Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KEBIJAKAN REKLAMASI PANTAI UTARA

JAKARTA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Administrasi Keuangan Daerah

Oleh:
Zunita Mahira M. 135030400111019
Febby 135030407111004
Hafidhah Fachrina 135030407111016

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
GAMBARAN UMUM KASUS

WAKIL KETUA KPK NILAI KEWENANGAN REKLAMASI PANTAI UTARA


JAKARTA MILIK PEMERINTAH PUSAT
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode
Muhamad Syarif mengatakan, berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini,
disebutkan bahwa kewenangan terkait reklamasi di area pesisir utara Jakarta itu
milik pemerintah pusat.

"Dalam undang-undang yang berlaku sekarang, kalau melewati satu wilayah


provinsi harus dikelola secara nasional dan pemimpinnya kementerian," ujar
Syarif di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (25 April 2016).

Menurutr Syarif, KPK sudah mempelajari serta membandingkan seluruh


peraturan yang dibuat pemerintah pusat terkait dengan proyek reklamasi.

Aturan itu mulai dari Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta, hingga Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Selain itu juga Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, serta
Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.

Berdasarkan penjabaran di dalam peraturan-peraturan itu, Kata Syarif, dapat


dipahami bahwa kewenangan reklamasi bukan hanya milik Pemprov DKI Jakarta.

"Pemerintah DKI harusnya juga memperhatikan itu dengan baik. Jangan sampai
salah dari apa yang menjadi pegangan," tutur Syarif.

Ia menambahkan, KPK juga mendukung moratorium usai dilakukan pertemuan


antara Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan
Pemprov DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
Sehingga ke depannya, ada perbaikan regulasi yang lebih memperhatikan
kepentingan lingkungan, sosial, dan ekonomi terkait proyek reklamasi teluk
Jakarta saat yang saat ini diberhentikan sementara.

Polemik mengenai reklamasi di Teluk Jakarta mengemuka saat KPK menangkap


tangan Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi, di sebuah pusat
perbelanjaan di Jakarta.

Sanusi ditangkap seusai menerima uang pemberian dari Presiden Direktur PT


Agung Podomoro Land Ariesman Widjajaj. Ia diduga menerima suap secara
bertahap yang jumlahnya mencapai Rp 2 miliar.

Suap tersebut diduga terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)


tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI
Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan
Strategis Pantai Jakarta Utara.

Pada kasus suap Raperda reklamasi ini, KPK telah menetapkan tiga orang sebagai
tersangka.

Selain Sanusi dan Ariesman, KPK juga menetapkan Personal Assistant PT APL
Trinanda Prihantoro sebagai tersangka.

PEMAPARAN DAN ANALISIS KASUS

Akhir-akhir ini, kasus reklamasi pantai utara Jakarta mendapatkan sorotan dari
publik. Pasalnya, kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta tersebut
dinilai menyalahi aturan dan menimbulkan banyak permasalahan. Permasalahan
pertama adalah mengenai teknis pelaksanaan mega proyek tersebut. Permasalahan
yang kedua adalah mengenai proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
yang disinyalir penuh dengan tindakan suap-menyuap. Atas berbagai
permasalahan tersebut, Kementerian Koordinator Kemaritiman mengeluarkan
kebijakan moratorium atau penghentian sementara proyek reklamasi pantai utara
Jakarta.
Peraturan yang mendasari pelaksanaan proyek reklamasi tersebut adalah
Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara
Jakarta. Dalam peraturan tersebut yang memegang kewenangan untuk
melaksanakan proyek tersebut adalah Gubernur Daerah Khusus Ibukota. Pada
tahun 2008 terbit peraturan lain yang terkait dengan reklamasi, yakni Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, serta Peraturan Presiden Nomor 122
Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Peraturan tahun 2008 dan tahun 2012 tersebut otomatis membuat Keppres
52/1995 menjadi tidak berlaku lagi. Namun ternyata pada 4 Surat Gubernur yang
dikeluarkan oleh Gubernur Fauzi Bowo pada tahun 2012 dan diperpanjang oleh
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada tahun 2014, di mana surat tersebut masih
menggunakan Keputusan Presiden nomor 52 tahun 1995 sebagai dasarnya. Hal ini
sudah jelas menyalahi aturan karena suatu kebijakan tidak dapat dilaksanakan jika
yang menjadi dasar hukumnya adalah peraturan yang sudah tidak lagi berlaku.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan tersebut cacat hukum dan tidak
seharusnya dilaksanakan.

Poin lainnya yang menjadi masalah dalam kebijakan reklamasi ini adalah adanya
tindakan suap menyuap dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah.
Ada dua peraturan daerah yang sedang dibahas oleh DPRD DKI Jakarta terkait
dengan reklamasi, yakni rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis
Pantai Utara Jakarta. Proses penyusunan raperda ini disinyalir tidak bersih karena
ada tindakan suap. Suap diberikan oleh pengusaha pengembang properti yang
memenangkan tender proyek reklamasi pantai utara Jakarta kepada ketua komisi
D DPRD DKI Jakarta. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menyukseskan
pembahasan raperda agar segera disahkan menjadi perda.

Akan ada 17 pulau yang akan direklamasi di pantai utara Jakarta, di mana 17
pulau ini akan direklamasi oleh 9 perusahaan pengembang properti, antara lain PT
Agung Sedayu, PT Agung Podomoro Land, PT Taman Harapan Indah, PT Jaladri
Eka Paksi, dan PT Pembangunan Jaya Ancol. Pulau-pulau tersebut akan dibagi
untuk memenuhi beberapa fungsi lahan, antara lain untuk hunian, ruang terbuka
hijau, sarana rekreasi, dan berbagai fungsi lainnya. Yang menjadi akar dari tindak
korupsi yang terjadi dalam mega proyek reklamasi ini adalah harga tanah pada
pulau-pulau hasil reklamasi diperkirakan mencapai 30 hingga 40 juta rupiah per
meter persegi. Sedangkan harga tanah pada kawasan lainnya berada pada kisaran
harga 15 hingga 20 juta rupiah per meter persegi. Tingginya harga tanah ini akan
menguntungkan perusahaan pengembang properti karena nilai investasinya sangat
besar dan menjanjikan. Dengan dana investasi total sekitar 500 triliun, keuntungan
yang dapat diperoleh oleh perusahaan pengembang diperkirakan akan mencapai
100% dari nilai investasi. Peluang untuk memperoleh keuntungan yang sangat
besar inilah yang mendorong investor untuk menyuap DPRD DKI Jakarta agar
meloloskan raperda tersebut.

Namun tindakan suap tersebut menjadi coreng bagi proses legislasi, tidak hanya di
Ibukota, namun juga proses legislasi secara keseluruhan di Indonesia. Kejadian ini
membuat rakyat merasa bahwa suatu peraturan dapat diperjual-belikan antara
legislator dengan pihak yang berkepentingan dengan peraturan tersebut, dalam
hal ini perusahaan pengembang properti. Peraturan daerah yang pada dasarnya
diterbitkan untuk menampung aspirasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan
di masyararakat pada akhirnya diselewengkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi
beberapa pihak tertentu. Padahal jika melihat lagi pada kebijakan reklamasi
tersebut, masih ada beberapa pulau yang belum diterbitkan analisis dampak
lingkungannya. Implikasinya adalah timbulnya potensi kerusakan lingkungan jika
proyek tersebut terus dilaksanakan. Di samping itu, proyek reklamasi akan
merugikan sekitar 7000 nelayan yang selama ini mencari ikan di sekitar wilayah
pantai utara Jakarta. Nelayan tersebut akan kehilangan wilayah perairannya
sehingga harus melaut lebih jauh untuk mencari ikan. Bagi nelayan kecil yang
tidak mungkin melakukan pelayaran lebih jauh ke tengah laut, hal ini berarti
mereka akan kehilangan lapangan pekerjaannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai