Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun oleh:
Desire B. Palada (0910015009)
Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp. A
BAB I
1
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara maju
maupun berkembang. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma
meningkat pada anak maupun dewasa. Namun terdapat perbedaan prevalensi antar
Negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah di dalam suatu Negara.1
Morbiditas dan mortalitas asma relative tinggi. Berdasarkan laporan survey WHO
dari berbagai negara, terdapat 250.000 kematian akibat asma pada anak. Kejadian ini
disebabkan oleh berbagai factor yang dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma,
kejadian asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Faktor-
faktor tersebut adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, allergen, infeksi, atopi,
lingkungan dan lain-lain.2
Selain asma, masalah pernapasan yang sering ditemui di masyarakat adalah TB paru
atau Tuberkulosis. Tuberculosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Myocobacterium tuberculosis. Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai
hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan
lokasi infeksi primer.1
Laporan mengenai TB anak akhir - akhir ini banyak didapatkan dan merupakan re-
emerging disease atau penyakit yang kembali muncul dan menjadi masalah. WHO
memperkirakan bahwa sepertiga penduduk di dunia terinfeksi oleh M. tuberculosis.
Penyebab utama meningkatnya tuberkulosis di dunia di antaranya karena kurangnya
kepatuhan kepada program penanggulangan tuberkulosis, diagnosis dan pengobatan yang
tidak adekuat.1
Selain itu, masalah gizi di Indonesia masih merupakan masalah yang sulit untuk
dipecahkan. Berdasarkan berbagai data serta hasil penelitian banyak pihak, masalah gizi
di Indonesia, selain gizi buruk juga masih tingginya kasus gizi kurang. Masalah ini
menjadi sangat penting untuk ditindak lanjuti, karena pada periode masa Balita,
merupakan periode masa kritis. Masa ini merupakan periode optimalisasi pertumbuhan
dan perkembangan otak. Menurut Depkes RI (2006) masalah kurang gizi masih menjadi
2
masalah kesehatan masyarakat dan dapat menjadi penyebab kematian terutama pada
kelompok resiko tinggi (bayi dan balita). Gizi kurang pada balita tidak terjadi secara tiba
tiba, tetapi diawali dengan keterbatasan kenaikan berat badan yang tidak cukup.
Perubahan berat badan balita dari waktu kewaktu merupakan petunjuk awal perubahan
status gizi balita. Dalam periode 6 bulan, bayi yang berat badannya tidak naik dua kali
berisiko mengalami gizi kurang 12,6 kali di bandingkan pada balita yang berat badannya
naik terus.6
Salah satu pengertian gizi buruk merupakan suatu keadaan kekurangan konsumsi
zat gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari
hari, sehingga secara klinis terdapat tiga tipe, marasmus , kwashiorkor, dan marasmus
kwashiorkor Roedjito (1989), masalah kurang gizi dapat mencakup kekurangan energi,
protein, zat besi, juga kekurangan vitamin A. Sedangkan pendekatan masalah kurang
gizi meliputi tiga klasifikasi, antara lain keadaan biologi (yang mencakup umur, jenis
kelamin, keadaan fisiologis, gangguan penyakit infeksi, keadaan kesehatan), keadaan
fisik (yang meliputi pedesaan atau perkotaan dan ekologi daerah seperti hutan, rawa-
rawa, pegunungan, dataran, sumber makanan, petani dan pasar), serta keadaan sosial
ekonomi dan kebudayaan meliputi suku dan budaya, status sosial ekonomi, pendapatan,
luas tanah).7
Sementara menurut Azwar (2005), faktor kemiskinan merupakan penyebab mendasar
yang mengakibatkan masalah gizi kurang akibat minimnya asupan gizi dan tingginya
penyakit infeksi. Sedangkan menurut Kurniawan et all (2001), masalah inti yang menjadi
penyebab gizi kurang antara lain karena keadaan keluarga memburuk, pendidikan dan
penyediaan bahan makanan tidak baik, serta kurangnya hasil pertanian, sehingga
menyebabkan kurangnya ketersediaan makanan pada skala rumah tangga. Juga karena
minimnya akses rumah tangga pada sarana pelayanan kesehatan.6
Masalah gizi buruk dan gizi kurang berpengaruh erat pada kualitas sumber daya
manusia. Menurut Depkes RI (2006), pada tahun 2006 masih sekitar 28% dari jumlah
balita di Indonesia mengalami gizi kurang. Berbagai usaha telah dilakukan sebagai upaya
perbaikan gizi, antara lain melalui usaha promosi gizi seimbang, penyuluhan gizi di
posyandu, fortifikasi pangan, pemberian makanan tambahan termasuk MP-ASI,
pemberian suplemen gizi seperti kapsul vitamin A dan Fe, pemantauan dan
3
penanggulangan gizi buruk, gerakan ASI Eksklusif, keanekaragaman makanan, juga
penggunaan garam beryodium. Kita masih memerlukan inovasi dan usaha lebih untuk
menyelamatkan anak cucu generai bangsa ini, dengan peran kita dalam berbagai aspek
dan tingkatan.7
1.2 Tujuan
3. Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang didapat.
BAB II
LAPORAN KASUS
4
I. Identitas
Nama : An. AN
Usia : 3 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Lambung Mangkurat
Anak ke : 5 dari 5 bersaudara
MRS : 10 November 2014
Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 11 November 2014 pukul 14.00 WITA, di ruang
Melati RSUD AW. Sjahranie Samarinda. Alloanamnesa oleh ibu kandung pasien.
Keluhan Utama
5
Sesak napas.
- Saat usia 1 tahun, pasien sudah mengalami gejala yang serupa seperti batuk dan
sesak yang sering terjadi setiap bulan dan terjadi saat anak minum susu sapi, terkena
udara dngin, atau minum pemanis.
- Sejak usia 1 tahun, pasien mengalami penurunan nafsu makan sehingga pasien
semakin hari semakin kurus
6
Riwayat Penyakit Keluarga
- Nenek dan paman pasien menderita Asma
- Ibu pasien pernah menderita sakit TB dan mengkonsumsi pengobatan paru selama 9
bulan
Riwayat Sosioekonomi
Pasien tinggal dan dirawat oleh orang tua kandung pasien.
Dalam satu rumah dihuni oleh ibu, ayah, dan 4 saudara pasien.
Pasien tidur dengan menggunakan bantal dan kasur kapuk.
Berobat langsung ke sarana Pengobatan (Puskesmas)
Sumber air: Sumur
Listrik: PLN
Pasien memiliki jaminan kesehatan JAMKESDA.
7
ASI : Mendapatkan ASI sampai usia 1 tahun, dan
berhenti dikarenakan produksi ASI kurang.
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Puskesmas
Penyakit Kehamilan : Hiperemis
Obat-obatan yang sering diminum : Paracetamol
Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Rumah sakit
ditolong oleh : Bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : spontan, langsung menangis
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Puskesmas
Keadaan anak : Sehat
Keluarga berencana : Ya
Memakai : Suntik 3 bulan
Riwayat Imunisasi
8
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG (+) //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio (+) (+) (+) (+) - -
Campak (+) - //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT (+) (+) (+) //////////// - -
Hepatitis B (+) (+) (+) ////////// - -
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
- Temperatur : 36,4o C
Antropometri
Berat badan : 9 kg
Panjang Badan : 87 cm
Umur : 3 tahun
BMI : 12
9
Kepala
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), lidah bersih, faring
hiperemis (-), pembesaran tosil (-), soft palatum menutup
sempurna
Thoraks
Pulmo
10
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi subcostal (-) dan
suprasternal (-)
Cor
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), turgor
kulit baik.
Perkusi : Timpani
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Darah
12/11/2014
Leukosit 12.100
Hb 13,6
HCT 38,6
11
Trombosit 353.000
GDS 86
LED 21
Mantoux test
Skoring TB
Parameter Skor
Kontak TB 2 (Laporan keluarga, BTA negatif atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin -
Status Gizi 1 (Gizi kurang BB/U < 64%)
Demam tanpa sebab yang jelas 0
12
Batuk 1
Pembesaran KGB 1 (Jumlah 1, kira - kira 1 cm, mobile,
tidak nyeri)
Pembengkakan tulang/sendi 0
Foto 1 (KesanTB)
Total 6
Penatalaksanaan :
Follow Up :
13
12-11-14 S : Batuk berdahak (+) menurun, demam (-), P:
BB : 9 kg sesak napas (-), makan menurun kira-kira 2 - IVFD D5 1/2 NS 900 cc/24jam
sendok, minum susu (+), sulit BAB sejak 3 hari - INH 1 x 100 mg pulv
O : N:128 x/mnt, RR: 42 x/mnt, T: 36,2 C, An - Rimpafisin 1 x 150 mg
(-/-), ikt (-/-), pernapasan cuping hidung (-), - Pirazinamid 1 x 250 mg
pembesaran KGB (+), retraksi subcosta (-), - Inj Cefotaxime 3 x 250 mg
rh(+/+), whe (-/-), BU(+)N, NT (-), akral - Pct 3 x cth 3/4
hangat, Faring hiperemis (-) - CTM 0,9 mg, efedrin 4,5 mg,
A : - Asma derajat sedang periodik jarang salbutamol 4,5mg (3 x pulv I)
- TB Paru - Diet TKTP
- Gizi Kurang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
14
Asma adalah keadaan inflamasi kronik dengan penyempitan saluran pernapasan yang
reversibel. Tanda karakteristik berupa episode wheezing berulang, sering disertai batuk
yang menunjukkan respons terhadap obat bronkodilator dan anti-inflamasi.1
3.1.2 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300
juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak.1
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab
kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT
1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas)
keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi
asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk. Dari hasil penelitian
Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan,
dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 515%.1
15
mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3
tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-35
tahun, 60% tetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih sering
mendapat serangan meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak.1
3. Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan beratnya
asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau
mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah
mengalami hay fever, rinitis alergi, atau eksema. Eksema persisten berhubungan pula
dengan gejala asma persisten. Menurut Buffum dan Settipane, anak dengan eksema dan
uji kulit positif menderita asma berat. Terdapat juga laporan bahwa anak dengan mengi
persisten dalam kurun waktu 6 tahun pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih
tinggi daripada anak yang tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan. Beberapa
laporan menunjukkan bahwa sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau
kacang pada tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma.1
4. Lingkungan
Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit asma.
Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit
binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa.1
5. Ras
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan
kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih. Pada tahun
1993-1994, rata-rata prevalens adalah 57,8 per 1000 populasi kulit hitam, 50,8 per 1000
populasi kulit putih, sedangkan untuk ras lain adalah 48,6 per 1000. Tingginya prevalens
tersebut tidak dipengaruhi oleh pendapatan maupun pendidikan. Selain prevalens,
kematian anak akibat asma pada ras kulit hitam juga lebih tinggi, yaitu 3,34 per 1000
berbanding 0,65 per 1000 pada anak kulit putih.1
6. Asap, rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan
asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalarn kandungan, umumnya
berlangsung terus setelah anak dilahirkan, dan menyebabkan meningkatnya risiko. Pada anak yang terpajan
asap rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi, anak lebih sering tidak masuk sekolah, dan umumnya fungsi
16
faal parunya lebih buruk daripada anak yang ticlak terpajan.1
7. Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida, karbon monoksida, atau SO2
diduga berperan pada penyakit asma, meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang
disepakati. Beberapa penelitian di Eropa mendapatkan bahwa lingkungan pertanian dan peternakan
memberi efek proteksi bagi penyakit asma. Pada anak-anak yang cepat terpajan dengan lingkungan
tersebut, kejadian asma rendah. Prevalens asma paling rendah pada anak yang di tahun pertama usianya
kontak dengan kandang binatang dan pemerahan susu. Mekanisme efek proteksi tersebut belum terungkap.
Namun, secara teoritis, diduga bahwa adanya pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen bakteri
dalam jumlah banyak dan waktu yang dini mengakibatkan sistem imun anak terangsang melalui jejak Th1.
Saat ini, teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis.1
8. Infeksi respiratorik
Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi (termasuk asma) dengan
infeksi respiratorik. Penelitian di jerman mendapatkan adanya penurunan prevalens asma sebanyak 50%
pada anak usia 7 tahun yang saat bagi sering mengalami rinitis. Penelitian di Highlands (New Guinea)
menunjukkan bahwa kelompok anak yang sering terserang infeksi respiratorik mempunyai prevalens asma
yang rendah. Sebenarnya hubungan antara infeksi respiratorik dengan prevalens asma masih merupakan
kontroversi. Namun, hal ini tidak berlaku pada infeksi respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bawah. Infeksi RSV merupakan faktor risiko yang bermakna
untuk terjadinya mengi di usia 6 tahun. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa infeksi virus
berulang yang tidak menyebabkan infeksi respiratorik bawah dapat memberikan anak proteksi terhadap
asma.1
3.1.4 Patogenesis
Reaksi inflamasi
Patogenesis asma dapat diterangkan secara sederhana sebagai bronkokonstriksi
akibat proses inflamasi yang terjadi terus-menerus pada saluran napas. Karena itu
pemberian anti-inflamasi memegang peranan penting pada pengobatan dan kontrol asma.
Terlihat bahwa setelah pemberian inhalasi kortikosteroid akan terjadi penurunan
bermakna sel inflamasi dan pertanda permukaan sel pada sediaan bilas dan biopsi
bronkoalveolar. Pemberian bronkodilator saja tidak dapat mengatasi reaksi inflamasi
dengan baik. Pada tingkat sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen serta
rangsang infeksi maka sel mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor kemotaktik
yang menimbulkan migrasi eosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat molekul terjadi
pelepasan berbagai mediator serta ekspresi serangkaian reseptor permukaan oleh sel yang
17
saling bekerjasama tersebut yang akan membentuk jalinan reaksi inflamasi. Pada
orkestrasi proses inflamasi ini sangat besar pengaruh sel Th2 sebagai regulator penghasil
sitokin yang dapat memacu pertumbuhan dan maturasi sel inflamasi alergi. Pada tingkat
jaringan akan tampak kerusakan epitel serta sebukan sel inflamasi sampai submukosa
bronkus, dan mungkin terjadi rekonstruksi mukosa oleh jaringan ikat serta hipertrofi otot
polos.1
Sensitisasi
Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola hubungan
antara proses sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan penyakit alergi yang
dikenal sebagai allergic march (perjalanan alamiah penyakit alergi). Secara klinis
allergic march terlihat berawal sebagai alergi saluran cerna (diare alergi susu sapi) yang
akan berkembang menjadi alergi kulit (dermatitis atopi) dan kemudian alergi saluran
napas (asma bronkial, rinitis alergi). Suatu penelitian memperlihatkan bahwa kelompok
anak dengan gejala mengi pada usia kurang dari 3 tahun, yang menetap sampai usia 6
tahun, mempunyai predisposisi ibu asma, dermatitis atopi, rinitis alergi, dan peningkatan
kadar lgE, dibandingkan dengan kelompok anak dengan mengi yang tidak menetap.
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak mengi yang akan berkembang menjadi
asma terbukti mempunyai kemampuan untuk membentuk respons lgE serta respons
eosinofil pada uji provokasi berbagai stimuli. Proses sensitisasi diperkirakan telah terjadi
18
sejak awal masa kehidupan, secara bertahap mulai dari rangsang alergen makanan dan
infeksi virus, sampai kemudian rangsang aeroalergen. Proses tersebut akan
mempengaruhi modul respons imun yang akan lebih cenderung ke arah aktivitas Th 2.
Kecenderungan aktivitas Th2 akan menurunkan produk IL-2 dan IFN oleh Th2. Terbukti
bahwa anak dengan respons IFN rendah pada masa awal kehidupannya akan lebih
tersensitisasi oleh aeroallergen dan menderita asma pada usia 6 tahun dibandingkan
dengan anak dengan respon IFN normal.1
3.1.5 Klasifikasi
19
Downe Score merupakan suatu klasifikasi untuk menilai anak mengalami gangguan
napas atau ancaman gagal napas. Dengan adanya Downe score dapat membantu kita
dalam mengambil tindakan segera mungkin dalam melakukan penatalaksanaan yang
sesuai.8
20
Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
Pedoman
Nasional
Asma
Anak
Indonesia
membagi
asma menjadi 3 derajat penyakit :
21
Derajat penyakit asma berdasarkan Konsensus Pediatri International III tahun
1998
22
Penilaian derajat serangan asma dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
23
24
3.1.6 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman, riwayat
alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan berdahak
yang berulang
4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal. Kelainan
pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita,
auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat
penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada
saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan. Sewaktu mengalami serangan, jalan
napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi
mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada
volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan
menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi.1
25
serta menunjukkan positivitas lgE anti-RSV serum, dibandingkan dengan bayi mengi
yang tidak menjadi asma. Kemampuan bayi untuk membentuk lgE anti RSV ini diyakini
sebagai status sensitisasi terhadap allergen secara umum. Jadi bayi mengi dengan ibu
atopi yang mengandung lgE anti-RSV tersebut sudah dalam keadaan tersensitisasi, dan
hal ini merupakan faktor risiko terjadinya asma. Sejalan dengan hal itu maka banyak
peneliti telah melaporkan positivitas lgE spesifik terhadap berbagai alergen (susu, kacang,
makanan laut, debu rumah, serbuk sari bunga) pada bayi merupakan faktor risiko dan
prediktor untuk terjadinya asma. Para peneliti tersebut juga menyatakan semakin dini
terjadi sensitisasi maka risiko untuk menjadi asma menetap juga semakin besar. Dengan
demikian maka tidak begitu penting hubungan antara saat timbul mengi pada bayi dengan
besarnya risiko terjadinya asma, karena yang menentukan sebetulnya adalah seberapa
dini tejadi sensitisasi alergen pada bayi mengi tersebut. Penelitian umum bayi mengi
memperlihatkan bahwa kejadian asma akan lebih kerap pada bayi yang mulai mengi pada
usia lebih besar, berbeda dengan perkiraan sebelumnya bahwa semakin muda timbulnya
mengi maka risiko untuk kejadian asma semakin besar.3
Atopi
Sebagian sangat besar asma pada anak mempunyai dasar atopi, dengan alergen
merupakan pencetus utama serangan asma. Diperkirakan bahwa sampai 90% anak pasien
asma mempunyai alergi pada saluran napas, terutama terhadap alergen dalam rumah
(indoor allergen) seperti tungau debu rumah, alternaria, kecoak, dan bulu kucing. Telah
disebutkan sebelumnya bahwa sebagian besar pasien asma berasal dari keluarga atopi,
dan kandungan IgE spesifik pada seorang bayi dapat menjadi predictor untuk terjadinya
asma kelak di kemudian hari. Karena itu sangat penting untuk menelusuri dan
membuktikan faktor atopi sebagai pendekatan diagnosis klinis pada anak dengan gejala
klinis yang sesuai dengan asma bronkial. Riwayat atopi dalam keluarga, riwayat penyakit
atopi sebelumnya pada pasien, petanda atopi fisis pada anak, petanda laboratorium untuk
alergi, dan bila diperlukan uji eliminasi dan provokasi, dapat menunjang diagnosis asma
pada anak tersebut.3
Kebanyakan studi epidemiologi menunjukkan bahwa ada beberapa fenotip asma
yang berbeda, yang mencerminka kelompok heterogen dari kondisi wheezing diikuti jalur
26
yang umum yang ditandai oleh obstruksi saluran napas berulang. Tiga dari fenotip
tersebut yakni :
a. Transient early wheezing
Pada anak dengan transient early wheezing biasanya akan menghilang pada usia
3 dan 5 tahun. Pada tipe ini, wheezing tidak berhubungan dengan riwayat atopi
maupun riwayat asma dalam keluarga. Faktor resiko utama terjadinya transient early
wheezing ini adalah adanya penurunan fungsi paru sebelum terjadinya infeksi saluran
napas bagian bawah. Faktor resiko lainnya adalah prematuritas, ibu yang merokok
saat hamil, dan bayi lahir yang terpapar asap rokok.
b. Non Atopic wheezing
Infeksi saluran napas yang terjadi pada 3 tahun pertama kehidupan, yang
biasanya disebabkan oleh RSV (Respiratory Syncitial Virus) berhubungan dengan
terjadinya persistent wheezing. Infeksi saluran napas yang terjadi pada 3 tahun
pertama kehidupan akan meningkatkan resiko terjadinya wheezing selama 10 tahun
pertama kehidupan. Wheezing akan menghilang pada usia 13 tahun. Pada non-atopi,
penurunan fungsi paru belum terjadi sebelum timbul infeksi saluran napas. Meskipun
fungsi paru membaik sejalan dengan pertumbuhannya, tetapi fungsi paru anak
dengan persistent wheezing selalu lebih rendah dari anak yang tidak pernah
mengalami wheezing.
c. Atopic wheezing
Lebih dari setengah kasus persistent asma dimulai lebih dini pada anak, sebelum
usia 6 tahun. Pada penelitian berbasis populasi lain mengatakan bahwa anak dengan
wheezing yang persistent emiliki riwayat atopi dengan mengalami peningkatan
hiperresponsif saluran napas. Sensitasi yang terjadi sebelum umur 8 tahun akan
meningkatkan faktor resiko terjadinya asma. Alergen yang disebabkan wheezing
atopi antara lain : debu, asap rokok, udara dingin, makanan seperti kacang, telur dan
susu.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan fungsi paru
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak
27
banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari
pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak
ekspirasi (APE), pulse oxymetry, spirometri, sampai pengukuran yang kompleks yaitu
muscle strength testing, volume paru absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan
fungsi paru yang obyektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostik
anak dengan batuk, mengi rekuren, aktivitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan
dengan sistem respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat apabila
ada manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru
mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi jalan
napas, 3) pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru
restriktif seperti kelemahan otot napas, deformitas dinding dada, atau penyakit
interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan napas.
Walaupun pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai parameter pertukaran
gas, pulse oximetry masih merupakan pemeriksaan yang berguna dan efisien.1
Pada uji fungsi jalan napas, hal yang paling penting adalah metakukan manuver ekspirasi paksa secara
maksimal. Hal ini terutama berguna pada penyakit dengan obstruksi jalan napas, misalnya asma dan
fibrosis kistik. Pengukuran dengan manuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah
forced expiratory volume in 1 second (FEVI) dan vital capacity (VC) dengan alas spirometer serta
pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak-flow meter.
Pengukuran variabilitas dan reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendiagnosis
asma, menilai derajat berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan
asma.1
Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran fungsi paru lainnya. Dengan
alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan dengan nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai
derajat asma dan respons terapi, PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu,
diukur selama beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline melainkan
oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah perbedaan nilai
(peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang dianggap merupakan cara mengukur nilai
diurnal PEF terbaik adalah pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan
sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari terendah dengan nilai PEF malam hari
tertinggi.1
Pengukuran PEF yang dilakukan secara tidak teratur, misalnya hanya 2-3 kali dalam seminggu atau
secara intermiten, tidak dapat menentukan perburukan fungsi paru lebih awal, tetapi cara ini masih
dapat memberikan informasi mengenai variabilitasnya. Untuk hal ini, PEF lebih baik diukur pada pagi
dan malam hari pada hari yang sama dan harus dilakukan secara konsisten sebelum atau setelah
28
pemberian bronkodilator. Jika didapatkan variabilitas PEF diurnal 120% (petanda adanya perburukan
asma), diagnosis asma perlu dipertimbangkan. Hal lain yang harus diingat adalah bahwa pada asma
intermiten atau asma berat (severe intractable disease), variabilitas PEF tidak selalu ditemukan.1
Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu diupayakan. Meskipun
pemeriksaan ini digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan derajat penyakit asma,
namun masih sedikit dokter yang menggunakannya, misalnya dokter anak di Thailand hanya 23% yang
melakukannya. Di negara berkembang penggunaan peak flow meter dan spirometri jarang digunakan
dalam pengelolaan asma sehingga sebagian besar diagnosis asma hanya didasarkan pada riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisis, terutama pada asma dalam serangan.
Jika pemeriksaan fungsi paru tidak tersedia, lembar catatan harian dapat digunakan sebagai alternatif
karena metode ini mempunyai korelasi yang baik dengan fungsi paru. Lembar catatan harian dapat
digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PEF (Godfrey).3
Pada pemeriksaan spirometri, adanya perbaikan FEVI sebanyak minimal 12% setelah pemberian
29
asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum terdapat penelitian yang
menyatakan bahwa hal ini dapat membantu dalam diagnosis asma.
4. Penilaian status alergi
Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam serum
tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu
menentukan faktor risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5
tahun dapat digunakan untuk hal-hal berikut ini:
Menentukan apakah anak atopi,
Mengarahkan manipulasi lingkungan,
Memprediksi prognosis anak dengan mengi.
Uji kulit maupun pemeriksaan kadar IgE total mempunyai nilai negatif
palsu yang tinggi, tetapi jika positif, hasilnya bermakna. Penelitian TCRS
menunjukkan bahwa nilai IgE total yang tinggi pada usia < I tahun (tetapi
tidak pada saat lahir) merupakan faktor yang dapat memprediksi
tingginya IgE pada usia 6 tahun dan 11 tahun dan berhubungan dengan
mengi berkepanjangan, sebaliknya anak dengan mengi pada tahun
pertama kehidupan tetapi memiliki IgE normal, akan sembuh dari gejala
mengi. Pengukuran IgE total lebih bermanfaat untuk penelitian daripada
untuk penerapan individual, sedangkan tes alergi yang spesifik mungkin
lebih bermanfaat bagi penerapan individual.
3.1.7 Tatalaksana
Pengobatan Asma
Pengobatan asma pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan dan menjaga status
aktivitas anak normal dan faal paru normal, mencegah timbulnya asma kronik, serta
mencegah pengaruh buruk tindakan pengobatan. Secara umum obat asma dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu obat pelega (relievers) dan obat pengontrol (controllers).
Obat pelega asma bertujuan untuk melegakan saluran napas dan menghilangkan serangan
serta eksaserbasi akut dengan pemberian bronkodilator. Bronkodilator yang banyak
dipakai saat ini adalah 2-agonis, selain xantin dan antikolinergik. Obat pengontrol asma
bertujuan menjaga dan mengontro asma persisten dengan mencegah kekambuhan. Obat
30
pengontrol asma yang banyak dipergunakan adalah kortikosteroid, selain anti-inflamasi
lain seperti sodium kromolin, nedokromil, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta
berbagai antihistamin generasi baru. Obat 2-agonis bermanfaat untuk dipakai sebagai
terapi intermiten asma episodik, sebagai tambahan terapi intermiten, atau terapi rutin
penunjang anti-inflamasi pada asma relaps berulang atau kronis, sebelum aktifitas fisik
untuk menghambat exercise induced asthma, dan untuk penolong asma akut. Obat ini
tersedia dalam bentuk oral, atau inhalasi yang efektif dilakukan dengan inhaler dosis
terukur, rotohaler, atau nebuliser. Teofilin merupakan preparat metil-xantin yang pada
masanya sangat populer untuk terapi rumatan asma kronik ringan, dan sebagai penunjang
pengobatan asma kronik berat. Walaupun saat ini masih banyak dipakai, teofilin tidak
begitu menarik lagi setelah pengobatan anti-inflamasi untuk asma lebih terfokus kepada
kortikosteroid. Selama ini efek anti-inflamasi teofilin memang masih sering
dipertanyakan. Selain itu metabolisme teofilin diketahui akan terganggu dalam keadaan
demam oleh penyakit tertentu, seperti influenza, atau oleh obat seperti eritromisin,
simetidin, dan siprofloksasin. Pada anak, teofilin juga diketahui dapat mempengaruhi
prestasi sekolah sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak dengan gangguan
psikologis atau gangguan belajar. Obat antikolinergik selain bersifat bronkodilator juga
akan mengurangi hipersekresi mukus dan mengatasi iritabilitas reseptor batuk. Obat ini
tersedia dalam bentuk inhalasi dan nebulasi, terbukti efektif untuk asma akut bila
diberikan bersama b2-agonis. Seperti telah disebutkan maka pengontrol asma merupakan
pengobatan yang efektif untuk pencegahan asma dan dipergunakan untuk semua
tingkatan asma. Kortikosteroid merupakan obat terpilih dan sangat efektif, baik dalam
bentuk parenteral dan oral untuk jangka pendek, maupun bentuk inhalasi yang terutama
dicadangkan untuk pemakaian jangka panjang. Sejak mula pertama dipergunakan lebih
dari 20 tahun lalu terlihat bahwa kortikosteroid inhalasi jelas memberi efek terapi sangat
baik untuk asma ringan, sedang, dan berat; baik untuk pengobatan jangka pendek maupun
jangka panjang. Sejauh ini tidak ditemukan efek buruk yang berarti bila diberi dengan
dosis yang dianjurkan.
Penanganan asma
31
1. Anak dengan episode pertama wheezing tanpa distress pernapasan, bisa dirawat
di rumah hanya dengan terapi penunjang. Tidak perlu diberi bronkodilator
2. Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing berulang, beri
salbutamol dengan nebulisasi atau MDI (metered dose inhaler). Jika salbutamol
tidak tersedia, beri suntikan epinefrin/adrenalin subkutan. Periksa kembali anak
setelah 20 menit untuk menentukan terapi selanjutnya:
Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas cepat, nasihati
ibu untuk merawat di rumah dengan salbutamol hirup atau bila tidak tersedia,
beri salbutamol sirup per oral atau tablet.
Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah sakit dan beri
terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain seperti yang
diterangkan di bawah.
3. Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum, rawat dan beri terapi
oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain yang diterangkan di bawah.
4. Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan dosis
pertama steroid dengan segera. Respons positif (distres pernapasan berkurang,
udara masuk terdengar lebih baik saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20
menit. Bila tidak terjadi, beri bronkodilator kerja cepat dengan interval 20 menit.
5. Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat, beri aminofilin
IV.
Oksigen
Berikan oksigen pada semua anak dengan asma yang terlihat sianosis atau
mengalami kesulitan bernapas yang mengganggu berbicara, makan atau menyusu
(serangan sedang-berat).
Bronkodilator kerja-cepat
Beri anak bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu dari tiga cara berikut:
nebulisasi salbutamol, salbutamol dengan MDI dengan alat spacer, atau suntikan
epinefrin/adrenalin subkutan, seperti yang diterangkan dibawah.
(1) Salbutamol Nebulisasi
Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara minimal 6-10 L/ menit. Alat yang
direkomendasikan adalah jet-nebulizer (kompresor udara) atau silinder oksigen. Dosis
32
salbutamol adalah 2.5 mg/kali nebulisasi; bisa diberikan setiap 4 jam, kemudian
dikurangi sampai setiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik. Bila diperlukan, yaitu pada
kasus yang berat, bisa diberikan setiap jam untuk waktu singkat.
(2) Salbutamol MDI dengan alat spacer
Alat spacer dengan berbagai volume tersedia secara komersial. Penggunaannya mohon
lihat buku Pedoman Nasional Asma Anak. Pada anak dan bayi biasanya lebih baik jika
memakai masker wajah yang menempel pada spacer dibandingkan memakai mouthpiece.
Jika spacer tidak tersedia, spacer bisa dibuat menggunakan gelas plastik atau botol
plastik 1 liter. Dengan alat ini diperlukan 3-4 puff salbutamol dan anak harus bernapas
dari alat selama 30 detik.
(3) Epinefrin (adrenalin) subkutan
Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin
(adrenalin) subkutan dosis 0.01 ml/kg dalam larutan 1:1 000 (dosis maksimum: 0.3 ml),
menggunakan semprit 1 ml. Jika tidak ada perbaikan setelah 20 menit, ulangi dosis dua
kali lagi dengan interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat
dan diberikan steroid dan aminofilin.
Bronkodilator Oral
Ketika anak jelas membaik untuk bisa dipulangkan, bila tidak tersedia atau tidak
mampu membeli salbutamol hirup, berikan salbutamol oral (dalam sirup atau tablet).
Dosis salbutamol: 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam.
Steroid
Jika anak mengalami serangan wheezing akut berat berikan kortikosteroid
sistemik metilprednisolon 0.3 mg/kgBB/kali tiga kali sehari pemberian oral atau
deksametason 0.3 mg/kgBB/kali IV/oral tiga kali sehari pemberian selama 3-5 hari.
Aminofilin
Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator kerja cepat, beri aminofilin
IV dengan dosis awal (bolus) 6-8 mg/kgBB dalam 20 menit. Bila 8 jam sebelumnya telah
mendapatkan aminofilin, beri dosis setengahnya. Diikuti dosis rumatan 0.5-1
mg/kgBB/jam. Pemberian aminofilin harus hati-hati, sebab margin of safety aminofilin
amat sempit. Hentikan pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai muntah, denyut
33
nadi >180 x/menit, sakit kepala, hipotensi, atau kejang. Jika aminofilin IV tidak tersedia,
aminofilin supositoria bisa menjadi alternatif.
Antibiotik
Antibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau anak asma yang bernapas
cepat tanpa disertai demam. Antibiotik diindikasikan bila terdapat tanda infeksi bakteri.
Perawatan penunjang Pastikan anak menerima cairan rumatan harian sesuai umur.
Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. Dukung pemberian makanan tambahan pada
anak kecil, segera setelah anak bias makan. Bila terjadi gangguan asam basa, atasi segera.
Tatalaksana di klinik
atau Unit Gawat
Darurat
Pasien asma
yang datang dalam
keadaan serangan ke
Unit Gawat Darurat
(UGD) langsung
dinilai derajat
serangannya menurut
klasifikasi di atas
sesuai dengan
fasilitas yang
tersedia. Pada
pedoman GINA,
ditekankan bahwa
pemeriksaan uji
fungsi paru
(spirometer atau
peak flow meter)
merupakan bagian
integral dalam penilaian tatalaksana serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun, di Indonesia
34
penggunaan alat tersebut belum memasyarakat.
Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian 2-agonis kerja cepat dengan penambahan
garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada
pemberian ketiga, dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi
sebagai penapis, yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu
dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam keadaan serangan berat, langsung diberikan
nebulisasi -agonis dikombinasi dengan antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai
dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang
kurang baik terhadap nebulisasi -agonis. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi satu kali, kemudian
secepatnya dirawat agar dapat diberikan obat intravena serta diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.
Pencegahan
Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi terhadap
alergen sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien penyakit
atopi yang belum menderita asma, serta pencegahan serangan dan eksaserbasi asma.
Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan
alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran pencetus.
Para peneliti umumnya menyatakan bahwa alergen utama yang harus dihindari adalah
tungau debu rumah, kecoak, bulu hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan
serbuk sari bunga. Polutan harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak
dilarang merokok dalam rumah. Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan
eksaserbasi asma adalah asap kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2. Penghindaran
maksimal harus dilakukan di tempat anak biasa berada, terutama kamar tidur dan
tempatbermain sehari-hari. Untuk Indonesia, walaupun belum ada data yang menyokong,
agaknya kita harus menghindari obat nyamuk dan asap lampu minyak. Beberapa klinik
telah melakukan upaya pencegahan sensitisasi terhadap fetus dan bayi, antara lain dengan
memberikan diet hipo dan non alergenik serta penghindaran asap rokok. Walaupun secara
teoritis pemberian diet hipoalergenik pada masa trimester ketiga kehamilan sangat
menarik, ternyata bukti klinis penelitian tersebut tidaklah menggembirakan. Tidak terlihat
perbedaan kejadian penyakit alergi pada umur 5 tahun antara kelompok perlakuan dan
kelola. Hasil lebih baik justru akan terlihat pada bayi yang mendapat ASI dari ibu dengan
diet hipoalergenik pada masa laktasi. Sebaliknya terbukti bahwa ibu perokok akan
35
membahayakan perkembangan paru bayi baik dilakukan pada masa sebelum maupun
setelah kelahiran, yang berpengaruh terhadap peningkatan risiko terjadinya mengi dan
infeksi virus serta asma kronik anak. Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses
sensitisasi dan allergic march maka upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan
mencegah dan menghambat perjalanan alamiah penyakit alergi. Upaya tersebut antara
lain adalah dengan mencegah timbulnya suatu penyakit alergi (asma) pada anak yang
telah tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter ETAC (early treatment of the atopic child)
telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat timbulnya asma pada anak kecil
penderita dermatitis atopi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen tertentu tetapi belum
menderita asma. Untuk anak yang sudah menderita asma dilakukan pengobatan
pencegahan dan kontrol asma yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan, atau
menurunkan kekerapan serta derajat serangan asma, dengan pemberian sodium kromolin,
ketotifen, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta kortikosteroid. Sodium kromolin sulit
diaplikasi pada anak kecil, sedangkan inhibitor serta antagonis leukotrien baru dianjurkan
untuk anak besar (>12 tahun) saja.
Ketotifen sejauh ini memberikan efek profilaksis terutama untuk asma ringan.
Berbagai jenis antihistamin generasi baru mungkin dapat bermanfaat pula sebagai
pencegah asma tetapi uji klinis yang memadai untuk itu belum ada. Sejauh ini
kortikosteroid merupakan antiinflamasi terpilih yang paling efektif untuk pencegahan
asma. Pemberian kortikosteroid inhalasi dapat mengontrol asma kronik dengan baik,
walaupun pada anak kecil relatif lebih sulit dilakukan sehingga membutuhkan alat bantu
inhalasi.
36
37
3.1.8 Komplikasi
Jika anak gagal merespons terapi di atas, atau kondisi anak memburuk secara tiba-
tiba, lakukan pemeriksaan foto dada untuk melihat adanya pneumotoraks/ atelektasis.
3.2.2 Epidemiologi
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul dan menjadi masalah terutama di negara maju. Salah satu diantaranya
adalah TB. World health organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2
miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin.1
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun
di negara maju.4
38
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada
lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat
faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Hal tersebut karena:
a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas
anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit.
b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya
terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi
sputum.
c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di
daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.2
2. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit
TB.
a. Usia
Anak berusia 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur).
Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan
pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB
diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara
terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya
timbul gejala yang akut.
a. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif
menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,
pengangguran, pendidikan yang rendah.
39
c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV,
keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.
40
biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup
dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi yang disebabkan oleh fokus di
paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis pengkejuan yang
berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal
yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu yaitu obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal yang akan menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru.
Dapat juga terjadi obstruksi total yang menyebabkan atelektasis.
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi
penyebaran secara hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk komplek primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh
dan disebut penyakit sistemik. Penyebaran hematogen sering tersamar (occult
hematogenic spread) sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh dan biasanya yang dituju adalah organ
yang mempunyai vaskularisasi baik terutama apek paru atau lobus atas paru. Di berbagai
lokasi tersebut kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum
terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya, kuman tetap hidup
dalam bentuk dorman dan bisa terjadi reaktivasi jika daya tahan tubuh pejamu turun.
41
Bagan patogenesis tuberkulosis.
Catatan:
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), lirntangitis (2), dan limladenitis
regional (3).
42
3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen,
terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami
infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.
4 Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui
proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan
seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).
3.2.5 Diagnosis
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan menemukan M.TB pada pemeriksaan sputum
atau bilasan lambung, cairan cerebrospinal, cairan pleura atau pada biopsi jaringan.
Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena
lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim
paru bagian perifer. Selain itu tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada
dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit
5.000 kuman dalam 1 ml dahak.
Kesulitan kedua, pengambilan spesimen/sputum sulit dilakukan. Pada anak,
walaupun batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan
lambung yang diambil melalui NGT. Dahak yang representatif untuk dilakukan
pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang kental dan purulen, berwarna hijau
kekuningan dengan volume 3-5 ml. Karena alasan di atas, diagnosis TB anak bergantung
pada penemuan klinis dan radiologis yang keduanya seringkali tidak spesifik. Kadang-
kadang TB anak ditemukan karena adanya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak
ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin
positif, dan foto paru yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang
menyatakan anak telah sakit TB.
Selain itu, manifestasi klinis TB sangat bervariasi tergantung padaa beberapa faktor
yaitu jumlah kuman, virulensi kuman dan daya tahan tubuh host. Manifestasi klinis TB
dibagi 2 yaitu manifestasi klinis dan manifestasi spesifik organ. Yang termasuk
manifestasi klinis antara lain; 1) deman lebih dari 2 minggu dengan penyebab yang tidak
jelas yang dapat disertai keringat malam hari, 2) nafsu makan tidak ada (anoreksia) yang
dapat disertai penurunan berat badan, 3) batuk lama lebih dari 3 minggu, 4) malaise dan
43
5) diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare. Sedangkan yang
termasuk manifestasi spesifik organ antara lain; 1) TB kelenjar superfisial yang paling
banyak mengenai kelenjar kolli, 2) Tuberkulosis otak dan saraf (menigitis Tb dan
tuberkuloma), 3) tuberkulosis skeletal (spondilitis, gonisitis), 4) tuberkulosis kulit
(skrodulodermal). Kesulitan dalam mendiagnosis TB anak karena gejalanya tidak khas,
dibuatlah sistem skoring yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang
dijumpai. Pembobotan tertinggi ada pada uji tuberkulin dan adanya kontak TB dengan
BTA positif, karena berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di
sekitarnya.
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak - Laporan BTA (+)
jelas keluarga, BTA
(-), tidak
tahu/tidak
jelas
Uji tuberkulin Negati - - Positif (10
f mm, atau
5 mm
pada
keadaan
imunosupres
i)
Berat - BB/TB Klinis gizi -
badan/keadaan gizi <90% buruk BB/TB
atau BB/U <70% atau
<80% BB/U < 60%
Demam tanpa sebab - 2 - -
yang jelas minggu
Batuk - 3 - -
minggu
Pembesaran kelenjar - 1 cm, - -
limfe koli, aksila, jumlah
44
inguinal >1, tidak
nyeri
Pembengkakan - Ada - -
tulang/sendi pembengk
panggul, lutut, akan
falang
Foto rontgen toraks Norma Kesan TB - -
l/
Tidak
jelas
Keterangan : anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6, ( skor maksimal 13).
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 1015 mm
dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi
masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi >15 mm,
45
hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Pada keadaan tertentu, yaitu
tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka cut off-point hasil positif yang
digunakan adalah 5 mm.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah
a. infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh.
2. lmunisasi BCG (infeksi TB buatan).
3. Infeksi mikobakterium atipik.
2. Radiologis
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada TB
dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal (tidak
terdetek secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan
pemeriksaan penunjang lain mendukung. Secara umum gambaran radiologis yang
sugestif TB adalah : pembesaran kelenjar hilus dengan/tanpa infiltrate, konsolidasi
segmental, milier, kalsifikasi dengan infiltrate, atelektasis, infiltrate, efusi pleura,
tuberkuloma.
3. Mikrobiologis
Diagnosis pasti TB ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan
mikrobiologis. pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam:
pemeriksaan mikrobiologis apusan langsung untuk BTA dan pemeriksaan biakan kuman
M. Tuberculosis.
46
3.2.8 Tatalaksana TB anak
Beberapa hal penting dalam penatalaksanaan TB anak adalah:
a. Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan dalam monoterapi
b. Pemberian gizi yang kuat
c. Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan.
Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB
diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer atau anak yang terinfeksi TB
tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan (4 bulan kecuali pada TB berat). Pemberian
paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk
membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. OAT diberikan setiap hari dengan paduan obat yaitu rifampisin, isoniazid
dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid.
Sedangkan pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid. Untuk kasus TB
tertentu yaitu : TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis
TB, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg
BB/hari, dibagi 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan taffering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian
steroid adalah untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadinya perlekatan
jaringan.
47
Isoniazid 5-15 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
48
akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan
otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.6
Menurut Supariasa, malnutrisi adalah keadaan patologis akibat kekurangan atau
kelebihan secara relatif maupun absolut saat lebih zat gizi. Menurut Ngastiyah
(2005:258), gizi kurang pada keadaan awalnya tidak ditentukan kelainan biokimia tapi
pada keadaan lanjut akan didapatkan kadar albumin rendah, sedangkan globulin
meninggi. Sedangkan menurut Almatsier.6 Gizi kurang disebabkan oleh kekurangan
makanan sumber energi secara umum dan kurang sumber protein. Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa Gizi kurang adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh
konsumsi makanan yang kurang sumber protein, penyerapan yang buruk atau kehilangan
zat gizi secara berlebih.7
3.3.2 Etiologi
a. Penyebab langsung
Kurang gizi biasanya terjadi karena anak kurang mendapat masukan makanan yang
cukup lama. Tidak cukup asal anak mendapatkan makanan yang banyak saja tetapi harus
mengandung nutrient yang cukup, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
b. Penyebab tak langsung
1) Faktor ekonomi
2) Faktor fasilitas rumah dan sanitasi
3) Faktor pendidikan dan pengetahuan
4) Faktor pelayanan kesehatan
49
(Penyebab Kurang Gizi Menurut Unicef, 1998)
50
Pendistribusian bahan makanan yang terhambat dan stabilitas harga bahan makanan
sangat berpengaruh terhadap kemampuan konsumsi masyarakat, sehingga dapat
mengakibatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi gizi yang tidak seimbang.
d. Pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kemampuan sosial
Pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan kemampuan sosial yang kurang sangat
mempengaruhi tingkat daya beli atau kemampuan masyarakat terhadap kebutuhan
konsumsi gizi tidak terpenuhi.
e. Kemampuan keluarga menggunakan makanan
Pemanfaatan bahan makanan dalam sangat berpengaruh pada konsumsi yang
dibutuhkan keluarga, jika keluarga tidak mampu menggunakan makanan dapat
mengakibatkan keadaan gizi keluarga berkurang.
f. Tersedianya bahan makanan
Ketersediaan bahan makanan sangat berpengaruh dalam kebutuhan gizi masyarakat,
jika sediaan bahan makanan makanan kurang mengakibatkan gangguan pemenuhan gizi
masyarakat.
3.3.4 Patofisiologi
Sebenarnya malnutrisi (Gizi kurang) merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat
banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu host,
agent, environment.7 Memang faktor diet makanan memegang peranan penting tetapi
faktor lain ikut menentukan dalam keadaan keluarga makanan, tubuh selalu berusaha
untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi.
Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak,
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, (glukosa) dapat
dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh
untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi
kekurangan. Akibat katabolisme protrein terjadi setelah beberapa jam dengan
menghasilkan asam amino yang segera di ubah menjadi karbohidrat di hepar dan di ginjal
selama puasa jaringan lemak di pecah jadi asam lemak, gliseraal dan keton bodies, asam
lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makan ini berjalan
51
menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi setelah
kira-kira kehilangan separuh tubuh.6
Proses patogenesis terlihat pada faktor lingkungan dan manusia (host dan
environment) yang didukung oleh asupan-asupan zat-zat gizi, akibat kekurangan zat gizi
maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan, apabila
keadaan ini berlangsung lama. Maka simpanan zat gizi ini akan habis ahirnya terjadi
pemerosotan jaringan. Pada saat ini orang sudah dapat digolongkan sebagai malnutrisi ,
walaupun hanya baru dengan ditandai dengan penurunan berat badan dan pertumbuhan
terhambat.6
Patofisiologi menurut Nurcahyono, Pada keadaan ini yang muncul adalah
pertumbuhan yang kurang atau disertai mengecilnya otot dan menghilangnya lemak di
bawah kulit. Kelainan demikian merupakan proses psikologis untuk kelangsungan
jaringan hidup. Tubuh memerlukan energi dan dapat dipenuhi oleh makanan yang
diberikan.7
52
jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian epidemik.
Pada penilaian secara biofisik cara yang digunakan misalnya tes adaptasi gelap.
d. Penilaian Secara Antropometri
Penilaian status gizi secara antropometri didasarkan atas penilaian keadaan fisik dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Untuk antropometri yang
digunakan dalam penentuan status gizi di antaranya : berat badan, tinggi badan, lingkar
dada, lingkar lengan atas, lingkar kepala, dan tebal lemak dibawah kulit. Dari semua
ukuran itu yang paling sering digunakan adalah berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)
yaitu berat badan dibandingkan umur (BB/U), tinggi badan dibandingkan umur (TB/U),
berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB).
Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung meliputi:
a. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah penentuan status gizi secara tidak langsung dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi
b. Statistik vital
Statistik vital adalah dengan cara menganalisis data beberapa statistik kesehatan
seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan, dan angka kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi
c. Ekologi
Hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah
makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah,
irigasi, dan lain lain
53
Kekurangan energi berasal dari makanan, menyebakan seseorang kekurangan tenaga
untuk bekerja dan melakukan aktivitas.
c. Ketahanan tubuh
Daya tahan terhadap tekanan/stres menurun. Sistem imunitas dan antibodi berkurang
sehingga mudah terserang infeksi.
d. Struktur dan fungsi otak
Gizi buruk pada usia muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan
kemampuan berfikir. Otak mencapai bentuk maksimal setelah 2 tahun, gizi buruk dapat
berakibat terganggunya otak secara permanen.
e. Perilaku
Bagi anak-anak maupun orang dewasa yang mengalami gizi buruk menyebabkan
perilaku tidak tenang.Mereka mudah tersinggung, cengeng dan apatis.
54
b. Penatalaksanaan pasien yang menderita defisiensi gizi tidak selalu di rawat di rumah
sakit kecuali yang menderita malnutrisi berat : kwashiorkor, marasmus, marasmus-
kwasiorkor atau malnutrisi dengan komplikasi penyakit lainnya. Masalah pasien
yang perlu diperhatikan adalah memenuhi kebutuhan gizi, bahaya terjadinya
komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman dan kurangnya pengetahuan orang tua
pasien mengenai makanan.6
BAB IV
PEMBAHASAN
Anamnesis
Fakta Teori
Asma
Anak umur 3 tahun dengan keluhan: Anamnesis meliputi riwayat tentang penyakit/gejala,
- Batuk yang dialami setiap bulan yang berulang dan ditemukan ekspirasi
memanjang.
dan dapat bertahan 1 minggu
4. Gejala timbul/memburuk terutama pada
hingga 3 minggu
malam/dini hari
- Batuk dan sesak akan timbul
5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
apabila anak minum susu kaleng, 6. Respon positif terhadap pemberian
terkena udara dingin dan minum bronkodilator
yang manis - manis.
- BAB tidak rutin namun tidak keras, Tuberkulosis
BAK tidak ada keluhan. Pada pasien dengan diagnosis TB :
Demam tanpa penyebab yang jelas
RPD selama kurang lebih 2 minggu
Pasien sebelumnya pernah mengalami Batuk lebih dari 3 minggu
55
gejala yang sama yakni batuk dan sesak Terdapat kontak dengan pasien TB paru
yang terjadi setiap bulan sejak usia 1 dewasa
tahun. Penurunan Berat badan.
Sejak usia 1 tahun, pasien mengalami
penurunan nafsu makan yang
menyebabkan pasien tidak bertumbuh
RPK
Nenek dan paman pasien menderita
asma bronkhiale.
Ibu pasien pernah menderita sakit Tb Gizi Kurang
sayuran, namun pasien hanya makan b. Faktor fasilitas rumah dan sanitasi
56
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien tinggal bersama orang tua
dan 4 saudara kandung pasien.
Dalam satu rumah dihuni oleh 7
orang, yaitu: ayah, ibu dan 4 saudara
kandung pasien.
Ayah pasien bekerja sebagai satpam
di salah satu perusahan swasta.
Pendidikan terakhir Ibu dan ayah
pasien sederajat SD.
Fasilitas kesehatan dekat dari tempat
tinggal pasien.
Pemeriksaan Fisik
TEORI FAKTA
Asma PEMERIKSAAN FISIK
Napas cepat: Keadaan : sakit sedang
Anak umur < 2 bulan : 60 Kesadaran : Komposmentis
kali/menit
Anak umur 2 11 bulan : 50 Tanda Vital
kali/menit Frekuensi Nafas: 42 kali per menit
Anak umur 1 5 tahun : 40 Suhu badan : 36,40 C per axilla
kali/menit Nadi : 128 kali per menit, kuat angkat,
Anak umur 5 tahun : 30 regular
kali/menit Berat Badan = 9 kg
Tinggi Badan = 87 cm
Retraksi, ekspirasi memanjang dengan IMT = 12
suara wheezing yang dapat didengar
Pemeriksaan Fisik
Tuberkulosis - Adanya pembesaran KGB regio colli
- Pembesaran kelenjar limfe leher, Sinistra, konsistensi kenyal, mobile
aksila dan inguinal (multiple, dan berkisar antara 1 cm.
57
mobile dan tidak nyeri) - Didapatkan ronki pada kedua
- Ada pembengkakan tulang / sendi lapangan paru
panggul / lutut / falang
Status Gizi
- Pada TB koksae atau TB genu :
Rumus Behrman
jalan pincang dan nyeri pada
BB ideal = 2 (umur dalam tahun) + 8 = 2
daerah pangkal paha atau lutut.
(3) + 8 = 14 kg
- Meningitis TB : kaku kuduk dan
Status gizi = BB sekarang/BB ideal x
rangsangan meningeal
100% = 9 kg/ 14 kg x 100%
- Skrofuloderma : Ulkus kulit
= 64 % (gizi kurang)
dengan skinbridge biasanya terjadi
Pada anak ini dengan BB : 9 kg, PB : 87
di daerah leher, aksila dan
cm, dan Umur : 3 tahun
inguinal.
- Gizi Kurang / Gizi buruk
Berdasarkan kurva Z-score untuk anak 0
bulan -5 tahun didapatkan status gizinya
Gizi Kurang
adalah gizi kurang
Penegakkan diagnosa Gizi Kurang
berdasarkan Rumus Behrman (BB/U) atau
berdasarkan Z-score (BB/TB).
Rumus Berhman
BB ideal :
- Usia 3 - 12 bulan : (n + 9 ) / 2
- Usia 1 - 6 tahun : (2n + 8)
- Usia 7 - 12 tahun : (7n-5) / 2
Status Gizi :
BB sekarang / BB ideal x 100%
Interpretasi :
< 60% : Gizi Buruk
60 % - 80 % : Gizi Kurang
80% - 120 % : Gizi Baik
> 120 % : Gizi lebih
58
Z-Score :
Berdasarkan BMI / U
< - 3 SD : Gizi Buruk
- 3 SD sampai -2 SD : Gizi Kurang
-2 SD sampai +2 SD : Gizi Baik
> +2 SD : Gizi Lebih
Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
Asma
Pemeriksaan Darah Lengkap
1. Pemeriksaan fungsi paru (PEFR,
Tanggal 12 November 2014
spirometri, muscle strength testing)
Leukosit : 10.100 2. Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran
Tuberkulosis
1. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan ini dapat menunjang sebagai
59
pelengkap data namun tidak berperan
Trombosit : 353.000
penting dalam menunjang diagnostik, pada
LED : 21
pasien dengan TB mungkin akan menunjang
adanya peningkatan leukosit
Rontgen Thoraks AP/Lateral
2. Pemeriksaan Uji tuberculin
Pemeriksan Uji tuberculin dengan cara
mantoux dengan cara menyuntikkan 0,1 ml
PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU secara
intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Pembacaan dilakukan 48 - 72 jam setelah
suntikan .
Pengukuran dilakukan terhadap indurasi
yang timbul, bukan hiperemi atau eritema.
Hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi
:
> 10 mm : positif
5-9 mm : meragukan
0-4 mm : negatif
* pada keadaan immunocompromised, hasil
positif jika > 5 mm
3. Foto Thorax AP dan Lateral
Pada pasien dengan TB paru dapat
ditemukan pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal dengan / tanpa infiltrat,
konsolidasi segmen/lobus, kalsifikasi dengan
infiltrat, atelektasis, tuberkuloma.
60
Penatalaksanaan
Fakta Teori
- IVFD D5 1/2 NS 900 cc/24 jam Asma
- Nebu Ventolin tiap 8 jam Pemberian oksigen
Pemberian cairan parenteral
- INH 1 x 100 mg pulv
pemberian Antibiotik (jika ada tanda infeksi)
- Rimpafisin 1 x 150 mg
Pemberian bronkodilator
- Pirazinamid 1 x 250 mg
Pemberian Kortikosteroid
- Nebu Ventolin tiap 8 jam
- Inj Cefotaxime 3 x 250 mg
Tuberkulosis
- Pct 3 x cth 3/4 (prn)
- Terapi TB paru terdiri dari dua fase yaitu :
a. Fase intensif yang terdiri dari INH,
Rimpafisin, dan Pirazinamid selama 2 bulan
awal
b. Fase lanjut dengan panduan 2 OAT ( INH-
Rifampisin) hingga 6-12 bulan
Pada anak, obat TB diberikan secara harian
baik pada fase intensif maupun fase lanjutan
Gizi Kurang
A. Menurut Wong (2009:445), penanganan
gizi kurang adalah:
1) Pemberian diet dengan protein
2) Kabohidrat Vitamin dan mineral kwalitas
tinggi.
B. Penatalaksanaan menurut Ngastiyah
(2005:261-262), pasien yang menderita
defisiensi gizi tidak selalu di rawat di rumah
sakit kecuali yang menderita malnutrisi berat
: kwashiorkor, marasmus, marasmus-
kwasiorkor atau malnutrisi dengan
61
komplikasi penyakit lainnya. Masalah pasien
yang perlu diperhatikan adalah memenuhi
kebutuhan gizi, bahaya terjadinya
komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman
dan kurangnya pengetahuan orang tua pasien
mengenai makanan.
62
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
63
DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI, 2010.
2. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Departemen
Kesehatan RI. 2008
3. Sundaru, H., & Sukanto. 2007. Asma Bronkiale dalam Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. (Eds) Aru W. Sydoyo dkk. Hal 245-250. Jakarta: FK
Universitas Indonesia.
4. IDAI. Pedoman Nasional Tuberculosis Anak edisi II. Jakarta : UKK
Respirologi PP IDAI, 2008.
5. Nelson, W.E. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1996.
6. Hernawati, I. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Departemen
Kesehatan, 2007.
7. IDAI. Buku Ajar Gizi dan Tumbuh Kembang. Jakarta : Badan Penerbit IDAI,
2010
8. IDAI. Buku ajar Neonatologi. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010
64