisiologis pria dan wanita terhadap
latihan olahraga?
3. Bagaimana respon dosis latihan olahraga pada wanita?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai pada pembahasan makalah ini sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui perbedaan anatomi dan fisiologi pada pria dan wanita.
2. Untuk mengetahui perbedaan respon fisiologis pria dan wanita terhadap
latihan olahraga.
3. Untuk mengetahui respon dosis latihan olahraga pada wanita.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perbedaan Anatomi dan Fisiologi pada Pria dan Wanita


Struktur anatomi pria berbeda dengan struktur anatomi wanita. Ditinjau
dari aspek antropometrik dan tingkat kepadatan tulangnya, perbedaan struktur
anatomi pria dengan wanita dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan Antropometrik dan Kepadatan Tulang pada Pria dan Wanita
(Tuck, dkk: 2005)

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa pria memiliki nilai


rata-rata tinggi badan yang lebih besar dibandingkan wanita. Nilai rata-rata tinggi
badan pria yaitu 1,73 meter, sedangkan nilai rata-rata tinggi badan wanita yaitu
1,61 meter. Perbedaan tinggi badan pada pria dan wanita tersebut juga
berpengaruh pada perbedaan tingkat kepadatan tulangnya. Tingkat kepadatan
tulang atau Bone Mineral Density (BMD) pada regio hip, femoral neck,
trochanteric, dan intertrochanteric pria lebih tinggi dibandingkan wanita, tetapi
pada regio lumbar spine, tingkat kepadatan tulang pria lebih kecil dibandingkan
wanita. Perbedaan anatomi pria dan wanita tidak hanya terletak pada ukuran dan
struktur tulangnya. Perbedaan anatomi tersebut juga terletak pada perbedaan rata-
rata berat badan pria dan wanita yang berkaitan dengan komposisi tubuhnya.
Perbedaan komposisi tubuh pria dan wanita dapat menggunakan
prosentase massa otot dan massa lemak sebagai parameter atau indikator
perbedaan tersebut. Berikut di bawah ini data tentang perbedaan komposisi tubuh
pria dan wanita dengan menggunakan prosentase massa otot dan massa lemak
sebagai indikatornya.
Tabel 2. Perbedaan Komposisi Tubuh Pria dan Wanita (Abe, dkk: 2003)

3
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa pria rata-rata memiliki
Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih kecil dibandingkan wanita. Massa lemak pria
juga lebih rendah dibandingkan wanita, tetapi massa otot pria lebih tinggi
daripada wanita. Nilai IMT pria rata-rata sebesar 21,5 kg/m 2, sedangkan nilai IMT
wanita rata-rata sebesar 21,7 kg/m2. Massa otot pria rata-rata sebesar 63,5 kg,
sedangkan pada wanita sebesar 55,6 kg. Prosentase lemak tubuh wanita rata-rata
sebesar 26,2%, lebih besar daripada pria dengan prosentase 11,5%. Perbedaan
komposisi tubuh pada pria dan wanita tersebut juga berkaitan dengan perbedaan
risiko cedera pada bagian tubuh pria maupun wanita. Perbedaan risiko cedera
pada pria dan wanita ditinjau dari perbedaan struktur anatominya dapat dilihat
pada gambar berikut.

Gambar 1. Diagram Perbedaan Risiko Cedera pada Pria dan Wanita (Ristolainen,
dkk: 2009)
Berdasarkan gambar tersebut, dapat disimpulkan bahwa risiko cedera pada
tendon, otot, dan ligamen wanita lebih tinggi daripada pria, tetapi risiko cedera
pada tulang dan serabut syaraf wanita lebih rendah daripada pria. Tingginya risiko
cedera pada otot dan tendon wanita salah satunya disebabkan oleh lebih
rendahnya massa otot wanita daripada pria. Secara fisiologis, perbedaan massa

4
otot pria dengan massa otot wanita dipengaruhi oleh sistem hormonal dan
kontraktilitas intramuscular. Ditinjau dari segi hormonal, pria memiliki kadar
testosteron dan androgen yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Kedua hormon
tersebut sangat berperan dalam pembentukan massa otot pada pria maupun
wanita. Walaupun wanita memiliki massa otot yang lebih kecil daripada pria, otot
pada wanita ternyata lebih resisten terhadap kelelahan. Selain itu, kecepatan
pemulihan otot pada wanita juga lebih baik daripada pria. Hal tersebut
dipengaruhi oleh perbedaan -reseptor estrogen pada pria maupun wanita.
Kontraktilitas intramuscular pria juga lebih tinggi dibandingkan wanita.
Faktor inilah yang menyebabkan pria cenderung memiliki kecepatan dan kekuatan
yang lebih baik dibandingkan wanita. Akan tetapi, wanita memiliki stuktur otot
yang lebih resinten terhadap kelelahan daripada pria. Berikut tabel dan diagram
tentang perbedaan kontraktilitas intramuscular pada pria dan wanita serta
perbedaan kecepatan pemulihan otot pada pria dan wanita.

Tabel 3. Perbedaan Kontraktilitas Intramuscular pada Pria dan Wanita


(Glenmark, dkk: 2004)

5
Gambar 2. Diagram Perbedaan Kecepatan Pemulihan pada Otot Pria dan Wanita
(Glenmark, dkk: 2004)

6
2.2 Perbedaan Respon Fisiologis Pria dan Wanita Terhadap Latihan
Olahraga
2.2.1 Perbedaan Respon Hormonal Pria dan Wanita Terhadap Latihan Olahraga
Ditinjau dari segi hormonal, latihan olahraga akan merangsang tubuh
untuk memberikan respon hormonal terhadap latihan tersebut. Latihan olahraga
dengan intensitas maksimal akan menyebabkan terjadinya peningkatan
konsentrasi serum growth hormone sampai pada puncak tertentu, kemudian
mengalami penurunan lagi sampai pada keadaan normal. Wanita mempunyai
taraf peningkatan growth hormone yang lebih tinggi dibandingkan pria. Perbedaan
kecepatan dan tingginya peningkatan growth hormone pada pria maupun wanita
dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3. Perbedaan Respon Hormon GH pada Pria dan Wanita (Ehrnborg, dkk:
2003)
2.2.2 Perbedaan Respon Fisiologis Tulang Pria dan Wanita Terhadap Latihan
Olahraga
Latihan fisik dapat memberikan dampak posistif terhadap fungsional
tulang. Salah satu bentuk latihan fisik yang dapat meningkatkan fungsional tulang
yaitu latihan fisik intensif pada atlet senam artistik. Latihan fisik intensif pada
atlet senam artistik pria maupun wanita dapat mempengaruhi usia kronologis
tulang. Pengaruh fisiologis yang ditimbulkan akibat latihan fisik intensif pada
atlet senam artistik yaitu memperpanjang atau menunda puncak kematangan usia
kronologis tulang. Perbedaan respon fisiologis tulang pria dan wanita terhadap
latihan fisik intensif pada atlet senam artistik dapat dilihat pada gambar berikut.

7
Gambar 4. Perbedaan Pengaruh Latihan Fisik Intensif Terhadap Usia Kronologis
Tulang Pria (kanan) maupun Wanita (kiri) (Markou, dkk: 2003)
2.2.3 Perbedaan Respon Neuromuscular Pria dan Wanita Terhadap Latihan
Olahraga
Pemberian bentuk latihan resistensi pada wanita yang sedang mengalami
menstruasi memiliki risiko cedera patellar tendon lebih tinggi dibandingkan
pemberian bentuk latihan resistensi pada pria maupun wanita yang tidak
menstruasi. Hal tersebut disebabkan saat menstruasi, konsentrasi hormon estrogen
dan progesteron pada wanita mengalami peningkatan yang cukup signifikan
sehingga mempengaruhi fungsi jaringan-jaringan tubuh lainnya. Meningkatnya
konsentrasi estrogen dan progesteron pada wanita yang sedang menstruasi
menyebabkan penurunan sintesis serabut kolagen di otot, penurunan protein otot,
penurunan diameter serabut otot, dan penurunan kekuatan kontraksi otot. Salah
satu dampak penurunan kapasitas fungsional otot tersebut yaitu meningkatnya
faktor risiko cedera patellar tendon pada wanita yang sedang mengalami
menstruasi dibandingkan pria maupun wanita yang tidak menstruasi.
2.2.4 Perbedaan Respon Cardivascular pada Pria dan Wanita Terhadap Latihan
Olahraga
Latihan isometrik berupa seated and supine position akan menimbulkan
respon fisiologis pada sistem cardiovascular pria maupun wanita. Perubahan
respon fisiologis pada sistem cardiovascular tersebut dapat menggunakan
parameter tekanan arterial dan tekanan diastolik. Pria mengalami peningkatan
tekanan arteri dan tekanan diastolik lebih tinggi dibandingkan wanita. Salah satu

8
faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut yaitu perbedaan pada komposisi
tubuh pria maupun wanita. Perbedaan perubahan atau respon cardiovascular pada
pria maupun wanita akibat latihan isometrik dengan seated and supine position
dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5. Perbedaan Respon Cardiovascular Pria dan Wanita Terhadap Latihan


Isometrik Seated and Supine Position (Boone, 2005)

9
2.3 Respon Dosis Latihan pada Wanita
Wanita perlu mendapat perhatian khusus dalam penataan dosis latihan
olahraga. Hal tersebut disebabkan wanita memiliki banyak perbedaan anatomi dan
fisiologi dibandingkan pria. Salah satu indikator perbedaan tersebut terdapat pada
peristiwa menstruasi yang hanya dialami oleh wanita. Latihan olahraga yang
dilakukan secara tepat dan teratur dapat memberikan kontribusi yang baik pada
siklus menstruasi wanita. Salah satu bentuk latihan yang dapat memberikan
kontribusi positif pada siklus menstruasi wanita yaitu latihan aerobik.
Latihan olahraga aerobik dengan intensitas 50-60%, durasi latihan selama
1 jam, frekuensi latihan 3x dalam seminggu, dan dilakukan selama 3 bulan,
terbukti dapat menurunkan rasa nyeri pada wanita yang sedang mengalami
sindrom premenstruasi. Mekanisme ini berkaitan dengan pelepasan hormon
endorfin selama melakukan latihan aerobik yang berfungsi dalam menurunkan
tingkat rasa nyeri pada wanita yang sedang mengalami sindrom premenstruasi.
Berikut di bawah ini skema tentang perubahan gejala sindrom premenstruasi
akibat latihan olahraga aerobik.

Gambar 6. Perubahan Gejala Sindrom Premenstruasi Akibat Latihan Olahraga


Aerobik (Ghanbari, dkk: 2008)
Program latihan olahraga aerobik selama 12 minggu ternyata juga terbukti
dapat menurunkan durasi atau lamanya rasa nyeri yang timbul akibat sindrom
dismenorea primer. Sindrom dismenorea primer berhubungan dengan rasa nyeri
yang dirasakan wanita saat mereka sedang mengalami siklus menstruasi.
Mekanisme penurunan gejala nyeri pada sindrom dismenorea primer tersebut juga
berkaitan dengan sintesis hormon endorfin saat melakukan latihan olahraga
aerobik. Berikut di bawah ini diagram tentang pengaruh latihan aerobik selama 12

10
minggu terhadap penurunan durasi rasa nyeri akibat sindrom dismenorea primer.

Gambar 7. Pengaruh Latihan Aerobik 12-minggu Terhadap Gejala Sindrom


Dismenorea Primer (Abbaspour, dkk: 2006)
Berdasarkan gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa durasi nyeri pada
wanita yang melakukan program latihan olahraga aerobik mengalami penurunan
secara signifikan dibandingkan wanita yang tidak melakukan program latihan
olahraga aerobik.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Struktur anatomi dan fisiologi pria pada dasarnya berbeda dengan struktur
anatomi dan fisiologi wanita. Perbedaan struktur anatomi dan fisiologi pada pria
dan wanita tersebut dapat diindikatori melalui perbedaan komposisi tubuhnya,
perbedaan ukuran dan struktur tulangnya, perbedaan massa otot dan massa
lemaknya, dan lain-lain. Perbedaan anatomi dan fisiologi pria dan wanita
memberikan pengaruh pada perbedaan risiko cedera olahraga yang dialami pria
maupun wanita serta perbedaan respon fisiologis pria dan wanita terhadap latihan
olahraga.
Latihan olahraga yang dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan
anatomi dan fisiologi pada pria dan wanita akan memberikan kontribusi yang baik
terhadap kesehatan fisik pada pria dan wanita tersebut. Misalnya saja efek latihan
olahraga aerobik yang dilakukan secara tepat, teratur, dan terukur akan dapat
menurunkan gejala nyeri selama menstruasi maupun saat mengalami sindrom
dismenorea primer pada wanita yang sedang mengalami siklus menstruasi.

3.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan penulis berdasarkan pembahasan dalam
makalah ini yaitu sebaiknya mahasiswa IK Offering B 2009 mampu memahami
dan dapat mengaplikasikan konsep perbedaan respon fisiologis pada pria dan
wanita terhadap latihan olahraga. Hal ini disebabkan mahasiswa IK Offering B
merupakan calon-calon ilmuwan olahraga yang dapat menerapkan konsep tersebut
kepada masyarakat luas maupun dirinya sendiri agar tidak terjadi kekeliruan
dalam membuat program latihan olahraga.

12

Anda mungkin juga menyukai