Anda di halaman 1dari 15

PROSES TERMAL PANGAN

Kemasan untuk Pengawetan Pangan dengan Proses Termal


Proses termal merupakan teknologi yang termasuk dalam proses pangawetan dengan
menggunakan energi panas. Proses termal merupakan proses penting dalam pengawetan
pangan terutama untuk memperpanjang umur simpannya. Proses termal bertujuan untuk
mematikan mikroorganisme merugikan yang menyebabkan penyakit dan dapat merusak atau
menyebabkan kebusukan pada produk yang dikemas. Biasanya produk yang dikenai proses
termal dikemas menggunakan kemasan hermetis seperti kaleng, retort pouch atau gelas jar,
botol, dan kemasan lentur. Namun yang paling banyak digunakan adalah kaleng dan botol.
Kemasan hermetis (tahan uap dan gas) yaitu kemasan yang secara sempurna tidak dapat
dilalui oleh gas, udara atau uap air sehingga selama masih hermetis wadah ini tidak dapat
dilalui oleh bakteri, kapang, ragi dan debu. Kemasan hermetis dapat juga memberikan bau
dari wadah itu sendiri, misalnya kaleng yang tidak berenamel. Berikut ini merupakan contoh-
contoh kemasan hermetis :
a. Kaleng (tin-plate)
Kaleng (tin-plate) adalah lembaran besi yang dilapisi dengan timah putih. Pada
kebanyakan kaleng timah putihnya tidak kurang dari 0,25 %. Kaleng merupakan wadah yang
tepat untuk sebagian besar bahan pangan. Bagian dalam dari kaleng kadang-kadang diberi
lagi suatu lapisan yang dikenal sebagai enamel untuk jenis-jenis makanan tertentu. Fungsi
utamanya adalah agar makanan dan kalengnya mempunyai kenampakan (appearance) yang
menarik. Enamel harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
Tidak beracun, bebas dari bau-bauan dan flavor lain.
Tahan terhadap suhu pengolahan
Tidak bereaksi dngan makanannya, tahan terhadap keasaman dan tidak
bereaksi dengan pigmen
Sifat korosif bahan terhadap kaleng biasa dipengaruhi oleh adanya oksigen. Korosi
dipercepat jika pada kaleng terjadi penceratan atau lubang kecil dari lapisan timah putihnya.
Oleh karena itu penting sekali mengeluarkan udara dari dalam produk yang dikalengkan dan
menggantikannya dengan gas nitrogen (N2) atau divakumkan. Keuntungan penggunaan tin-
plate yaitu :
Kuat dan tegar

1
Dapat dibentuk dengan kecepatan tinggi menjadi kaleng dengan berbagai
macam ukuran
Memiliki ketahanan terhadap karat, asal disimpan dalam kondisi penyimpanan
normal
Memiliki kenampakan yang menarik
Tahan terhadap tekanasn dan suhu pengolahan yang tinggi
Mudah diberi dekorasi

b. Botol
Botol merupakan kemasan yang terbuat dari gelas, umumnya digunakan untuk bahan
makanan yang bersifat asam, yang hanya memerlukan perlakuan panas ringan atau untuk
bahan pangan yang bersifat sangat korosif seperti saus tomat dan acar. Ditinjau dari sudut
pengolahan, penggunaan botol memerlukan kondisi sebagai berikut :
Otoklaf yang digunakan harus tipe statis
Medium pindah panas yang digunakan harus berupa air yang super heated dengan
uap, sehingga suhu mencapai 115 1260C dan tekanan 20 30 psi agar tutup botol
tidak lepas
Menaikkan suhu harus lebih lambat
Proses termal harus menggunakan suhu yang lebih rendah dan waktu pemanasan yang
lebih lama
Kecepatan pendinginan harus lebih lambat dan dikerjakan dalam otoklaf, dengan cara
menurunkan suhu dan tekanan secara berangsur-angsursampai mencapai suhu 65 oC,
baru dipindahkan ke ruang pendingin.

Jenis-Jenis dan Aplikasi Proses Termal Pangan


Terdapat beberapa jenis proses pemanasan yang umum diterapkan dalam proses
pengalengan pangan, seperti blansir, pasteurisasi, sterilisasi dan hot-filling. Dari keempat
proses pemanasan tersebut, blansir biasanya bagian dari proses pengalengan sebelum
dilakukan proses termal dan bertujuan bukan untuk proses pengawetan.
1. Blansir
Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan dalam proses
pengalengan makanan buah dan sayuran dengan tujuan untuk memperbaiki mutunya sebelum
dikenai proses lanjutan. Dengan demikian, proses blansir bukan ditujukan untuk proses
2
pengawetan. Tujuan perlakuan blansir terutama adalah untuk menginaktifasi enzim,
mengurangi jumlah mikroba awal (terutama mikroba pada permukaan bahan pangan, buah
dan sayuran), melunakkan tekstur buah dan sayuran sehingga mempermudah proses
pengisian buah/sayuran dalam wadah, dan mengeluarkan udara yang terperangkap pada
jaringan buah/sayuran yang akan mengurangi kerusakan oksidasi dan membantu proses
pengalengan dengan terbentuknya head space yang baik.
Buah dan sayuran segar mengandung enzim yang sering kali mengganggu selama
penyimpanan produk. Selama penyimpanan produk buah/sayur, beberapa enzim, seperti
lipoksigenase, polifenolase, poligalakturonase dan klorofilase, akan menurunkan mutu
sensori dan gizi produk. Dengan adanya proses blansir yang dilanjutkan dengan proses
pasteurisasi/sterilisasi makanan kaleng, maka enzim pun akan inaktif dan tidak
mempengaruhi perubahan mutu produk selama penyimpanan.
Di dalam proses blansir buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim yang tahan panas,
yaitu enzim katalase dan peroksidase. Kedua enzim ini memerlukan pemanasan yang lebih
tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-enzim lain yang tersebut di atas. Baik
enzim katalase maupun peroksidase tidak menyebabkan kerusakan pada buah dan sayuran.
Namun karena sifat ketahanan panasnya yang tinggi, enzim katalase dan peroksidase sering
digunakan sebagai enzim indikator bagi kecukupan proses blansir. Artinya, apabila tidak ada
lagi aktivitas enzim katalase atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir,
maka enzim-enzim lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik.
2. Pasteurisasi
Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup
rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100oC) dengan tujuan untuk mengurangi
populasi mikroorganisme pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan
mempunyai daya awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) sampai beberapa
bulan (seperti produk sari buah pasteurisasi).
Proses pasteurisasi secara umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya
inaktivasi enzim dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (terutama
khamir, kapang dan beberapa bakteri yang tidak membentuk spora), tetapi hanya sedikit
menyebabkan perubahan/penurunan mutu gizi dan organoleptik. Keampuhan proses
pemanasan dan peningkatan daya awet yang dihasilkan dari proses pasteurisasi ini
dipengaruhi oleh karakteristik bahan pangan, terutama nilai pH. Kondisi dan tujuan
pasteurisasi dari beberapa produk pangan dapat berbeda-beda, tergantung dari pH produk.
3. Sterilisasi Komersial
3
Sterilisasi komersial yaitu suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan
menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi
terdapat mikroorganisme hidup.Pengertian sterilisasi komersial ini menunjukkan bahwa
bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin masih mengandung spora
bakteri (terutama bakteri non-patogen), namun setelah proses pemanasan tersebut spora
bakteri non-patogen tersebut bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi),
sehingga keberadaannya tidak membahayakan kalau produk tersebut disimpan pada kondisi
normal. Dengan demikian, produk pangan yang telah mengalami sterilisasi komersial akan
mempunyai daya awet yang tinggi, yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun. Sterilitas
komersial (menurut FDA) atau stabilitas penyimpanan (menurut USDA) adalah kondisi bebas
dari mikroba yang dapat berkembang biak dalam makanan pada kondisi penyimpanan atau
distribusi yang normal tanpa bantuan pendingin.
Pada produk steril komersial yang berasam rendah, terdapat resiko keamanan pangan
yang cukup tinggi. Pada kondisi penyimpanan normal tanpa pendinginan, pangan berasam
rendah yang belum mencapai kecukupan proses steril komersial akan beresiko ditumbuhi
mikroba. Selain itu spora yang tertinggal di dalam makanan tersebut dapat bergerminasi
kembali dan menyebabkan kebusukan atau kerusakan makanan. Di lain pihak penggunaan
suhu yang tinggi pada proses sterilisasi produk pangan secara berlebihan, memungkinkan
terjadinya kerusakan nilai gizi maupun organoleptik produk pangan tersebut, sehingga proses
sterilisasi komersial perlu dikontrol dengan baik.
Produk pangan yang telah mengalami sterilisasi seharusnya dikemas dengan kemasan
yang kedap udara untuk mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan kedap
udara ini menyebabkan terbatasnya jumlah udara (oksigen) yang rendah, sehingga
mikroorganisme yang bersifat obligat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk pangan
tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah mikroorganisme (terutama spora) yang
bersifat fakultatif atau obligat anaerob yang jika tidak diperhatikan dengan seksama akan
mampu menyebabkan terjadinya kebusukan. Dengan demikian, suatu produk pangan
dikatakan sudah steril komersial apabila produk telah mengalami proses pemanasan lebih dari
100oC; bebas dari mikroba patogen dan pembentuk racun; bebas mikroba yang dalam kondisi
penyimpanan dan penanganan normal dapat menyebabkan kebusukan; dan awet (dapat
disimpan pada kondisi normal tanpa refrigerasi).

Berdasarkan prosesnya, sterilisasi dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut :

4
Proses pengalengan konvensional, dimana produk dimasukkan dalam kaleng, lalu
ditutup secara hermetis, dan setelah itu produk dalam kaleng
dipanaskan/disterilisasikan dengan menggunakan retort. Setelah kecukupan panas
yang diperlukan tercapai, produk dalam kaleng tersebut didinginkan.
Proses aseptis, yaitu suatu proses dimana produk dan kemasan disterilisasi secara
terpisah, kemudian produk steril tersebut diisikan ke dalam wadah steril pada suatu
ruangan yang steril.
4. Hot-filling
Hot-filling adalah teknik proses termal yang banyak diterapkan untuk produk pangan
berbentuk cair, seperti saus, jam, dan sambal. Dari segi tujuan proses, hot-filling banyak
dilakukan untuk produk pangan yang memiliki pH rendah (pangan asam/diasamkan) untuk
tujuan pasteurisasi. Pengertian hot-filling adalah melakukan pengemasan bahan dalam
kondisi panas setelah proses pasteurisasi ke dalam kemasan steril (misalnya botol atau gelas
jar), lalu ditutup rapat (hermetis) dan didinginkan. Biasanya proses hot-filling
dikombinasikan dengan teknik pengawetan lain, misalnya penambahan gula, garam, bahan
pengawet atau pendinginan. Di antara produk pangan yang dapat diproses dengan hot-filling
adalah saus, sambal, jem, dsb.

Kerusakan Produk Pangan Akibat Proses Termal Pangan


1. Perubahan Warna
Kombinasi suhu dan waktu yang digunakan dalam pengalengan mempengaruhi pigmen
dalam produk pangan. Sebagai contoh pigmen oksimioglobin yang berwarna coklat, dan
mioglobin yang berwarna keunguan di ubah menjadi miohemigromogen yang berwarna
merah-cokelat. Reaksi pencoklatan maillard dan karamelisasi berperan terhadap warna
produk yang disterilisasi. Perubahan tersebut pada daging dikehendaki. Garam nitrit atau
nitrat di tambahkan pada produk olahan daging untuk mengurangi resiko pertumbuhan
C.botulinum, juga untuk mendapatkan warna daging yang cerah dari nitrit oksidamioglobin
dan metmioglobin nitrit.
Pada sayuran dan buah-buahan, klorofil diubah menjadi faeofitin, karatenoid
berisisomerisasi dari 5,6 etoksida menjadi 5,8 etoksida yang mempunyai intensitas warna
lebih rendah serta antosianin didegradasi menjadi berwarna cokelat. Selama penyimpanan
perubahan warna produk pangan yang dikalengkan terjadi. Sebagai contoh, jika besi atau
tima dari kemasan kaleng beraksi dengan antosianin berbentuk pigmen berwarna ungu. Jika

5
leukoantisianin yang tidak berwarna bereaksi dengan logam tersebut berbentuk kompleks
antosianim yang berwarna merah muda. Pada produk susu, perubahan warna yang terjadi
diakibatkan oleh sedikit karamelisasi dan reaksi Maillard.
2. Perubahan Bau dan Cita Rasa
Daging kaleng mengalami perubahan yang kompleks seperti pirolisissilkan, diaminasi, dan
dekarboksilasi asam amino, degradasi, reaksi maillard dan karamelisasi karbohidrat
berbentuk furfural dan hidroksimetilfurfural, serta oksidasi dan dekarboksilasi lipid. Interaksi
antar komponen tersebut menghasilkan lebih dari 600 senyawa cita rasa dan bauh.
Pada sayuran dan buah-buahan, perubahan terjadi akibat reaksi kompleks yang menjakup
dekradasi, rekominasi dan folatilisasi aldehid, keton, gula,lakton, asam amino, dan asam-
asam organic. Pada susu, pembentukan cita rasa matang (cooked flavor) disebabkan oleh
denaturasi protein whey membentuk hydrogen sulfida dan pembentukan lakton dan
metilketon akibat oksidasi lipid. Pada proses UHT, perubahan tersebut lebih sedikit terjadi
dan cita rasa serta bauh alami produk dan bahan pangan dapat dipertahankan.
3. Perubahan Tekstur Dan Viskositas
Pada daging kaleng, perubahan tekstur disebabkan koagulasi dan penurunan daya ikat air
dari protein. Akibatnya, terjadi pengerutan dan daging menjadi kaku. Pelunakan terjadi akibat
hidrolisikolagen, pelarutan gelatin yang berbentuk dari hasil hidrolisis kolagen, dan pelelehan
fraksi lemak yang terdispersi dalam jaringan daging. Poli fosfat biasa ditambahkan pada
daging untuk meningkatkan daya ikat air. Polifosfatase dapat mengurangi pengerutan dan
meningkatkan keempukan daging. Pada buah dan sayur-sayuran, pelunakan disebabkan oleh
hidrolisis senyawa-senyawa pectin, gelatinisasi pati, pelarutan persial hemiselulosa, yang
dikombonasikan dengan penurunan turgor (tekanan sel). Garam kalsium dapat ditambahkan
pada proses blansing seperti telah dijelaskan untuk meningkatkan kekerasan buah dan
sayuran kaleng garam kalsium yang digunakan dapat beragam bergantung pada jenis bahan.
Misalanya, kalsium hidroksida digunakan untuk ceri, kalsium klorida untuk tomat, dan
kalsium laktat untuk apel. Penggunaan jenis garam kalsium yang berbeda disebabkan oleh
perbedaan proporsi peptin yang didemitilasi. Pada proses pengalengan daging, waktu relative
lama di butuhkan untuk hidrolisis kolagen dan suhu relative rendah dibutuhkan untuk
mencegah daging menjadi kaku.

4. Perubahan Nilai Gizi

6
Faktor penting yang harus di perhatikan pada proses pengolahan adalah perubahan nilai
gizi. Pengalengan menyebabkan hidrolisis karbohidrat dan lipid, tetapi kedua komponen
tersebut tetap mempunyai ketersediaan hayati yang baik dan nilai gizinya tidak berubah.
Protein terkoagulasi dan biasannya penurunan asam amino terjadi sebesar 10-20%.
Keturunan kadar lisin setara dengan suhu yang digunakan. Penurunan kadar triptofan kadar
lisin setara dengan suhu yang digunakan. Penurunan triptofan dan metionin menurunkan nilai
biologi protein sebesar 6-9%.
Penurunan kadar vitamin terjadi terutama pada tiamin (50-75%), dan asam pantotenat (20-
35%). Pada buah-buahan dan sayuran kaleng penurunan vitamin terjadi pada hampir semua
vitamin larut air terutama asam askorbat. Penurunan tersebut beragam bergantuk pada jenis
produk pangan, kadar residu oksigen dalam kemasan, dan metode pesparasi sebelum
pengalengan (missal pengupasan dan pengirisan atau bansing). Pada sejumlah produk,
sejumlah vitamin larut dalam sirup atau medium lain ynag juga dikomsumsi, sehingga terjadi
penurunan pada proses sterilisasi metode UHT, penurunan vitamin hanya sedikit terjadi
Sterilisasi pada daging tiruan yang dibuat dari kedelai dapat meningkatkan nilai gizinya
berkaitan dengan inerfiktasi komponen antitrypsin. Antitrypsin merupakan protein yang dapat
berikatan dengan enzim tripsin dalam pencernaan sehingga menurunkan ketersediaan hayati
protein. Dan setelah sterilisasi dilakukan secara baik, dipaparkan Purwiyatno lebih lanjut, ada
tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mempertahankan kesegaran produk, yakni perlakuan
pemanasan yang cukup, pengemasan dan pengkeliman (penyegelan) kemasan secara hermetis
(kedap), dan penanganan kemasan dengan baik dengan memastikan integritas sambungan dan
penutupan tetap terjaga sebelum, selama, dan setelah pemanasan.

Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi


a. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Protein
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat
menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya. Secara umum pengolahan bahan pangan
berprotein dapat dilakukan secara fiisik, kimia atau biologis. Secara fisik biasanya dilakukan
dengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia dengan penggunaan pelarut organik,
pengoksidasi, alkali, asam atau belerang dioksida; dan secara biologis dengan hidrolisa
enzimatis atau fermentasi. Diantara cara pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan
adalah proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan
pengeringan. Pada pengolahan dan penggunaan panas yang tinggi, protein akan mengalami
beberapa perubahan. Perubahan perubahan ini termasuk rasemisasi (Rasemisasi
7
menyebabkan penurunan daya cerna protein karena kurang mampu dicerna oleh tubuh),
hidrolosis, desulfurasi dan deamidasi. Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat ireversibel
dan beberapa reaksi dapat menghasilkan senyawa toksik.
b. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Karbohidrat
Pemasakan karbohidrat diperlukan untuk mendapatkan daya cerna pati yang tepat,
karena karbohidrat merupakan sumber kalori. Pemasakan juga membantu pelunakan dinding
sel sayuran dan selanjutnya memfasilitasi daya cerna protein. Bila pati dipanaskan, granula-
granula pati membangkak dan pecah dan pati tergalatinisasi. Pati masak lebih mudah dicerna
daripada pati mentah.
c. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Lemak
Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan
lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu
yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan,
maka kerusakan lemak akan semakin intens. Asam lemak esensial terisomerisasi ketika
dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi
lemak dapat menyebabkan inaktivasi fungsi biologisnya dan bahkan dapat bersifat toksik.
d. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Vitamin
Stabilitas vitamin pada pengolahan panas relative bervariasi. Vitamin A akan stabil
dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat rusak ketika di panaskan dengan adanya
oksigen terutama pada suhu yang tinggi. Vitamin tersebut akan rusak seluruhnya apabila
dioksidasi dan dihedrogenasi.

Tahapan-Tahapan Proses Pengalengan Bahan Pangan Nabati


Meliputi sortasi, pencucian, pengupasan, pemotongan, blanching, pengisian,
exhausting, penutupan, processing (sterilisasi), pendinginan dan penyimpanan.
1. Proses sortasi dan pencucian
Dalam tahap proses sortasi dilakukan pemilihan buah yang akan dikalengkan yang
bermutu baik, tidak busuk, cukup tua akan tetapi tidak terlalu matang. Buah yang kelewat
matang tidak cocok untuk dikalengkan karena tekstur buahnya akan semakin lunak, sehingga
menyebabkan tekstur yang hancur setelah pemanasan dalam autoklaf. Setelah bahan disortasi,
bahan kemudian dicuci atau dibersihkan dengan menggunakan air bersih. Hal ini dilakukan
untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada bahan sehingga diharapkan akan
menurunkan populasi mikroba, menghilangkan sisa-sisa insektisida, mengurangi atau
menghilangkan bahan-bahan sejenis malam yang melapisi kulit buah-buahan.
8
2. Proses pengupasan kulit, pembuangan biji dan pemotongan
Bagian yang akan dikalengkan adalah bagian buah yang lazim dimakan/ dikonsumsi,
yang biasanya berupa daging buah. Oleh karena itu, bagian-bagian yang tidak berguna,
seperti kulit, biji, bongkol, dsb dilakukan pembuangan. Bagian daging buah yang akan
dimakan kemudian dilakukan proses pemotongan, sesuai dengan ukuran yang dikehendaki
dan ukuran kaleng. Pemotongan atau pengecilan ukuran dilakukan dengan untuk
mempermudah pengisian bahan ke dalam kaleng dan menyeragamkan ukuran bahan yang
akan dimasukan. Selain itu, pengecilan ukuran juga bertujuan untuk mempermudah penetrasi
panas. Jika pemotongan dilakukan dengan sembarangan, maka akan mengakibatkan
diskolorisasi, yaitu timbulnya warna yang gelap atau hilangnya warna asli maupun
pemucatan warna.
3. Proses blansir
Pemblansiran merupakan cara lain yang dapat digunakan untuk membunuh mikroba
patogen. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke
dalam air panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 derajat Celsius. Waktu
blansir bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam bahan, ukuran, dan derajat
kematangan. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya
dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan. Proses blansir
ini berguna untuk:
a. membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal
b. meningkatkan suhu produksi produk atau jaringan
c. membuang udara yang masih ada di dalam jaringan
d. menginaktivasi enzim
e. menghilangkan rasa mentah
f. mempermudah proses pemotongan (cutting, slicing, dan lain-lain)
g. mempermudah pengupasan
h. memberikan warna yang dikehendaki
i. mempermudah pengaturan produk dalam kaleng.

Enzim dan mikroorganisme sering menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak


dikehendaki pada bahan pangan, seperti pencokelatan enzimatis, perubahan flavor, dan
terjadinya pembusukan. Blansir akan menginaktifkan enzim, baik oksidasi maupun hidrolisis,
serta menurunkan jumlah mikroba pada bahan. Di dalam proses blanching buah dan sayuran,
9
terdapat dua jenis enzim yang tahan panas yaitu enzim katalase dan peroksidase, kedua enzim
ini memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-
enzim lain. Apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase atau peroksidase pada buah dan
sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim lain yang tidak diinginkan pun telah
terinaktivasi dengan baik. Lamanya proses blansir dipengaruhi beberapa faktor seperti ukuran
bahan, suhu, serta medium blansir.
Pencegahan kontaminasi mikroba juga dapat dilakukan dengan penyimpanan bahan
pangan dengan baik. Bahan baku segar seperti sayuran, daging, susu sebaiknya disimpan
dalam lemari pendingin. Proses pemasakan juga dapat membunuh mikroba yang bersifat
patogen.
Proses blansir dapat dilakukan dengan cara mencelup potongan-potongan buah dalam air
mendidih selama 510 menit. Lama pencelupan tergantung jenis dan banyak sedikitnya buah
yang akan diolah. Secara umum, proses blansir perlu memperhatikan hal-hal berikut :
4. Proses pengisian
a. Pembuatan medium
Medium yang dipergunakan untuk pengalengan ini ada 2 macam, yaitu
medium larutan gula yang dipergunakan untuk pengalengan buah dan cincau. Medium
yang dipergunakan untuk untuk sop sayur adalah kuah sop yang telah dimasak dengan
rempah-rempah.
Medium digunakan dapat berupa sirop, larutan garam, kaldu atau saus
tergantung produk yang akan dikalengkan. Penambahan medium ini dilakukan untuk
mempercepat penetrasi panas dan mengurangi terjadinya korosi kaleng dengan
berkurangnya akumulasi udara.
b. Proses memasukkan potongan buah ke dalam kaleng
Potongan buah yang telah diblansir kemudian dimasukkan ke dalam kaleng.
Penyusunan buah dalam wadah diatur serapi mungkin dan tidak terlalu penuh. Pada
saat pengisian perlu disisakan suatu ruangan yang disebut dengan head space.
c. Proses pengisian medium
Kemudian dituangkan larutan sirup, larutan garam, kaldu atau saus. Sama
halnya dengan pada saat pengisian buah, pengisian sirop juga tidak dilakukan sampai
penuh, melainkan hanya diisikan hingga setinggi sekitar 1-2 cm dari permukaan
kaleng. Perlu diusahakan bahwa pada saat pengisian larutan tersebut, semua buah
dalam kondisi terendam.
5. Proses exhausting
10
Kaleng yang telah diisi dengan buah (dan sirop) kemudian dilakukan proses
exhausting. Tujuan exhausting adalah untuk menghilangkan sebagian besar udara dan gas-gas
lain dari dalam kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Exhausting penting
dilakukan untuk memberikan kondisi vakum pada kaleng setelah penutupan, sehingga
mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran kaleng karena tekanan dalam kaleng yang
terlalu tinggi (terutama pada saat pemanasan dalam retort) sebagai akibat pengembangan
produk dan mengurangi kemungkinan terjadinya proses pengkaratan kaleng dan reaksi-reaksi
oksidasi lainnya yang akan menurunkan mutu.
Tingkat kevakuman kaleng setelah ditutup juga dipengaruhi oleh perlakuan blansir,
karena blansir membantu mengeluarkan udara/gas dari dalam jaringan. Exhausting dapat
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan cara:
(i) melakukan pengisian produk ke dalam kaleng pada saat produk masih dalam
kondisi panas,
(ii) memanaskan kaleng beserta isinya dengan tutup kaleng masih terbuka, atau
secara mekanik dilakukan penyedotan udara dengan sistem vakum.
6. Proses penutupan kaleng
Setelah proses exhausting kaleng segera ditutup dengan rapat dan her-metis pada suhu
yang relatif masih tinggi. Semakin tinggi suhu penutupan kaleng, maka semakin tinggi pula
tingkat kevakumannya (semakin rendah tekanannya). Proses penutupan kaleng juga
merupakan hal yang sangat penting karena daya awet produk dalam kaleng sangat tergantung
pada kemampuan kaleng (terutama bagian-bagian sambungan dan penutupan) untuk
mengisolasikan produk di dalamnya dengan udara luar. Penutupan yang baik akan mencegah
terjadinya kebocoran yang dapat mengakibatkan kebusukan. Penutupan kaleng yang
dilakukan sedemikian rupa, diharapkan baik udara, air maupun mikroba dari luar tidak dapat
masuk (menembus) ke dalam, sehingga keawetannya dapat dipertahankan.
7. Proses sterilisasi
Setelah proses penutupan kaleng selesai, maka kaleng dimasukkan ke dalam
keranjang yang dipersiapkan untuk proses sterilisasi. Proses sterilisasi dilakukan dalam
autoclave, untuk koktail buah dan cincau digunakan suhu 100C dengan tekanan 0,8 bar
selama 30 menit sedangkan untuk sayuran digunakan suhu 115-121C dengan tekanan 1,05
bar selama 45-60 menit.
8. Proses pendinginan
Setelah proses sterilisasi, kaleng kemudian didinginkan dengan air dingin.
Pendinginan pasca sterilisasi menjadi penting karena timbul perbedaan tekanan yang cukup
11
besar yang dapat menyebabkan rekontaminasi dari air pendingin ke dalam produk. Untuk itu
perlu dipastikan bahwa air pendingin yang digunakan memenuhi persyaratan mikrobiologis.
Untuk industri besar, proses pendinginan biasanya dilakukan secara otomatis di dalam retort,
yaitu sesaat setelah katup uap dimatikan maka segera dibuka katup air dingin. Untuk ukuran
kaleng yang besar, maka tekanan udara dalam retort perlu dikendalikan sehingga tidak
menyebabkan terjadinya kaleng-kaleng yang menggelembung dan rusak. Pendinginan
dilakukan secepatnya setelah proses sterilisasi selesai untuk mencegah pertumbuhan kembali
bakteri, terutama bakteri termofilik. Pendinginan dimulai dengan membuka saluran air
pendingin dan menutup keran - keran lainnya.
Air pendingin dapat dialirkan melalui dua saluran, yaitu bagian bawah dan bagian atas
retort. Pemasukan air mula-mula dilakukan secara perlahanlahan agar tidak terjadi
peningkatan tekanan secara drastis. Peningkatan tekanan secara drastis tersebut harus dicegah
karena dapat menyebabkan kaleng menjadi penyok atau rusak pada bagian pinggirnya
disebabkan kaleng tidak mampu menahan kenaikan tekanan tersebut. Air dialirkan dari
bagian bawah dahulu agar secara bertahap dapat meng-kondensasikan sisa uap yang ada dan
baru bagian atas dibuka. Pada saat retort telah penuh dengan air, aliran dapat lebih deras
dialirkan. Selama proses pendinginan berlangsung, perlu dilakukan pengontrolan tekanan
secara terus menerus untuk mencegah terjadinya koleps pada kaleng, yaitu terjadinya penyok
pada kaleng disebabkan tekanan yang terlalu tinggi. Proses pendinginan dinyatakan selesai
bila suhu air dalam retort telah men-capai 38-42C. Aliran air pendingin kemudian dihentikan
dan air dikeluarkan. Tutup retort dibuka dan keranjang diangkat dari retort.
9. Pengeringan
Setelah kaleng dikeluarkan dari retort, maka kaleng dikeringkan dan dibersihkan,
untuk mencegah korosi atau pengkaratan pada sambungan kaleng. Pengeringan dan
pembersihan kaleng ini perlu dilakukan untuk mencegah rekontaminasi (debu atau mikroba)
yang lebih mudah menempel pada kaleng yang basah.

10. Penyimpanan
Setelah itu disimpan dalam suhu ruang untuk mengetahui daya simpan dan efektifitas
sterilisasi. Pengamatan dilakukan selama 1 minggu dan kaleng disimpan pada suhu 40-50oC.
Jika dalam 1 minggu tersebut ada kaleng yang menggembung, maka proses sterilisasi tidak
berjalan dengan baik dan hal ini ditandai dengan masih adanya aktivitas mikroorganisme.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa sebagian besar produk masih dalam
keadaan baik setelah disimpan selama 1 minggu. Meskipun keseluruhan proses pengalengan
12
bisa dikatakan aseptis, namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya kerusakan, baik
karena berlalunya masa simpan (kadaluwarsa) ataupun karena kurang sempurnanya proses
pengalengan bisa dikatakan aseptis, namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya
kerusakan, baik karena berlalunya masa simpan (kadaluwarsa) ataupun karena kurang
sempurnanya proses pengalengan.

13
KESIMPULAN

Proses termal merupakan teknologi yang termasuk dalam proses pangawetan dengan
menggunakan energi panas yang bertujuan untuk mematikan mikroorganisme
merugikan yang menyebabkan penyakit dan dapat merusak atau menyebabkan
kebusukan pada produk yang dikemas.
Kemasan hermetis (tahan uap dan gas) yaitu kemasan yang secara sempurna tidak
dapat dilalui oleh gas, udara atau uap air sehingga selama masih hermetis wadah ini
tidak dapat dilalui oleh bakteri, kapang, ragi dan debu. Contoh yang paling banyak
digunakan adalah kaleng (tin-plate) dan botol.
Jenis-jenis proses pemanasan yang umum diterapkan dalam proses pengalengan
pangan, adalah blansir, pasteurisasi, sterilisasi dan hot-filling.
Kerusakan Produk Pangan Akibat Proses Termal Pangan meliputi perubahan warna,
perubahan bau dan cita rasa, perubahan tekstur dan viskositas serta perubahan nilai
gizi
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi yang meliputi protein, karbohidrat, lemak
dan vitamin berbeda-beda
Tahapan proses pengalengan bahan pangan nabati meliputi sortasi dan pencucian,
pengupasan, pemotongan, blansir, pengisian, exhausting, penutupan, processing
(sterilisasi), pendinginan, pengeringan dan penyimpanan.

14
DAFTAR PUSTAKA

http://seafast.ipb.ac.id/index.php/articles/37-kesehatan/86-sterilisasi-uht-a-pengolahan
aseptik-jaga-mutu-susu-segar

http://www.scribd.com/doc/31247969/sterilisasi-komercial

http://www.scribd.com/doc/38741915/Sterilisasi

about:reader?url=http%3A%2F%2Fchiki-chikia.blogspot.com
%2F2011%2F07%2Fmakalah-pangan-dan-kesehatan-
pengawetan.html&tabId=2

15

Anda mungkin juga menyukai