Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu proses memproduksi sistem nilai dan budaya

ke arah yang lebih baik, antara lain dalam hal pembentukan kepribadian,

keterampilan dan perkembangan intelektual murid. Dalam lembaga formal proses

reproduksi sistem nilai dan budaya ini dilakukan terutama dengan mediasi proses

pembelajaran sejumlah mata pelajaran di kelas salah satu mata pelajaran yang

turut berperan penting dalam pendidikan wawasan, keterampilan dan sikap ilmiah

sejak dini bagi anak adalah mata pelajaran IPA.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah pengetahuan yang rasional dan

objektif tentang alam semesta dan segala isinya. IPA membahas tentang gejala-

gejala alam yang disusun secara sistematis oleh manusia yang didasarkan pada

hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan manusia. Pembelajaran IPA

berupaya membangkitkan minat manusia agar mau dan mampu meningkatkan

kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh rahasia dan tak

ada habisnya. Khusus untuk IPA di SD hendaknya membuka kesempatan bagi

siswa untuk memupuk rasa ingin tahu secara alamiah. Proses pembentukan

pemahaman murid dan pemupukan rasa ingin tahu murid secara alamiah tidak

terlepas dari proses pembelajaran yang diciptakan oleh tenaga pendidik itu sendiri,

namun ironisnya proses pembelajaran yang umum diterapkan di Indonesia masih

berorientasi kepada guru (teacher centered) dan bukan pembelajaran yang

berorientasi pada murid (student centered). Tidak terlepas dari hal di atas lahirlah

sebuah konsep pembelajaran yang membuka peluang kepada siswa untuk

menemukan sendiri jati diri belajarnya, membangun sendiri konsep belajarnya.


Konsep pembelajaran yang demikian lebih dikenal dengan pandangan

konstruktivisme.

Menurut pandangan konstuktivisme keberhasilan belajar bukan hanya

bergantung lingkungan atau kondisi belajar melainkan juga pada pengetahuan

awal siswa. Pengetahuan tersebut tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran

guru ke siswa, namun dibangun sendiri oleh siswa melalui pengalaman nyata, hal

ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Piaget (Dharma, 2008 : 163) yaitu

belajar merupakan proses adaptasi terhadap lingkungan yang mengakibatkan

asimilasi, yaitu proses bergabungnya stimulus ke dalam struktur kognitif. Bila

stimulus baru tersebut masuk ke dalam struktur kognitif diasimilasikan, maka

akan menjadi proses adaptasi yang disebut kesinambungan (continuity) dan

struktur kognitif yang ada menjadi bertambah kompleks membantu anak dalam

proses belajar selanjutnya. Dengan demikian jelas bahwa tahapan berpikir anak

SD harus dikaitkan dengan hal-hal nyata dan pengetahuan awal yang mereka telah

bangun sendiri.
1
Saat pembelajaran IPA di Kelas V SDN Kaccia Makassar berlangsung, guru

di awal pembelajaran tidak melakukan apersepsi, guru langsung menulis materi di

papan tulis, kemudian siswa disuruh mencatat materi tersebut, setelah itu guru

langsung menjelaskan materi. Spontan siswa terlihat jenuh, bosan dan tidak

bersemangat menerima pembelajaran sebab cara yang digunakan membuat siswa

menjadi pasif dan tertekan, dalam proses pembelajaran IPA selanjutnya tetap

menggunakan cara yang sama dan bersifat konvensional.

Subarinah ( Dharma : 2008) juga telah menguatkan hal di atas, menyatakan

bahwa pembelajaran IPA yang bersifat konvensional cenderung menggunakan

pendekatan yang sangat teoritis, memuat konsep-konsep abstrak dan rumus-rumus

yang diperkenalkan tanpa memperhatikan kandungan maknanya, siswa menjadi


belajar hafalan. Kondisi ini, membuat siswa kesulitan untuk mengembangkan

keterampilan intelektual dan motorik secara optimal. Hal ini dapat menurunkan

daya kreatifitasnya terutama saat menghadapi permasalahan yang belum dikenal

sebelumnya.

Sebagai akibat rendahnya prestasi belajar yang dihasilkan dan lebih jauh

lagi rendahya mutu keluaran ( low output quality) hal semacam ini ditemui dalam

lingkungan SDN Kaccia Makassar tepatnya di Kelas V. Nilai ulangan umum Mata

Pelajaran IPA semester ganjil tahun ajaran 2009/2010 mengindikasikan

ketidaktercapaian target pembelajaran, hal ini dikarenakan masih tingginya angka

ketidaktuntasan siswa di kelas tersebut dari 34 siswa yang bergabung dalam

rombongan belajar tersebut, 55,88% dinyatakan tidak lulus atau belum mencapai

nilai 65 sebagai standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Berarti 44,12% saja

yang dinyatakan lulus, data ini terlampir pada lampiran 3.

Rendahnya hasil yang dicapai di atas sebagai akibat dari kekeliruan peletak

kebijakan pendidikan dalam hal ini guru, yang telah memilih strategi

pembelajaran yang tidak tepat, tidak mengacu pada strategi pembelajaran yang

lebih berorientasi keaktifan siswa. Kenyataan di lapangan yang ditemukan peneliti

adalah bahwa dalam pembelajaran khususnya IPA masih menggunakan metode

ceramah yang membuat siswa merasa jenuh dan bosan saat belajar. Sebab siswa

menjadi pasif, padahal hakekat pembelajaran IPA adalah belajar aktif menemukan,

fakta ini menyimpulkan suatu ketimpangan pembelajaran yang mengesampingkan

relevansi epistimologis.

Memang tidak ada strategi maupun metode pembelajaran yang sempurna,

namun kegagalan yang terjadi dalam narasi fakta di atas setidaknya dapat diatasi

dengan menggunakan strategi maupun metode yang didasari atas pendekatan

konstruktivisme. Pendekatan ini oleh para akademisi dan peneliti pendidikan


dipandang memiliki efektifitas yang tinggi dalam membantu keberhasilan

pembelajaran yang diselenggarakan .

Latar belakang di atas mendorong penulis untuk mengambil fokus penelitian

dengan judul Peningkatan Hasil Belajar IPA dengan Menggunakan Model

Pembelajaran Konstruktivisme di kelas V SDN Kaccia Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi

pokok masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah Model Pembelajaran

Konstruktivisme dapat Meningkatkan Hasil Belajar IPA di Kelas V SDN Kaccia

Kota Makassar

C. Tujuan Penelitian

Setelah ditentukan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka penelitian

ini bertujuan : Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar IPA dengan

menggunakan model pembeljaran konstruktivisme di Kelas V SDN Kaccia Kota

Makassar .

D. Pemecahan Masalah

Agar suasana perbaikan dapat dicapai maka dalam penelitian ini, akan

diberikan metode yang berorientasi pada pendekatan pembelajaran

konstruktivisme dalam pembelajaran IPA kelas V di SDN Kaccia Kota Makassar.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Bagi siswa, akan mengetahui arti belajar berdasarkan pembelajaran

konstruktivisme.

b. Bagi guru, akan memahami pentingnya menggunakan model

pembelajaran konstruktivisme dalam materi IPA.

c. Bagi sekolah, akan menambah dan memperkaya literature sekolah

dalam hal karya tulis.

d. Bagi pembaca, akan memberikan gambaran nyata yang lebih detail

mengenai model pembelajaran konstruktivisme.

2. Manfaat praktis

a. Bagi siswa, akan membentuk jiwa kesetiakawanan, percaya diri,

motivasi dan rasa ingin tahu yang tinggi serta senang dalam belajar

IPA.

b. Bagi guru, akan membantu dalam mencapai hasil belajar siswa lebih

baik .

c. Bagi sekolah, akan memperbaiki dan meningkatkan hasil belajar IPA

di sekolah yang menerapkan model pembelajaran konstruktivisme.

d. Bagi pembaca, menambah wawasan.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN RELEVAN, KERANGKA PIKIR,

HIPOTESIS TINDAKAN

A. Kajian Pustaka

1. Pengertian Model Pembelajaran

Menurut Joyce dan Weil (Marini, 2008 : 889), istilah lain yang sama artinya

dengan strategi pembelajaran adalah model pembelajaran. Model pembelajaran

dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang

sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan

belajar tertentu.

Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi perancang

pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas

pembelajaran. Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat

digunakan untuk membentuk kurikulum, merancang bahan-bahan pembelajaran

dan membimbing pelajaran di kelas.

2. Hakekat Model Pembelajaran Konstruktivisme

Model pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang

proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar diawali

dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi

melalui pengetahuan yang akan dibangun sendiri oleh anak melalui

pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya.

Lebih jauh Brien dan Brandt ( Subarinah, 2005:254), mendefinisikan

konstruktivisme sebagai suatu pendekatan pembelajaran berdasarkan penyelidikan

tentang bagaimana manusia belajar, yaitu setiap individu membangun

pengetahuannya dan bukan hanya menerima pengetahuan dari orang lain.


Menurut Pieget, pencetus pembelajaran konstruktivisme ini bahwa

pengetahuan dibangun dalam pikiran seseorang melalui proses asimilasi dan

akomodasi sesuai dengan skema yang dimilikinya (Marini, 2008:892).

Asimilasi dan akomodasi dijelaskan oleh Suparno ( Dharma, 2008:160),

asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi

sebagai proses mental yang meliputi pembentukan skemata baru yang cocok

dengan rangsangan baru atau memodifikasi skemata yang sudah ada sehingga

cocok dengan rangsangan itu. Ketidaksesuaian struktur kognitif yang dimiliki

seseorang dengan informasi baru yang dihadapi menyebabkan ketidakseimbangan

(disequilibrium) dalam struktur kognitifnya.

Dalam kondisi ketidakseimbangan tersebut orang menyadari bahwa cara

berpikirnya bertentangan dengan kejadian yang ada disekitarnya, ia akan berusaha

untuk mereorganisasi sturuktur kognitifnya agar sesuai dengan informasi baru

yang dihadapinya.

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir bahwa pengetahuan

dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui

konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep,

atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusialah dalam hal ini siswa

yang harus mengkonstruksinya dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Dalam pembelajaran yang diselenggarakan, siswa sebaiknya dibiasakan

untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan

bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan

kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi sendiri pengetahuan di benak mereka.

Esensi dan teori konstruktivisme adalah ide, bahwa siswa harus menemukan

sendiri dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain dan

apabila dikehendaki, informasi tersebut menjadi milik mereka sendiri. Dengan


dasar inilah pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan

menerima atau transmisi pengetahuan.

Hal senada juga diperkuat oleh Subarinah (2005:151) yang menyebutkan

bahwa :
Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
belajar mengajar, peranan guru dalam pembelajaran merupakan
faktor penting untuk dapat memobilisasi segala faktor lain,
sehingga terjadi proses pembelajaran intensif, dinamis, dan
optimal, bukan hanya sebagai penyaji pengetahuan jadi dan
direct instruction.

Penerapan model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran dapat

memberikan keleluasaan siswa dalam mengembangkan konsep yang

dipelajarinya dan hasilnya bisa lebih efisien atau mungkin bisa lebih sulit, namun

siswa dapat mengemukakan ide dan pendapatnya. Siswa mendapatkan

keuntungan dalam proses pembelajaran tersebut, yaitu mereka lebih senang, lebih

berpikir, lebih paham, lebih ingat, lebih yakin dan lebih kooperatif.

Lebih jauh Depdiknas (2005:78) tentang konstruktivisme menjelaskan

sebagai berikut:
Pembelajaran berorientasi konstruktivisme, di samping
mengembangkan kompetensi disiplin ilmu ( disciplinebased
competencies) juga mengembangkan kompetensi interpersonal
(interpersonal competence) dan kompetensi intrapersonal
(intrapersonal competencies) di dalam diri siswa.

Kompetensi disiplin ilmu berkaitan dengan pemahaman konsep, prinsip,

teori dan hukum dalam disiplin ilmu masing-masing. Kompetensi interpersonal

mencakup kamampuan berkomunikasi, berkolaborsi, berperilaku sopan dan baik,

menangani konflik, bekerja sama, membantu orang lain dan menjalin hubungan

dengan orang lain dan masyarakat, kompetensi intrapersonal mencakup aspirasi

terhadap keanekaragaman, melakukan refleksi diri, disiplin, beretos kerja tinggi,


membiasakan diri hidup sehat, mengendalikan emosi, tekun, mandiri dan

mempunyai motivasi intrinsik.

3. Prinsip-prinsip Model Pembelajaran Konstruktivisme

Seperti halnya dengan model pembelajaran yang lain, konstruktivisme juga

memiliki prinsip-prinsip penggunaannya dalam proses pembelajaran yang

diselenggarakan di kelas.

Prinsip-prinsip pembelajaran yang dimaksud secara rinci dijelaskan oleh

Suparno (Dharma, 2008: 164-165), yaitu:

(1) Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif, (2) Proses


pembelajaran terfokus kepada siswa, (3) Mengajar adalah
membantu siswa belajar, (4) Tekanan dalam pembelajaran lebih
kepada proses belajar tanpa mengabaikan hasil belajar, (5)
Kurikulum menekankan kepada partisipasi siswa, (6) Guru
adalah fasilitator.
Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1) Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.

Hal ini dapat diamati dari proses pembelajaran yang memberikan kepada

siswa kesempatan dalam mengeksplorasi pengetahuannya secara aktif

berdasarkan pengalaman nyata anak untuk membangun konsep belajarnya.

2) Proses pembelajaran terfokus kepada siswa.

Maksudnya aktifitas siswa lebih dominan di dalam kelas, namun bukan

berarti mengurangi ataupun mengesampingkan tugas guru dalam

pembelajaran, hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran modern yaitu

children centered .

3) Mengajar adalah membantu siswa belajar.

Sering kita mendengar dan melihat ada guru yang saat mengajar, siswanya

diperlakukan kasar, dimarahi, ditekan kebebasannya mengeluarkan ide dan


pendapat bahkan mengancam dan menghilangkan kesenangan anak. Cara

seperti ini dilakukan guru untuk membuat anak-anaknya mengerti

pelajaran, itu adalah anggapan sebagian besar guru namun jika kondisi

demikian terus berlanjut akan mengakibatkan kreativitas anak terganggu

dan akhirnya mati, sehingga anak dalam benaknya tersimpan konsep

bahwa mengajar itu adalah yang seperti itu padahal tidaklah demikian,

melainkan mengajar adalah membantu siswa dalam belajar.

4) Tekanan dalam pembelajaran lebih kepada proses belajar tanpa

mengabaikan hasil belajar.

Kesalahan sistem pendidikan di negara ini, salah satunya menyangkut

muatan kurikulum yang masih menganut sistem penilaian yang cenderung

kepada hasil akhir suatu pembelajaran tanpa sedikit pun menyentuh

penilaian proses pembelajaran. Padahal hasil pembelajaran yang bagus

tidak terlepas dari proses yang ada. Namun hal seperti ini memang

seringkali diabaikan oleh pihak yang betul-betul berinteraksi langsung

dengan siswa yaitu guru. Tak dapat dipungkiri, penilaian terhadap aspek

proses pembelajaran memang lebih rumit dan memakan waktu yang

banyak dibandingkan penilaian terhadap aspek hasil. Sehingga kesadaran

gurulah yang perlu ditanamkan dalam hal ini.

5) Kurikulum Menekankan Kepada Partisipasi Siswa

Lahirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi atau yang lebih popular dikenal

dengan istilah KBK di awal tahun 2000 dan mulai diperkenalkan tahun

2004 merupakan sebuah terobosan yang dianggap lebih mutakhir sebab

muatan isinya menempatkan proporsi yang hampir seimbang antara

penilaian hasil dengan penilaian proses belajar siswa. Seiring dengan itu

KTSP pun lahir sebagai lanjutan KBK di tahun 2006 dan diberlakukan
secara nasional, muatan kurikulum tersebut sudah sangat bagus, namun

kembali lagi kepada pihak guru, sampai sejauh mana membuat perangkat

dan menciptakan kondisi belajar yang memberi ruang untuk siswa

berpartisipasi lebih dalam kelas.

6) Guru Adalah Fasilitator

Prinsip yang terakhir ini terkadang memang sangat sulit untuk dicapai dan

diterapkan, mengingat banyak di kalangan pendidik belum menfasilitasi

peserta didik secara penuh. Guru dalam hal ini termasuk pendidik

sebaiknya berusaha untuk memenuhi kebutuhan belajar anak baik dari segi

material (tempat belajar dan alat-alat peraga) maupun yang sifatnya

immaterial (suasana belajar yang kondusif dan motivasi serta kepercayaan

diri).

Dengan memahami penjelasan prinsip-prinsip model pembelajaran

konstruktivisme di atas maka guru akan lebih mudah memahami makna

konstruktivisme dan diharapkan dapat menerapkannya dalam proses

pembelajaran di kelas.

4. Karakteristik Model Pembelajaran Konstruktivisme

Adapun karakteristik model pembelajaran konstruktivisme menurut PPK

Malaysia (Subarinah, 2005) yaitu :


(1)Pembelajaran sebagai suatu proses yang sama pentingnya
dengan hasil pembelajaran, (2) Pembelajaran dirancang
berdasarkan pengetahuan. Pengetahuan yang telah dimiliki oleh
siswa sebelumnya, (3) Pembelajaran menggalakkan proses
penemuan terbimbing melalui penyelidikan ilmiah dan
eksperimen, (4) Pembelajaran mengakomodasikan berbagai
jawaban siswa sehingga siswa mempunyai sikap dan kepercayaan
terhadap hasil yang didapatkan, (5) Pembelajaran mengarahkan
siswa untuk bertanya dan berdiskusi dengan siswa lain dan guru
sehingga tumbuh sikap kooperatif, (6) Pembelajaran memberi
peluang kepada siswa untuk membangun pengetahuan baru
dengan memahaminya melalui keterlibatannya dengan dunia
nyata.
Adapun penjelasan singkat dari karakteristik di atas adalah:

1. Pembelajaran sebagai suatu proses yang sama pentingnya dengan hasil

pembelajaran, maksudnya bahwa konstruktivisme memandang proses dan

hasil pembelajaran adalah bagian dari sebuah pembelajaran yang tidak

terpisahkan satu sama lain dan memiliki kedudukan yang sama penting.

2. Pembelajaran dirancang berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh

siswa sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa pembelajaran dimulai dari

proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan yang dimiliki oleh siswa.

3. Pembelajaran menggalakkan proses penemuan terbimbing melalui

penyelidikan ilmiah dan eksperimen. Dalam pembelajaran ini siswa

distimulus baik secara pribadi maupun kelompok dalam usaha membangun

pengetahuannya, sebab pembelajarannya dikemas lebih aktif melalui

bereksperimen.

4. Pembelajaran mengakomodasikan berbagai jawaban siswa sehingga siswa

mempunyai sikap dan kepercayaan terhadap hasil yang didapatkan. Hal ini

tercermin dari proses pembelajaran yang terjadi dari awal pembelajaran. Di

saat prakonsepsi guru memberikan kesempatan yang luas kepada siswa

dalam menyampaikan pendapat dan jawabannya.

5. Pembelajaran mengarahkan siswa untuk bertanya dan berdiskusi dengan

siswa lain dan guru sehingga tumbuh sikap kooperatif. Hal ini merupakan

upaya dalam pembentukan sikap yang lebih positif dan lebih bermakna

serta menciptakan ketidakseganan dalam pembelajaran dan sampai

akhirnya belajar akan lebih nyaman.

6. Pembelajaran memberikan peluang kepada siswa untuk membangun

pengetahuan baru dengan memahaminya melalui keterlibatannya dengan

dunia nyata. Hal ini dikarenakan pembelajaran dengan model


konstruktivisme memandang suatu pembelajaran tidak hanya dari kelas

formal namun menyangkut aktifitas individu di luar kelas sehubungan

dengan lingkungannya di dunia nyata.

5. Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Konstruktivisme

a. Keunggulan pembelajaran konstruktivisme

Adapun keunggulan model pembelajaran konstruktivisme menurut

Subarina (2005 : 255) adalah :


1. Dapat melatih siswa berpikir kreatif dalam menyikapi
masalah,
2. Dapat meningkatkan pemahaman belajar siswa.
3. Dapat membuat anak/siswa senang dalam belajar sebab
prinsip pembelajarannya menyenangkan.
4. Dapat menumbuhkan sikap aktif dan partisipatif pada diri
anak.
5. Dapat menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik.
6. Dapat menumbuhkan sikap kerja sama dan meningkatkan
jiwa kompetitif anak.

b. Kelemahan pembelajaran konstruktivisme

Adapun kelemahan model pembelajaran konstruktivisme menurut

Dharma (2008 : 159 ) adalah :

1. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun

pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang

lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.

2. Situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama, karena tidak semua

sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan

dan kreativitas siswa.

3. Penilaiannya tidak hanya meliputi hasil belajar namun juga proses

belajar, sehingga guru membutuhkan waktu yang lama dalam

proses tersebut.

6. Langkah-langkah Model Pembelajaran Konstruktivisme


Tidak terlepas dengan hal di atas, Depdiknas (Dharma, 2008:163)

mengemukakan tiga tahap pembelajaran dengan menggunakan strategi maupun

model pembelajaran konstruktivisme, yaitu:

1) Orientasi dan penggalian ide

2) Rekonstruksi ide

3) Aplikasi ide

4) Review perubahan ide

Untuk lebih jelasnya keempat hal di atas dapat diuraikan lebih jelas sebagai

berikut :

1) Orientasi dan penggalian ide

Dalam tahap ini murid di arahkan untuk memasuki kesiapan belajar sebagai

bentuk prakonsepsi dengan menekankan miskonsepsi. Guru dalam tahap ini

memberikan sebuah pertanyaan maupun pernyataan tentang hal yang berkaitan

dengan materi tanpa melihat sisi kebenaran jawaban maupun penjelasan siswa.

2) Rekonstruksi ide

Dalam tahap ini mengandung makna membangun kembali ide-ide yang ada
dan bertujuan untuk perbaikan konsep yang diakhiri dengan menilai apakah

ide-ide itu sudah mendekati konsep ilmiah yang sesungguhnya atau belum.

3) Aplikasi ide

Dalam tahap ini murid diarahkan untuk mencoba mengaplikasikan idea atau

menerapkan ide yang ada untuk memecahkan masalah, sehingga dengan cara

ini maka konsep atau ide yang dibangun oleh murid dapat lebih mantap dan

dipahaminya.

4) Review perubahan ide

Tahap ini berarti konsep awal yang dibangun dan dimiliki oleh murid akan

dibandingkan dengan konsep yang tercipta diakhir pembelajaran dengan


menekankan kepada kemampuan guru dalam memperjelas pemahaman siswa

akan pandangan yang telah dimilikinya agar tidak terjadi kesalahpahaman

dalam menafsirkan suatu konsep dalam pembelajaran.

7. Kendala Pembentukan Pengetahuan

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa konstruktivisme adalah pembelajaran

di mana anak mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya melalui asimilasi dan

akomodasi. Namun pembentukan itu sendiri dapat dihambat oleh faktor dari si

anak maupun dari pihak guru atau pendidik. Agar pembentukan pengetahuan

dapat berjalan dengan baik, maka seorang pendidik dalam hal ini guru senantiasa

memperhatikan faktor yang menjadi kendala, sehingga dapat terlebih dahulu

diantisipasi dan dicarikan jalan keluar. Berikut merupakan ulasan mengenai

kendala pembentukan pengetahuan.:

a. Kendala pembentukan pengetahuan dari sisi peserta didik

Menurut Lukas dkk (2005 : 66) bahwa :


Faktor dari dalam peserta didik yang paling dominan adalah
tingkat intelegensia di samping beberapa faktor lainnya seperti
kerajinan dan ketekunan. Faktor tersebut tentunya sulit untuk
ditingkatkan tetapi bukan berarti tidak dapat diperbaiki. Hal
yang mungkin dapat diperbaiki adalah kerajinan dan ketekunan
dengan cara meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

Faktor dari luar peserta didik yang paling dominan adalah lingkungan

(Dharma, 2008 : 160). Sedangkan faktor lainnya yang juga berperan sangat kuat

menurut Lukas dkk (2005 : 66) adalah (a) pengalaman panca indera, (b)

pengalaman bahasa, (c) latar belakang budaya, (d) media massa, dan (e) bacaan

media lain yang menyesatkan. Beberapa faktor mungkin sulit untuk diperbaiki

misalnya pengalaman pancera indra dan latar belakang budaya akan tetapi semua

faktor ini pada dasarnya dapat diatasi dengan metode mengajar yang baik.
Faktor lingkungan merupakan faktor yang berinteraksi secara langsung

atau tidak langsung atas proses pembentukan pengetahuan. Sebagai contoh

dukungan orang tua dan teman pergaulan. Jelas kalau orang tua tidak mendukung

proses pembentukan pengetahuan maka akan mengakibatkan kendala yang besar

sebaliknya, orang tua yang memperhatikan dan mendukung akan memudahkan

proses pembentukan pengetahuan pada peserta didik hal yang sama juga berlaku

untuk teman pergaulan. Apabila teman-teman pergaulan peserta didik adalah

mereka yang senang membangun pengetahuan maka otomatis proses

pembentukan pengetahuan peserta didik tersebut akan baik, dan sebaliknya.

Faktor pengalaman panca indra terjadi karena setiap peserta didik

mempunyai persepsi yang berbeda dengan pengetahuan yang diajarkan. Misalkan

pengalaman panca indra seseorang yang tangannya ke air hangat lalu ke air dingin

berbeda satu dengan lainnya. Pada dasarnya pengalaman panca indra adalah

segala sesuatu yang mengakibatkan perbedaan persepsi terhadap, sesuatu yang

sama.

Faktor pengalaman bahasa adalah suatu ungkapan bahasa yang artinya,

sudah tertanam sebelumnya dengan baik.

Faktor latar belakang budaya adalah faktor lainnya yang juga sangat sulit

untuk diperbaiki karena mencakup banyak aspek kehidupan. Akan tetapi, ini pun

dapat diperbaiki apabila budaya yang sehat dalam proses pembentukan

pengetahuan diciptakan.

Faktor media massa juga berperan penting dalam membentuk

pengetahuan. Banyak berita atau informasi yang disajikan media massa baik cetak

maupun elektronik telah membantu pengetahuan peserta didik. Pembentukan

pengetahuan ini akan sangat baik apabila benar dan akan sangat berdampak buruk

apabila salah.
Faktor bacaan ilmiah yang menyesatkan. Apabila hal ini terjadi dan peserta

didik telah membentuk pengetahuannya, maka itu sangat menyulitkan pengajar

untuk memperbaiki pengetahuan tersebut.

b. Kendala pembentukan pengetahuan dari sisi pendidik.

Banyak peneliti mengatakan bahwa kendala terbesar dalam proses

pembentukan pengetahuan adalah pada pendidik. Hal ini diperkuat oleh pendapat

dari Duit, Treagus dan Mansfield (Samuel Lukas dkk, 2005: 70) yang mengatakan

bahwa banyak kasus kegagalan pembentukan pengetahuan dikarenakan pendidik

dan peserta didik tidak mengerti satu dengan lainnya. Apabila pendidik kurang

menangani kendala ini maka proses pembentukan pengetahuan peserta didik akan

terganggu.

Adapun faktor-faktor yang menjadi kendala pembentukan pengetahuan

dari sisi pendidik menurut Lukas dkk (2005:70) adalah sebagai berikut:
(1)Anggapan pendidik bahwa ia hanyalah seorang penyaji atau
ia adalah pembawa berita tentang pengetahuan, (2)
Menyalahkan murid atau siswa karena ketidakmengertiannya,
(3) Menyalahkan peserta didik apabila mereka tidak belajar (4)
Pengabaian perbedaan proses pembentukan pengetahuan secara
individu, (5) Pendidik tidak mengajarkan bagian-bagian yang
sulit dari materi pengetahuan, (6) Melakukan tes yang tidak
mendeteksi adanya kekurangan pengertian murid, (7) Pendidik
lebih mementingkan target bahan yang diajarkan dari pada
pengertiannya, (8) Ketidakpercayaan pendidik bahwa
pengalaman atas pengetahuan peserta didik akan sangat
membantu untuk mereka mengerti lebih baik

Adapun penjelasan lebih rinci dari faktor-faktor yang menjadi kendala

pembentukan pengetahuan dari sisi pendidik adalah :

1. Dampak dari ini adalah pendidik kurang memperhatikan apakah penerima,

peserta didik sudah menerima pengetahuan yang disajikan dan apakah mereka

sudah membangun pengetahuannya? Kalau hal ini tidak tertangkap,

bagaimana mungkin pembentukan pengetahuan berjalan dengan baik.


2. Kalau peserta kurang mengerti dalam proses pembentukan itu dan ia bertanya

adalah sesuatu hal yang wajar. Apabila yang ditanyakan tersebut

memperlihatkan ketidakmengertiannya malah lebih baik lagi sehingga

pendidik mengetahui persis ketidakmengertiannya. Hal ini akan

mempermudah kedua belah pihak untuk membentuk pengetahuan lebih baik.

3. Kendala ini bukan berarti pendidik tidak boleh menyalahkan peserta didik

dan peserta didik menjadi sesuatu yang tidak bisa dipersalahkan melainkan

apa yang ditekankan adalah dampak dari sebab akibatnya. Fakta

membuktikan bahwa setiap saat seseorang selalu belajar dan kalau mereka

tidak belajar pengetahuan yang disajikan mungkin karena mereka telah

belajar bahwa pengetahuan tersebut tidak berdampak atas dirinya. Kalau hal

ini terjadi maka pendidik sebaiknya mengerti keadaan peserta didik demikian

juga sebaliknya harus diupayakan peserta didik mengerti keadaan pendidik.

4. Pendidik selalu membawa pemikiran peserta didik ke pemikiran pendidik

dengan cara yang sama yang ia lakukan saat ia membangun pengetahuannya

saat ia dididik. Kenyataannya keadaan awal peserta didik dan pendidik

tidaklah sama. Jadi kunci penyelesaian ini kembali adalah sebaiknya mengerti

keadaan peserta didik.

5. Hal ini disebabkan pendidik mengetahui bahwa bagian tersebut memang sulit

dan menganggap tidak mampu diserap oleh peserta didik. Ini akan berdampak

langsung pada proses pembentukan pengetahuan selanjutnya. Karena

kemungkinan bagian yang sulit tersebut sebenarnya membuka pemikiran

yang lebih kritis dan lebih tajam.

6. Hal ini akan berdampak walaupun peserta didik dapat mengerjakan tes yang

diberikan tetapi mereka tidak membangun pengetahuannya apa yang mereka


lakukan hanya mengerti bagaimana mengerjakannya tanpa mengerti mengapa

itu harus dikerjakan.

7. Hal ini akan mengakibatkan pengetahuan yang diajarkan sifatnya hanya

permukaannya tetapi sifat analisisnya kurang dipentingkan karena jelas

analisis akan memerlukan waktu yang lebih banyak dan akan mengakibatkan

bahan tak tercukupi. Kasus ini banyak sekali dijumpai dan penyelesaiannya

biasa dilakukan dengan jalan melakukan perencanaan pengajaran yang lebih

matang.

8. Hal ini jarang sekali disadari oleh pendidik yang mendidik dengan metode

satu arah. Pendidik tidak yakin apabila peserta didik saling membagi

pengalaman atas pegetahuannya, akan lebih cepat mereka membangun

pengetahuannya.

8. Pengertian Belajar dan Pembelajaran

Hal mutlak yang harus terjadi di dalam sebuah kelas adalah terjadinya

proses belajar dan pembelajaran. Sehingga seorang tenaga pendidik patut

mengetahui makna belajar dan pembelajaran itu sendiri.

Menurut Halgard ( Sanjaya, 2006 : 12) belajar merupakan proses perubahan

melalui kegiatan atau prosedur baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam

lingkungan alamiah.

Menurut Sardiman dkk (2008 : 2) belajar adalah suatu proses yang

kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak dia

masih bayi hingga ke liang lahat nanti. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah

belajar yaitu adanya perubahan tingkah laku tersebut menyangkut pengetahuan,

keterampilan maupun sikap.


Pembelajaran oleh Sagala (2005 : 61) diartikan sebagai proses pembelajaran

siswa dengan asas pendidikan dan teori belajar dengan komunikasi dua arah .

Menurut Sardiman ( 2008 : 27) pembelajaran adalah suatu usaha-usaha

terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar

dalam diri peserta didik.

Jadi sebagai kesimpulannya adalah bahwa belajar dan pembelajaran adalah

suatu proses yang terjadi di dalam maupun di luar kelas dengan tujuan

memberikan pengalaman belajar kepada anak agar lebih bermakna.

9. Hasil Belajar IPA

Hasil evaluasi menggambarkan kemajuan, kegagalan dan kesulitan masing-

masing siswa. Untuk menentukan jenis dan tingkat kesulitan siswa serta faktor

yang menyebabkannya dapat diketahui dari hasil evaluasi tersebut. Sasaran

evaluasi hasil belajar adalah perkembangan ranah kognitif, psikomotorik dan

afektif (Arikunto : 2001)

Langkah terakhir dalam setiap proses pembelajaran yaitu mengadakan

eveluasi. Hal itu dilakukan agar guru dapat mengetahui seberapa banyak daya

serap yang diperoleh siswa setelah mempelajari materi pelajaran, sehingga pada

akhirnya guru dapat membuat kesimpulan mengenai hasil belajar siswa dan

menentukan langkah selanjutnya yaitu berupa pemberian remedial bagi siswa

yang tergolong hasil belajar kurang serta memberikan pengayaan bagi siswa yang

memiliki hasil belajar tinggi.

Dalam proses evaluasi digunakan tes sebagai tolok ukur yang mencakup

aspek sebagai berikut :


a. Ingatan, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat kembali atau

mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala rumus-rumus dan

sebagainya.

b. Pemahaman, yaitu kemampuan untuk mengerti dan memahami suatu hal

serta dapat memberikan penjelasan melalui jalan pikirannya sendiri.

c. Aplikasi, yaitu kemampuan untuk menggunakan apa yang telah dipelajari

dalam situasi kompleks yang baru, mencakup peggunaan aturan, konsep,

prinsip, metode, rumus,dan teori.

Melalui tes inilah diharapkan dapat mengungkap bagaimana tingkat

pemahaman siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran

konstruktivisme serta peningkatan hasil belajarnya dalam IPA.

B. Hasil penelitian relevan

Setelah melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran

konstruktivisme maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Prestasi belajar murid meningkat pada pembelajaran IPA dengan

menggunakan model pembelajaran konstruktivisme

2. Adanya kecenderungan peningkatan aktivitas murid dalam

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran

konstruktivisme.

3. Pembelajaran IPA dengan menggunakan model konstruktivisme

merupakan salah satu model pembelajaran umtuk meningkatkan

aktivitas dan hasil belajar murid.

C. Kerangka Pikir
Penelitian ini berjudul Peningkatan Hasil Belajar IPA dengan

Menggunakan Model Pembelajaran konstruktivisme di kelas V SDN Kaccia Kota

Makassar.

Adapun beberapa faktor yang dapat meningkatkan hasil belajar murid.

Faktor tersebut antara lain penggunaan alat peraga, lingkungan belajar dan

penggunaan model pembelajaran. Namun khusus pada pembelajaran IPA akan

lebih tepat dengan menggunakan model pembelajaran konstruktivisme. Dengan

model pembelajaran ini, murid akan lebih mudah menemukan dan membangun

sendiri konsep belajarnya.

Dalam penggunaan model pembelajaran konstruktivisme bukan berarti

murid harus belajar dan bekerja tanpa bimbingan dan pengawasan dari guru,

dalam hal ini guru tetap memiliki posisi penting dalam mengarahkan untuk

mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Dari uraian ini dibuat skema

kerangka pikir sebagai berikut :


Hasil Belajar Rendah

Pelaksanaan PTK di kelas V

Proses Pembelajaran

Model Pembelajaran
Konstruksivisme

hasil belajar
IPA di kelas V meningkat

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pikir

D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan adalah
sebagai berikut :
Jika menggunakan model pembelajaran konstruktivisme dalam
pembelajaran IPA di kelas V SDN Kaccia Kota Makassar, maka hasil belajar
murid meningkat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif dan kuantitatif.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action

research). Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk memecahkan masalah-

masalah yang bersumber dari proses pembelajaran serta demi peningkatan hasil

belajar siswa dalam pelajaran IPA.

Menurut Arikunto (2001:30) penelitian tindakan kelas memiliki 4 ciri utama

yaitu :
1. Bersifat kolaboratif
2. Berfokus pada problem praktis
3. Penekanan pada pengembangan profesional, dan
4. Memerlukan adanya struktur proyek yang memungkinkan
partisipan untuk berkomunikasi.

B. Fokus Penelitian

Pada fokus penelitian dalam skripsi PTK ini mencakup proses

pembelajaran dan hasil pembelajaran yang keduanya berkaitan dengan murid dan

guru.
1. Proses Pembelajaran

a. Murid

Kegiatan pembelajaran ini, melibatkan murid secara langsung dan aktif

dalam menemukan dan memecahkan sendiri masalah yang dihadapi,

dengan menggunakan model pembelajaran konstruktivisme, yaitu murid

kelas V SDN Kaccia Kota Makassar yang terdiri dari 34 murid, laki-laki

17 orang dan perempuan 17 orang.

b. Guru

Kemampuan guru dalam membimbing dan memberikan pelajaran yang

aktif, kreatif dan efektif dengan menggunakan model pembelajaran

konstruktivisme. Yaitu guru kelas V SDN Kaccia Kota Makassar.

2. Hasil Pembelajaran.

Hasil pembelajaran pada fokus penelitian ini adalah akan disajikan dalam

bentuk kualitatif yang didapatkan dari proses pembelajaran guru dan

murid yang terlampir pada bab hasil penelitian.

C. Deskripsi Lokasi Penelitian

Adapun deskripsi lokasi penelitian ini dilaksanakan di kels V SDN Kaccia

kecamatan Tamalate Kota Makassar dengan karakteristik lokasi brupa dataran

rendah yang sekelilingnya diominasi sawah tadah hujan. Secara geografis letak

SDN Kaccia berada di wilayah selatan Kota Makassar yang berbatasan dengan

Kabupaten Takalar di selatan dan Kabupaten Gowa di sebelah timur.lokasi

penelitian ini berada di Jl. Bonto Biraeng RW 06 Kaccia Kelurahan Barombong

Kecamatan Tamalate kota makassar.

Adapun alasan pemilihan lokasi ini adalah sebagai berikut:

1. Prestasi belajar IPA murid kelas V berada pada kategori cukup.


2. SDN Kaccia bersifat terbuka dan mau menerima pembaharuan dalam

proses pembelajaran.

3. Dari segi wilayah lebih terjangkau.

4. Kepala sekolah dan guru bidang studi yang bersangkutan bersedia untuk

berkolaborasi dalam penelitian sehingga menunjang proses peneitian.

5. Sebagai usaha peneliti untuk memperkenalkan penelitian tindakan kelas

dalam rangka memperbaiki proses pembelajaran.

D. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah SDN Kaccia Kecamatan Tamalate

Kota Makassar, dengan subjek penelitian adalah murid kelas V SDN Kaccia yang

berjumlah 34 orang, terdiri dari 17 orang laki laki dan 17 orang perempuan

dengan latar belakang ekonomi keluarga menengah ke bawah dan latar pendidikan

orang tua siswa yang sebagian besar hanya lulusan sekolah dasar.

E. Teknik Pengumpulan Data

Data hasil pengamatan ini berdasarkan temuan-temuan di lapangan, Hasil

observasi pelaksanaan pembelajaran IPA melalui model pembelajaran

konstruktivisme, catatan lapangan dan dokumentasi berupa pencatatan terhadap

tindakan pembelajran. Data tersebut meliputi data perencanaan, data pelaksanaan

dan data evaluasi prestasi belajar murid.

Data perencanaan berupa rancangan pembelajaran IPA melalui model

pembelajaran konstruktivisme, menggunakan media dalam bentuk RPP yang

dirancang oleh guru, RPP tersebut mencakup tujuan pembelajaran, materi

pembelajaran, kegiatan belajar mengajar dan evaluasi.


Data pelaksanaan adalah tentang pelaksanaan pembelajaan melalui model

pembelajaran konstruktivisme. Data tersebut berupa hasil pengamatan

berdasarkan lembaran obsevasi dan catatan lapangan tentang kegiatan interaksi

dan perilaku murid dan guru selama pembelajaran.

Data evaluasi tentang prestasi belajar murid dalam pembelajaran IPA

melalui model pembelajaran konstruktivisme sumber data penelitian ini

disesuaikan dengan permasalahan penelitian yaitu peningkatan hasil belajar murid

melalui model pembelajaran konstruktivisme di kelas V SDN Kaccia Kota

Makassar yang diklasifikasikan berdasarkan tahap perencanaan, pelaksanaan, dan

evaluasi.

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, peneliti menggunakan

instrumen yang utama dan instrumen penunjang. Instrumen utama penelitian ini

adalah peneliti sendiri, peneliti harus berfungsi sebagai instrumen utama

dilengkapi dengan pedoman pengamatan dan catatan lapangan. Hal ini berarti,

peneliti berfungsi sebagai instrumen utama karena merupakan orang yang paling

mengetahui seluruh data dan cara menyikapi. Sedangkan instrumen penunjang

penelitian ini adalah (1) format observasi, (2) catatan lapangan, (3) dokumentasi,

dan (4) tes.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan

rumusan masalah penelitian yaitu apakah model pembelajaran konstruktivisme

dapat meningkatkan hasil belajar IPA di kelas V SDN Kaccia Kecamatan

Tamalate Kota Makassar. pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

F. Prosedur Penelitian

Salah satu desain rencana penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian tindakan kelas. Desain tindakan dipilih karena masalah yang
akan dipecahkan berasal dari praktik pembelajaran di kelas sebagai upaya untuk

memperbaiki pembelajaran dengan menggunakan catatan harian dalam

pembelajaran IPA.

Prosedur kegiatan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini terdiri dari

beberapa tahap. Seperti yang diajukan oleh Hopkins (Muslich, 2008:26), yang

menyatakan bahwa prosedur kegiatan penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu:

1. Perencanaan (plan)

2. Tindakan dan Observasi (action and observation)

3. Refleksi (reflective)

Tahap-tahap penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam bagan spiral

desain penelitian berikut :

Plan

Reflective

Action and
Observation

Revised
Plan

Reflective

Action and
Observation

Revised
Plan

Reflective

Action and
Observation

Next on

Gambar 3.1. Bagan Spiral Desain Penelitian


Menurut Hopkins (Muslich 2008 : 26)
Pelaksanaan penelitian tindakan kelas (PTK) dirancang secara berdaur

(siklus) ulang. Apabila pada tindakan I sudah bisa mencapai tujuan yang

diinginkan maka langsung dapat ditarik kesimpulan, tetapi jika masih ada

perbaikan atau metode maupun model pembelajaran yang digunakan tidak

berhasil maka dilanjutkan dengan tindakan selanjutnya.

Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini dirancang dalam dua siklus

kegiatan namun jika belum ada perubahan yang lebih baik, maka dapat ditambah

lagi siklus kegiatannya sampai hasilnya terlihat lebih baik.

Rincian PTK yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut :

1. Siklus I dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan

2. Siklus II dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan

Tiap siklus terdiri dari beberapa tahap kegiatan sesuai hakekat penelitian.

Kegiatan pada siklus ke II merupakan pengulangan dan perbaikan dari siklus I.

I. Gambaran kegiatan pada siklus I

Dalam siklus I hal-hal yang dilakukan adalah :

a. Tahap perencanaan
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, yaitu :

(1) Wawancara dengan guru dan diperoleh permasalahan tentang proses

pembelajaran IPA

(2) Dari hasil wawancara dan hasil pengamatan proses pembelajaran IPA

diperoleh temuan tentang permasalahan dan cara yang dapat

membantu, mempermudah, dan mempercepat kemampuan murid

dalam belajar.

(3) Peneliti mengajukan model pembelajaran konstruktivisme.

Berdasarkan studi pendahuluan disusun rancangan untuk tindakan sebagai berikut:

1. Peneliti dan guru secara kolaboratif menetapkan dan menyusun

rancangan proses pembelajaran IPA dengan model pembelajaran

konstruktivisme. Rancangan untuk tindakan ini disusun dalam bentuk

RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Adapun susunan RPP

menurut Eddy (2008:25) yaitu: RPP berisi (1) standar kompetensi,

(2) kompetensi dasar, (3) indikator, (4) tujuan, (5) materi pokok, (6)

media dan metode pembelajaran, (7) langkah-langkah pembelajaran,

(8) alat dan sumber belajar, (9) penilaian. Rancangan tindakan ini

terlebih dahulu disimulasikan secara bergantian antara peneliti dan

guru sebelum tindakan dilakukan. Uji coba ini bertujuan untuk

memberikan pemahaman dan keterampilan kepada guru pada saat

pelaksanaan proses pembelajaran IPA dengan menggunakan model

pembelajaran Konstruktivisme.

2. Peneliti menyusun indikator dan kriteria pencapaian untuk

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi belajar IPA dengan model

pembelajaran Konstruktivisme.
3. Peneliti menyiapkan alat perekam data berupa pedoman observasi,

format catatan lapangan, dokumentasi dan buku catatan untuk tulisan

pengalaman murid.

b. Tahap Pelaksanaan Tindakan / Observasi (action / observation)

Pelaksanaan Tindakan

1. Pada tahap pelaksanaan tindakan pembelajaran IPA dengan

menggunakan model pembelajaran konstruktivisme ini akan

dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan pada setiap siklus. Masing-

masing kegiatan tersebut didasarkan pada rencana pembelajaran

yang telah disusun oleh peneliti dan guru, yaitu: (1) guru

melaksanakan proses pembelajaran berdasar RPP, (2) fokus tindakan

berupa pemanfaatan model pembelajran konstruktivisme dalam

meningkatkan prestasi belajar IPA, (3) guru beserta peneliti

berkolaborasi mengevaluasi hasil belajar murid untuk dijadikan

bahan pertimbangan dalam menentukan keberhasilan yang sudah

dicapai dan belum tercapai berdasarkan format observasi dan

catatan lapangan yang direkam peneliti.

2. Pelaksanaan tindakan pembelajaran IPA dengan menggunakan model

pembelajaran konstruktivisme ini akan dilaksanakan dalam dua kali

pertemuan pada setiap siklus. Adapun masing-masing kegiatan

tersebut berdasarkan rencana pembelajaran yang telah disusun.

Pelaksanaan observasi

Pada tahap ini, peneliti mengamati dan mendokumentasikan segala

sesuatu yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan. Kegiatan ini

mencakup pengamatan kegiatan murid dan guru selama proses


pembelajaran berlangsung. Pengamatan bertujuan untuk

menganalisa, mendokumentasi semua indikator baik proses maupun

hasil perubahan yang terjadi akibat tindakan secara khusus sasaran

observasi dalam tahap penelitian tindakan ini adalah untuk

menemukan hal-hal seperti berikut :

a. Seberapa jauh pelaksanaan tindakan telah sesuai dengan rencana

tindakan yang ditetapkan sebelum dalam RPP.

b. Seberapa banyak pelaksanaan tindakan telah menunjukkan

tanda-tanda akan tercapainya tujuan tindakan. Kalau sudah ada

bukti bahwa pelaksanaan tindakan diteruskan sesuai rencana.

Konsep dasar PTK memberikan bimbingan bahwa hal-hal yang

sudah baik perlu dicarikan cara untuk membuatnya lebih baik

lagi. Sebaliknya, kalau tidak ada tanda-tanda keberhasilan berarti

dibutuhkan peninjauan kembali atau penyempurnaan tindakan.

c. Apakah terjadi dampak tambahan atau lanjutan yang positif

meskipun tidak dirancanakan. Hal ini perlu diikuti dengan upaya

untuk lebih mengintensifkannya.

d. Apakah terjadi dampak sampingan yang negatif sehingga

merugikan atau cenderung mengganggu kegiatan lainnya.

Temuan dampak negatif dan merugikan perlu ditindaklanjuti

dengan upaya mengurangi atau meniadakannya sama sekali.

c. Tahap Refleksi (Reflective)

a. Pada tahap refleksi, kegiatan difokuskan untuk menghubungkan

antara peristiwa yang terjadi di dalam kelas selama proses

pembelajaran yang direkam dalam kegiatan observasi dengan kriteria

yang sesuai. Hasil yang diperoleh pada kegiatan refleksi adalah


informasi tentang apa yang terjadi dan apa yang perlu dilakukan

selanjutnya.

b. Dari hasil refleksi dapat diungkapkan dan dirumuskan kesempatan,

peluang, hasil yang dicapai, keterbatasan, hambatan-hambatan,

konsekuensi, implikasi dan simpulan temuan. Temuan yang

dikemukakan oleh Misbahuddin (2006:25) bahwa hasil yang

diperoleh dari siklus I dijadikan dasar pijakan untuk merevisi rencana

umum penelitian, penyusunan rencana yang lebih terfokus pada

siklus berikutnya . Dengan cara demikian pada siklus II

perancanaan, pelaksanaan lanjutan dapat dilaksanakan dengan lebih

akurat. Daur tindakan dihentikan, jika proses pembelajaran telah

menunjukkan kemajuan yakni rata-rata di atas 60% jika telah sampai

siklus III.

II. Gambaran Kegiatan Pada Siklus II

Adapun kegiatan yang dilakukan pada kegiatan II adalah mengulang

kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pada siklus I.

Adapun kegiatan pada siklus II adalah sebagai berikut:

a. Tahap Perencanaan (Plan)

Pada tahap ini, dirumuskan perencanaan siklus II sesuai pelaksanaan

siklus I dengan menambahkan atau mengurangi bagian-bagian yang

dianggap perlu berdasarkan hasil refleksi pada siklus I. selain menelaah

kurikulum untuk materi pada siklus II penulis juga tetap mempelajari

materi dari berbagai sumber baik dari buku paket maupun dari buku

penunjang yang lainnya serta data hasil observasi direkam dalam format

observasi, catatan lapangan dan bulu catatan hasil tulisan murid.

b. Tahap Pelaksanaan Tindakan dan Observasi


Langkah-langkah yang dilakukan pada pelaksanaan tindakan ini

merupakan penambahan kegiatan pembelajaran pada siklus I. yang mana

diharapkan dapat memperbaiki kekurangan yang terdapat pada siklus

sebelumnya. Sedangkan observasi merupakan tindakan yang dapat

dilaksanakan sama seperti siklus I yang terjadi saat proses pembelajaran

berlangsung dan mencatat sejumlah informasi dalam lembar observasi.

c. Tahap refleksi

Pada tahap refleksi umumnya sama dengan apa yang dilakukan pada

siklus I, pada tahap ini murid diberikan kesempatan untuk menuliskan

tanggapannya dan saran secara tertulis tentang pembelajaran dengan

model pembelajaran konstruktivisme. Hasil yang didapatkan dalam

tahap observasi dikumpulkan dan dianalisis pada tahap ini, demikian

pula hasil evaluasi, agar dapat diketahui dan disimpulkan.

G. Teknik Analisis Data

Data hasil pengamatan dan tanggapan murid dianalisis secara kualitatif, data

yang kualitatif ini disatukan untuk dikuantitatifkan, selanjutnya disajikan dalam

bentuk persentase dengan menggunakan rumus menurut Ali (Sakran 2006:24)

sebagai berikut:

Rumus yang digunakan adalah :

n
P = N x 100%

Keterangan : P : persentase

n : nilai yang diperoleh


N : jumlah keseluruhan nilai

H. Kriteria Keberhasilan

Menentukan keberhasilan belajar murid, didasarkan pada daya serap

terhadap materi yang diajarkan. Di sekolah penelitian, standar criteria ketuntasan

minimal (KKM) yang ditetapkan adalah 65 untuk mata pelajaran IPA di Kelas V.

ini berarti jika murid telah mencapai nilai 65 dari skor ideal maka murid tersebut

dinyatakan telah lulus atau tuntas. Adapun kategori keberhasilan belajar murid

terdiri dari criteria tuntas dan tidak tuntas dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 3.1 Kategori KKM Sekolah Penelitian

KKM Kategori Keberhasilan

64 Tidak tuntas

65 100 Tuntas

Keberhasilan seorang guru dapat dilihat dari cara menerapkan pembelajaran

yang langsung diamati dengan menggunakan bantuan format observasi pada saat

guru mengajar, sedangkan keberhasilan seorang murid dapat diperoleh melalui

lembar kerja murid dan pemberian tes pada setiap akhir pembelajaran.
Adapun skor atau nilai yang dapat diberikan untuk penilaian
kompetensi belajar murid menurut Nur Alim (2009 : 58) sebagai berikut :

A. 95 - 100 = istimewa
B. 75 - 94 = baik
C. 50 - 74 = cukup baik
D. 25 - 49 = kurang
E. 24 = kurang sekali
Tabel 3.2 Tingkat Kemampuan Murid

Nilai angka/skor Nilai huruf Sebutan

24 E Kurang sekali

25 49 D Kurang

50 74 C Cukup baik

75 94 B Baik

95 100 A Istimewa

Anda mungkin juga menyukai