FORMULASI PARADIGMATIK
PENDIDIKAN KRITIS
Melacak Narasi Sistem Pendidikan Nasional dalam Transformasi
Struktural-Neoliberalisme dan Membongkar Nalar Pendidikan
Kapitalistik, Doktriner & Politik-Tiranik
Pendidikan radikal memerlukan suatu visi, yakni visi yang menunjukkan apa yang
dapat dilakukan, melampui kekinian dan menjangkau masa depan, mempertautkan
perjuangan dengan kemungkinan-kemungkinan baru (Henry Giroux).
Memperkenalkan, meneruskan & menilai perubahan pendidikan adalah proses politik,
karena mengubah atau mengancam untuk mengubah hubungan-hubungan kekuasaan
yang ada. Sebagian mitos yang melawan perubahan berasumsi bahwa budaya
sekolah adalah budaya non-politik dan sebagian mitos ini mempengaruhi kegagalan
mewujudkan perubahan (Seymour B. Sarason). Pemikiran kritis adalah arti penting
pertama dalam konsepsi dan pengaturan aktivitas pendidikan (Israel Scheffeler).
Manusia jenius adalah yang menenggelamkan pemikiranya kedalam buku dan realitas
sosial (Karl Marx). Saya mulai memperhatikan Brazil, lantas menganalisis praktik yang
saya lakukan sehingga saya menemukan konteks baru dari realitas. Saya berfikir
secara dialektis tidak hanya membicarakan tentang dialektika (Paulo Freire).
Oleh:
Nur Sayyid Santoso Kristeva, S.Pd.I
Alumnus Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mahasiswa Program Pascasarjana (S.2) Sosiologi FISIPOL UGM
Direktur Institute for Philosophycal and Social Studies (INPHISOS) Yogyakarta
E-Mail: nuriel.ugm@gmail.com / skristeva@gmail.com
Website: www.nursayyidsantoso.blogspot.com /
www.sosiologidialektis.wordpress.com
Cp. (0282) 540437 / Hp. 085 647 634 312
BAGIAN I
Prawacana: Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan
Rekonstruksi Pendidikan Nasional
Tiga Fase Imperialisme: Implikasinya terhadap Kapitalisasi Pendidikan
Globalisasi dan Sejarah Ekonomi Internasional
Globalisasi dan Krisis Masyarakat Kapitalisme
Dari Imperialisme, Globalisme ke Kapitalisme Pendidikan
Dehumanisasi oleh Rasionalitas Globalisasi
BAGIAN II
Pembajakan Sistemik Pendidikan Nasional oleh Pasar, Negara dan
Rektorat
Melacak Konteks Global
Melacak Konteks Nasional
Memahami Konsep Badan Hukum Milik Negara
Membongkar Nalar Otonomi Pendidikan
Analisis Akar Masalah Keterpurukan Pendidikan: Perspektif Ekonomi-
Politik
BAGIAN III
Pendidikan Demokratis vis--vis Pendidikan Indoktrinasi
Diskursus Pendidikan dan Kekuasaan
Visi dan Orientasi Pendidikan Nasional
Habermas: Kririk Ideologi atas Kurikulum Emansipatoris
Hakikat Mengajar: Membiarkan Anak Belajar!
Visi Pendidikan di Era Globalisasi
Reparadigmatisasi Pendidikan di Era Global
Pendidikan Revolusioner: Melawan Kapitalisme
Epilog: Refleksi & Aksi Pendidikan Kritis
DIAGRAM
Diagram 1: Pola Perubahan Paradigma Pendidikan (H.A.R. Tilaar, 2003)
BAGIAN I
Prawacana: Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan
Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan oleh masyarakat agar
dapat bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya yang mereka anut. Pendidikan
menjadi salah satu bentuk usaha untuk mempertahankan eksistensi kehidupan dan
budaya manusia. Dengan kata lain pendidikan adalah salah satu strategi budaya
manusia untuk mempertahankan eksistensi kehidupan mereka. Hubungan antara
individu, masyarakat dan negara pada dasarnya merupakan hubungan yang tidak
berimbang. Diantara hubungan ketiga komponen tersebut, individu memiliki posisi yang
paling lemah. Negara mempunyai kekuasaan yang sah dan dijamin oleh hak
monopolinya untuk menggunakan kekerasan baik secara fisik maupun secara
administratif. Masyarakat juga memiliki kedudukan yang unggul terhadap individu
karena masyarakat dapat menguasai individu lewat kekuatan dominasi dalam ekonomi,
maupun lewat kekuatan hegemoni dalam kebudayaan. Dipandang dari sisi
epistemologis manusia merupakan makhluk berakal yang dapat menggunakan
pikirannya dengan bebas untuk mencari kebenaran dalam pengetahuannya (truth).
Dan dari sisi etis manusia adalah makhluk yang memiliki hati nurani yang
memungkinkannya mencapai kebenaran dalam sikap, keputusan dan tindakan-
tindakannya (rightness).
Menelaah posisi manusia menurut filsafat Freire bertolak dari kehidupan
nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa,
sedangkan sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara yang tidak
adil dan yang menikmati ini justru bagian minoritas ummat manusia. Dilihat dari segi
jumlah saja ini menunjukkan bahwa keadaan tersebut mempelihatkan kondisi yang
tidak beribang dan tidak adil. Persoalan itu yang disebut Freire sebagai situasi
penindasan. Bagi Freire situasi penindasan apapun nama dan alasannya adalah tidak
manusiawi dan menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi bersifat
ganda, dalam pengertian, terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri
minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum
tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena
mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam kebudayaan bisu (submerged in
the culture of silence). Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi
karena telah mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan
memaksakan penindasan bagi sesamanya.
1
Tulisan ini dipresentasikan sebagai pembanding pada acara Bedah Buku Karya Ngainun Naim,
Rekonstruksi Pendidikan Nasional; Membangun Paradigma yang Mencerahkan (Yogyakarta: Teras,
2009). Diselenggarakan oleh KSiP Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, tanggal 17 Oktober 2009.
2
Penulis lahir di Cilacap 27 Juli 1980, adalah Alumnus UIN Sunan Kalijaga, sekarang sedang
menempuh studi pada Program Pascasarjana Sosiologi FISIPOL UGM dan sebagai dosen di Tarbiyah &
Dakwah Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap. Selama menjadi mahasiswa beraktivitas di
Intra kampus sebagai Sekjend DEMA UIN Sunan Kalijaga, Dept. Intelektual KSiP UIN, Litbang LPM
Paradigma UIN, Presidium Mahasiswa (PRESMA) UIN. Aktivitas di Ekstra kampus sebagai Ketua PMII
Rayon Fak. Tarbiyah UIN, Dept. Kaderisasi PMII Komisariat UIN, Dept. Kaderisasi PC PMII D.I
Yogyakarta, Dept. Kaderisasi PKC PMII Jateng, Dept. Kaderisasi PB PMII, Sekjend Himpunan Mahasiswa
Sunan Kalijaga-Cilacap (HIMMAH SUCI), Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Cilacap-Yogyakarta
(HIMACITA), Voulentir LAKPESDAM Cilacap, NGOs Konsorsium Buruh Migran, Direktur Institute for
Philosophycal and Social Studies (INPHISOS) Yogyakarta.
3
Ngainun Naim, Rekonstruksi Pendidikan Nasional; Membangun Paradigma yang Mencerahkan
(Yogyakarta: Teras, 2009) h. 250-251.
4
Ibid., h. 270.
5
Noam Chomsky, Neo Imperalisme Amerika Serikat (Yogyakarta: Resist Book, 2008) h. vii-x.
6
Paul Hirst & Grahame Thompson, Globalisasi adalah Mitos (Jakarta: YOI, 2001) h. 31-34.
7
Lihat P. Darsono, dalam Globalisasi Suatu Strategi Penjajahan Bentuk Baru,
http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2006-november/000189.htm.
8
Paul M Sweezy, Kapitalisme Modern, dalam Kapitalisme: Dulu dan Sekarang: Kumpulan
Karangan dari berbagai sumber asing (Jakarta: LP3ES, 1987) h. 5
12
Fase di mana dekolonisasi ditawarkan bagi dunia ketiga dan terjadi proses eksploitasi
kapitalisme dari yang bersifat kolonilistik kepada fase yang bersifat lunak
13
Istilah yang digunakan Talcot Person.
14
Thomas L. Friedman, The Lexus and The Oleive Tree (London: Harper Collins Pub., 2000) h. 31
15
Anthony Giddens, Run Way World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita (Jakarta:
Gramedia, 2000) h. 5
16
Hasan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global: Revolusi Islam Untuk Globalisme, Pluralisme,
Egalitarianisme Antar Peradaban (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) h. 69
17
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan tentang Agama Kebudayaan Sejarah dan
Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1984) h. 277.
18
Ibid.
19
Ibid, h. 282.
BAGIAN II
Pembajakan Sistemik Pendidikan Nasional oleh Pasar, Negara dan Rektorat22
Salah satu isu living issue global dan nasional adalah soal pendidikan. Setiap
tahun selalu muncul isu pendidikan. Kontroversi pun merebak. Hal ini tidak lepas dari
perkembangan nasional. Kecenderungan internasional juga demikian. Terjadi
pergeseran filsafat dan paradigma pendidikan seiring terjadinya pergeseran formasi
sosial. Salah satu perkembangan terpenting yang kemudian menjadi medan makna
perjuangan mahasiswa adalah proses integrasi pendidikan secara total dalam sistem
kapitalisme. Artinya, pendidikan bukan sekedar proses social yang seolah bebas nilai.
Namun sarat dengan muatan ekonomi politik yang strategis. Kajian kebudayaan
menyebutnya sebagai bagian dari manifestasi komodifikasi kapitalisme. Disebut total
sebab dalam kerangka tersebut, bukan hanya terjadi komodifikasi ilmu (Lyotard: 1997):
Menemukan pergeseran bahwa universitas sekarang bukan lagi mementingkan
penemuan apakah sesuatu itu benar atau tidak, melainkan apakah sesuatu itu
berguna/ dapat dijual atau tidak, namun juga pendidikan berjalan di atas logika bisnis.
Proses inilah yang menghantarkan pendidikan memproduksi nalar instrumental
(Habermas), maupun rasionalitas teknologis (Marcuse).
Maka, tidak heran jika Susan Strange, ahli ekonomi politik, menyebut bahwa
salah satu pilar dari empat pilar kapitalisme adalah knowledge structure. Mesin
produski pengetahuan tiada lain institusi-institusi pendidikan. Sekali dikonsolidasikan,
universitas, seperti dikatakan seorang ahli pembangunan, menentukan persepsi dan
realitas social. Inilah yang dipergoki kalangan poststrukturalis yang dengan jitu
menelanjangi relasi kuasa pengetahuan. Setiap pengetahuan selalu mengandaikan
relasi kuasa tertentu. Sebab pengetahuan berkaitan dengan subjek yang menyusun,
menyebarkan, dan merepreduksi pengetahuan yang sarat dengan kepentingan
kekuasaan. Di sinilah pendidikan sebagai instrumen transformasi sosial, atau, dalam
bahasa Chiko Mendez, sebagai awal pergerakan menjadi realisme utopis. Pada
logika inilah, dan, jika mengikuti mereka, logika pasar, mahasiswa sebagai salah satu
stakeholder pendidikan, wacana dan praktek otonomi pendidikan (BHMN), seharusnya
dibaca. Pembacaan ini akan diletakkan dalam konteks pergeseran di tingkatan global
dan nasional.
20
AsiaDHRRA, h. 301-308. Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Umat Manusia, lihat
Antony Giddens, Runaway World (terjemah, 2001, Dunia yang Lepas Kendali). Lihat H.A.R Tilaar,
Kukuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesiatera, Cet.
I., 2003) h.190.
21
Kellner, Theorizing Globalization, Sociological Theory, 2002 dalam George RitzerDouglas J.
Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, Cet. III., 2005) h. 590.
22
Disarikan dan diuraikan kembali dari Muhammad Mustafid, BHMN: Pembajakan Sistematik
Pasar, Negara dan Rektorat, Makalah yang dipresentasikan pada acara Seminar dan Lokakarya Nasional:
Membongkar Realitas Pendidikan Indonesia, ISTA, 24-27 Juli 2004.
23
Transformasi ini untuk memenuhi kualifikasi lulusan perguruan tinggi agar dapat berkompetisi
secara global. Maka, di Eropa pun terjadi restrukturisasi pendidikan tinggi yang didorong oleh empat
stimulus (Jurgen Rosemann dan Andrea Peresthu).
24
Proses tersebut dipicu oleh krisis financial global yang mengikuti aliran global capital. Dalam
aliran financial yang anarkis ini, Negara yang ditinggalkan modal akan mengalami krisis. Dan inilah yang
terjadi di Indonesia. Banyak penjelasan terhadap krisis tersebut. Salah satu penjelasan adalah penjelasan
ekonomi politik. Penjelasan ekonomi politik berarti memberikan penekanan pada peranan semua
kekuatan (power)/segala hal baik proses social maupun kelembagaan, termasuk kekuatan ekonomi
maupun elite yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan ekonomi (Todaro, 1994:4).
25
Apabila dua konteks tersebut kita racik maka konteks politik otonomi pendidikan adalah,
kebutuhan objektif mengkonsolidir kekuatan untuk menghadapi serangan terhadap legitimasi politik
kekuasaan di satu sisi, dan kebangkrutan keuangan negara sebagai dampak pembusukan internal dan
masa transisional neoliberal di Indonesia. Perjumpaan dua titik kepentingan inilah yang menjadi basis
sosial material otonomi pendidikan.
26
Dengan adanya BHMN ini terjadi perubahan kelembagaan pada Universitas. Sebelumnya, PT
merupakan institusi di bawah Departemen Nasional, sekarang menjadi institusi mandiri yang berhak untuk
melakukan perbuatan hukum seperti badan hukum lainnya. Struktur organisasinya terdiri dari Majelis Wali
Amanat (MWA/board of Trustee), Dewan Audit dan Akademik, Senat Akademik, dan lembaga-lembaga
lainnya.
27
Shiraishi mengatakan: Lahirnya pendidikan Barat di Indonesia tidak hanya sekuler, namun ia
masuk dalam tatanan kolonial yang terbagi secara rasial dan linguistik, serta terpusat secara politik. Dalam
pendidikan Barat ini, semakin tinggi sekolah seseorang, maka semakin dekat ia dengan pusat-pusat kota
dunia kolonial. Dengan demikian, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang pantas semakin
terbuka, namun akan semakin terhisap dalam cara hidup generasi tuanya kolonial. (Shiraishi,1997: 36).
BAGIAN III
Pendidikan Demokratis vis--vis Pendidikan Indoktrinasi
Belajar dari analisis Noam Chomsky28 dari kondisi pendidikan pada sebuah
negara, bahwa ada aparatus ideologis yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk
menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya pada seluruh warga negara sehingga
nilai-nilai, pandangan hidup, sistem kapitalisme diterima sebagai wajar dan normal.
Jalur pertama dari aparatus ideologis yang digunakan adalah pendidikan. Di sebuah
negara, jauh dari gambaran demokratis yang selama ini dicitrakan, pendidikan
digunakan sebagai media untuk menanamkan kesadaran palsu, dan diciptakan
sebagai institusi-institusi yang bertanggungjawab untuk mengindoktrinasi anak-anak
muda.
Hal ini dilakukan sejak bangkitnya gerakan-gerakan kerakyatan yang
menentang imperialisme, menuntut hak-hak sipil-politik, dan perlindungan ekonomi
serta ekologi pada tahun 60-70an. Sebagai cara untuk membendung gerakan-gerakan
rakyat itu, maka pemerintah Amerika Serikat mendirikan komisi Trilateral yang
berfungsi untuk menanamkan kepatuhan, untuk menghalangi kemungkinan lahirnya
pemikiran yag mandiri, dan [dengan demikian] sekolah memainkan suatu peran
kepranataan (institutional role) dalam suatu sistem kontrol dan koersi. Komisi
Trilateral, menurut Chomsky, ini bertugas untuk mencari cara-cara yang efektif untuk
mempertahankan hegemoni barat dan dominasi elit-elit berkuasa sembari terus
mengkondisikan agar kalangan kelas menengah yang terdiri dari ilmuwan, para
profesional dan kelas menengah, melalui sistem pengkajian terus menerus
mendakwahkan mitos tentang kebajikan.
Merefleksikan gagasan Noam Chomsky bahwa hakikat pendidikan mestinya
adalah untuk menstimulasi kesadaran kritis dan mengajarkan peserta didik
menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri. Kemudian Chomsky berpendapat bahwa
hakikat pendidikan mestinya adalah bukan untuk menanamkan kepatuhan, melainkan
untuk mendidik manusia dalam kemerdekaan, kesetaraan kebersamaan dan
kerjasama, agar dapat tercapai tujuan-tujuan bersama yang telah disepakati secara
demokratis. Dengan mengutip ungkapan indah Bertrand Russell, Chomsky
mengatakan bahwa tujuan pendidikan yang sejati mestinya adalah: Untuk memahami
nilai-nilai selain dari dominasi, untuk menciptakan warga-negara-warga negara dari
suatu komunitas yang merdeka, untuk mendorong terciptanya suatu kombinasi antara
kewarganegaraan yang bebas dan kreativitas individual (B. Russell).
Ada dua hal yang terjadi akibat dari pengingkaran atas pendidikan yang
demokratik dan setara. Pertama, kalangan kelas menengah dan terdidik tidak
membiasan dirinya dengan model pendidikan kritis yang berupaya membongkar
segala macam kekuasaan dan hegemoni. Dengan bertumpu pada kemampuan tehnik,
maka model pendidikan tak diajarkan untuk membangun kesadaran kritis, membingkar
kekuasaan dan membangun kemanusiaan. Kedua, dan sebagai akibat sampingannya,
institusi negara menjelmakan dirinya sebagai sebuah negara imperialis utama yang
berhak untuk mendikte, mendisiplinkan dan memperadabkan negara lain dan warga
negara. Model pendidikan doktriner yang bersenyawa dengan politik aristokratik pada
dasarnya telah memiliki preseden lama dalam sejarah negara. Gabungan dari
pendidikan yang doktriner dan politik tiranik itu pada akhirnya menghasilkan suatu tipe
kultur sosial dan politik yang terjinakkan. Hal inilah yang memungkinkan ketiadaan
perlawanan dari kalangan terdidik, malahan tak mengherankan jika kalangan kelas
terdidik itu justru berbondong-bondong mendukung resim kelas berkuasa yang secara
rutin menyerukan demokrasi, hak asasi manusia, dan multilateralisme, dan bungkam
seribu bahasa jika kelas berkuasa itu pula melakukan pelanggaran hak asasi manusia
dan demokrasi.
28
Noam Chomsky pada awalnya menjelaskan kondisi pendidikan di Amerika Serikat yang
dianggapnya sebagai pendidikan doktiner dan tidak demokratis. Pemikiran Chomsky ini kemudian penulis
disarikan dan diuraikan kembali dengan konteks yang lebih universal, termasuk kondisi pendidikan di
Indonesia. Diadaptasi oleh penulis dari Noam Chomsky, op. cit., h. xvi-xix.
29
Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia, Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, (Yogyakarta:
LKiS, Cet. I., 2003) h. 244.
30
Rose dan Miller, Political Power Beyond the State: Problematic of Government, dalam Britis
Journal of Sociology, Vol. 43, No. 2., Juni dalam Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia, Politik
Postkolonial dan Otoritarianisme, (Yogyakarta: LKiS, Cet. I., 2003) h. 245.
31
H.A.R Tilaar, Kukuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural,
(Magelang: Indonesiatera, Cet. I., 2003) h.90.
32
Darmaningtiyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis, Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 1999) h. 145-146.
33
Disarikan dari tulisan Thomas Hidya Tjaya, Mencari Orientasi Pendidikan; Sebuah Perspektif
Historis. Staf Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Dimuat dalam harian Kompas, Rabu,
04 Februari 2004
34
Palmer, Joy A., 50 Pemikir Pendidikan (Yogyakarta: Jendela, Cet. I., 2003).
Diagram 1
Pola Perubahan Paradigma Pendidikan (H.A.R. Tilaar, 2003)36
35
H.A.R Tilaar, Human Recource Development in the Globalization Era, Vision, Mission, and
Programs of Action for Education and Training Toward 2020 Jakarta 1997, dalam H.A.R. Tilaar, op. cit.,
h.199.
36
Analisa ini diadaptasi dari H.A.R. Tilaar, Ibid., h.155-156.
37
Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara, Sebuah Persoalan, (Magelang: Indonesiatera, Cet, I.,
2004) h. 150.