Anda di halaman 1dari 23

PENETAPAN KISARAN DOSIS

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Toksikologi Lingkungan
Yang dibina oleh
dr. Agung Kurniawan,M.Kes.

Disusun oleh:

Betty Lestya Ningrum (140612602299)


Cindy Artika Sari (140612606455)
Nur Agustin (140612601155)
Nur Fuadati Sofiah (140612605727)

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Februari 2017
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
........................................................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah
........................................................................................................................
2
1.3 Tujuan
........................................................................................................................
2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Penetapan Kisaran Dosis 3
2.2 Kriteria Pemaparan 5
2.3 Dosis Respon 8
2.4 konsep statistika dan LD50 10
BAB 3 KESIMPULAN............................................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat
tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja
melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah
aktivitas biokimia dan biofisika makromolekul. Pemikiran ini sudah berlangsung
lebih dari seabad dan diwujudkan dengan istilah reseptor.
Afinitas reseptor untuk mengikat obat menentukan konsentrasi obat yang
diperlukan untuk membentuk kompleks obat-reseptor (drug-receptor complexes)
dalam jumlah yang berarti, dan jumlah reseptor secara keseluruhan dapat
membatasi efek maksimal yang ditimbulkan oleh obat. Respon terhadap dosis
obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung dengan dosis. Namun,
dengan meningkatnya dosis peningkatan respon menurun. Pada akhirnya,
tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi.
Memilih di antara sekian banyak obat dan menentukan dosis obat yang
tepat, seorang dokter harus mengetahui potensi relative farmakologis dan efikasi
maksimal obat dalam kaitannya dengan efek terapeutik yang diharapkan. Potensi
mengacu pada konsentrasi (EC50) atau dosis (ED50) obat yang diperlukan untuk
menghasilkan 50% efek maksimal obat tersebut. Potensi obat bergantung sebagian
pada afinitas reseptor untuk mengikat obat dan sebagian lagi pada efisiensi
interaksi, yang mana interaksi reseptor obat dihubungkan terhadap respon.
Perlu dibedakan antara potensi obat dan efikasi. Keefektifan obat secara
klinik tidak bergantung pada potensinya (EC50), tetapi pada efikasi maksimalnya
dan kemampuannya mencapai reseptor yang bersangkutan. Kemampuan ini dapat
bergantung pada cara pemberian, penyerapan, distribusi di dalam tubuh, dan
klirens dari darah atau titik tangkap obat. Efikasi obat yang maksimal jelas krusial
untuk mengambil keputusan klinik ketika diperlukan respon yang besar. Potensi
farmakologis sebagian besar dapat menentukan dosis obat terpilih yang diberikan.

1
1.1 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penetapan kisaran dosis ?

2. Bagaimanakah karakteristik pemaparan ?

3. Bagaimanakah dosis repon itu ?

4. Bagaimanakah konsep statistika dan LD50 ?

1.2 Tujuan Penulisan


1. Mendeskripsikan penetapan kisaran dosis

2. Mendeskripsikan karakteristik pemaparan.

3. Mendeskripsikan dosis repon.

4. Mendeskripsikan konsep statistika dan LD50.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penetapan Kisaran Dosis


Tidak ada zat kimia yang benar-benar aman dan tidak ada zat kimia
yang dianggap benar-benar berbahaya. Zat kimia apapun diijinkan untuk
bersentuhan dengan suatu mekanisme biologi, tanpa menimbulkan efek tertentu
asalkan kadar zat kimia tersebut berada dibawah tingkat efektif minimal. Segala
zat kimia dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan jika kadarnya cukup
besar.
Satu-satunya faktor yang paling menentukan potensi bahaya atau amannya
suatu senyawa hubungan antara kadar zat kimia itu dan efek yang ditimbulkannya
atas mekanisme biologi tertentu. Antara efek akhir yang diwujudkan sebagai ada
respon dan tidak ada respon dimana terdapat suatu kisaran kadar zat yang akan
memberikan suatu efek bertingkat diantara dua jenis titik ekstrim tersebut ( ada
dan tidak ada respon) yang disebut Penetapan kisaran dosis. Dalam penetapan
kisaran dosis perkiraan dampak pencemar terhadap lingkungan memerlukan
pengetahuan yang luas tentang dosis dan dampak . berikut merupakan bebrapa
pengertian dosis :
a. Dosis adalah jumlah materi atau substansi yang dihirup, dicerna atau
diserap lewat kulit atau juga jumlah yang disuntikan atau dimasukan.
b. Hasil konferensi stockhom (UN 1972) menyebutkan bahwa pengertian
dosis sebagai exposure atau pendedahan jumlah agen fisik atau kimiawi
yang mencapai sasaran atau target.
c. Menurut Nordberg (1976) dosis : jumlah atau konsentrasi dari suatu
senyawa kimia yang ada pada lokasi dampak pada setiap saat setelah
pengambilan tunggal atau pada permulaan pengambilan kronis

Ada 2 istilah penting yang berkaitan dengan dosis yaitu intake dan uptake

3
a. Intake yaitu masuknya suatu senyawa ke paru-paru, organ pencernaan
makanan atau jaringan subkutan dari hewan. Senyawa ini ditentukan oleh
proses penyerapan.
b. Uptake yaitu penyerapan dari suatu senyawa kedalam cairan ekstra
seluler. Senyawa yang diserap akan ditentukan oleh proses metabolisme.
Obat mempunyai respon farmasetik sepanjang masih adanya dosis obat
yang terkandung dalam obat dan berada dalam margin/ batas keamanan obat.
Beberapa obat mempunyai batas terapi yang luas. Ini menunjukkan bahwa pasien
dapat diberikan dengan range tingkat dosis yang lebar tanpa terjadi efek toksik.
Obat lainnya mempunyai batas terapi yang sempit dimana perubahan sejumlah
kecil dosis obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan atau
bahkan efek toksik ( Yesi, 2009 ).
Efficiency Dose 50 (ED50) adalah istilah untuk menunjukkan nilai dosis
obat yang memberikan efek 50% dari efek maksimal obat tersebut. Dosis yang
memberikan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis
efektif median ( ED 50 ). LD50 adalah dosis tertentu yang dinyatakan dalam
miligram berat bahan uji per kilogram berat badan (BB) hewan uji yang
menghasilkan 50% respon kematian pada populasi hewan uji dalam jangka waktu
tertentu., sedangkan TD 50 adalah dosis toksik pada 50% individu ( Departemen
Farmakologik dan Terapeutik, 2007 ). Pada TD 50 merupakan fase dimana
merupakan dosisi dari suatu bahan yang dipaparkan pada suatu populasi dan pada
tingkat dosis tertentu sudah dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan tubuh
hewan percobaan.
Dimana: TD50 adalah dosis obat yang menyebabkan respon beracun di
50% dari populasi dan ED50 adalah dosis terapi obat yang efektif dalam 50% dari
populasi. Untuk menghitung ED50 dengan rumus:
Log ED50=log D + d(f+1)
2log m=2d.f
Sebaran nilai ED50:
antilog (Log ED50 2log m)
Keterangan:
D = dosis terkecil yang digunakan
d = logaritma kelipatan dosis

4
f = factor (dalam tabel r)
df = dicari dalam tabel r
berikut merupakan kurva yang menggambarkan hubungan antara efektif
dosis (ED50), Toksik Dosis (TD50) dan Letal Dosis (LD50).

Dari kurva diatas dapat dilihat bahwa kisaran dosis dapat ditentukan dengan
melihat efektif dosis (ED50), Toksik Dosis (TD50) dan Letal Dosis (LD50).
Dimana pada fase ED50 merupakan dosis yang efektif untuk digunakan dan pada
tahap TD50 merupakan dosis yang sudah memberikan efek toksik yaitu dengan
mulai adanya kerusakan jaringan serta pada LD50 telah memberikan efek
kematian.

2.2 Karakteristik Pemaparan


Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan
dengan karakteristik pemaparan terhadap bahan toksis tertentu adalah jangka
waktu dan frekuensi pemaparan dan jalur masuk (route of entry) kedalam
tubuh,.
2.2.1 Jangka Waktu Dan Frekuensi Paparan Bahan Toksik

5
Menurut Bashar (2014) mengatakan bahwa jangka waktu dan frekuensi
bahan toksik dibedakan menjadi 4 yaitu sebagai berikut:
1. Akut
Pemaparan bahan kimia selama kurang dari 24 jam
2. Sub akut
Pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 1
bulan atau kurang
3. Subkronik
Pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 3
bulan
4. Kronik
Pemaparan berulang terhadap bahan kimia untuk jangka waktu lebih dari 3
bulan.
Paparan akut apabila suatu paparan terjadi kurang dari 24 jam dan jalan
masuknya dapat melalui intravena dan injeksi subkutan. Paparan sub akut
terjadi apabila paparan terulang untuk waktu satu bulan atau kurang, paparan
sub kronis bila paparan terulang antara 1 sampai 3 bulan, dan paparan kronis
apabila terulang lebih dari 3 bulan.
Pada beberapa bahan polutan, efek toksik yang timbul dari paparan
pertama sangat berbeda bila dibandingkan dengan efek toksik yang dihasilkan
oleh paparan ulangannya. Bahan polutan benzena pada pertama akan merusak
sistem saraf pusat sedangkan paparan ulangannya akan dapat menyebabkan
leukemia.
Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap manusia bisa bersifat kronik
atau akut. Pemaparan akut biasanya terjadi karena suatu kecelakaan atau
disengaja (pada kasus bunuh diri atau dibunuh), dan pemaparan kronik
biasanya dialami para pekerja terutama di lingkungan industri-industri kimia.
Efek toksik dari bahan-bahan kimia sangat bervariasi dalam sifat,
organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Beberapa bahan kimia dapat
menyebabkan cidera pada tempat yang kena bahan tersebut (efek lokal), bisa
juga efek sistematik setelah bahan kimia diserap dan tersebar ke bagian organ
lainnya. Efek toksik ini dapat bersifat reversibel artinya dapat hilang dengan
sendirinya atau irreversibel yaitu akan menetap atau bertambah parah setelah

6
pajanan toksikan dihentikan. Efek irreversibel (efek Nirpulih) di antaranya
karsinjoma, mutasi, kerusakan syaraf, dan sirosis hati.
Efek toksikan reversibel (berpulih) bila tubuh terpajan dengan kadar
yang rendah atau untuk waktu yang singkat, sedangkan efek terpulih terjadi
bila pajanan dengan kadar yang lebih tinggi dan waktu yang lama (Rukaesih
Achmad, 2004:170)
2.2.2 Jalur Masuk (Route Of Entery) Kedalam Tubuh
Jalur utama bahan toksik untuk dapat masuk ke dalam tubuh manusia
adalah melalui saluran pencernaan atau gastro intestinal (menelan/ingesti,
paru-paru (inhalasi), kulit (topikal), dan jalur perenteral lainnya (selain
saluran usus/intestinal). Bahan toksik umumnya menyebabkan respon yang
paling cepat bila diberikan melalui jalur intravena.
Disamping itu, jalur masuk dapat mempengaruhi toksisitas dari bahan
kimia. Sebagai contoh, suatu bahan kimia yang didetoksifikasi di hati
diharapkan akan menjadi kurang toksik bila diberikan melalui sirkulasi portal
(oral) dibandingkan bila diberikan melalui sirkulasi sistematik (inhalasi).
Pemaparan bahan bahan toksik dilingkungan industri seringkali sebagai
hasil dari pemaparan melalui inhalasi dan topical, sedangkan keracunan
akibat kecelakaan atau bunuh diri seringkali terjadi melalui ingesti oral.
Berikut ini adalah bahan-bahan kimia dapat masuk ke dalam tubuh melewati
tiga saluran yakni:
1. Melalui saluran pencernaan atau makanan (gastro intestinal). Bahan
toksik masuk kedalam saluran pencernaan umunya melalui makanan atau
minuman dan kemudian diserap didalam lambung.
2. Melalui kulit(Topikal). Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap
kulit ialah aniline, nitrobenzene, dan asam sianida. Pada umumnya kulit
lebih impermeabel dan karenanya merupakan barier (penghalang) yang
baik bagi bahan toksik masuk kedalam tubuh. Namun beberapa bahan
kimia dapat diserap oleh kulit dalam jumlah yang cukup banyak sehingga
menimbulkan efek sistemik. Suatu zat kimia dapat diserap lewat folikel
rambut atau lewat sel-sel kelenjar keringat. Setelah bahan toksik tersebut
diserap dan masuk kedalam darah, kemudian didistribusikan keseluruh
tubuh dengan cepat. Namun demikian sebagai bahan toksik dapat

7
dikeluarkan oleh mekanisme tubuh secara alami melalui urine, empedu,
dan paru-paru. Dan sebagian lagi bisa mengalami biotransformasi dan
bioaktivasi. Yang lebih berbahaya adalah jika terjadi proses bioaktivasi
dimana bahan toksik diubah menjadi bahan yang lebih toksik, oleh
metabolisme tubuh.
3. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat
pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus
keracunan yang terjadi, SO2 (sulfur dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan
efek setempat pada jalan pernapasan. Sedangkan HCN, CO, H 2S, uap Pb
dan Zn akan segera masuk kedalam darah dan terdistribusi ke seluruh
organ-organ tubuh.

2.3 Dosis Respon


Sifat spesifik dan efek suatu paparan secara bersama-sama akan
membentuk suatu hubungan yang lazim disebut sebagai hubungan dosis-
respon. Hubungan dosis-respon tersebut merupakan konsep dasar dari
toksikologi untuk mempelajari bahan toksik. Penggunaan hubungan dosis-
respon dalam toksikologi harus memperhatikan beberapa asumsi
dasar(fadhil,2010).
Asumsi dasar tersebut adalah
Respon bergantung pada cara masuk bahan dan respon berhubungan
dengan dosis.
Adanya molekul atau reseptor pada tempat bersama bahan kimia
berinteraksi dan menghasilkan suatu respon.
Respon yang dihasilkan dan tingkat respon berhubungan dengan kadar
agen pada daerah yang reaktif.
Kadar pada tempat tersebut berhubungan dengan dosis yang masuk.
Dari asumsi tersebut dapat digambarkan suatu grafik atau kurva hubungan
dosis-respon yang memberikan asumsi sebagai berikut :
1 Respon merupakan fungsi kadar pada tempat tersebut.
2 Kadar pada tempat tersebut merupakan fungsi dari dosis.
3 Dosis dan respon merupakan hubungan kausal.

8
Pada kurva dosis-respon nampak informasi beberapa hubungan antara jumlah
zat kimia sebagai dosis, organisme yang mendapat perlakuan dan setiap efek yang
disebabkan oleh dosis tersebut. Suatu respon dari adanya paparan dapat berupa
respon respon yang mematikan (lethal response) dan respon yang tidak
mematikan (non-lethal response). Bahan kimia dengan tingkat toksisitas rendah
memerlukan dosis besar untuk menghasilkan efek keracunan dan bahan kimia
yang sangat toksik biasanya memerlukan dosis kecil untuk menghasilkan efek
keracunan (fadhil,2010).

Gambar Hubungan Dosis-Respon


Efikasi
Efikasi merupakan respon maksimal yang dihasilkan suatu obat. Efikasi
tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisien
reseptor yang diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja seluler
(unej,2012).
Potensi
Potensi yang disebut juga kosentrasi dosis efektif adalah suatu ukuran berapa
bannyak obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin
rendah dosis yang dibutuhkan untuk suatu respon yang diberikan, makin
poten obat tersebut.Potensi paling sering dinyatakan sebagai dosis obat yang
memberikan 50% dari respon maksimal (ED50). Obat dengan ED50 yang
rendah lebih poten daripada obat dengan ED50 yang lebih besar(unej,2012).
Slope kurva dosis respons
Slope kurva dosis-respons bervariasi sari suatu obat ke obat lainnya. Suatu
slope yang curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil
menghasilkan suatu perubahan yang besar (unej,2012). Contoh slope kurva dosis-
respon :

9
Dari gambar kurva diatas dapat disimpulkan bahwa obat A lebih poten
dibandingkan dengan obat B, tetapi keduanya memperlihatkan efikasi yang sama.
Sedangkan obat C memperlihatkan potensi lebih rendah dan efikasi rendah
dibandingkan dengan obat A atau obat B (bakhriansyah,2012).

2.4 Konsep Dosis Lethal 50 (LD50)


Toksisitas merupakan potensi bahan kimia untuk meracuni tubuh orang
yang terpapar. Toksisitas adalah kemampuan suatu zat asing dalam menimbulkan
kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam
lingkungan. Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu
senyawa pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon dari
sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberikan informasi
mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia
sehingga dapat ditentukan dosis penggunaan dan keamanannya serta dapat
mengevaluasi resiko akibat pajanan bahan kimia yang terjadi (Klassen dalam
Irawan 2013).
Penelitian toksisitas konvensional pada hewan coba sering
mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai dosis
untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi menjadi tiga
kategori (Lu dalam Irawan, 2013):
1. Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang sedang
diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.
2. Uji toksisitas jangka pendek (dikenal dengan subkronik) dilakukan dengan
memberikan bahan kimia berulang-ulang, biasanya setiap hari, selama jangka
waktu kurang lebih tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk anjing.
3. Uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan kimia
berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya
sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan
untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet.

10
Uji toksisitas akut menggunakan hewan percobaan yang diperlukan untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian suatu
zat dalam dosis tunggal atau dosis berulang dalam waktu tidak lebih dari 24 jam;
apabila pemberian dilakukan secara berulang, maka interval tidak kurang dari 3
jam (Lu dalam Irawan, 2013). Toksisitas akut dari bahan kimia lingkungan dapat
ditetapkan secara eksperimen menggunakan spesies tertentu seperti mamalia,
bangsa unggas, ikan hewan, invertebrata, tumbuhan vaskuler dan alga. Uji
toksisitas akut dapat menggunakan beberapa hewan mamalia, namun yang
dianjurkan untuk uji LD50 diantaranya adalah menggunakan hewan tikus, mencit,
dan kelinci (Ibrahim dkk, 2012).
Prinsip toksisitas akut yaitu pemberian secara oral suatu zat dalam
beberapa tingkatan dosis kepada beberapa kelompok hewan uji. Takaran dosis
yang dianjurkan pada toksisitas akut paling tidak terdapat empat peringkat dosis.
Dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji
sampai dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh
hewan uji. Penilaian toksisitas akut ditentukan dari kematian hewan uji sebagai
parameter akhir. Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir
percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas dan
selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi .
Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mengidentifikasi bahan kimia yang
toksik dan memperoleh informasi tentang bahaya terhadap manusia bila terpajan.
Uji toksisitas akut digunakan untuk menetapkan nilai LD50 suatu zat. selaian itu,
tujuan lain dilakukannya uji toksisitas akut yaitu untuk mengetahui hubungan
antara dosis dengan timbulnya efek seperti perubahan perilaku, koma, dan
kematian serta mengetahui gejala-gejala toksisitas akut sehingga bermanfaat
untuk membantu diagnosis adanya kausus keracunan dan untuk memenuhi
persyaratan regulasi jika zat uji akan dikembangkan menjadi obat (Priyanto dalam
Irawan 2013).
Penelitian uji toksisitas akut sebagian besar dirancang untuk menentukan
dosis lethal (LD50). LD50 didefinisikan sebagai dosis dari bahan kimia yang
dapat menyebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan yang diuji
(Darmono dalam Irawan 2013). Uji LD50 adalah suatu pengujian untuk

11
menetapkan potensi toksisitas akut LD50, menilai berbagai gejala toksik,
spektrum efek toksik, dan mekanisme kematian. Tujuan Uji LD50 adalah untuk
mendeteksi adanya toksisitas suatu zat, menentukan organ sasaran dan
kepekaannya, memperoleh data bahayanya setelah pemberian suatu senyawa
secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk
menetapkan tingkat dosis yang diperlukan (Ibrahim dkk, 2012).
Konsep tentang LD50, dosis letal median, dikembangkan oleh Trevan
sebagai grafik indeks toksisitas, yang mendefinsikannya sebagai satuan dosis tiap
satuan bobot hewan yang bisa membunuh setengah dari kelompok hewan yang
sangat besar menggunakan data kuantitatif yang akurat. Nilai angka yang lebih
rendah dalam LD50 menunjukkan toksisitas yang lebih besar dari dosis yang lebih
tinggi. Hanya kematian dan kebertahanan untuk hidup yang dicatat; efek-efek
yang tidak mematikan termasuk keparahan tidak diperhitungkan (Ibrahim dkk,
2012). .
Ukuran LD50 adalah berdasarkan berat tubuh dan dinyatakan dalam bentuk
unit mg/kg (milligram racun per kilogram berat badan makhluk hidup). Beberapa
kelemahan dari ukuran LD50 adalah ditemukan kenyataan bahwa besar LD 50 masih
tergantung pada jenis species makhluk hidup yang menjadi objek percobaan.
Dengan demikian ukuran LD50 untuk tikus akan berbeda dari ukuran LD50 untuk
kelinci atau binatang pengerat yang lainnya. Namun demikian ukuran
LD50 digunakan sebagai perbandingan umum tentang potensi racun yang dimiliki
oleh zat kimia terhadap makhluk hidup sehingga manusia dapat menghindarkan
bahaya yang disebabkan oleh daya racun yang dimiliki oleh zat kimia. Ukuran
LD50 dapat juga disebut sebagai LD50 rendah atau LD50 tinggi, yaitu berbagai
untuk menggambarkan potensi rendah dan tingginya daya racun suatu zat kimia di
dalam tubuh makhluk hidup, sehingga informasi LD 50 yang dimiliki zat kimia
tersebut. Beberapa contoh LD50 dari beberapa senyawa kimia yang sering
ditemukan di dalam lingkungan diperlihatkan pada tabel berikut :
LD50 (mg/kg) Nama senyawa alamiah Nama senyawa sintetik
>10.000.000 Gula pasir -
1000 Garam, etanol, phyretrin Malathion, glyphospate,
aspirin
100 Kafein DDT, codeine, paracetamol
1 Nikotin Strychnine

12
2-10 Bisa ular -
5-10 Tetanus -

Adapun Nilai LD50 sangat berguna untuk mengklasifikasikan zat kimia


sesuai dengan toksisitas relatifnya yaitu sebagai berikut:
Kategori LD50
Supertoksik 5 mg/kg atau kurang
Amat sangat toksik 5-50 mg/kg
Sangat toksik 50-500 mg/kg
Toksik sedang 0,5-5 g/kg
Toksik ringan 5-15 g/kg
Praktis tidak toksik >15 g/kg
Nilai LD50 berguna dalam beberapa hal diantaranya :
1. Klasifikasi zat kimia berdasarkan toksisitas relative.
2. Pertimbangan akibat bahaya dari overdosis
3. Perencanaan studi toksisitas jangka pendek pada hewan
4. Menyediakan informasi tentang:
a. Mekanisme keracunan
b. Pengaruh terhadap umur, seks, inang lain, dan faktor lingkungan
c. Tentang respon yang berbeda-beda di antara spesies dan galur
d. Menyediakan informasi tentang reaktivitas populasi hewan-hewan tertentu
e. Menyumbang informasi yang diperlukan secara menyeluruh dalam
percobaan-percobaan obat penyembuh bagi manusia
f. Kontrol kualitas. Mendeteksi kemurnian dari produk racun dan perubahan
fisik bahan-bahan kimia yang mempengaruhi keberadaan hidup.
Penentuan LD50 bertujuan untuk mencari besarnya dosis tunggal yang
membunuh 50% dari sekelompok hewan coba dengan sekali pemberian bahan uji.
Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
a) Penentuan LD50 kronis
Uji toksisitas kronis adalah uji toksisitas yang meliputi pengamatan
terhadap stimulus-stimulus yang dapat menghambat atau mengganggu kehidupan
biota uji secara terus menerus dalam jangka waktu relatif lama. Uji toksisitas
kronis harus mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas
kehidupan biota uji seperti pertumbuhan, reproduksi dsb.

13
Jumlah dan spesies pada uji ini biasanya memakai satu spesies hewan atau
lebih. Jumlah untuk tikus 40-100 ekor dalam setiap kelompok perlakuan dan
kontrol.
Adapun Persiapan Pengujian nya yaitu:
a. Metode Pengujian
Dua metode umum penentuan LD50 adalah metode non-grafik
(mengasumsikan respon tidak terdistribusi secara normal) dan metode grafik
(asumsi respon terdistribusi secara normal). Metode monografik dicontohkan
dengan Thompsons Moving Average Method
b. Data Hewan
Hewan percobaan harus dikarakterisasikan dalam hal spesies, strain, dan
karakteristik fisiologis dan morfologisnya. Sangat penting untuk memilih hewan
secara acak untuk setiap kelompok level-dosis Higienitas dan pengaruh
lingkungan merupakan faktor penting dalam penggunaan hewan uji
c. Usia, Bobot Badan, dan Jenis Kelamin
Penting untuk menentukan usia, bobot badan, dan jenis kelamin hewan uji
karena perbedaan usia menentukan kematangan fungsi organ serta aktivitas
enzim. Respon terhadap dosis juga akan berbeda tergantung kepada usia dan
bobot badan. Hewan yang hamil tidak boleh digunakan untuk pengujian. Untuk
pengujian LD50 sering digunakan hewan uji bobot 200-250 gram tikus dan
mencit bobot 20-30 gram.
d. Spesies dan Suku Hewan
Tikus dan mencit yang merupakan spesies yang sama sering digunakan
untuk pengujian LD50. keuntungannya adalah untuk memperoleh keseragaman
relatif dan ketersediaannya.
Jumlah hewan yang berada dalam satu kandang harus seragam. Kepadatan hewan
dalam satu kandang mempengaruhi pengukuran LD50.
e. Persiapan Bahan Pengujian
Perbedaan dalam persiapan bahan pengujian bisa menjadi sebab perbedaan
hasil yang diperoleh dalam pengujian LD50 dalam literatur untuk zat yang sama.
Bahan percobaan yang akan diujikan sebaiknya tidak diencerkan terlebih dahulu.
Untuk bahan padatan sebaiknya digerus terlebih dahulu.

14
b) Penentuan LD50 Sub-kronis
Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari 3
bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji
serta untuk memperlihatkan apakah spectrum efek toksik itu berkaitan dengan
takaran dosis.
Pengamatan dan pemerikasaan yang dilakukan dari uji ketoksikan
subkronis meliputi :
a. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali.
b. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan
yang diukur paling tidak tujuh hari sekali.
c. Gejala kronis umum yang diamati setiap hari.
d. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali pada awal dan
akhir uji coba.
e. Pemeriksaan kimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji
coba.
f. Analisis urin paling tidak sekali.
g. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba.
Tata Cara Pelaksanaannya :
1) Pemilihan hewan uji, dapat digunakan roden (tikus) atau sebaiknya dipilih
hewan uji yang peka dan memiliki pola metabolisme terhadap senyawa uji
yang semirip mungkin dengan manusia. Disarankan paling tidak satu jenis
hewan uji dewasa, sehat, baik jantan maupun betina. Jumlah yang
digunakan paling tidak 10 ekor untuk masing-masing jenis kelamin dalam
setiap kelompok takaran dosis yang diberikan.

2) Pengelompokan, minimal ada empat kelompok uji yaitu 3 kelompok dosis


dan 1 kelompok kontrol negatif. Hal ini disebabkan karena untuk regresi
minimal digunakan 3 data sehingga dapat dianalisis hubungan dosis
dengan efek.

3) Takaran dosis, bergerak dari dosis yang sama sekali tida menimbulkan
efek toksis sampai dengan dosis yang betul-betul menimbulkan efek toksik

15
yang nyata. Minimal digunakan 3 peringkat dosis degan syarat dosis yang
tetinggi sebisa mungkin tidak mematikan hewan uji tetapi memberi wujud
efek toksik yang jelas (nyata). Sedangkan dosis terendah yang digunakan
setingkat dengan ED50-nya.

4) Pengamatan, berupa wujud efek toksik atau spektrumnya, semua jenis


perubahan harus diamati.

Studi subkronik dirancang untuk menentukan efek samping paparan yang


diulang secara reguler dalam rentang periode dari beberapa hari sampai enam
bulan. Tingkat paparan normalnya lebih rendah dari pada yang ditemukan pada
studi akut. Kematian bukan merupakan titik akhir, dan rute paparan normalnya
mencakup rute paparan yang diantisipasikan pada manusia.
Prosedur pengujian secara umum lebih ekstensif dan terperinci
dibandingkan dengan studi akut. Semua data kuantitatif harus diolah secara
statistik untuk membandingkan kelompok hewan uji dan kontrol. Studi bisa
menyertakan baik hewan yang sudah dewasa maupun belum, dengan
mempertimbangkan populasi manusia yang memiliki resiko terhadap paparan
yang diujikan
Prosedur Pengujian LD50 , Tujuan uji toksisitas adalah untuk menetapkan
potensi toksisitas akut (LD50), menilai gejala kilinis, spectrum efek toksik, dan
mekanisme kematian.Untuk uji toksisitas akut perlu dilakukan pada sekurang-
kurangnya satu spesies hewan coba, biasanya spesies hewan pengerat yaitu mencit
atau tikus, dewasa atau muda dan mencakup kedua jenis kelamin.
Perlakuan berupa pemberian obat pada masing-masing hewan coba dengan
dosis tunggal. Terkait dengan upaya mendapatkan dosis letal pada uji LD50,
pemberian obat dilakukan dengan besar dosis bertingkat dengan kelipatan tetap.
Penentuan besarnya dosis uji pada tahap awal bertolak dengan berpedoman
ekuipotensi dosis empiric sebagai dosis terendah, dan ditingkatkan berpedoman
ekuipotensi dosis empiric sebagai dosis terndah, dan ditingkatkan berdasarkan
factor logaritmik atau dengan rasio tertentu sampai batas yang masih
dimungkinkan untuk diberikan. Cara pemberian diupayakan disesuaikan dengan
cara penggunaannya.

16
Pada uji toksisitas akut ditentukan LD50, yaitu besar dosis yang
menyebabkan kematian (dosis letal) pada 50% hewan coba, bila tidak dapat
ditentukan LD50 maka diberikan dosis lebih tinggi dan sampai dosis tertinggi
yaitu dosis maksimal yang masih mungkin diberikan pada hewan coba. Volume
obat untuk pemberian oral tidak boleh lebih dari 2-3% berat badan hewan coba.
Setelah mendapatkan perlakuan berupa pemberian obat dosis tunggal
maka dilakukan pengamatan secara intensif, cermat, dengan frekuensi selama
jangka waktu tertentu yaitu 7-14 hari, bahkan dapat lebih lama antara lain dalam
kaitan dengan pemulihan gejala toksik.
Langkah-langkah pengujian:
1. Rute Pemberian
Rute pemberian oral merupakan rute yang paling umum diberikan untuk
penentuan dosis letal median. Volume cairan maksimal yang diberikan berbeda
tergantung jenis hewan yang digunakan. Untuk tikus biasa diberikan cairan
sebanyak 4-5 ml. Untuk bahan yang tidak larut dalam pembawa berair maksimum
pemberian adalah 1,5-2 ml dan diberikan dalam perangkat yang berminyak.
2. Periode Observasi
Waktu pengamatan sangat penting untuk ditentukan dan tergantung kepada jenis
zat uji terutama jika ada kemungkinan efek kematian yang lambat. Pengamatan
selama 14 hari cukup untuk kebanyakan senyawa. Pengamatan pada hari terakhir
harus tetap dilakukan hingga diketahui apakan hewan dapat pulih atau mati.
Waktu pengamatan bisa ditentukan berdasarkan reaksi toksisitas, laju onset, dan
lama periode pemulihannya.
3. Perekaman Tanda-tanda
Pengamatan harus dicatat secara sistematik dan catatan terpisah harus dibuat
untuk masing-masing hewan. Mungkin akan muncul respon yang berbeda untuk
satu tingkat dosis yang diberikan. Onset dan durasi tanda toksisitas bisa diatikan
apakah kerja farmakologis atau kerusakan organ sedang terjadi. Perubahan secara
fisik harus dicatat.
Perlambatan kematian bisa mengindikasikan potensi yang signifikan untuk efek
kumulatif
4. Perubahan Bobot Tubuh Hewan

17
Efek toksik yang parah kadang bisa diketahui dengan membandingkan bobot
hewan yang diuji. Hewan yang bertahan hidup harus ditimbang bobotnya
setidaknya satu kali selama pengujian. Catatan tentang makanan dan air yang
diberikan harus ada. Kelaparan mempengaruhi respon farmakologis selain bobot
dan kandungan air dalam organ.
5. Pembedahan
Pembedahan terhadap beberapa hewan yang dapat bertahan hidup sebagaimana
terhadap yang mati setelah pemberian dosis dapat memberikan petunjuk yang
bermanfaat terhadap tipe toksisitas yang diberikan oleh senyawa uji. Dengan
demikian, pembedahan harus menjadi bagian dari prosedur pengujian.
6. Evaluasi
Idealnya, untuk memastikan gangguan kesehatan yang potensial terhadap manusia
dari suatu senyawa, studi toksisitas harus dilakukan terhadap hewan yang
memiliki metabolisme terhadap senyawa yang mirip dengan manusia. Dalam hal
ini, hewan pengerat merupakan subjek uji awal yang bisa digunakan. Derajat
toksisitas yang mirip pada beberapa spesies mengindikasikan toksisitas manusia
bisa diperbandingkan.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Satu-satunya faktor yang paling menentukan potensi bahaya atau amannya
suatu senyawa hubungan antara kadar zat kimia itu dan efek yang ditimbulkannya
atas mekanisme biologi tertentu. Antara efek akhir yang diwujudkan sebagai ada
respon dan tidak ada respon dimana terdapat suatu kisaran kadar zat yang akan
memberikan suatu efek bertingkat diantara dua jenis titik ekstrim tersebut ( ada
dan tidak ada respon) yang disebut Penetapan kisaran dosis.
Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan
karakteristik pemaparan terhadap bahan toksis tertentu adalah jangka waktu
dan frekuensi pemaparan dan jalur masuk (route of entry) kedalam tubuh,.
Sifat spesifik dan efek suatu paparan secara bersama-sama akan
membentuk suatu hubungan yang lazim disebut sebagai hubungan dosis-respon.
Hubungan dosis-respon tersebut merupakan konsep dasar dari toksikologi untuk
mempelajari bahan toksik. Penggunaan hubungan dosis-respon dalam toksikologi
harus memperhatikan beberapa asumsi dasar(fadhil,2010).
Toksisitas adalah potensi bahan kimia untuk meracuni tubuh orang yang
terpapar. Toksisitas adalah kemampuan suatu zat asing dalam menimbulkan
kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam
lingkungan. Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu
senyawa pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon dari
sediaan uji.
Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan atau menunjukkan secara
kasar median lethal dose (LD50) dari toksikan. LD50 ditetapkan sebagai tanda
statistik pada pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal yang dapat
menyebabkan kematian 50% hewan uji (Frank dalam Ibrahim, 2012). Jumlah

19
kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek toksik suatu bahan (kimia)
pada seke lompok hewan uji. Jika dalam hal ini hewan uji dipandang sebagai
subjek, respon berupa kematian tersebut merupakan suatu respon diskretik.

DAFTAR PUSTAKA

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokeran Universitas


Indonesia.2007.Farmakologi dan Terapi. Jakarta.Gaya Baru
Bakhriansyah.2012.PengantarFarmakologi.https://farmakologi.files.wordpress.co
m/2012/09/farmakodinamik-dan-efek-obat1.pdf (online) diakses pada
tanggal 17 februari 2017
Bashar, Yazhid. 2014. Makalah Toksiologi. (Online),
http://www.atlm.web.id/2014/06/makalah-toksikologi.html diakses pada
17 Februari 2017
Fadhil.2010.Toksikometrik.https://fadhilhayat.wordpress.com/2010/11/11/toksiko
metrik-2/ (online) diakses pada tanggal 17 februari 2017
Hernayanti.2011.Dosis dan Respon. https://www.scribd.com/doc/51277751/dosis-
respon-Rev (online) diakses pada tanggal 17 februari 2017
Irawan.2013. Uji Toksisitas akut penentuan LD50 Ekstrak Valerian Terhadap
Mencit. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53706/4/Chapter
%20II.pdf .(Online) diakses 15 Februari 2017
Ibrahim,dkk.2012. Uji Lethal 50 (LD50) Heparmin Pada Mencit
https://www.researchgate.net/profile/Akhyar_Anwar/publication/2357269
69_Lethal_Dose_50_LD50_Tests_of_Poliherbal_Curcuma_Xanthorriza_
Kleinhovia_hospita_Nigella_sativa_Arcangelisia_flava_and_Ophiocepha
lus_striatus_on_HeparminR_in_Mice_Mus_musculus/links/09e41512ed0
232637f000000.pdf?origin=publication_list Online) diakses 15 Februari
2017
Unej.2012.farmakodinamik.http://documents.farmakodinamik/2012/16/08l
(online) diakses pada tanggal 17 februari 2017

20
Yesi. 2009. Indeks Terapetik dan Batas Terapetik.
http://yesimeiditama.blogspot.com/2009/02/indeks-terapetik-dan-batas-
terapetik.htm (online) diakses pada tanggal 17 februari 2017

21

Anda mungkin juga menyukai