Anda di halaman 1dari 13

PREVALENSI ANTRAKS DI INDONESIA

Dhani Redhono, Tatar Sumandjar, A. Guntur H.


SMF / LAB Ilmu Penyakit Dalam Subbagian Imunologi - Infeksi Tropik
Fakultas Kedokteran UNS/ RSUD Dr Moewardi Surakarta

Pada Tahun 1945 pernah terjadi kejadian luar biasa padan hewan yang mengakibatkan 1
juta domba mati, sehingga program vaksinasi pada binatang segera dilakukan secara masal dan
ini dapat menurunkan mortalitas pada binatang piaraan. Walaupun demikian spora antraks
tetap ada dalam tanah pada beberapa belahan dunia. ( Dixon 2005 )

Prevalensi antraks di dunia antara lain :

Di Amerika Serikat, terdapat kasus 400 antraks selama tahun 1845 1955. 80%
penderita adalah mereka yang kontak dengan wol, bulu kambing atau produk import
lainnya dari Asia, Afrika dan Timur Tengah. Dilaporkan juga 6 kasus antraks pada tahun
1978 yang menimpa pekerja pertanian dan pabrik tekstil.
Di Inggris, selama periode tahun 1965-1980, ditemukan 145 kasus dimana 23
diantaranya tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dari 23 kasus tersebut, 19 orang
adalah laki-laki dan 15 orang penderita bekerja yang berhubungan dengan makanan
ternak.
Di Indonesia, kasus antraks pada manusia pertama kali dilaporkan di Kab. Kolaka, Prov.
Sulawesi Tenggara tahun 1832. Tercatat 36 penderita meninggal setelah makan daging
pada tahun 1969. Empat tahun kemudian 4 orang lagi meninggal setelah makan daging
yang terinfeksi antraks pada pelacakan.
Infeksi antraks menyebar keseluruh tanah air. Telah dilaporkan KLB antraks di Teluk
Betung Propinsi Lampung tahun 1884, Kabupaten Buleleng Propinsi Bali dan
Palembang Sumatera Selatan tahun 1885. Kabupaten Bima NTB tahun 1976 dan
Kabupaten Paniai Irian Jaya pada tahun 1985 dengan ribuan ternak babi mati dan 11
orang meninggal karena makan daging babi.
KLB juga menyerang Jawa Tengah pada tahun 1990 di Kabupaten Semarang, Boyolali
dan Demak dengan total kasus 48 orang tanpa kematian. Pada tahun 2000 terjadi KLB
di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat dengan 32 kasus, tahun 2001 di Kabupaten Bogor
dengan 22 orang penderita dengan kematian 2 orang.
Saat ini sudah 11 Propinsi di Indonesia tertular antraks yaitu : DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, NTB, NTT, Sumbar, Jambi, Sulteng, Sultra dan papua. Total kasus di
Indonesia pada tahun 1992 2001 adalah 599 kasus dengan kematian 10 orang.
Kejadian Antraks di Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi
lima kali wabah yaitu tahun 1996 di kabupaten Purwakarta, Subang, Bekasi dan
Karawang, pada tahun 1997 di kabupaten Purwakarta, Subang dan Karawang, pada
tahun 1999 di kabupaten Purwakarta, Subang dan Bekasi, pada tahun 2000 di
kabupaten Purwakarta, dan tahun 2001 di kabupaten Bogor seiring dengan
mendekatnya Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha di tiga kecamatan yaitu Citeureup,
Cibinong dan Babakan Madang yang mengakibatkan 2 orang meninggal dunia. Kejadian
terakhir pada tahun 1992 di Boyolali, saat itu wabah antraks menyerang Desa Kopen,
Kecamatan Teras, pada kejadian itu tercatat 25 orang dinyatakan positif terjangkit
antraks, 18 orang diantaranya meninggal.
Pada bulan Februari 2011 ini terjadi wabah Antraks di Desa Tangkisan, Kecamatan
Klego Kabupaten Boyolali, dengan didapatkan satu ekor sapi yang mati karena antraks.
Karena masyarakat tidak mengetahui bahwa sapi tersebut sakit, pada saat itu sapi itu
disembelih kemudian dikonsumsi oleh masyarakat di sekitarnya.

Gambar 1. Pemetaan Penyebaran Antraks (Klinis) di Jawa Tengah, tahun 1990-2011

Situasi antraks di Jawa Tengah menunjukkan tahun 2007: 10 kasus, tahun 2008 dan 2009
masing-masing dua kasus, sedangkan tahun 2010 dan 2011 masing-masing 28 kasus. Data
selengkapnya disajikan pada grafik 1.

Mardiatmo 2011

Grafik 1. Situasi Antraks (Klinis) di Jawa Tengah, tahun 2007-2011


Distribusi antraks pada manusia di Jawa Tengah menunjukkan tahun 2007: 10 kasus di
kabupaten Pati, tahun 2008 dan 2009 masing-masing dua kasus di kabupaten Boyolali,
sedangkan tahun 2010 kasus di kabupaten Pati dengan satu orang meninggal, dan tahun 2011:
28 kasus yang tersebar di kabupaten Pati, Boyolali maupun Sragen. Data selengkapnya
disajikan pada tabel 1 :

Tabel 1. Distribusi Antraks (Klinis) pada Manusia di Jawa Tengah

TAHUN

No Kab 2007 2008 2009 2010 2011

P M P M P M P M P M

1 Pati 10 0 1 0

2 Boyolali 2 0 2 0 14 0

3 Sragen 28 1 13 0

JAWA TENGAH 10 0 2 0 2 0 28 1 28 0

Mardiatmo 2011

Distribusi antraks pada manusia di Jawa Tengah tahun 2011 berdasarkan jenis kelaminnya
menunjukkan perem-puan 11,39% dan laki-laki 8,61%. Data selengkapnya disajikan pada
grafik 2.

Mardiatmo 2011

Grafik2. Distribusi Antraks (Klinis) pada Manusia berdasarkan jenis kelamin di Jawa Tengah tahun 2011.
Distribusi antraks pada manusia di Jawa Tengah tahun 2011 berdasarkan usia,
selengkapnya disajikan pada grafik 3.

Mardiatmo 2011

Grafik 3. Distribusi Antraks (Klinis) pada Manusia berdasarkan usia di Jawa Tengah tahun 2011.

Berdasarkan riwayat kontak, distribusi antraks pada manusia di Jawa Tengah tahun 2011
paling banyak adalah mengelola dan mengkonsumsi daging (22,78%), selengkap-nya disajikan
pada grafik 4.

Mardiatmo 2011

Grafik 4. Distribusi Antraks (Klinis) pada Manusia berdasarkan riwayat kontak di Jawa Tengah tahun
2011
Pada awal bulan Februari 2011 di Boyolali ditemukan sapi yang mati karena antraks dan
menimbulkan penularan ke manusia, sehingga Boyolali saat itu dinyatakan KLB (Kejadian Luar
Biasa) Antraks, yang kemudian pada bulan Mei 2011 juga terjadi KLB di Sragen.
Situasi kejadian antraks di propinsi Jawa Tengah dari tahun 1990 s/d 2011, secara lengkap
disajikan pada tabel 2.

Tabel 2 Situasi Kejadian antraks di Propinsi Jawa Tengah

Kabupaten Tahun Sapi Kambing


Klaten 1990 2 -
Kab Semarang 1991 1.550 -
Kota Surakarta - 1
1991

1992 1 -

Boyolali 1 -
1991
1992 - 1

1993 - 1

2011 3 -

Karanganyar 1992 2 -
Pati 2007 3 3
Sragen
2010 9 15

2011 1 -
Sutarti 2011

Peta daerah endemik antraks untuk wilayah Propinsi Jawa Tengah secara rinci disajikan
dalam gambar 2

Sutarti 2011

Gambar 2. Peta daerah endemic antraks di Propinsi Jawa Tengah


Tindakan yang harus kita lakukan jika menemukan hewan sakit adalah sebagai berikut

1. Segera lapor kepada petugas peternakan.


2. Jangan dipotong/dibedah.
3. Jangan dikeluarkan dari kandang.
4. Bangkai hewan yang mati karena penyakit Antraks segera dimusnahkan dengan disiram
minyak tanah dan dibakar hangus serta dikubur sedalam 2-3 meter dan ditabur kapur
kemudian ditutup tanah untuk mencegah perluasan penyakit.

A. Kasus di Boyolali
Pada Tanggal 13 Januari 2011 di Dukuh Karangmojo, Desa Tangkisan, Kecamatan Klego,
Kabupaten Boyolali didapatkan satu sapi milik salah satu warga yang mendadak jatuh dan
kemudian kejang, dari pemilik sapi diputuskan untuk menyembelih dagingnya dan dijual ke
warga sebanyak 40 bungkus. Kemudian pada tanggal 19 Januari 2011 didapatkan 6 warga
yang mengeluh gatal, bengkak dan adanya lesi basah dan adanya eschar di daerah bawah
mata, tangan, tungkai kaki dan kaki, kemudian dibawa ke Puskesmas dan dinyatakan suspek
antraks, kemudian diberikan terapi empirik. Pada tanggal 23 Februari ke enam penderita dirujuk
ke RS dr. Moewardi untuk rawat inap. Pada saat datang ke rumah sakit, kondisi lesi sudah
mengering dan kemudian diberikan terapi. semua kasus tersebut didapatkan lesi basah dan
adanya eschar di daerah bawah mata, tangan, tungkai kaki dan kaki penderita. Sampel daging
dan darah sapi diperiksa di Labkesda Propinsi dan dinyatakan positif antraks.
Dua penderita adalah orang yang menyembelih sapi yang telah positif antraks, dengan lesi
di tangan dan wajah (Gambar 3 dan 4) dan empat penderita yang lain adalah yang membagi-
bagikan daging sapi tersebut dan memasaknya, dengan lesi di tangan, tungkai kaki dan kaki
(Gambar 5).

Redhono 2011

Gambar 3. Lesi pada tangan


Redhono 2011

Gambar 4. Lesi pada wajah

Redhono 2011

Gambar 5. lesi di tangan

Pada Tanggal 2 Maret 2011, Tim Penanggulangan Antraks RS dr. Moewardi yang dipimpin
oleh dr. Dhani Redhono H SpPD, datang ke lokasi di Dukuh Karangmojo, Desa Tangkisan,
Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali, untuk melakukan obervasi lapangan dan mengambil
sampel warga yang terpapar sapi yang mati karena antraks. Tim mengambil 89 sampel yang
kemudian akan dilakukan pemeriksaan serologi ELISA di Lab Biomedik FK UNS.
Pada tanggal 3 Maret 2011, Tim bersama dengan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah,
mengadakan sosialisasi dan penyuluhan tentang Waspada Antraks, yang dihadiri 96 warga di
Balai desa Tangkisan, Boyolali.
Pada tanggal 2 Maret 2011 empat penderita diantar kembali ke rumah masing-masing oleh
tim antraks RS dr. Moewardi dan disarankan 1 minggu lagi kontrol ke rumah sakit dan tetap
minum antibiotik. Tanggal 3 Maret dirujuk 1 penderita dari desa yang sama untuk rawat inap,
karena ada lesi yang tidak membaik, meskipun telah diberikan terapi empirik secara oral.
Pada tanggal 7 Maret semua penderita diijinkan rawat jalan dan disarankan, kontrol
kembali 1 minggu kemudian.

Hasil pemeriksaan Serologi ELISA dari 92 sampel, didapatkan 32 positif, 12 Borderline dan 48
sampel negatif.
Tabel 1. Hasil Skrening Pemeriksaan Elisa di Boyolali

Negatip 48 51%
Borderline 12 13%
Positip 32 34%
BD + POS 44 48%
Manifestasi Klinis 9
Total Pasien 92 100%
Paramasari 2011

Dari hasil uji pemeriksaan sampel suspect pasien Antraks di kabupaten Boyolali
berdasarkan deteksi protein Protection Antigen (PA) berbasis ELISA memperlihatkan bahwa
protein PA terdeteksi pada 32 serum sampel dari 92 serum sampel pasien suspek antraks yang
diperiksa. Dari jumlah tersebut, ada 12 serum sampel pasien yang terdeteksi positif akan tetapi
dengan konsentrasi pada range borderline. Setelah dicocokkan dengan hasil pemeriksaan fisik,
ternyata hampir semua pasien dengan nilai konsentrasi IgG PS anthrax di kisaran borderline
tersebut memiliki gejala klinis yang khas. Sebagai diagnostik, cara deteksi antraks dengan
metoda ELISA ini bisa memberikan bukti sekresi toksin Bacillus anthraxis, terbukti sangat
berguna untuk menentukan pemberian terapi pada pasien sebelum muncul tanda klinik (awal
infeksi) karena pemeriksaan berbasis Imunoasay secara ELISA ini cukup sensitif, efektif dan
efisien (dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 2 jam) sebagai deteksi screening anthrax.

Hasil uji ELISA didapatkan 32 orang positif antraks, namun yang menimbulkan gejala
klinis antraks hanya terjadi pada 9 orang dengan lokasi lesi yang berbeda-beda, antara lain
wajah, tangan dan kaki. Semua penderita bermanifestasi klinis yang sama, yaitu munculnya
eschar. Hasil kultur di lesi menunjukkan hasil negatif kecuali pada penderita yang menyembelih
dengan manifestasi eschar di tangan kanan. Di bawah ini tabel penderita antraks di Boyolali.
Tabel 2. Penderita Antraks di Boyolali

Jenis
Kasus Umur Kontak Lokasi lesi Kultur Elisa
Kelamin
1 Laki-laki 70 Menyembelih Wajah Negatip Positip
2 Laki-laki 65 Menyembelih Tangan kiri Positif Positip
Tangan
3 Laki-laki 51 Mengkuliti Negatip Positip
kanan
Membagi
4 Perempuan 48 Tangan kiri Negatip Positip
daging
Membagi &
5 Perempuan 60 Kaki kanan Negatip Positip
makan
Mengkuliti &
6 Laki-laki 50 Tungkai kaki Negatip Positip
makan
Mengkuliti &
7 Laki-laki 67 Tangan kiri Negatip Positip
makan
Membagi Tangan
8 Laki-laki 54 Negatip Positif
daging kanan
Membagi
9 Laki-laki 49 Kaki kiri Negatip Positif
daging
Redhono 2011

B. Kasus di Sragen
Kronologi Kasus Antraks di Sragen
Pada tanggal 7 Mei 2011, ada satu sapi milik Siswanto sudah dipelihara selama 3 (tiga)
tahun yang berasal dari kakeknya Desa Geneng, mendadak sakit (rebah di kandang) tanpa ada
gejala sakit sebelumnya lalu mati, dengan mengeluarkan liur banyak, air mata, perut
membesar. Kemudian sapi yang sudah dalam keadaan mati disembelih oleh pak Paimin, jeroan
dicuci di sungai dan daging dibagikan ke 40 KK tetangga sekitar (125 orang yang
mengkonsumsi).
Kemudian pada 08 14 Mei 2011, didapatkan 6 orang yang kontak langsung dengan sapi
sakit, mengeluh gatal dikulit dan beberapa lama membengkak, nyeri, panas dan mengeluarkan
cairan bening, kemudian dibawa ke puskesmas Miri, Sragen, dinyatakan suspek Antraks dan
diberikan terapi empirik.
Pada 14 Mei 2011, Puskesmas Miri menemukan adanya KLB Suspek Antraks Kulit di
Dukuh Rejosari Desa Brojol Kec Miri Kab Sragen, kejadian tersebut langsung dilaporkan ke
Dinas Kesehatan Kab. Sragen (DKK), yang kemudian melakukan kunjungan ke lokasi kejadian,
mendirikan posko, pengobatan, melakukan survailans dan penyuluhan di RT 09, dihadiri 40 KK.
Pada tanggal 15 Mei 2011, Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen melaporkan adanya
dugaan KLB Antraks ke Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Menindaklanjuti laporan
tersebut, Dinas Kesehatan Propinsi Jateng segera berkoordinasi dengan Kementerian
Kesehatan RI (Subdit Zoonosis), Dinas Peternakan Provinsi, BLK Semarang dan BBVet Wates
Yogya-karta, yang bersama-sama melakukan investigasi ke lokasi RT 10 dan menemukan 3
(tiga penderita) suspek Antraks.
Pada tanggal 16 Mei 2011, ada 3 penderita baru suspek Antraks, yang diambil swap pada
kulit penderita untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium, Pemberian Injeksi antibiotik Procain
Penisilin / PP 1,2 jt IU / 12 jam.
Pada tanggal 18 Mei 2011, Posko pindah dari lokasi penyem-belihan untuk menghindari
faktor resiko (bertempat di rumah Bp Mardi Sastro Bagong / pak RT 09), yang sebelumnya di
rumah pak bayan yang berdempetan dengan kandang sapi yang sakit.
Pada Tanggal 23 Februari 2011, Tim Penanggulangan Antraks RS dr. Moewardi yang
dipimpin oleh dr. Dhani Redhono H SpPD, datang ke lokasi di Desa Miri, Kabupaten Sragen,
untuk melakukan obervasi lapangan dan mengambil sampel warga yang terpapar sapi yang
mati karena antraks. Tim mengambil 62 sampel yang kemudian akan dilakukan pemeriksaan
serologi ELISA di Lab Biomedik FK UNS, dan pada tanggal 24 Februari, Tim ke lokasi untuk
mengambil 14 sampel lagi. Di bawah ini adalah daftar Klinis antraks di Sragen yang
bermanifestasi pada kulit.

Tabel 3. Daftar Klinis Antraks di Sragen

Jenis
Kasus Umur Kontak Lokasi lesi
Kelamin
1 Laki-laki 50 Mencacah & makan Telapak Tangan kiri
Jari ke-3 Tangan
2 Laki-laki 54 Mencacah & makan
kanan
3 Laki-laki 52 Mencacah & makan Telapak Tangan kiri
4 Perempuan 55 Mengolah & makan Jari ke-3 Tangan kiri
Ibu jari
5 Laki-laki 38 Mencacah & makan
tangan kanan
Jari tangan kanan
6 Laki-laki 50 Mencacah & makan
& wajah
7 Laki-laki 50 Makan daging Jari tangan kanan
8 Laki-laki 29 Makan daging Jempol jari kiri
9 Laki-laki 36 Mencacah & makan Telapak tangan kiri
10 Laki-laki 55 Mencacah & makan Tangan kiri
11 Perempuan 40 Makan daging Paha kanan atas
12 Perempuan 28 Makan daging Paha kanan atas
13 Perempuan 30 Makan daging Paha kiri atas
Redhono 2011
Gambar 6. Lesi pada Wajah Gambar 7. Lesi pada wajah

Gambar 8. Lesi pada tangan kiri Gambar 9. Lesi pada tangan kiri

Gambar 10. Lesi pada tangan kiri Gambar 11. Lesi pada tangan kiri
Redhono 2011
Gambar 6 sampai 11 adalah gambar penderita antraks yang terjadi di Sragen. Lesi yang
paling berat adalah yang terjadi di wajah ( Gambar 1 dan 2 ), sedangkan lainnya banyak terjadi
di ekstremitas, baik di tangan maupun di kaki.
Tim Antraks FK UNS RS dr. Moewardi telah melakukan sosialisasi, pemetaan dan
pengambilan data di lapangan pada kasus KLB antraks di Boyolali dan Sragen. Dari hasil
pemeriksaan ELISA pada orang yang terpapar antraks didapatkan 23 orang yang positif, tetapi
tidak menunjukkan adanya manifestasi klinis antraks dan 12 orang borderline. Pada kasus ini
disarankan untuk diberikan antibiotik profilaksis dengan menggunakan Ciprofloksasin 2 x 500
mg atau Doksisiklin 2x 100 mg selama 60 hari.

Kepustakaan

Cieslak TJ, Eitzen E. 2005 Clinical and epidemiologic principles of anthrax. Emerging Infectious
Diseases. 5: 552-5.
Dhani Redhono, Tatar, Guntur. 2011 Pemetaan Antraks di Jawa Tengah. In Antraks. 11- 17.
Dixon TC, Meselson BSM, Guillemin J, Hanna PC. 2005. Anthrax. N Engl J Med. 341:815-26.
Friedlander AM. 2008. Anthrax. In : Medical Aspects of Chemical and Biological
Warfare. Available at: http://www.nbcmed.org/SiteContent/ HomePage/WhatsNew/
MedAspects/Ch-22/electrv699.pdf
Eko Sutarti. Antisipasi Penyakit Antraks Pada Hewan. In Antraks 40 46.
Holmes RK. 2009. Diphtheria, other corynebacterial infection and anthrax. In : Fauci AS,
Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al. Eds. Harrisons
Principles of Internal Medicine. 16th ed. McGraw-Hill: New York. 892-9. Inglesby TV,
Henderson DA, Barlett JG. 2005. Anthrax as a Biological Weapon Medical and Public
Health Management. JAMA. 281 : 1735-45.
Inglesby TV, OToole T, Henderson DA, Bartlett JG, Ascher MS, Eitzen E, et al. 2002. Anthrax
as a biological weapon: updated recommendations for management. JAMA. 287 (17) :
2236-52.
Paramasari. 2011. Pemeriksaan Laboratorium Deteksi Antrhax Berbasis Immunoassay. In
Antraks 18- 26
Pile JC, Malone JD, Eitzen EM, Friedlander AM. 2005. Anthrax as a potential biological warfare
agent. Arch Intern Med. 158: 429-34.
Scott Geoffrey. Antrax, In Gordon Cook, Alumidin. 2009 Eds. Mansonss Tropical Diseases
21st ed. Elsevier : China. 1109-1111
Shafazand S, Doyle R, Ruoss S, Weinacker A, Raffin TA. 2005. Inhalation Anthrax,
Epidemiology, Diagnosis and Management. Chest;116:1369-76.
Swartz MN. 2001. Recognition and management of anthrax an update. NEJM. 345 : 1621-6.
Mardiatmo. 2011 Kebijakan Penanggulangan Penyakit Antraks. In Antraks. 32 - 36
WHO. 2010. Guidelines for the surveillance and control of anthrax in humans and animals.
Available at: http//who.int/emc-document/zoonoses/docs/whoczd.html

Anda mungkin juga menyukai