Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Pada umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirnya bayi yang cukup
bulan dan tidak cacat. Namun hal ini tidak selalu terjadi. Kadang kadang terjadi
kegagalan kehamilan, tergantung pada tahap dan bentuk gangguannya. Kegagalan
ini bisa berupa abortus, kehamilan ektopik, prematuritas, atau kelainan kongenital.
Kesemuanya merupakan kegagalan fungsi reproduksi termasuk juga penyakit
trofoblas (Fitriani, 2009).
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal ditandai dengan villi korialis
yang mengalami perubahan hidrofobik membentuk kelompok kelompok
menyerupai buah anggur. Mola hidatidosa merupakan salah satu tipe penyakit
trofoblas gestasional (Gestational Trophoblast Disease / GTD) yakni penyakit
berasal dari sel yang pada keadaan normal berkembang menjadi plasenta pada
masa kehamilan, meliputi berbagai penyakit yang berasal dari sel sel trofoblas
yang diklasifikasikan World Health Organization sebagai mola hidatidosa parsial,
mola hidatidosa komplit, koriokarsinoma, mola invasif dan placental site
trophoblastic tumors (American Cancer Society, 2014).
Pada umumnya kejadian mola hidatidosa pada wanita di Asia lebih tinggi
(1 per 120 kehamilan) daripada wanita di negara negara Barat (1 per 2000
kehamilan). Kehamilan mola hidatidosa dapat terjadi di semua umur wanita
hamil, namun frekuensi mola hidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal
atau akhir usia subur relatif lebih tinggi. Angka kejadian tersering adalah pada
wanita hamil berusia kurang dari 20 tahun dan berusia antara 40 sampai 50 tahun
(Cunningham, 2014).
Risiko kekambuhan pada wanita yang sebelumnya pernah mengalami
kehamilan mola hidatidosa komplit sekitar 1,5%. Sedangkan wanita yang pernah
mengalami kehamilan mola hidatidosa parsial risiko kekambuhan mencapai 2,7%.
Setelah dua kehamilan mola hidatidosa sebelumnya, dilaporkan bahwa 23%
wanita mengalami kehamilan mola hidatidosa yang ketiga (Garrett, 2008;
Cunningham, 2014).

1
Diagnosa yang dini, penanganan yang tepat waktu serta kewaspadaan
pengawasan pasca evakuasi akan menurunkan tingkat kematian ibu yang
mengalami kehamilan mola hidatidosa (Lurain, 2011). Pembahasan tentang gejala
dan tanda, faktor risiko, etiologi, penatalaksanaan serta komplikasi dari kehamilan
mola hidatidosa perlu diketahui oleh tenaga kesehatan agar dapat menegakkan
diagnosis secara dini dan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas ibu.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit trofoblastik gestasional atau Gestational Trophoblastic
Disease (GTD) adalah sekumpulan tumor yang melibatkan pertumbuhan sel
abnormal di dalam uterus wanita. GTD tidak berkembang dari sel uterus
seperti kanker serviks atau kanker endometrium, tumor ini berawal dari sel
yang normalnya akan berkembang menjadi plasenta selama kehamilan
(American Cancer Society, 2014).
Insidensi dari GTD adalah 1:200-1000 kehamilan, dengan variasi pada
berbagai etnis: wanita Asia memiliki insidensi lebih tinggi daripada wanita
bukan Asia. Insidensi lebih tinggi terjadi pada batasan umur dari spektrum
reproduksi yaitu pada usia lebih muda dari 20 tahun dan pada usia yang lebih
tua dari 45 tahun (New Zealand Gynaecologic Cancer Group, 2014).
Gestational Trophoblastic Disease mulai muncul dari lapisan sel
trofoblas (sel perkembangan awal) yang normalnya mengelilingi embrio.
Pada awal masa perkembangan normal, sel trofoblas berbentuk kecil, seperti
jari, yang disebut sebagai vili. Vili berkembang ke dalam lapisan uterus.
Kemudian, lapisan trofoblas tersebut berkembang menjadi plasenta, organ
yang melindungi dan memberi nutrisi pada fetus (American Cancer Society,
2014).
Sebagian besar GTD adalah jinak (bukan kanker) dan tidak menginvasi
terlalu dalam ke lapisan tubuh atau menyebar ke bagian tubuh lain. Sebagian
kecilnya dapat berkembang menjadi ganas (American Cancer Society, 2014).
Tipe utama dari penyakit trofoblas gestasional adalah (American
Cancer Society, 2014):
1. Mola hidatidosa
2. Mola invasif
3. Tumor trofoblas dalam plasenta
4. Tumor trofoblas epiteloid
Bentuk yang paling umum dari penyakit trofoblastik gestasional adalah
mola hidatidosa, yang lebih sering disebut kehamilan mola. Mola terbuat dari
vili yang menjadi bengkak oleh cairan. Vili yang bengkak ini terlihat seperti

3
sekumpulan anggur yang disebut kehamilan mola. Tidak menutup
kemungkinan, fetus dapat terbentuk. Pada beberapa kasus yang jarang, fetus
normal dapat hidup berdampingan dengan kehamilan mola (kurang dari 1
pada 100 kasus). Mola hidatidosa bukan sel kanker tapi dapat berkembang
menjadi kanker GTD (American Cancer Society, 2014). Plasenta yang
berkembang menjadi bentuk hidatidosa dan hiperplasia trofoblas, dapat
memiliki risiko 9-20% untuk menjadi neoplasia (Hextan, 2012).
Hidatidosa berasal dari bahasa Yunani yang berarti droplet. Struktur
mola tampak seperti liang di dalam dinding uterus, karena itulah dinamakan
mola (The Royal Womens Hospital, 2014).
Ada dua jenis mola hidatidosa: komplit dan parsial. Mola hidatidosa
komplit seringnya berkembang saat 1 atau 2 sperma membuahi sebuah ovum
yang tidak memiliki nukleus atau DNA (ovum kosong). Semua material
genetis berasal dari sel sperma laki-laki. Karena itulah, tidak didapatkan
jaringan fetus (American Cancer Society, 2014).
Mola hidatidosa parsial berkembang ketika 2 sperma membuahi ovum
yang normal. Tumor ini dapat berisi beberapa jaringan fetus dan seringnya
tercampur dengan jaringan trofoblast. Fetus dapat berkembang tetapi menjadi
abnormal dan tidak dapat bertahan hidup. Kebanyakan fetus dapat bertahan
hidup hanya sampai umur 3 bulan (The Royal WomensHospital, 2014). Mola
parsial biasanya dihilangkan dengan pembedahan dan jarang yang dapat
berkembang menjadi keganasan (American Cancer Society, 2014).

B. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko dari mola hidatidosa adalah:
1. Umur.
Kebanyakan terjadi pada wanita usia reproduktif. Dengan peningkatan
risiko pada umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 45 tahun dan terus
meningkat sampai umur menopause (American Cancer Society, 2014).
2. Kekurangan nutrisi, terutama kekurangan protein dan vitamin A (The
Royal Womens Hospital, 2014).
3. Riwayat kehamilan mola sebelumnya.
Sekali terkena mola hidatidosa, seorang wanita memiliki risiko lebih tinggi
untuk terkena mola hidatidosa kembali. Risiko untuk terjadinya mola pada
kehamilan selanjutnya adalah sekitar 1-2%. Risiko dapat lebih tinggi jika

4
wanita tersebut pernah terkena lebih dari satu kali kehamilan dengan mola
hidatidosa (American Cancer Society, 2014).
4. Riwayat abortus sebelumnya.
Wanita yang pernah abortus memiliki risiko lebih tinggi terjadinya mola.
Hal ini dapat terjadi karena mola dapat menyebabkan abortus. Akan tetapi,
risiko dari terjadinya mola yang berhubungan dengan abortus masih
rendah (American Cancer Society, 2014).
5. Faktor ovum: ovum sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan (Fitriani, 2009).

C. Patomekanisme
Pada mola hidatidosa komplit, sperma membuahi sel ovum abnormal
yang tidak memiliki nukleus atau kromosom. Setelah pembuahan, kromoson
dari sperma berduplikasi sendiri, sehingga terdapat 2 kopi dari kromosom
identik yang sama dari satu sperma. Apabila ini terjadi, perkembangan tidak
dapat terjadi dan fetus tidak terbentuk. Pada beberapa kasus yang jarang
terjadi, mola komplit terbentuk dari ovum yang dibuahi 2 kromosom.
Terjadilah mola dengan 2 kromosom laki laki, tidak ada kromosom
perempuan dan tidak ada fetus yang terbentuk (American Cancer Society,
2014). Perhitungan kromosom dapat menjadi 46XX, dari satu sperma (75%)
yang menduplikasi DNA-nya sendiri, atau 46XX/46XY dari dua sperma
(25%) (New Zealand Gynaecologic Cancer Group, 2014).
Analisis imunohistologi menerangkan bahwa gen paternal (laki-laki)
memproduksi p57 yang diekspresikan oleh gen maternal. Karena gen
maternal tidak ada, maka p57 kurang terekspresikan. Menurunnya aktivitas
p57 menyebabkan hilangnya kontrol dalam siklus sel yang berkontribusi
terhadap hiperplasia trofoblas. Terjadilah degenerasi hidropik pada trofoblas
(Fukunaga, 2002).
Mola hidatidosa parsial terbentuk dari 2 sperma yang membuahi satu
ovum normal dalam satu waktu. Ovum yang sudah dibuahi berisi 3 set
kromosom (69) sedangkan normalnya berisi 2 set (46). Embrio dengan 3 set
kromosom tidak bisa tumbuh menjadi fetus normal. Fetus akan tumbuh
abnormal (malformasi) bersamaan dengan beberapa jaringan plasenta dan
mola hidatidosa parsial (American Cancer Society). Embrio dapat mati pada

5
minggu ke-8 dan ke-9 kehamilan (New Zealand Gynaecologic Cancer Group,
2014).

Gambar 1. Terbentuknya Mola Hidatidosa (The Royal Womens Hospital,


2014)

Selain itu, ada beberapa teori lain yang menerangkan patogenesis dari
penyakit trofoblas (Fitriani, 2009):
1. Teori Missed Abortion
Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion), karena itu
terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan
dalam jaringan mesenkim dari vili dan akhirnya terbentuk gelembung-
gelembung.
2. Teori Neoplasma

6
Dikatakan yang abnormal adalah sel sel trofoblas, yang mempunyai
fungsi abnormal pula, dimana terjadi reabsorbsi cairan yang berlebihan ke-
dalam vili sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan
peredaran darah dan kematian mudigah.

D. Gambaran Klinis
Gambaran klinis wanita dengan kehamilan mola telah sangat berubah
dalam beberapa dekade terakhir karena perawatan prenatal yang bertujuan
mencari risiko lebih dini dan karena sonografi telah hampir digunakan secara
universal. Sebagai hasilnya, sebagian besar kehamilan molar terdeteksi ketika
masih kecil dan sebelum terjadi komplikasi (Kerkmeijer, 2009; Mangili,
2008).
Biasanya terdapat amenore 1-2 bulan sebelum ditemukannya mola.
Dalam 41 wanita dengan mola komplit didiagnosis pada rata rata 10
minggu, Gemer dkk (2000) melaporkan bahwa 41% tanpa gejala dan 58%
dengan perdarahan vagina. Selain itu, hanya 2 persen mempunyai anemia
atau hiperemesis, dan tidak ada manifestasi lainnya yang terjadi pada wanita
tersebut.
Dalam perkembangan kehamilan, gejala umumnya cenderung lebih
jelas pada mola komplit dibanding mola parsial (Niemann, 2007). Kehamilan
mola yang tidak terobati hampir selalu akan menyebabkan perdarahan uterus
yang bervariasi mulai dari bercak sampai perdarahan yang banyak.
Perdarahan dapat menjadi pertanda aborsi spontan mola. Dalam mola yang
lanjut dengan perdarahan uterus yang tersembunyi, berkembang anemia
defisiensi besi sedang. Banyak wanita memiliki pertumbuhan uterus yang
lebih cepat dari yang diharapkan. Uterus yang membesar memiliki
konsistensi lembut, tapi biasanya tidak terdeteksi gerakan jantung janin. Mual
dan muntah menjadi semakin signifikan. Ovarium berisi kista teka lutein di
25% sampai 60% wanita dengan mola komplit. Gambaran seperti ini
merupakan hasil dari stimulasi berlebihan elemen lutein yang terkadang
mengandung jumlah hormon human chorionic gonadotropin (hCG) yang
besar. Kista teka lutein beregresi mengikuti evakuasi kehamilan. Kadang

7
kadang kista yang lebih besar dapat mengalami torsi, infark, atau perdarahan.
Namun, oovorektomi tidak dilakukan kecuali ada infark luas yang tetap ada
setelah penguraian.

Gambar 2. Gambaran USG dari ovarium dengan kista teka lutein pada wanita
dengan mola hidatidosa (Cunningham, 2014).
Efek hCG yang seperti thyrotropin sering menyebabkan tingkat tiroksin
bebas (fT4) serum meningkat dan tingkat thyroid stimulating hormone (TSH)
menurun. Meskipun demikian, secara klinis tirotoksikosis jarang terjadi dan
hanya dilaporkan dalam beberapa penelitian. Selain itu, tingkat fT4 serum
secara cepat kembali normal setelah evakuasi uterus. Meskipun demikian,
sebuah kasus yang dianggap thyroid storm pernah dilaporkan (Moskovitz,
2010).
Preeklamsia berat dan eklamsi biasanya berhubungan dengan
kehamilan mola yang besar. Namun hal ini jarang terjadi saat ini karena
diagnosa sejak dini dan evakuasi yang tepat. Pengecualian untuk kasus janin
normal hidup bersama mola komplit, pernah dijelaskan sebelumnya. Pada
kasus tersebut, kehamilan tidak diterminasi, preeklamsia berat sering
menyebabkan persalinan prematur. Predileksi preeklamsia dijelaskan dengan
massa tropoblas hipoksia, yang melepas faktor antiangiogenik yang
menyebabkan kerusakan endotel (Cunningham, 2014).

E. Penegakan Diagnosis

8
Kebanyakan wanita awalnya memiliki riwayat amenorhe yang diikuti
dengan perdarahan tidak teratur yang hampir selalu dikonfimasi dengan tes
kehamilan dan sonografi. Beberapa wanita akan menunjukkan bagian
jaringan molar secara spontan.
Pengukuran serum -hCG
Kehamilan mola komplit, tingkat -hCG serum biasanya meningkat
diatas nilai yang diharapkan sesuai usia kehamilan. Mola yang lebih lanjut,
nilainya jutaan yang tidak seperti biasanya. Lebih penting, nilai yang tinggi
ini dapat menyebabkan kesalahan negatif palsu pada hasil pemeriksaan
kehamilan dengan urin karena saturasi yang berlebihan pada tes uji oleh
hormon -hCG yang berlebihan. Dalam kasus ini, penentuan sampel dengan
atau tanpa pengenceran akan memperjelas teka teki. Pasien dengan mola
parsial, tingkat -hCG juga dapat meningkat signifikan, tetapi umumnya
konsentrasi jatuh kedalam rentang yang sesuai dengan usia kehamilan
(Cunningham, 2014).
Sonografi
Meskipun pencitraan sonografi merupakan andalan dalam diagnosis
penyakit tropoblas, tidak semua kasus terkonfirmasi secara dini. Secara
sonografi, mola komplit muncul sebagai massa uterus ekogenik dengan
berbagai ruang kistik anekoik tetapi tanpa janin dan kantung amnion.
Penampakan ini sering dideskripsikan sebagai snowstorm. Sebuah mola
parsial memiliki penampakan termasuk penebalan, plasenta multikistik
bersama janin atau setidaknya jaringan janin. Pada awal kehamilan,
bagaimanapun, karakteristik sonografi ini hanya terlihat kurang dari setengah
dari mola hidatidosa (Fowler, 2006). Yang paling umum adalah misdiagnosis
parsial dengan missed aborsi. Kadang kadang kehamilan mola mungkin
membingungkan untuk kehamilan multifetal atau leiomyoma uterus dengan
degenerasi kistik.

9
Gambar 3. Sonografi mola hidatidosa. A. potongan sagital uterus dengan
mola hidatidosa komplit. Karakteristik gambaran snowstorm karena massa
uterus ekogenik dengan banyak ruang kistik anekoik. Tidak ada janin dan
kantung amnion. B. gambar mola hidatidosa parsial, janin terlihat diatas
sebuah plasenta multikistik (Cunningham, 2014).
Diagnosis Patologi
Pengawasan untuk neoplasia berikutnya yang dapat terjadi setelah
kehamilan mola sangat penting. Dengan demikian, mola harus secara
histologi dibedakan dari kegagalan kehamilan tipe lain yang memiliki
degenerasi plasenta hidropik, yang dapat menyerupai perubahan vili molar.
Pada kehamilan sebelum 10 minggu, perubahan molar klasik mungkin
tidak terlihat karena vili tidak dapat diperbesar dan stroma molar mungkin
belum edema dan avaskular. Dalam situasi seperti itu, teknik lain yang
digunakan untuk membedakan. Salah satu keuntungan membedakan ploidi
adalah membedakan mola parsial (triploid) dari badan diploid. Kehamilan
mola lengkap dan nonmolar dengan degenerasi hidropik plasenta keduanya
diploid (Cunningham, 2014).
Teknik lain melibatkan imunostaining histologis untuk mengidentifikasi
inti protein p57KIP2. Karena gen yang mengekspresikan p57KIP2 dicetak
dari ayah, hanya gen yang disumbangkan dari ibu yang terekspresi. Karena
mola lengkap hanya berisi material genetik ayah, mereka tidak dapat
mengekspresikan gen gen ini, tidak memproduksi p57KIP2, dan dengan
demikian tidak mengambil imunostaining ini. Sebaliknya, inti protein sangat
diekspresikan pada kehamilan mola parsial dan non mola dengan perubahan

10
hidropik (Castrillon, 2001). Akibatnya, penggunaan kombinasi analisis ploidi
dan p57KIP2 imunostaining dapat digunakan untuk membedakan: (1) mola
lengkap (diploid / p57KIP2-negatif), (2) mola parsial (triploid / p57KIP2-
positif), dan aborsi spontan dengan degenerasi hidropik plasenta (diploid /
p57KIP2-positif) (Merchant, 2005).
Diagnosis patologi dari mola hidatidosa secara tipikal dibuat mengikuti
pelaksanaan dilatasi dan curettage untuk abortus inkomplit atau karena curiga
mola hidatidosa berdasarkan temuan klinis (Johnson & Ueda, 2011).
Pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum operasi (Johnson & Ueda,
2011):
- Level kuantitatif -hCG serum.
- Complete blood count (CBC)
- Prothrombine time, partial thromboplastin time
- Komprehensif metabolik panel dengan tes fungsi ginjal dan hati.
- Blood type dan screen
- Pasien Rh-negatif harus diberikan Rh0 (D) immune globulin (RhoGAM)
- Radiografi thoraks

1. Mola Hidatidosa Komplit


a. Anamnesis
- Terjadi pada usia kehamilan antara 11 25 minggu, dengan rata
rata usia kehamilan 16 minggu.
- Perdarahan pervaginam adalah gejala yang paling sering
ditemukan, terjadi pada 97% kasus.
- Hiperemesis yang berat dapat berkembang sampai 25% wanita.
- Hipertiroidisme terjadi pada sekitar 7% kasus.
b. Pemeriksaan Fisik
- Ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan yang diharapkan.
- Hipertensi yang diinduksi kehamilan dapat terjadi sampai pada
25% wanita.
- Sekitar 1/3 jumlah pasien, uterus berukuran lebih kecil untuk usia
kehamilan.
c. Pemeriksaan Penunjang
- Pembesaran ovarium yang disebabkan oleh kista teka lutein
terjadi pada 25% 35 % kasus.
- Level -hCG pada umumnya diatas 50.000 mIU/mL.
- Pada USG seringnya, tetapi tidak selalu, menunjukkan gambaran
klasik snowstorm
- Gambaran patologis:

11
Temuan kasar termasuk pembesaran dan edema vili yang
massif memberikan gambaran klasik seperti buah anggur
pada plasenta dan jaringan yang tidak memiliki embrio.
Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan pembengkakan
hidropik pada sebagian besar vili, disertai dengan tingkat
proliferasi tropoblastik yang bervariasi. Mola komplit
memiliki penyebaran yang luas, pewarnaan imun yang difus
untuk hCG, pewarnaan yang cukup difus untuk hPL dan
pewarnaan fokal untuk placental alkaline phosphatase
(PLAP).
- Abnormalitas kromosom:
Sebagian besar mola hidatidosa komplit adalah diploid,
dengan kariotipe 46,XX, contoh jarang triploid dan tetraploid
pernah dilaporkan.
Pada sebagian besar kasus, semua komplemen kromosom
diturunkan secara paternal. Genotip XX secara tipikal hasil
dari duplikasi sebuah sperma haploid pronukleus ke dalam
sebuah ovum kosong. 3 13 % mola hidatidosa komplit
mempunyai kromosom komplemen 46,XY, yang merupakan
hasil dari disperma, dimana sebuah ovum kosong dibuahi
oleh dua sperma pronuklei.
2. Mola hidatidosa Parsial
a. Anamnesis
- Biasanya terjadi pada pasien berusia kehamilan 9 sampai 34
minggu.
- Pasien melaporkan perdarahan uterin abnormal pada sekitar 75%
kasus. Diagnosis klinis dari missed atau spontaneous abortion
dibuat pada 91% wanita dengan kehamilan mola parsial.
b. Pemeriksaan Fisik
- Ukuran uterus lebih kecil dari usia gestasional, ukuran uterus
yang sangat besar terlihat pada kurang dari 10% pasien.
c. Pemeriksaan Penunjang
- Tumor ini secara konsisten berasosiasi dengan jaringan embrionik
/ fetal
- Level serum hCG dalam rentang normal atau rendah untuk usia
kehamilan.

12
- Preeklamsia terjadi dengan insiden yang rendah (2,5%) dan
muncul lebih sering pada mola parsial dibanding mola komplit,
akan tetapi tingkat keparahannya sama.
- Fitur patologis
Temuan kasar mengungkapkan jaringan janin dalam hampir
semua kasus, meskipun penemuan ini mungkin
membutuhkan pemeriksaan yang cermat, karena kematian
janin awal biasanya terjadi (yaitu usia kehamilan 8-9
minggu).
Pemeriksaan mikroskopis menemukan dua populasi dari vili
korionik: satu dengan ukuran normal dan satunya secara
kasar hidropik. Mola parsial menunjukkan fokal sampai
moderat imunostaining untuk hCG dan difus staining untuk
hPL dan PLAP.
- Abnormalitas kromosom
Kariotipe mola parsial sebagian besar menunjukkan triploid
(yaitu 69 kromosom) dengan komplemen dua kromosom
paternal dan satu kromosom maternal.
Komplemen kromosom adalah XXY pada 705 kasus, XXX
pada 27% kasus dan XYY pada 3% kasus. Konsepsi yang
abnormal pada kasus kasus ini muncul dari fertilisasi telur
dengan sebuah kromosom set haploid salah satu dari dua
sperma, masing masing dengan sebuah set kromosom
haploid atau dengan sebuah sperma diploid komplemen
46,XY.
Tabel 1. Perbandingan mola hidatidosa komplit dan parsial (Soper, 2006)
Komplit Parsial
Kariotipe Sebagian besar Sebagian besar
46,XX atau 46,XY 69XXX atau
69,XXY
Ukuran uterus
Besar sesuai usia 33% 10%
gestasional
Lebih kecil dari usia 33% 65%
gestasional
Diagnosis dengan USG Sering Jarang

13
Kista teka lutein 25-35% Jarang
-hCG (mIU/mL) >50.000 <50.000
Potensial malignan 15-25% <5%
Penyakit metastasis <5% <1%

F. Penatalaksanaan
Kematian ibu akibat kehamilan mola jarang karena diagnosa yang dini,
evakuasi yang tepat waktu, dan kewaspadaan pengawasan pasca evakuasi
untuk gestational trophoblastic neoplasia (GTN). Evaluasi pra operasi
mencoba untuk mengidentifikasi komplikasi yang potensial terjadi seperti
preeklamsia, hipertiroidisme, anemia, deplesi elektrolit karena hiperemesis,
dan penyakit metastasis (Lurain, 2011).
Kebanyakan merekomendasikan x-ray dada, dimana CT scan dan MRI
tidak rutin dilakukan kecuali pada hasil rontgen dada menunjukkan lesi di
paru atau kecuali ada bukti penyakit diluar uterus lainnya seperti di otak atau
liver.
1. Terminasi Kehamilan Mola
Terlepas dari ukuran uterus, evakuasi molar dengan suction
curettage biasanya merupakan pengobatan yang lebih dipilih. Dilatasi
servikal pre operasi dengan agen osmotik direkomendasikan jika dilatasi
servik minimal. Perdarahan selama operasi dapat lebih besar pada
kehamilan molar dibandingkan dengan ukuran uterus dengan produk non
molar. Jadi dengan ukuran mola yang besar, anestesi harus memadai,
dibutuhkan akses intravena, dan dukungan bank darah sangatlah penting.
Servik secara mekanik didilatasi sehingga memungkinkan insersi suction
curette 10 14 mm (Cunningham, 2014).
Saat evakuasi dilaksanakan, oxytocin diinjeksikan untuk
membatasi perdarahan. Sonografi intraoperasi dianjurkan untuk
membantu memastikan cavum uteri telah dikosongkan. Ketika
myometrium berkontraksi, secara seksama tetapi lembut curette dengan
sims large-loop tajam dilakukan. Jika terjadi perdarahan tetap dilanjutkan
meskipun evakuasi uterus dan injeksi oksitosin serta agen uterotonik
telah diberikan. Pada beberapa kasus, embolisasi arteri pelvis atau
histerektomi kemungkinan diperlukan (Tse, 2007).

14
Perubahan pada beberapa derajat deportasi trofoblas ke dalam
sistem vena panggul berlangsung selama evakuasi molar. Dengan
kehamilan mola yang besar, volume jaringan mungkin cukup
menghasilkan gejala klinis insufisiensi pernapasan, edema pulmo, atau
bahkan emboli. Manifestasi klinis tersebut dan rontgen thoraks sangat
jelas terlihat. Namun, fatalitasnya pernah dilaporkan (Delmis, 2000).
Karena deportasi, terdapat kekhawatiran bahwa jaringan tropoblas akan
berkembang dalam parenkim paru menyebabkan penyakit yang persisten
atau keganasan yang jelas.
Setelah curettage, anti-D immunoglobulin (Rhogam) diberikan
kepada wanita Rh-D-negatif karena jaringan fetal dengan mola parsial
mungkin termasuk sel darah merah dengan antigen-D. Mereka yang
diduga mola komplit diperlakukan sama karena diagnosis definitif mola
komplit atau parsial tidak dapat dikonfirmasi sampai evaluasi patologi
dari produk yang dievakuasi (Cunningham, 2014).
Setelah evakuasi, prognosis jangka panjang untuk wanita dengan
mola hidatidosa tidak membaik dengan kemoterapi profilaksis (Golstein,
1995). Selain itu, toksisitas kemoterapi termasuk kematian mungkin
sangat signifikan, dan dengan demikian hal tersebut tidak dianjurkan
secara rutin oleh American College of Obstetricians and Gynecologist
(2012).
Metode selain suction curettage dapat dipertimbangkan untuk
kasus tertentu. Histerektomi dengan mempertahankan ovarium lebih
dipilih untuk wanita yang telah menyelesaikan masa suburnya.
Perempuan berusia 40 atau lebih tua, sekitar sepertiga selanjutnya akan
mengembangkan GTN, dan histerektomi secara nyata mengurangi
kemungkinan ini (Hanna, 2010). Histerektomi dilakukan pada perempuan
yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk
melakukan histerektomi adalah karena umur tua dan paritas tinggi
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang
dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang
bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan

15
histopatologik sudah tampak adanya tanda tanda keganasan berupa
mola invasif atau koriokarsinoma (Prawirohardjo, 2010). Kista teka
lutein yang terlihat saat histerektomi tidak perlu dihilangkan dan akan
beregresi secara spontan setelah terminasi molar. Beberapa
merekomendasikan aspirasi pada kista yang lebih besar untuk
meminimalkan rasa sakit dan menghindari torsi. Sebaliknya, induksi
persalinan atau histerektomi jarang digunakan untuk evakuasi molar di
Amerika Serikat. Keduanya akan meningkatkan kehilangan darah dan
secara teoritis mungkin meningkatkan insiden penyakit trofoblas
persisten (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2012).
2. Pengawasan Pasca Evakuasi
Pengawasan biokimia untuk gestasional persisten harus diikuti dari
evakuasi mola hidatidosa. Secara bersamaan, kontrasepsi yang dapat
diandalkan sangat penting untuk menghindari kebingungan yang
disebabkan oleh meningkatnya kadar -hCG dari kehamilan baru.
Sebagian besar merekomendasikan baik kontrasepsi hormonal atau suntik
medroxyprogesterone asetat. Suntik medroxyprogesterone asetat sangat
berguna pada wanita yang memiliki kepatuhan minum obat yang buruk.
Intrauterine device (IUD) tidak digunakan sampai kadar -hCG tidak
terdeteksi karena berisiko terjadi perforasi uterus jika terdapat mola
invasif (Cunningham, 2014).
Pengamatan biokimia dengan pengukuran serial serum -hCG
untuk mendeteksi proliferasi tropoblas yang persisten atau yang baru.
Kadar -hCG awal diperoleh dalam waktu 48 jam setelah evakuasi. Hal
ini berfungsi sebagai dasar, dibandingkan dengan kuantifikasi -hCG
yang dilakukan selanjutnya setiap 1 2 minggu sampai tingkat
progresifitasnya menurun menjadi tidak terdeteksi (Cunningham, 2014).
Waktu rata rata untuk resolusi tersebut adalah 7 minggu untuk
mola hidatidosa parsial dan 9 minggu untuk mola hidatidosa komplit.
Setelah -hCG tidak terdeteksi, dikonfirmasi setiap bulan selama 6 bulan.
Setelah ini, pengawasan dihentikan dan pasien diperbolehkan untuk
hamil. Karena pemantauan intensif memiliki tingkat ketidakpatuhan yang

16
tinggi, pendekatan secara singkat telah dipelajari, dan mungkin tidak
diperlukan verifikasi tidak terdeteksinya tingkat -hCG selama 6 bulan.
Khususnya hal ini menunjukkan bahwa tidak ada wanita dengan mola
parsial atau komplit yang tingkat -hCG serumnya menjadi tidak
terdeteksi setelah berkembang menjadi neoplasia (Lavie, 2005; Wolfberg,
2004). Yang penting adalah selama masa ini, dimana tingkat -hCG
dipantau, baik kadarnya meningkat atau persisten stabil tetap dilakukan
evaluasi neoplasia tropoblas. Jika wanita tidak hamil, maka tingkat ini
menandakan peningkatan proliferasi tropoblas yang signifikan yang
sebagian besar merupakan sebuah keganasan (Cunningham, 2014).
Ada sejumlah faktor risiko untuk berkembang menjadi neoplasia
tropoblas setelah evakuasi molar. Yang paling penting, mola komplit
memiliki 15% 20% insiden keganasan, dibandingkan dengan mola
parsial yaitu 1% - 5%. Secara mengejutkan, pengenalan secara dini dan
evakuasi kehamilan mola, risiko terjadinya neoplasia belum dapat
diturunkan (Schorge, 2000). Faktor risiko lainnya adalah usia yang lebih
tua, kadar -hCG >100.000 mIU/mL, ukuran uterus yang lebih besar dari
usia kehamilan, kista teka lutein >6 cm, lambatnya penurunan kadar -
hCG (Berkowitz, 2009; Kang, 2012; Wolfberg, 2005). Meskipun tidak
rutin, pengawasan sonografi pasca evakuasi uterus menunjukkan nodul
myometrium atau hipervaskularisasi mungkin menjadi prediktor dari
sebuah neoplasi lanjutan (Garavvglia, 2009).

G. Komplikasi
1. Anemia
2. Infeksi
3. Hipertiroidisme
4. Hipertensi yang diinduksi kehamilan atau preeklamsia
5. Kista teka lutein
6. Progresi kearah keganasan (mola lengkap 15% - 20%, mola parsial 2% -
3%).

H. Prognosis

17
Risiko kekambuhan terjadi sekitar 1% 2%. Setelah mengalami dua
kali atau lebih kehamilan mola, risiko kekambuhan mencapai 17% (Moore, et
al., 2010).

18
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. P
No. CM : 00964412
Usia : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Canduk RT 002/003 Lumbir
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal Masuk RSMS : 14 September 2015
Tanggal Periksa : 16 September 2015

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Keluar darah dari jalan lahir sejak 3 hari yang lalu (11 September 2015)
2. Keluhan Tambahan
-
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien baru datang ke klinik kebidanan dan kandungan Rumah
Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto tanggal 14 September 2015
dengan membawa surat pengantar dari Rumah Sakit An-Nimah dengan
G2P1A0 usia 25 tahun hamil 5 minggu dengan perdarahan dari jalan lahir.
Pasien mengeluhkan adanya perdarahan dari jalan lahir sejak 3 hari
yang lalu (11 September 2015), namun sekarang sudah berhenti. Setelah
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
Ultrasonography (diperoleh gambaran uterus membesar, terdapat kantung
gestasi sesuai usia 8 minggu kehamilan, tampak gambaran vesikuler
cavum uterus) di klinik kebidanan dan kandungan, diagnosis ditegakkan
dengan suspect mola hidatidosa partial. Dokter menginstruksikan pasien
agar dirawat di Bangsal Teratai dilanjutkan tindakan pro kuretase (tanggal
15 Septmber 2015).
4. Hari Pertama Haid Terakhir
10 Agustus 2015
5. Hari Perkiraan Lahir
17 April 2016
6. Usia Kehamilan
5 minggu
7. Riwayat Menstruasi
a. Lama haid : 7 hari

19
b. Siklus haid : tidak teratur (2-3 bulan sehari)
c. Dismenorrhea : tidak ada
d. Jumlah darah haid : normal (sehari 2-3 pembalut)
8. Riwayat Menikah
Pasien menikah 1 kali selama 5 tahun
9. Riwayat Obestretri
G2P1A0
Anak I : Perempuan/5 Tahun/Spontan/Bidan/3,6 kg
Anak II : Hamil ini
10. Riwayat KB
Pasien terakhir menggunakan KB suntik
11. Riwayat ANC
Pasien mengaku belum pernah melakukan ANC selama kehamilan
12. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Paru : disangkal
c. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
d. Penyakit Ginjal : disangkal
e. Penyakit Hipertensi : disangkal
f. Penyakit Pencernaan : Maag
g. Penyakit Pembuluh Darah : Anemia
h. Riwayat Alergi : disangkal
i. Riwayat Kuretase : disangkal
13. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Paru : disangkal
c. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
d. Penyakit Ginjal : disangkal
e. Penyakit Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Alergi : disangkal
14. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien mengatakan seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama
suami dan 1 anak perempuan. Kebutuhan sehari hari dicukupi dari
penghasilan suami. Pasien berobat ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
dengan menggunakan biaya BPJS PBI. Dalam kesehariannya pasien
makan dengan nasi dan lauk tercukupi

C. Pemeriksaan Fisik Tanggal 14 September 2015


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : 110/80
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Status Generalis
1. Pemeriksaan kepala

20
Bentuk kepala : mesocephal, simetris
Mata : simetris, konjunctiva anemis -/- , sklera ikterik -/-
Hidung : discharge -/- , sianosis -/-
Mulut : sianosis -/-
2. Pemeriksaan leher : dalam batas normal
3. Pemeriksaan Thorax
Paru
Inspeksi : Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercostal
(-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri, ketertinggalan
gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Ronkhi basah halus di basal -/-
Ronkhi basah kasar di parahiler -/-, Wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis di dinding dada
Palpasi : istus cordis teraba SIC V 2 jari medial LMCS dan tidak
kuat angkat
Perkusi : batas jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kanan bawah SIC IV LPSD
Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2, regular, murmur (-), gallop (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), ballotemen (-), TFU susah teraba
Perkusi : timpani
5. Pemeriksaan Ekstrimitas
Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)
Status Genitalia
Perdarahan pervaginam : Ada
Fluor Albus : Tidak ada

D. Pemeriksaan Fisik Tanggal 16 September 2015


Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : 120/80
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 155 cm

21
Status Generalis
1. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : mesocephal, simetris
Mata : simetris, konjunctiva anemis -/- , sklera ikterik -/-
Hidung : discharge -/- , sianosis -/-
Mulut : sianosis -/-
2. Pemeriksaan leher : dalam batas normal
3. Pemeriksaan Thorax
Paru
Inspeksi : Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercostal
(-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri, ketertinggalan
gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Ronkhi basah halus di basal -/-
Ronkhi basah kasar di parahiler -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis di dinding dada
Palpasi : istus cordis teraba SIC V 2 jari medial LMCS dan tidak
kuat angkat
Perkusi : batas jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kanan bawah SIC IV LPSD
Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2, regular, murmur (-), gallop (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+)
Perkusi : timpani
5. Pemeriksaan Ekstrimitas
Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)
Status Genitalia
Rambut pubis tersebar merata
Edema vulva : Tidak ada
Varises : Tidak ada
Perdarahan pervaginam : Ada
Fluor Albus : Tidak ada

E. Pemeriksaan Tambahan
1. Laboratorium (Darah Lengkap, PT, APTT dan Serologi)
a. Pre Operasi

22
Tabel 2. Laboratorium tanggal 14 September 2015 (RSMS)
Jenis Pemeriksaan 14/09/15 Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,2 g/dl 12-16 g/dl
Leukosit 8740/l 4800-10800/l
Hematokrit 33% (L) 37-47%
Eritrosit 4.4/l 4.2-5.4/l
Trombosit 182.000 l 150.000-450.000/l
MCV 74 L fL (L) 79-99 fL
MCH 27.5 pg 27-31 pg
MCHC 37.2 % (H) 33-37%
RDW 14.3% 11.5-14.5%
MPV 10.7 fL 7.2-11.1 fL
Hitung Jenis
Basofil 0.2% 0-1%
Eosinofil 1% (L) 2-4%
Batang 0.5% (L) 2-5%
Segmen 64.1% 40-70%
Limfosit 28.8% 25-40%
Monosit 5.4% 2-8%
PT 10.6 9.3 11.4
APTT 38.4 29.0 40.2
Serologi Imunologi
HbSAg Non Reaktif Non Reaktif

23
b. Post Operasi
Tabel 3. Laboratorium 15 September 2015 (RSMS)
Jenis Pemeriksaan 15/09/15 Nilai Rujukan
Hemoglobin 10,6 g/dl (L) 12-16 g/dl
Leukosit 5350/l 4800-10800/l
Hematokrit 29% (L) 37-47%
Eritrosit 3.9/l (L) 4.2-5.4/l
Trombosit 148.000 l (L) 150.000-450.000/l
MCV 74 L fL (L) 79-99 fL
MCH 27 pg 27-31 pg
MCHC 36.6 % 33-37%
RDW 14.2% 11.5-14.5%
MPV 10.5 fL 7.2-11.1 fL
Hitung Jenis
Basofil 0.4% 0-1%
Eosinofil 0.4% (L) 2-4%
Batang 0.6% (L) 2-5%
Segmen 65.3% 40-70%
Limfosit 26.2% 25-40%
Monosit 7.1% 2-8%
Kimia Klinik
Ureum Darah 16.9 mg/dL 14.98 38.52 mg/dL
Kreatinin Darah 0.38 mg/dL (L) 0.60 1.00 mg/dL
Glukosa Sewaktu 81 mg/dL <=200 mg/dL
Natrium 135 mmol/L (L) 136 145 mmol/L
Kalium 3.4 mmol/L (L) 3.5 5.1 mmol/L
Kalsium 8.1 mg/dL (L) 8.4 10.2 mg/dL
2. USG
Uterus membesar, GS (+) CRL Sesuai 8 minggu, Tampak gambaran
vesikuler Cavum Uteri. Kesan : Suspect Mola Partial
3. Patologi Anatomi (21 September 2015)
Organ : Rahim
Makroskopis : Diterima jaringan pecah belah 5 cc, coklat kehitam,
cetak sebagian
Mikroskopis : Keping jaringan dengan stroma jaringan ikat fibrous,
sembab hiperemi keras, mengandung sel decidua gravidatif dengan sel
trofoblas , pada bagian lain tampak vili chorealis, dilapisi sel trofoblas
dengan bagian mengalami proliferasi, tampak stroma mengalami
degenerasi hodropik. Tak tampak tanda ganas.
Kesimpulan : Sesuai dengan Mola Hidatidosa parsial
F. Diagnosis Klinik Kebidanan dan Kandungan (Pre-Op)
G2P1A0 usia 25 tahun hamil 5 minggu suspect Mola Hidatidosa Parsial pro
kuretase

G. Laporan Operasi

24
Tanggal Pembedahan : 15 September 2015
Pembedahan dimulai : 12.10 WIB
Pembedahan selesai : 12.50 WIB
Anastesi mulai : 12.05 WIB
Anastesi selesai : 12.55 WIB
Laporan Operasi :
1. Kosongkan kandung kemih.
2. Pasien terlentang di meja operasi dalam pengaruh anestesi.
3. Asepsis dan antisepsis daerah tindakan.
4. Tutup dengan duk steril kecuali daerah tindakan.
5. Pasang sims bawah lalu sims atas, tampak portio, jepit portio dengan
tenakulum di jam 11, sims atas dilepas dan sims bawah dipegang oleh
asisten.
6. Sondase uterus dengan alat sonde panjang kavum uteri 10 cm
(anteflexi).
7. Keluarkan jaringan dengan sendok kuret tumpul paling besar yang
mungkin masuk lubang portio.
8. Lakukan kuret secara tajam dan sistematis, mulai dari jam 12 searah
jarum jam, dari angka genap lalu ganjil.
9. Keluar jaringan dan darah sebanyak 200 ml (kesan : mola parsial).
10. Setelah kesan : bersih (tampak gelembung-gelembung dan suara kerokan),
kuret selesai dilakukan.
11. Tenakulum dilepas, spekulum bawah dilepas.
12. Dilakukan kembali tindakan aseptik dan antiseptik pada vagina pasien.
13. Observasi keadaan umum dan tanda tanda vital : TD, nadi dan frekuensi
nafas.

H. Diagnosis Post Operasi


P1A1 usia 25 tahun post kuretase atas indikasi mola hidatidosa parsial

I. Follow Up Post Operasi


Tanggal S O A P
15 Perdarahan Ku/Kes: sedang/ G2P1A0 Kuretase hari
September dari jalan compos mentis usia 25 ini
2015 lahir TD: 110/60 mm/Hg tahun
N : 76x/menit hamil 5
RR: 22x/menit minggu
S: 36,5 suspect

25
St. Generalis Mola
Mata: CA -/-,SI-/- Hidatidosa
Pulmo: SD Ves +/+, Parsial pro
RBH -/- kuretase
RBK -/-
Wh -/-
Cor: S1>S2, reg, M
(-), G (-)
St. Lokalis Abdomen
I: datar
A: BU (+) N
Pe: Timpani
Pal: NT (+)
St Genitalis Externa
PPV (+) FA (-)
St. Vegetatif
BAB (-)
BAK DC (+)
FL (+)

16 Nyeri pada Ku/Kes: sedang/ P1A1 usia - IVFD RL +


September bekas compos mentis 25 tahun oksitosin 20
2015 operasi TD: 120/80 mm/Hg post tpm
N : 76x/menit kuretase - PO
RR: 22x/menit atas Clindamicyn
S: 36,5 indikasi 2x300 mg
St. Generalis mola - PO
Mata: CA -/-,SI-/- hidatidosa As.
Pulmo: SD Ves +/+, parsial Mefenamat
RBH -/- 3x500 mg
RBK -/- - Diet biasa
Wh -/- - Cek Hb post
Cor: S1>S2, reg, M kuret
(-), G (-)

St. Lokalis Abdomen - Evaluasi


I: datar gravindex 2
A: BU (+) N minggu
Pe: Timpani
Pal: NT (+) Boleh Pulang
St Genitalis Externa
PPV (+) FA (-)
St. Vegetatif
BAB (+)
BAK DC (+)
FL (+)

J. Prognosis

26
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

27
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Diagnosis
G2P1A0 usia 25 tahun hamil 5 minggu suspect Mola Hidatidosa Parsial pro
kuretase.

B. Dasar diagnosis
1. G2P1A0 usia 25 tahun
Pasien hamil yang kedua kalinya dengan satu kali riwayat partus spontan
dan anak masih hidup. Pasien memiliki riwayat partus sekali dan tidak
memiliki riwayat aborsi.
2. Hamil 5 minggu
HPHT pasien adalah 10 Agustus 2015 dan saat pemeriksaan kehamilan
pada tanggal 14 September 2015 adalah 5 minggu.
3. Mola hidatidosa parsial
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang secara
tidak wajar dimana tidak ditemukan janin / sebagian terdapat janin dan vili
korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara
makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung
gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran
bervariasi. Diagnosis dari mola hidatidosa dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, USG, dan
histopatologi. Pada anamnesis pasien menyatakan mengalami perdarahan
pervaginam sejak tiga hari yang lalu. Salah satu gejala mola hidatidosa
terjadinya perdarahan pervaginam yang dapat terjadi secara intermiten
selama beberapa minggu. Selain itu pasien juga ditemukan adanya
amenore. Gejala amenore juga terjadi pada kasus mola hidatidosa
(Cavaliere dkk, 2009).
Pemeriksaan fisik abdomen pada pasien ini tidak dapat teraba
uterus dan nyeri tekan positif. Pada mola hidatidosa komplit 50%
didapatkan ukuran uterus lebih besar daripada usia kehamilan sedangkan
pada mola hidatidosa parsial didapatkan ukuran uterus lebih kecil daripada
usia kehamilan. Pada pasien ini sesuai dengan gambaran dari mola
hidatidosa parsial dimana ukuran uterus tidak teraba (Soper dkk, 2004).
Pada pasien ini juga ditemukan perdarahan pervaginam positif.
Gambaran perdarahan pada mola hidatidosa berupa darah yang dapat juga

28
disertai dengan gelembung-gelembung atau vesikel. Jumlah perdarahan
biasanya berbanding lurus dengan dengan jumlah jaringan mola (Soper
dkk, 2004).
Gejala dan tanda hiperemis gravidarum, hipertiroidism, dan
preeklamsi/eklamsi pada pasien ini tidak ditemukan. Menurut Soper
(2006) penyulit dari mola seperti hiperemis gravidarum, hipertiroidism,
dan preeklamsi/eklamsi sangat jarang dijumpai pada mola hidatidosa
partial. Penyulit tersebut lebih sering dijumpai pada mola hidatidosa
komplit.
Pada pemeriksaan USG didapatkan gambaran uterus membesar, GS
(+) CRL sesuai 8 minggu dan tampak juga gambaran vesikuler pada
cavum uteri. Gambaran fetus berupa terdapatnya gestational sac yang
disertai dengan gambaran vesikuler (snowstorm) sehingga pada
pemeriksaan USG ini menunjukkan kesan suspek molahidatidosa parsial
dimana terdapat juga calon embrio dari janin (gestasional sac).
Pemeriksaan penunjang pada kasus mola hidatidosa berguna untuk
penegakan diagnosis dan menilai apakah terdapat penyulit atau
komplikasinya pada mola. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk mendukung diagnosis mola adalah pemeriksaan kadar -hCG. Pada
kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan -hCG. Pada mola hidatidosa
parsial, kadar -hCG dapat mengalami peningkatan, tetapi tidak setinggi
pada mola hidatidosa komplit. Apabila dicurigai keganasan, maka
kemoterapi atau pemberian sitostatistika layak dijadikan bahan
pertimbangan dalam penatalaksanaan post-operasi (Berkowitz dan
Goldstein, 2009).
Pemeriksaan histopatologi pada jaringan mola didapatkan
gambaran keping jaringan ikat fibrous, sembab hiperemi keras,
mengandung sel desidua graviditatif dan sel trofloblas. Pada bagian lain
tampak vili chorialis dilapisi sel troploblas dengan bagian mengalami
proliferasi dan tampak stroma mengalami degenerasi hidropik. Tidak ada
tanda
gambaran keping jaringan keganasan.
ikat fibrous,Gambaran
sembabinihiperemi
menunjukkan molamengandung
keras, hidatidosa parsial.
sel desidua gravidita

29
Gambar 4. Alur Penegakkan Diagnosis
C. Terapi
Terapi yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan jaringan mola pada
kasus ini adalah dengan kuretase. Sebelum melakukan tindakan kuretase,
perbaikan keadaan umum pasien harus dilakukan terlebih dahulu. Keadaan
umum pada pasien ini sudah baik sehingga dapat dilakukan tindakan kuretase
dan tidak diperlukan usaha darah karena Hb > 10 g/dl (Ngan dkk, 2012).
Suction curettage merupakan metode pilihan untuk mengevakuasi
kehamilan mola. Pada mola hidatidosa partial harus memperhatikan ukuran

30
dari bagian fetus apabila akan melakukan suction curettage (Ngan dkk,
2012). Pasien ini masih muda yaitu berusia 25 tahun dengan jumlah anak satu
sehingga terapi yang dilakukan tidak merusak fungsi reproduksi pasien ini.
Terapi yang diberikan post kuretase adalah untuk mencegah terjadinya infeksi
dan analgetik. Pada kasus ini diberikan clindamicyn 2 X 300 mg dan asam
mefenamat 2 X 500 mg. Selain itu, penanganan post kuretase adalah
mengawasi tanda-tanda perdarahan dan syok. Pasien masih mengeluhkan
sedikit flek/pedarahan namun status vital dan vegetatif lain baik, ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium yang baik sehingga pasien sudah dapat
dipulangkan 1 hari post kuretase.
Indikasi pemberian kemoterapi apabila ditemukan keganasan. Indikasi
tersebut antara lain kadar dari -hCG yang meningkat atau plateau setelah
evakuasi jaringan mola, koriokarsinoma atau invasif mola dari diagnosis
patologi anatomi, dan adanya metastasis dari temuan klinik dan radiografi.
Pada kasus ini, kemoterapi dan histerektomi tidak dilakukan (Soper dkk,
2004).

D. Prognosis
Prognosis dari kasus ini adalah baik apabila dilihat dari temuan klinis
dan histologi patologi anatomi. Risiko kekambuhan terjadi sekitar 1% 2%.
Setelah mengalami dua kali atau lebih kehamilan mola, risiko kekambuhan
mencapai 17% (Moore, et al., 2010). Keganasan pada mola hidatidosa parsial
yaitu 1-5% sedangkan pada mola hidatidosa komplit sekitar 15-20% setelah
evakuasi jaringan mola (Soper dkk, 2004).
BAB V
KESIMPULAN

1. Mola hidatidosa merupakan kehamilam abnormal dimana hampir seluruh vili


korialisnya mengalami perubahan hidrofobik.
2. Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi pada wanita Asia dibandingkan wanita
di negara negara Barat.
3. Mola hidatidosa dibagi menjadi dua yaitu mola hidatidosa komplit dan mola
hidatidosa parsial

31
4. Gejala yang sering ditimbulkan akibat kehamilan mola hidatidosa adalah
riwayat amenorrhea yang diikuti oleh perdarahan uterus abnormal.
5. Diagnosis mola hidatidosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang.
6. Penatalaksaan mola hidatidosa meliputi proses evakuasi dan pengawasan
lanjut.
7. Komplikasi yang dapat diakibatkan oleh mola hidatidosa antara lain Anemia,
Infeksi, Hipertiroidisme, Hipertensi yang diinduksi kehamilan atau
preeklamsia, Kista teka lutein, Progresi kearah keganasan (mola lengkap 15%
- 20%, mola parsial 2% - 3%).
8. Risiko kekambuhan pada wanita yang mengalami mola hidatidosa komplit
sekitar 1,5%, mola hidatidosa parsial adalah 2,7%.

32
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2014. Gestational Trophoblastic Disease.


www.cancer.org

American College of Obstetricians and Gynecologists. 2012. Diagnosis and


treatment of gestational trophoblastic disease. Practice Bulletin. No. 53,
June 2004, Reaffirmed 2012

Berkowitz, R.S. dan Goldstein D.P. 2009. Molar Pregnancy. New England
Journal Medicine. No. 360 Hal. 1639-1645.

Berkowitz, R.S., Goldstein, D.P. 2009. Current management of gestational


trophoblastic diseases. Gynecol Oncol. 112(3):654

Castrillon, D.H., Sun, D., Weremowicz, S., et al. 2001. Discrimination of


complete hydatidiform mole from its mimics by immunohistochemistry of
the paternally imprinted gene product p57KIP2. Am J Surg Pathol.
25(10):1225

Cavaliere, A., S. Ermito, A. Dinatale, dan R. Pedata. 2009. Management of Molar


Pregnancy. Journal of Prenatal Medicine. Vol . 3. No. 1. Hal. 15-17.

Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloorn, S.L., Spong, C.Y., Dashe, J.S., Hoffman,
B.L., et al. 2014. William Obstetrics. 24 Edition. United State: McGraw-Hill
Education.

Delmis, J., Pfeifer, D., Ivanisecvic, M., et al. 2000. Sudden death from
trophoblastic embolism in pregnancy. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol.
92:225

Fitriani, R. 2009. Mola Hidatidosa. Jurnal Kesehatan Volume II No. 4 Tahun 2009

Fowler, D.J., Lindsay, I., Seckl, M.J., et al. 2006. Routine pre-evacuation
ultrasound diagnosis of hydatidiform mole: experience of more than 1000
cases from a regional referral center. Ultrasound Obstet Gynecol. 27(1):56

Fukunaga, M. 2002. Immunohistochemical characterization of p57(KIP2)


expression in early hydatidiform moles. HumPathol. 33:11881192.

Garavaglia, E., Gentile, C., Cavoretto, P., et al. 2009. Ultrasound imaging after
evacuation as an adjunct to beta-hCG monitoring in post hydatidiform molar
gestational trophoblastic neoplasia. Am J Obstet Gynecol. 200(4):417

Garrett, L.A., Gentile, C., Cavoretto, P., et al. 2008. Subsequent pregnancy
outcomes in patients with molar pregnancy and persistent gestational
trophoblastic neoplasia. J Reprod Med. 53:481.

33
Gemer, O., Segal, S., Kopmar, A., et al. 2000. The current clinical presentation of
complete molar pregnancy. Arch Gynecol Obstet. 264(1):33

Goldstein, D.P., Berkowitz, R.S. 1995. Prophylactic chemotherapy of complete


molar pregnancy. Semin Oncol. 22:157

Hanna, R.K., Soper, J.T. 2010. The role of surgery and radiation therapy in the
management of gestational trophoblastic disease. Oncologist. 15(6):593

Hextan, Y.S.N. 2012. Trophoblastic Disease: FIGO Cancer Report 2012.


International Journal of Gynecology & Obstetrics. 119S2 (2012) S130
S136
Johnson, A., Ueda, S. 2011. Gestational Trophoblastic Disease. The John Hopkins
Manual of Gynecology & Obstetrics. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 588 592

Kang, W.D., Choi, H.S., Kim, S.M. 2012. Prediction of persistent gestational
trophoblastic neoplasia: the role of hCG level and ratio in 2 weeks after
evacuation of complete mole. GynecolOncol. 124(2):250

Kerkmeijer, L.G., Massuger, L.F., Ten Kate-Booij, M.J., et al. 2009. Earlier
diagnosis and serum human chorionic gonadotropin regression in complete
hydatidiform moles. Obstet Gynecol.113:326

Lavie, I., Rao, G.G., Castrillon, D.H., et al. 2005. Duration of human chorionic
gonadotropin surveillance for partial hydatidiform moles. Am J Obstet
Gynecol. 192:1362

Lurain, J.R. 2011. Gestational trophoblastic disease II: classification and


management of gestational trophoblastic neoplasia. Am J Obstet Gynecol.
204(1):11

Mangili, G., Garavaglia, E., Cavoretto, P., et al. 2008. Clinical presentation of
hydatidiform mole in northern Italy: has it changed in the last 20 years? Am
J Obstet Gynecol.198(3):302

Merchant, S.H., Amin, M.B., Viswanatha, D.S., et al. 2005. p57KIP2


immunohistochemistry in early molar pregnancies: emphasis on its
complementary role in the differential diagnosis of hydropic abortuses. Hum
Pathol. 36:180

Moore, M., Lam, S.J., Kay, A.R. 2010. Gestational Trophoblastic Disease. Rapid
Obstetrics & Gynaecology. UK: Blackwell Publishing.

Moskovitz, J.B., Bond, M.C. 2010. Molar pregnancy-induced thyroidstorm. J


Emerg Med. 38(5):e71

34
New Zealand Gynaecologic Cancer Group. 2014. Gestational Trophoblastic
Disease: New Zealand Gynaecologic Cancer Group Guidelines. New
Zealand
Ngan, H.Y.S., Ernest I., L.A. Cole, R.J. Kurman, S.J. Kim, J.R. Lurain, dkk. 2012.
Trophoblastic disease. International Journal of Gynecology and Obstetrics.
Vol. 119S2 Hal. S130S136

Niemann, I., Petersen, L.K., Hansen, E.S., et al. 2007. Differences in current
clinical features of diploid and triploid hydatidiform mole. BJOG. 114:1273

Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina


Pustaka. Hal 490.

Schorge, J.O., Goldstein, D.P., Bernstein, M.R., et al. 2000. Recent advances in
gestational trophoblastic disease. J ReprodMed. 45:692

Soper, J.T, D.G. Mutch, dan J.C. Schink. 2004. Diagnosis and Treatment of
Gestational Trophoblastic Disease. Gynecologic and Oncology . Vol. 93 Hal.
575585.

Soper, J.T. 2006. Gestasional trophoblatic disease. Obstet Gynecol. 108(1): 176-
187

Soper, J.T. 2006. Gestational Trophoblastic Disease. Gynecologic and Oncology.


Vol. 108, No. 1 Hal. 176-187

The Royal Womens Hospital. 2014. HydatidiformMole. Victoria: Australia.


Tse, K.Y., Chan, K.K., Tam, K.F. 2007. 20-year experience of managing profuse
bleeding in gestational trophoblastic disease. J ReprodMed. (5):397

Wolfberg, A. J., Feltmate, C., Goldstein, D.P., et al. 2004. Low risk of relapse
after achieving undetectable hCG levels in women with complete molar
pregnancy. Obstet Gynecol. 104:551

Wolfberg, A.J., Feltmate, C., Goldstein, D.P., et al. 2004. Low risk of relapse after
achieving undetectable hCG levels in women with complete molar
pregnancy. Obstet Gynecol. 104:551

35

Anda mungkin juga menyukai