Anda di halaman 1dari 58

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Thyfus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) adalah penyakit


infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala
demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan
gangguan kesadaran. penyebab penyakit ini adalah salmonella typosa, basil
geram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora. mempunyai
sekurang-kurangnya tiga macam antigen O (somatic, terdiri zat kompleks
lipopolisakarida ), antigen H (flagella) dan antigen Vi. Dalam serum pasien
terdapat zat anti (aglutinin) terdapat tiga macam antigen tersebut (Ngastiyah,
2005).
Insiden demam typoid bervariasi disetiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan, di daerah rural (jawa barat) 157 kasus per
100.000 penduduk sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000
penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan
penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkunggan dengan
pembuanggan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan
(Aru W.Sudoyo, 2007).
Di Indonesia, thyfus abdominalis terdapat dalam keadaan edemic.
Pasien anak yang ditemukan berumur diatas satu tahun sebagian
besar pasien yang di rawat dibagian ilmu kesehatan Anak FKUI-
RSCM Jakarta berumur di atas 5 tahun.
Data yang didapat dari Rekam Medik Rumah Sakit Kota Mataram
Lombok Barat. Prevalensi penderita Tifus Abdominalis dalam 8 bulan
terakhir tahun 2010, dengan perincian berdasarkan jenis kelamin didapatkan
kasus terbanyak adalah sebagai berikut pada bulan Maret jumlah penderita
sebanyak 10 penderita dengan perincian, 3 laki-laki, 7 perempuan. Pada
bulan April jumlah penderita sebanyak 34 dengan perincian, 22 laki-laki,
12 perempuan. Pada bulan Mei jumlah penderita sebanyak 19 dengan
perincian, 7 laki-laki, 12 perempuan. Pada bulan Juni jumlah penderita

1
sebanyak 8 dengan perincian, 5 laki-laki, 3 perempuaan. Pada bulan Juli
jumlah penderita sebanyak 5 dengan perincian, 3 laki-laki, 2 perempuan.
Pada bulan Agustus jumlah penderita sebanyak 1 dengan jenis kelamin
perempuan. Pada bulan September jumlah penderita sebanyak 12 dengan
perincian, 4 laki- laki, 8 perempuan. Pada bulan Oktober jumlah
penderita sebanyak 28 dengan perincian, 19 laki-laki, 9 perempuan.
Dari data di atas jumlah penderita yang paling banyak adalah pada
bulan April 2010 dengan presentasi penderita sebanyak 30,38 %. Hal ini dapat
di sebabkan oleh berbagai faktor salah satunya perantaraan makanan dan
minuman yang telah terkontaminasi. singkatnya kuman ini terdapat dalam
tinja, kemih atau darah .masa ingkubasinya sekitar 10 hari (Dr.Jan
Tambayong, 2002).
Untuk itu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya hidup sehat melalui penyuluhan kepada keluarga tentang penting
hidup sehat, peningkatan pelayanan kesehatan, dan biaya pengobatan yang
lebih relative murah perlu kita perhatikan untuk menurunkan angka morbilitas
penyakit Tifus Abdominalis. selain itu, penanganan yang tepat sangat di
perlukan yaitu, dengan cara tirah baring total selama demam sampai dengan
dua minggu normal kembali, makanan harus mengandung cukup cairan,
kalori, dan tinggi protein, tidak boleh mengandung banyak serat, tidak
merangsang maupun menimbulkan banyak gas, obat yang digunakan adalah
kloramfenikol 100 mg (Arif Mansjoer, 2000).
Oleh karena itu, peran perawat sangat penting untuk membantu
mangatasi masalah keperawatan pada anak dengan Thypoid. Melihat
gambaran tersebut, maka penulis tertarik mengambil judul Asuhan
Keperawatan pada An.B dengan Diagnosa Medis Typhus Abdominalis di
Paviliun Ismail Rumah Sakit Siti Khotijah Sepanjang .

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut diatas maka dapat


dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah pelaksanaan asuhan keperawatan

2
pada An.B dengan Thypus Abdominalis di Rumah Sakit Siti Khotijah
Sepanjang?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Secara umum mahasiswa mampu mengetahui konsep dasar
teori dan Konsep Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Typus
Abdominalis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Gangguan Sistem Pencernaan Pada Kasus Typus Abdominalis
dengan baik dan benar.
2. Merumuskan Diagnosa Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Pencernaan Pada Kasus Typus Abdominalis dengan baik
dan benar.
3. Menentukan dan menyusun Rencana Asuhan Keperawatan Pada
Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan Pada Kasus Typus
Abdominalis dengan baik dan benar.
4. Melaksanakan tindakan Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Gangguan Sistem Pencernaan Pada Kasus Typus Abdominalis
dengan baik dan benar.
5. Melakukan evaluasi tingkat keberhasilan pelaksanaan Asuhan
Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan
Pada Kasus Typus Abdominalis dengan baik dan benar.

1.4 Manfaat
1.4.1 Ilmu Keperawatan
Menambah wawasan ilmu keperawatan khususnya untuk
melengkapi konsep-konsep intervensi keperawatan. Dapat digunakan
sebagai masukan dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan
ilmu keperawatan.

3
1.4.2 Rumah Sakit
Diharapkan dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan
pada klien Typus Abdominalis dengan memberikan perawatan yang
baik.
1.4.3 Masyarakat
Dapat meningkatkan derajat kesehatan penderita Typus
Abdominalis melalui proses keperawatan yang dilaksanakan dan
dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam upaya
meningkatkan perilaku hidup sehat.
1.4.4 Penulis
Dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan ilmu
pengetahuan pada penulis untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh
selama pendidikan.

1.5 Metode Penulisan


Dalam kepustakaan ini penulis menggunakan literature atau sumber
buku yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

1.6 Sistematika Penulisan


Penulisan makalah ini terdiri dari 3 bab, untuk mempermudah
pembahasan isi makalah ini maka penulis memberikan gambaran singkat,
yaitu sebagai berikut:
BAB 1 : Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat,
metode penulisan dan sistemika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
1. Konsep dasar Typus Abdominalis menguraikan pengertian,
anatomi fisiologi, etiologi, epidemologi, klasifikasi, patofisiologi,
pathway, manifestasi klinis, prosedur diagnostik,
penatalaksanaan, diagnosis banding, komplikasi, pencegahan dan
prognosis.

4
2. Konsep dasar asuhan keperawatan menguraikan tentang
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana asuhan keperawatan,
tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan dan
pendokumentasian keperawatan.
BAB III : Laporan Kasus
Terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan.
BAB IV : Penutup
Terdiri dari simpulan dan saran
Daftar Pustaka

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Definisi
Thyfus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari,

5
gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran (Arif Mansjoer,
2000).
Thyfus Abdominalis merupakan penyakit infeksi bakteri yang
hebat yang diawali di selaput lendir usus dan jika tidak segera diobati
secara progresif dapat menyerbu jaringan diseluruh tubuh (Jan
Tambayong, 2002).
Demam Typhoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam
yang lebih dari satu minggu gangguan pada pencernaan dan gangguan
kesadaran (Nursalam, 2005).
Thyfus Abdominalis (demam typoid, enteric fever) ialah,
penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada
pencernaan, dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Tifoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus
yang disebabkan oleh salmonella thypii, penyakit ini dapat ditularkan
melalui makan, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman
salmonellathypii (Hidayat Alimul Azis.A, 2006).
Jadi Typhus Abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi mengenai saluran pencernaan
ditandai adanya demam lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran
cerna dan gangguan kesadaran.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi


Usus halus atau intestinium minor adalah bagian dari sistem
pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada
sekum panjangnya kurang lebih 6m, merupakian saluran paling
panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil pencernaan yang
terdiri dari lapisan usus halus (lapisan mukosa sebelah dalam, lapisan
otot melingkar (muskular sirkuler), lapisan otot memanjang (muskular
longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Fungsi usus halus
adalah diantaranya secara selektif mengabsorpsi produk digesti, usus
halus juga mengakhiri proses pencernaan makanan yang dimulai di

6
mulut dan lambung. Proses ini diselesaikan oleh enzim usus dan enzim
pancreas serta dibantu empedu dalam hati.
Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus
dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh,
duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti
mengalirkan makanan. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding
usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang
membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna).
Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna
protein, gula dan lemak. Bagian dari usus halus terdiri dari :
1. Duodenum

Duodenum disebut juga usus 12 jari, berbentuk sepatu kuda


melengkung ke kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada
bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir, yang membukit
disebuit papilla vateri. Pada papilla vateri ini bermuara saluran
empedu (duktus koledukus) dan saluran poankreas (duktus
wirngus/duktus pankreatikus).
Empedu dibuat dihati untuk dikeluarkan ke duodenum
melalui duktus koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak,
dengan bantuan lipase. Pankreas juga menghasilkan amilase yang
berfungsi mencerna hidrat arang menjadi disakarida, dan tripsin
yang berfungsi mencerna protein menjadi asam amino atau
albumin dan polipeptida.
Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang
banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar-kelenjar
Brunner, berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.
2. Jejenum dan Ileum
Jejenum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 meter.
Bagian atas adalah jejenum dengan panjang 23 meter dan ileum
dengan panjang 4-5 meter. Lekukan jejenum dan ileum melekat
pada dinding abdomen posteior dengan perantara lipatan

7
peritonium yang berbentukkipas dikenal sebagai mesenterium.
Sambungan antara jejenum dan ileum tiak mempunyai batas tegas.
Ujung bawah ileum berhubungan dengan sekum dan perantaraan
lubang yang bernama orifisium ileosekalis.
Fungsi Usus Halus meliputi :
1. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap
melalui kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
2. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
3. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.
Di dalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah
usus yang menyempurnakan makanan :
1. Enterokinase mengaktifkan enzim proteolitik.
2. Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam
amino.
3. Laktase menguabah laktosa menjadi monosakarida.
4. Maltose mengubah maltosa menjadi monosakarida.
5. Sukrose mengubah sukrosa menjadi monosakarida.

2.1.3 Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan
spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization
(WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid
dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus
rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih
besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah
pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus

8
per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara
3-19 tahun pada 91% kasus.
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia
sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi
dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja
dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang
berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun
pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1
minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan
pasteurisasi (temp 63C).
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari
penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan
tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu
hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah
dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman
pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman
berasal dari laboratorium penelitian.
Saat ini demam tifoid masih berstatus endemik di banyak
wilayah di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, di mana sanitasi air dan
pengolahan limbah kotoran tidak memadai. Sementara, kasus tifoid
yang ditemukan di negara maju saat ini biasanya akibat terinfeksi saat
melakukan perjalanan ke negara-negara dengan endemik tifoid. Pada
area-area endemik, kejadian demam tifoid paling tinggi terjadi pada
anak-anak usia 5 sampai 19 tahun, pada beberapa kondisi tifoid secara
signifikan menyebabkan kesakitan pada usia antara 1 hingga 5 tahun.
Pada anak usia lebih muda dari setahun, penyakit ini biasanya lebih
parah dan berhubungan dengan komplikasi yang umumnya terjadi.
Diseluruh dunia diperkirakan antara 1616,6 juta kasus baru demam
tifoid ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia
diperkirakan sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya. Suatu laporan di
Indonesia diperoleh sekitar 310-800 per 100.000 sehingga setiap tahun

9
didapatkan antara 620.000-1.600.000 kasus. Demam tifoid di
Indonesia masih merupakan penyakit endemik, mulai dari usia balita,
anak-anak dan dewasa. Demam ini terutama muncul di musim
kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang.
Peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun.

2.1.4 Etiologi
Menurut Nursalam (2005), penyebab terjadinya penyakit
Thypus Abdominalis ini adalah salmonella typhosa yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Basil garam negatif yang begerak dengan bulu getar dan tidak
berspora.
2. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu :
a. Antigen O (somatiik yang terdiri zat kompleks
lipopolisakarida),
b. Antigen H (flagella),
c. Antigen Vi dalam serum pasien terdapat zat anti (aglutinin)
terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Gambar. Gambaran mikroskopis Salmonella typhi

Menurut Soegeng Soegijanto (2002), faktor lain yang dapat


menyebabkan penyakit Thypus Abdominalis antara lain :

10
1. Pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan yang relative
rendah,
2. Penyediaan air bersih yang tidak memadai.
3. Keluarga dengan hygiene sanitasi yang rendah,
4. Pemasalahan pada identifikasi dan pelaksanaan karier,
5. Keterlambatan membuat diagnosis yang pasti,
6. Pebogenesis dan faktor virulensi yang belum dimengerti
sepenuhnya serta belum tersedianya vaksin yang efektif, aman dan
murah.

2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari Thypus Abdominalis adalah :
1. Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7
hari, gangguan pada saluran cerna , gangguan kesadaran.
2. Paratypus adalah jenis typus yang lebih ringan, mungkin sesekali
penderita mengalami buang-buang air. Jika diamati, lidah tampak
berselaput putih susu, bagian tepinya merah terang. Bibir kering,
dan kondisi fisik tampak lemah, serta nyata tampak sakit. Jika
sudah lanjut, mungkin muncul gejala kunin,sebab pada tipus
oragan limfa dan hati bias membengkak seperti gejala hepatitis.

2.1.6 Patofisiologi
Kuman Salmonella Typi masuk tubuh manusia melalui mulut
dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan
oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami
hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal
dapat terjadi. Kuman Salmonella Typi kemudian menembus ke lamina
propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial,
yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar
limfe ini salmonella typi masuk ke aliran darah melalui duktus
thoracicus.
Kuman salmonella typi lain mencapai hati melalui sirkulasi
portal dari usus. Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa,
hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka
demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh

11
endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian ekperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama
demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin
salmonella typi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena
membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat
salmonella typi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan
karena salmonella typi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan
penglepasan zat pirogen oleh zat leukosit pada jaringan yang
meradang.
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-
gejala yang timbul amat bervariasi. Perbedaaan ini tidak saja antara
berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke
waktu. Selain itu gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan
yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan
komplikasi dan kematian hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli
yang sudah sangat berpengalamanpun dapat mengalami kesulitan
membuat diagnosis klinis demam tifoid.
Dalam minggu pertama penyakit keluhan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan
fisis hanya didapatkan suhu badan meningkat . dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia relatif,
lidah yang khas (kotor di tengah, tepi daan ujung merah dan tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang
ditemukan pada orang Indonesia.
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai
cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari
tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses (tinja).
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman
salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan
melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang

12
akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan
makanan yang tercemar kuman salmonella thypii masuk ke tubuh
orang yang sehat melalui mulut.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid
disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian
eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada
usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh
leukosit pada jaringan yang meradang.

2.1.7 Pathway

13
14
2.1.8 Manifestasi Klinis

Masa tunas 7-14 (rata-rata 3-30) hari, selama inkubasi


ditemukan gejala prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala
yang tidak khas) :
1. Perasaan tidak enak badan
2. Lesu
3. Nyeri kepala

15
4. Pusing
5. Diare
6. Anoreksia
7. Batuk
8. Nyeri otot (Mansjoer, Arif 2000).
Menyusul gejala klinis yang lain
1. Demam
Demam berlangsung 3 minggu :
a. Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari
dan meningkat pada sore dan malam hari.
b. Minggu II : Demam terus.
c. Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur-angsur.

2. Gangguan Pada Saluran Pencernaan


a. Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan
tepi kemerahan, jarang disertai tremor.
b. Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan.
c. Terdapat konstipasi, diare.
3. Gangguan Kesadaran
a. Kesadaran yaitu apatis-somnolen.

16
b. Gejala lain ROSEOLA (bintik-bintik kemerahan karena
emboli hasil dalam kapiler kulit).
Menurut Taufan Nugroho (2011), tanda dan gejala dari typus
abdominalis antara lain :
1. Demam tinggi > 7 hari
2. Gangguan gastrointestinal
3. Bibir kering dan pecah-pecah
4. Lidah kotor-berselaput putih dan pinggirnya hiperemis
5. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan
6. Bradikardi relatif
7. Kenaikan denyut nadi tidak sesuai dengan kenaikan suhu badan

2.1.9 Penatalaksanaan
1. Non Medika Mentosa
a. Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat


membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan
tidak bekerja sampai pemulihan.
b. Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein


(TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam
memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi
usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah
perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid,
basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan
nasi biasa.
c. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik


secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan
pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung

17
elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d. Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam


upaya menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian
kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor
yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem
efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan
vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur
oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai
otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga
terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh
sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini
sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu
juga sebaliknya.
2. Medika Mentosa
a. Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat


diberi antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan
yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan
dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek
mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang
masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya
sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah

18
yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.
b. Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
1) Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama
untuk infeksi tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang
diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup
50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7
hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak
dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus
malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan
diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik
jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan
carier.
2) Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis
antibiotika trimetoprim dan sulfametoxazole dengan
perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.
Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk
anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan
ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti
Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia.
Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.
3) Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang
lebih rendah dibandingkan dengan chloramphenicol dan
cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat ini
cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4
dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

19
4) Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim,
Cefixime), merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya
setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim
150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu
untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium,


stupor, koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV
(dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus
kadang-kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang
sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi
disertai penambahan antibiotika metronidazol.

2.1.10 Komplikasi
Menurut Nursalam (2005), Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2
bagian :
1. Komplikasi pada usus halus
a. Perdarahan usus

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan


pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak
terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda
renjatan.

20
b. Perforasi usus

Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya


dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak
disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara
dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen
yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa


perforasi usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang
hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a. Bronkitis dan bronkopneumonia

Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat


ringan dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa
merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit
atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses
paru, efusi, dan empiema.
b. Kolesistitis

Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada


akhir minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak
khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk
menjadi seorang karier.
c. Typhoid ensefalopati

Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda


klinis berupa kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah,
demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila
disertai kejang-kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan
bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi
yang terkena.

21
d. Meningitis

Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih


sering didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan
anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering
terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan
Salmonella oranemburg.
e. Miokarditis

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan


serta gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada
anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu
kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain :
sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I,
AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f. Infeksi saluran kemih

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri


Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah
sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan
penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai
gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis
yang buruk.
g. Karier kronik

Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan


gejala penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman
Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi
S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%
pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya
2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi
organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti
semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis

22
kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal,
seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada
urinya dalam waktu yang lama.

2.1.11 Pemeriksaan penunjang

Menurut Ngastiyah (2005), pemeriksaan laboratorium untuk


membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat
kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan
sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan
eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik
supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu
ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh
destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung
leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama
bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun,
gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia,
dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada
perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat,
tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan
SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler,
eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam
batas normal.

2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik
terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen
itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini

23
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid.
Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi
oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam
tifoid ini meliputi :
a. Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk
mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal.
Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi
reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi
yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan
antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat
antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi
yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi
dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
1) Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2) Aglutinin H (flagel kuman)
3) Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H
yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

24
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan
titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan
tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun.
Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang
setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi,
antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak
dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya
dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin
1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur
pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai
ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer
O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang
terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca
imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin
dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat
dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor
yang berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
1) Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu :
a. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian
kortikosteroid.
b. Gangguan pembentukan antibodi.
c. Saat pengambilan darah.

25
d. Daerah endemik atau non endemik.
e. Riwayat vaksinasi.
f. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin
pada infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid
masa lalu atau vaksinasi.
2) Faktor teknik, yaitu :
a. Akibat aglutinin silang.
b. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi
antigen.
c. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
1) Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya
(ini kejadian paling sering di negara kita, demam > beri
antibiotika > tidak sembuh dalam 5 hari > tes Widal)
menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
2) Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya
(misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H
juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis
bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu
(false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan
tifoid).

b. Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

26
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang
hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan
tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan
menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh
Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas
sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat
menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.
Ada 3 interpretasi hasil :
1) Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan
infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan
ulang 3-5 hari kemudian.
2) Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam
tifoid
3) Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

27
Gambar 6. Respon antibodi Salmonella typhi dengan Tubex

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat


sebagai berikut:
1) Immunodominan yang kuat.
2) Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan
mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
3) Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
4) Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang
kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan
reseptor yang lain.
5) Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang
jarang ditemukan baik di alam maupun diantara
mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :


1) Mendeteksi infeksi akut Salmonella
2) Muncul pada hari ke 3 demam
3) Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman
Salmonella
4) Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
5) Hasil dapat diperoleh lebih cepat

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila
ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses,
sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah

28
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan


tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan
(3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan
pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum
tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan
volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan

29
untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada
media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti
melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada
akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur
yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini
terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah
mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah
satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh
keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,

30
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa
lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang
lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam
pelayanan penderita.

2.1.12 Diagnosis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis


yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat
bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi
dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan
manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala,
malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran
hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu
ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang
terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu
seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat
badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai
depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose
spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit
dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan
berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4
minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda
dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering

31
terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan
gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan
bakteriologis.

2.1.13 Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-


kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu
paratyphi, influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia.
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler
seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,
shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang
berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai
dignosis banding.

2.1.14 Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid :
1. Cuci tangan

Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk


mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci
tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun
terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis
alkohol jika tidak tersedia air.
2. Hindari minum air yang tidak dimasak

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada


daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau
kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda
membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya.

32
Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan
tidak menelan air di pancuran kamar mandi.
3. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah

Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang


lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk
menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk
menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan
sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah
dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran
mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak
mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat
dikupas.
4. Pilih makanan yang masih panas.

Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan


pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas.
Pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata
dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada
jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari
membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin
terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh
dari demam tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi
orang lain:
1. Sering cuci tangan

Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk


menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan
selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.
2. Bersihkan alat rumah tangga secara teratur

33
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air
setidaknya sekali sehari.
3. Hindari memegang makanan

Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai


dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda
bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak
boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak
lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
4. Gunakan barang pribadi yang terpisah

Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda


sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi :

Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat


dengan mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum
yang aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup,
mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya
bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara
terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:


1. Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a.
Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang
sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil,
menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang
minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan
pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6
tahun.
2. Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang
dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap

34
mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25
mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan
interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan.
Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu,
dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di
kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat
demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar
lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama
perlindungan yang pendek.
3. Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri
Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang
dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini
tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram
antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara
intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3
tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

2.1.15 Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi,


usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di
negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas
<1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan.
Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang
mengeluarkan S.ser. Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi
karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan

35
meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


Dalam melaksanakan asuhan keperawatan penulis mengacu dalam
proses keperawatan yang terdiri dari lima tahapan, yaitu :
2.2.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar dalam proses


keperawatan. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan
yang terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan.
Pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan cermat sehingga seluruh
kebutuhan perawatan pada klien dapat diidentifikasi (Nikmatur, 2010).
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan dan alamat. Hal ini penting untuk membedakan masing-
masing klien.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Merupakan keluhan klien atau keluarga yang
menyebabkan penderita mencari pertolongan. Pada penderita
typhus abdominalis keluhan utamanya adalah demam yang
berlangsung satu minggu serta rasa tidak enak di perut.
b. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat mulainya sakit hingga penderita
masuk rumah sakit, riwayat pengobatan yang telah diberikan,
faktor-faktor yang menyebabkan munculnya penyakit ini.
Gejala typhus abdominalis, yaitu :
1) Timbul nyeri kepala, lemah, lesu, demam yang tidak terlalu
tinggi berlangsung selama tiga minggu.
Minggu pertama, peningkatan suhu tubuh berfluktuasi
biasanya suhu meningkat pada malam hari dan turun pada
pagi hari.

36
Pada minggu kedua, suhu tubuh terus meningkat dan pada
minggu ketiga suhu berangsur-angsur turun dan kembali
normal.
2) Gangguan pola saluran cerna : bibir kering dan pecah-
pecah, halitosis, lidah ditutupi selaput kotor (coated
tongue), meteorismus, mual, tidak nafsu makan,
hepatomegali, splenomegali yang disertai nyeri pada
perabaan.
3) Gangguan kesadaran : penurunan kesadaran (apathies,
samnolen). Bintik-bintik kemerahan pada kulit (roseola)
akibat imboli basil dalam kapiler kulit epistaksis.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit masa lalu merupakan riwayat
kesehatan sebelum saat ini, terutama yang berhubungan dengan
sakitnya yang sekarang.Yang perlu dikaji adalah apakah klien
dulu pernah menderita suatu penyakit yang serius sehingga
dapat mendukung timbulnya penyakit yang sekarang.

d. Riwayat penyakit keluarga


Berguna untuk mengetahui apakah anggota keluarga
ada yang pernah atau sedang menderita penyakit atau kelainan
yang dapat mempengaruhi klien.
e. Riwayat kehamilan dan persalinan
1) Prenatal care : pada ibu hamil periksa kehamilan sedini
mungkin, paling sedikit 4x (tribulan I : satu kali, tribulan
II : satu kali dan tribulan III : dua kali).
2) Natal care : proses kelahiran harus direncanakan untuk
menuju persalinan yang aman, termasuk resiko rendah apa
resiko tinggi.

37
3) Post natal care : perawatan setelah kelahiran harus
diperhatikan terutama perawatan tali pusat dan pemberian
ASI eklusif.
f. Riwayat tumbuh kembang
1) Fisik : pada anak umur 6 tahun secara normal berat badan
naik 2-3 kg/tahun dan tinggi badan 6-7 cm/tahun.
2) Motorik : mampu menggunakan otot-otot kasar daripada
otot halus (loncat tali, bulu tangkis).
3) Sosial emosional : pada umur 6 tahun adalah usia sekolah
anak memperluas lingkup pergaulannya dan menjadi aktif
di luar rumah sehingga kemampuan berbahasa semakin
meningkat.
g. Riwayat imunisasi
1) Pada umur 1 tahun imunisasi dasar harus sudah diberikan
dengan lengkap.
2) BCG diberikan 1 kali sebelum berumur 2 bulan.
3) DPT diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu diberikan
setelah usia 2 bulan.
4) Polio diberikan 4 kali dengan interval 4 minggu diberikan
bersama waktu imunisasi DPT dengan cara diteteskan
langsung di mulut sebanyak 2 tetes.
5) Campak diberikan satu dosis pada umur 9 bulan.
6) Hepatitis B diberikan 3 kali, diberikan sedini mugkin
dengan jarak satu bulan antara suntikan 1 dan 2 lima bulan
antara suntikan 2 dan 3.
3. Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan ketatalaksanaan kesehatan
Kemampuan klien menggunakan fasilitas kesehatan
yang ada apabila dirinya terserang penyakit dan kemampuan
klien tentang cara mencegah terjadinya penularan penyakit
typhus abdominalis. Hal ini tergantung pada usia dan
pengetahuan klien.

38
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien typhus abdominalis yang masih dalam
demam tinggi akan mengalami penurunan nafsu makan karena
mual-muntah, sehingga terjadi gangguan pada kebutuhan
nutrisinya, suhu (axial) 39 C. Selain hal ini, pada klien typhus
abdominalis menderita kelainan berupa adanya tukak-tukak
pada usus halusnya sehingga makanan harus disesuaikan.
Diet yang diberikan ialah makanan yang mengandung
cukup cairan, rendah serat, tinggi protein dan tidak
menimbulkan gas.Pemberiannya melihat keadaan
pasien.Pemberian makanan pertama ialah bubur saring
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat
kesembuhan klien.
c. Pola aktifitas dan latihan
Aktifitas akan mengalami gangguan karena lemah
(malaise), tetapi tidak mengalami sesak nafas jika beraktifitas.
Begitu juga pada saat mengalami masa perawatan pada
hyperpireksia klien harus tirah baring ditempat tidur sampai
suhu turun.Diteruskan dua minggu lagi, kemudian mobilisasi
bertahap (duduk, berdiri dan berjalan).

d. Pola eliminasi
Kebutuhan seseorang atau kebiasaan seseorang dalam
eliminasi alvi maupun uri berbeda-beda.Pada klien typhus
abdominalis ini bisa terganggu karena diare atau konstipasi.
e. Pola tidur dan istirahat
Istirahat biasanya mengalami gangguan, karena adanya
kepala pusing dan nyeri serta suhu badan yang tinggi.
f. Pola persepsi dan kognitif
Pada umumnya klien typhus abdominalis pada indera
pendengaran dan indera penciuman tidak mengalami gangguan,

39
sedangkan indera penglihatan fungsinya tidak terpengaruh
hanya saja terasa nyeri.
g. Pola persepsi diri
Klien akan merasa diasingkan karena penyakit typhus
abdominalis adalah penyakit menular sehingga perawatannya
harus disendirikan termasuk alat makan, minum dan pakaian.
h. Pola hubungan dan peran
Pada klien typhus abdominalis hubungan klien dengan
lingkungan dan teman-teman bermain akan mengalami
gangguan karena klien harus tirah baring ditempat tidur.
i. Pola reproduksi dan seksual
Pengetahuan klien tentang reproduksi dan seksual
tergantung pada usia klien.
j. Pola penanggulangan stress
Dalam menangani stress, biasanya klien akan
membicarakan masalahnya pada ornag terdekat (ibu, bapak,
nenek, kakek atau teman).
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Tata nilai dan kepercayaan individu disesuaikan
menurut menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Yang perlu dikaji kesadarannya pada kasus typhus
abdominalis biasanya terjadi penurunan kesadaran (apathies,
samnolen).
b. Pemeriksaan Head to-toes
1) Kepala dan leher
Meliputi ada tidaknya benjolan pada kepala,
kerontokan rambut per hari, leher tidak ditemukan
pembesaran kelenjar tiroid, distensi vena jugularis.

40
2) Mata
Warna konjugtiva (merah/anemia) ada icterus apa
tidak, mata nampak cekung atau cowong.
3) Hidung
Yang perlu dikaji ialah adanya secret, epistaxis,
pernafasan cuping hidung, bentuk hidung dan lain-lain.
4) Mulut dan tenggorokan
Yang perlu dikaji adalah mukosa bibir, adanya
stomatitis, cyanosis, lidah nampak kotor atau tidak.
Gigi terdapat caries apa tidak.
Tonsil terjadi hyperemi apa tidak, pada tenggorokan ada
nyeri telan apa tidak.
5) Telinga
Bentuk simetris, adanya cerumen, cairan dan fungsi
pendengarannya.
6) Dada
Bentuk dada simetris atau asimetris, tidak terdapat
tanda-tanda dyspneu dan retraksi, adanya nyeri tekan atau
tidak.Terdapat adanya suara tambahan atau tidak
(wheezing, ronkhi).

7) Abdomen
Yang perlu dikaji adanya kembung, nyeri tekan,
turgor dan bising usus (normal terjadi tiap 10 sampai 20
detik dan dapat terdengar bunyi berdeguk dan bunyi
keroncongan).
8) Punggung
Meliputi ada tidaknya kiposis, iordosis, adanya lecet
dan nyeri punggung.
9) Genetalia

41
Meliputi kebersihannya, normal apa tidak (hernia,
artesiani).
10) Muskuloskeletal
Meliputi pergerakan pada ekstremitas atas dan
bawah, reflek patella, warna kuku, ada tidaknya atropi otot.
5. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leucopenia,
limfositosis, relative, dan aneosinofilia pada permukaan sakit.
b. Pemeriksaan widal didapatkan titer terhadap antigen O adalah
1/200 atau lebih, sedangkan titer terhadap antigen H walaupun
tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk menegakkan diagnosis
karena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan imunisasi
atau bila penderita telah lama sembuh.
c. Biakan empedu basil salmonella typhosa dapat ditemukan
dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya,
lebih sering ditemukan dalam urine dan feces (Nursalam,
2005).

2.2.2 Diagnosis Keperawatan

Pernyataan yang menggambarkan respon manusia (keadaan


sehat atau perubahan pola interaksi actual/potensial) dari individu atau
kelompok agar perawat dapat secara legal mengidentifikasi dan
perawat dapat memberikan tindakan keperawatan secara pasti untuk
menjaga status kesehatan (Nikmatur, 2010).
Menurut Aziz Alimul Hidayat (2006), masalah keperawatan
yang muncul pada pasien dengan typus abdominalis antara lain :

42
1. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan menurunnya nafsu makan.
2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan proses
infeksi salmonella typhosa.
3. Resiko terjadi komplikasi berhubungan dengan adanya komplikasi
lebih lanjut dari typhus abdominalis.

2.2.3 Perencanaan

Pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi


dan mengatasi maslah masalah yang telah diidentifikasi dalam
diagnosisi keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh
mana perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan masalah
dengan efektif dan ifisien (Nikmatur, 2010).
Ada 4 tahap dalam fase perencanaan yaitu menentukan
prioritas masalah keperawatan, menetapkan tujuan dan kriteria hasil,
merumuskan rencana tindakan keperawatan dan menetapkan rasional
rencana tindakan keperawatan (Nikmatur, 2010).
1. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan menurunnya nafsu makan.
a. Tujuan
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
b. Kriteria Hasil :
1) Porsi makan habis
2) BB dalam batas normal
c. Intervensi :
1) Berikan diet TKTP, cukup cairan, rendah serat, tinggi
protein, dan tidak menimbulkan gas.
Rasional : makanan yang sesuai dengan kondisi dan
penyakit klien dapat membantu memenuhi kebutuhan
nutrisi klien sehingga dapat mempercepat penyembuhan
dan tidak memperberat penyakitnya.
2) Berikan ekstra susu atau makanan dalam keadaan hangat.

43
Rasional : makanan hangat dapat merangsang selera makan
pasien.
3) Berikan makan mulai sedikit tetapi sering hingga jumlah
asupan terpenuhi.
Rasional : rasa mual dan muntah dapat disebabkan oleh
porsi makan yang dihabiskan sekaligus tanpa
memperhatikan keadaan pasien.
4) Berikan nutrisi dalam bentuk makanan lunak untuk
membantu nafsu makan.
Rasional : Pemberian makanan tambahan diharapkan dapat
menambah kebutuhan nutrisi pasien.
5) Kolaborasi pemberian vitamin.
Rasional : Dengan pemberian vitamin nafsu makan klien
bertambah dan akan mempercepat kesembuhan.
2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan proses
infeksi salmonella typhosa.
a. Tujuan
Suhu tubuh dapat normal kembali
b. Kriteria Hasil :
1) Suhu normal (36-37C)
2) Mata tidak cowong
3) Tanda-tanda dalam batas normal

c. Intervensi
1) Lakukan observasi tanda -tanda vital.
Rasional : Dengan mengobservasi tanda-tanda vital untuk
mengetahui perkembangan pasien secara dini.
2) Beri kompres dingin pada daerah axial, leher dan daerah
pelipatan tubuh klien.
Rasional : Pemberian kompres dingin dapat menurunkan
suhu tubuh.

44
3) Beri minum yang cukup.
Rasional : Dengan minum yang cukup dapat menghindari
terjadi dehidrasi karena suhu tubuh yang meningkat.
4) Pakaian baju yang tipis dan menyerap keringat.
Rasional : Pakaian yang tipis dan menyerap keringat dapat
mempermudah ventilasi udara dan sirkulasi jaringan perifer
pada kulit.
5) Kolaborasi pemberian antipiretik dan antibiotik.
Rasional : Pemberian antipiretik dapat menurunkan panas
dan antibiotik untuk membunuh bakteri penyakit infeksi.
6) Libatkan keluarga dalam perawatan serta ajari cara
menurunkan suhu dan mengevaluasi perubahan suhu tubuh.
Rasional : Dengan penjelasan pada keluarga dapat mengerti
sehingga akan mau bekerja sama dengan perawat.
3. Resiko terjadi komplikasi berhubungan dengan adanya komplikasi
lebih lanjut dari typhus abdominalis.
a. Tujuan :
Mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut
b. Kriteria Hasil
Tidak ada tanda-tanda komplikasi
c. Intervensi
1) Berikan istirahat yang cukup selama demam.
Rasional : Pasien perlu istirahat mutlak selama demam,
agar proses penyembuhan cepat.
2) Lakukan mobilisasi setelah 2 minggu bebas panas mulai
dari duduk.
Rasional : Dengan mobilisasi akan mencegah kelecetan.
3) Berikan antibiotik sesuai dengan ketentuan.
Rasional : Dengan pemberian terapi sesuai ketentuan dapat
mempercepat penyembuhan.
4) Libatkan keluarga dalam perawatan dan ajari cara
melakukan perawatan secara aseptik.

45
Rasional : Diharapkan keluarga mengerti dan mau bekerja
sama dengan perawat.

2.2.4 Pelaksanaan Keperawatan

Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang


telah direncanakan mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.
Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan
analisis dan kesimpulan perawat serta bukan atas petunjuk tenaga
kesehatan lain.
Tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang
didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas
kesehatan lain (Mitayani, 2011).
Pelaksanaan merupakan tindakan yang sudah di rencanakan
dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup
tindakaan mandiri (independen)dan tindakan kolaborasi. Agar lebih
jelas dan akurat dalam melakukan implementasi diperlukan
perencanaan keperawatan yang spesifik dan operasional (Tarwoto dan
Wartonah, 2006).
Pelaksanaan merupakan langkah ke empat dalam tahap proses
keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah di rencanakan dalam
rancana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat harus
mengetahui berbagai hal di antaranya bahaya-bahaya fisik dan
perlindungan bagi klien, tehnik komunikasi, kemapuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman dari hak-hak dari klien serta dalam memahami
tingkat perkembangan klien (A Aziz Alimul Hidayat, 2007).

2.2.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan


perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Tujuan dari evaluasi
adalah mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasi

46
rencana tindakan keperawatan dan meneruskan rencana tindakan
keperawatan (Nikmatur, 2010).
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan yang telah di
capai yang dapat di gunakan sebagai bahan pertimbangan perencanaan
selanjutnya. Dengan demikian proses keperawatan ini adalah
berkelanjutan.
Macam-macam evaluasi :
1. Evaluasi proses (formatif)
a. Evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan.
b. Berorientasi pada etiologi.
c. Dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang telah
ditentukan tercapai.
2. Evaluasi hasil (somatif)
a. Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan
secara paripurna.
b. Berorientasi pada masalah keperawatan.
c. Menjelaskan keberhasilan/ketidakberhasilan.
d. Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai
dengan kerangka waktu yang ditetapkan.
Untuk memudahkan perawat mengevaluasi atau memantau
perkembangan klien, digunakan komponen SOAP/SOAPIER.
Penggunaannya tergantung dari kebijakan setempat.

Yang dimaksud dengan SOAPIER adalah :


1. S : Data Subjektif
Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O : Data Objektif
Yaitu data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi
perawat secara langsung kepada klien, dan yang dirasakan
klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.

47
3. A : Analisis
Interpretasi dari data subjektif dan data objektif. Merupakan
suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi,
atau juga dapat dituliskan masalah/diagnosis baru yang terjadi
akibat perubahan status kesehatan klien yang telah
teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan objektif.
4. P : Planning
Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan,
dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan
keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya. Tindakan
yang telah menunjukkan hasil yang memuaskan dan tidak
memerlukan tindakan ulang pada umumnya dihentikan.
Tindakan yang perlu dilanjutkan adalah tindakan yang masih
komperen untuk menyelesaikan masalah klien dan
membutuhkan waktu untuk mencapai keberhasilannya.
Tindakan yang perlu dimodifikasi adalah tindakan yang dirasa
dapat membantu menyelesaikan masalah klien tetapi perlu
ditingkatkan kualitasnya atau mempunyai alternative pilihan
yang diduga dapat membantu mempercepat proses
penyembuhan. Sedangkan rencana tindakan yang baru/
sebelumnya tidak ada dapat ditentukan bila timbul masalah
baru atau rencana tindakan yang ada sudah tidak kompeten
lagi untuk menyelesaikan masalah yang ada.

5. I : Implementasi
Adalah tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan
instruksi yang telah teridentifikasi dalam komponen P
(perencanaan). Jangan lupa menuliskan tanggal dan jam
pelaksanaan.
6. E : Evaluasi
Adalah respon klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
7. R : Reassesment

48
Adalah pengkajian ulang yang dilakukan terhadap
perencanaan setelah diketahui hasil evaluasi, apakah dari
rencana tindakan perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau
dihentikan.
Komponen tahap evaluasi antara lain pencapaian kriteria hasil,
keefektifan tahap-tahap proses keperawatan rencana dan revisi atau
terminasi rencana keperawatan.
Menurut Ali (2003), sasaran evaluasi mempunyai 2 hal :
1. Evaluasi proses evaluasi yang berdasarkan rencana yang telah di
susun pada setiap sift.
2. Evaluasi yang berdasarkan kriteria keberhasilan yang telah di
tetapkan dalam perencanaan.
Ada 3 kriteria yang di pakai untuk melakukan tujuan yang telah
di tetapkan itu telah tercapai yaitu:
1. Tujuan tercapai apabila klien menunjukan perubahan sesuai standar
yang telah di tetapkan perawat.
2. Tujuan tercapai sebagian
Apabila klien menunjukan perubahan sebagian standar kriteria
yang telah di tetapkan.
3. Tujuan tidak tercapai apabila klien tidak memperlihatkan
perubahan dan kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah baru.

2.2.6 Dokumentasi keperawatan

Menurut Harnawatiaj (2008), dokumentasi keperawatan adalah


kegiatan keperawatan mencakup rencana secara sistematis. Semua
kegiatan dalam kegiatan kontrak perawat klien dalam kurun waktu
tertentu, secara jelas, lengkap dan objektif.
Hal ini bertujuan untuk memberi kemudahan dalam
memberikan asuhan keperawatan dan jaminan mutu, di samping
pencatatan kegiatan pendokumentasian keperawatan juga mencakup
penyimpangan atau pemeliharaan hasil pencatatan dan

49
pendokumentasian pada anggota sesama tim kesehatan untuk
kepentingan pengobatan klien serta kepada aparat penegak hukum bila
di perlukan untuk pembuktian.
1. Kegiatan pedokumentasian meliputi :
a. Komunikasi
Keterampilan dokumentasi yang efektif memungkinkan
perawat untuk mengkomunasikan kepada tenaga kesehatan
lainya dan menjelaskan apa yang sudah, sedang, dan yang akan
di kerjakan oleh perawat.
b. Dokumentasi proses keperawatan
Pencatatan proses keperawatan merupakan metode yang
tepat untuk pengambilan keputusan yang sistematis, problem
solving, dan riset lebih lanjut. Doumentasi proses keperawatan
mencakup pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan dan
tindakan. Perawat kemudian mengobservasi dan mengevaluasi
respon klien terhadap tindakan yang di berikan dan
mengkomunikasikan informasi tersebut kepada tenaga
kesehatan lainya.
c. Standar dokumentasi
Perawat perlu menampilkan keterampilan untuk
memenuhi standar dokumentasi adalah suatu peryataan tentang
kualitas dan kwantitas dokumentasi yang di pertimbangkan
secara adekuat dalam suatu situasi tertentu standar dokumentasi
berguna untuk memperkuat pola pencatatan sebagai petunjuk
atau pedoman praktik pendokumentasian dalam memberikan
tindakan keperawatan.
2. Tujuan Dokumentasi Keperawatan
Tujuan utama dari pendokumentasian adalah
mengindentifikasi status kesehatan klien dalam rangka mencatat
kebutuhan klien, merencanakan, melaksanakan tindakan
keperawatan dan mengevaluasi tidakan.
3. Manfaat dan Pentingnya Pendokumentasian

50
Dokumentasi mempunyai makna yang penting bila di lihat
dari berbagai aspek:
a. Hukum
Bila terjadi suatu masalah yang berhubungan dengan
profesi keperawatan, di mana perawat sebagai pemberi jasa dan
klien sebagai penguna jasa. Dokumentasi dapat di pergunakan
sebagai barang bukti di pengadilan.
b. Jaminan Mutu (Kualitas Pelayanan)
Pencatatan data klien yang lengkap dan akurat, akan
memberikan kemudahan bagi perawat dalam membantu
menyelesaikan masalah klien. Dan untuk mengetahui sejauh
mana masalah klien dapat teratasi dan seberapa jauh masalah
baru dapat di idetifikasi dan dimonitor melalui catatan yang
akurat. Hal ini akan membantu meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan (yankep).
c. Komunikasi
Dokumentasi keadan klien merupakan alat perekam
terhadap masalah yang berkaitan dengan klien. Perawat atau
tenaga kesehatan lain akan bisa melihat catatan yang ada dan
sebagai alat komuikasi yang di jadikan pedoman dalam
memberikan asuhan keperawatan.

d. Keuangan
Semua tindakan keperawatan yang belum, sedang dan
telah di berikan di catat dengan lengkap dan dapat di gunakan
sebagai acuan atau pertimbangan dalam biaya keperawatan.
e. Pendidikan
Isi pendokumentasian menyagkut kronologis dari
kegiatan asuhan keperawatan yang dapat dipergunakan sebagai
bahan atau referensi pembelajaran bagi siswa atau profesi
keperawatan.

51
f. Penelitian
Data yang terdapat di dalam dokumentasi keperawatan
mengandung informasi yang dapat di jadikan sebagai bahan
objek riset dan pengembangan profesi keperawatan.
g. Akreditasi
Melalui dokumentasi keperawatan dapat di lihat sejauh
mana peran dan fungsi keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klie dengan demikian dapat di ambil
kesimpulan tingkat keberhasilan pemberian asuhan
keperrawatan yang di berikan, guna pembinaan lebih lanjut.
Menurut Nursalam (2001), Dokumentasi masalah,
perencanaan, tindakan, dan evaluasi.
1. Dokumentasi pengkajian Keperawatan
a. Dokumentasi pengkajian di tunjukan pada data klien di mana
perawat dapat mengumpulkan dan mengorganisir dalam catatan
kesehatan. Format pengkajian meliputi data dasar, flow sheetv
dan catatan perkembangan lainnya yang memungkinkan dapat
sebagai alat komunikasi bagi tenaga keperawatan atau
kesehatan lainnya.
b. Gunakan format yang sistimatis untuk mencatat pengkajian
yang meliputi:
1) Riwayat klien masuk rumah sakit
2) Respon klien yang berhubungan dengan persepsi kesehatan
klien
3) Riwayat pengobatan
4) Data klien rujukan
5) Gunakan format yang telah tersusun untuk mencatat
pengkajian
6) Kelompokan data-data berdasarkan model pendekatan yang
digunakan.

52
7) Tulis data objektif tanpa hias (tanpa mengartikan), menilai,
memasukan data pribadi. Sertakan pernyataan yang
mendukung interprestasi data objektif .
8) Jelaskan observasi dan temuan secara sistimatis, termasuk
difinisi karakteristiknya.
9) Ikuti aturan atau prosedur yang dipakai dan disepakati di
instalasi
10) Tuliskan secara jelas dan singkat.
2. Dokumentasi diagnosa keperawatan
Sebagai bukti ukuran pencatatan perawat pernyataan
diagnosa keperawatan bahwa mengidentifikasi masalah actual atau
potensial penyebab maupun tanda dan gejala sebagai indikasi perlu
untuk pelayanan perawatan, Contoh:
a. Proses dan pencatatan diagnosa keperawatan dalam rencana
pelayanan catatan perkembangan.
b. Pemakaian format problem, etiologi untuk tiap masalah
potensial.
c. Pengkajian data pada dokumen, semua faktor mayor untuk
setiap diagnosa.
d. Dokumen dari pengkajian atau mengikuti diagnosa
keperawatan yang tepat.
e. Ulangi data salah satu informasi pengkajian perawatan, sebagai
perawat prefisional dari kerja sama dengan staf pembuat
diagnosa.
3. Dokumentasi rencana keperawatan
Dokumentasi intervensi mengidentifikasi mengapa sesuatu
terjadi terhadap klien, apa yang terjadi, kapan, bagaimana, dan
siapa yang melakukan intervensi.
a. Why: Harus di jelaskan alasan tindakan dan data yang ada dari
hasil dokumentasi pengkajian dan diagnosa keperawatan.
b. What: Di tulis secara jelas, ringkas dari pengobatan/tindakan
dalam bentuk action verbs.

53
c. When: Mengandung asfek penting dari dokumen intervensi.
d. Who: Tindakan di laksanakan dalam pencatatan yang lebih
detail.
e. Who: Siapa yang melaksanakan intervensi harus selalu di
tuliskan pada dokumen serta tanda tangan sebagai pertanggung
jawab.
4. Dokumentasi Evaluasi
Pernyataan evaluasi perlu di dokumentasikan dalam catatan
kemajuan, di revisi dalam perencanaan perawatan atau di masukan
pada ringkasan khusus dan dalam pelaksanaan dalam bentuk
perencanaan.

54
BAB 4
PENUTUP

4.1 Simpulan
Pelaksanaan proses pengkajian terutama untuk merumuskan diagnosa
keperwatan diperlukan kecermatan, ketelitian, kepekaan dalam menggali data
subyektif dan obyektif yang ada sehingga diperoleh data yang valid dan dapat
dianalisa menjadi masalah yang benar-benar terjadi pada klien.
Disamping adanya reaksi-reaksi verbal dari klien terhadap data-data
yang diberikan, reaksi non verbal dari klien juga mendukung perawat untuk
mengumpulkan data.Reaksi non verbal dapat disebabkan oleh beberapa sebab
diantaranya klien merasa takut mengungkapkan atau malu.
Pada penderita typhus abdominalis terdapat gejala-gejala yang timbul
seperti demam tinggi > 7 hari, gangguan gastrointestinal, bibir kering dan
pecah-pecah, lidah kotor berselaput putih dan pinggirnya hiperemis, perut
agak kembung dan mungkin nyeri tekan, bradikardi relative, dan kenaikan
denyut nadi tidak sesuai dengan kenaikan suhu badan sehingga memerlukan
perawatan yang optimal.
Dalam diagnosa keperawatan dibuat sesuai dengan urutan prioritas
masalah yaitu mengancam jiwa, mengganggu fungsi kesehatan.Perencanaan
juga disesuaikan dengan fasilitas yang ada serta melibatkan keikut sertaan
klien dan keluarga dalam mengatasi masalah.
Dalam melaksanakan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
perlu adanya kerjasama dengan klien, keluarga, perawat, dokter dan ahli gizi.
Penulis melakukan pendekatan pada klien dan keluarga dengan memberikan
penjelasan-penjelasan, motivasi dan saran serta dukungan moril pada klien.
Penilaian hasil akhir asuhan keperawatan berdasarkan adanya
perubahan tingkah laku dan perbaikan keadaan sesuai dengan tujuan dan
kritera hasil seperti yang telah dibuat sebelunmnya. Keberhasilan ini
tergantung pada partisipasi klien dan keluarganya dalam pengobatan dan
perawatan yang diberikan serta adanya kerjasama yang baik dengan tim
kesehatan lain.
4.2 Saran

76
Bertolak dari kesimpulan di atas maka penulis menyampaikan saran-
saran sebagai berikut :

1. Untuk perawat
Untuk mendapatkan data yang lengkap dan valid, perawat dapat
bekerja sama dengan keluarga atau tim kesehatan yang lainnya sehingga
dapat mengisi kekurangan data.
2. Untuk pasien/keluarga
a. Dianjurkan kepada keluarga untuk berperan serta dalam setiap
tindakan keperawatan. Sehingga diharapkan nantinya keluarga dapat
lebih mandiri dalam menunjang tingkat kesembuhan anak.
b. Diharapkan agar para orang tua/keluarga untuk selalu mengobservasi
setiap perubahan yang ada pada anak sehingga keadaan yang lebih
buruk dapat dicegah.
3. Untuk masyarakat
Agar lebih dini mencegah terjadinya penyakit typhus abdominalis
atau penyakit lainnya, dianjurkan masyarakat untuk menggalakkan
program immunisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin. H. (2003). Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya


Medika
Azis Alimul H. (2007). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Selemba Medika.
Harnawatiaj. (2008). Format Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Hidayat, Aziz Alimul A. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta:
Salemba Medika

77
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius

Nursalam, (2001). Proses Dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep Dan Praktik.


Jakarta: Salemba Medika.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: ECG.
Nugroho, Taufan. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah,
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak untuk Perawat & Bidan
Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika.
Rohamah, Nikmatur & Saiful Walid (2012). Proses Keperawatan teori &
aplikasi. Yogyakarta: ar-ruzz media.
Soegijanto, Soegeng. (2002). Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa & Penatalaksanaan.
Jakarta: Salemba Medika.

Sudoyo, Aru W. (2007). Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

78
79

Anda mungkin juga menyukai

  • Pathway
    Pathway
    Dokumen3 halaman
    Pathway
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Sirosis Hepatis
    Sirosis Hepatis
    Dokumen44 halaman
    Sirosis Hepatis
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Konsep Caring
    Konsep Caring
    Dokumen3 halaman
    Konsep Caring
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • DISPEPSIA
    DISPEPSIA
    Dokumen16 halaman
    DISPEPSIA
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen15 halaman
    Presentation 1
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Guru PENGGERAK
    Guru PENGGERAK
    Dokumen10 halaman
    Guru PENGGERAK
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • DISPEPSIA
    DISPEPSIA
    Dokumen36 halaman
    DISPEPSIA
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Konsep Caring
    Konsep Caring
    Dokumen53 halaman
    Konsep Caring
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • LP Bronkiektasis
    LP Bronkiektasis
    Dokumen10 halaman
    LP Bronkiektasis
    Naomi FawWaz Rustandi
    Belum ada peringkat
  • Askep Empiema
    Askep Empiema
    Dokumen11 halaman
    Askep Empiema
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Askep Klien Dengan Gout
    Askep Klien Dengan Gout
    Dokumen8 halaman
    Askep Klien Dengan Gout
    Budifarma
    Belum ada peringkat
  • LK Bronkiektasis
    LK Bronkiektasis
    Dokumen11 halaman
    LK Bronkiektasis
    Isnaini Amaliah
    Belum ada peringkat
  • Edit
    Edit
    Dokumen41 halaman
    Edit
    Suci Hendra Lestari
    Belum ada peringkat
  • MATERI
    MATERI
    Dokumen5 halaman
    MATERI
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • CA Prostat Referat
    CA Prostat Referat
    Dokumen17 halaman
    CA Prostat Referat
    Fransiscus Ronaldo
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen13 halaman
    Tugas
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Etika
    Etika
    Dokumen2 halaman
    Etika
    Rara Gndutzz
    Belum ada peringkat
  • Cel Saraf
    Cel Saraf
    Dokumen4 halaman
    Cel Saraf
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Format Pengkajian Keluarga
    Format Pengkajian Keluarga
    Dokumen10 halaman
    Format Pengkajian Keluarga
    asriatun
    Belum ada peringkat
  • Leukimia
    Leukimia
    Dokumen1 halaman
    Leukimia
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen7 halaman
    Bab Ii
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Tiroiditis
    Tiroiditis
    Dokumen5 halaman
    Tiroiditis
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Pengkajian
    Pengkajian
    Dokumen6 halaman
    Pengkajian
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Vertigo
    Vertigo
    Dokumen41 halaman
    Vertigo
    Eva Putri Harjito
    100% (1)
  • Vertigo+144 14+Aspek+Neurologi
    Vertigo+144 14+Aspek+Neurologi
    Dokumen6 halaman
    Vertigo+144 14+Aspek+Neurologi
    Sri Juliana Nasution
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Keperawatan
    Asuhan Keperawatan
    Dokumen13 halaman
    Asuhan Keperawatan
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Sel Saraf
    Sel Saraf
    Dokumen9 halaman
    Sel Saraf
    latisyha
    Belum ada peringkat
  • Kul. Hormon
    Kul. Hormon
    Dokumen0 halaman
    Kul. Hormon
    andi1108
    Belum ada peringkat