Tahun 1983 dapat dipandang sebagai suatu langkah awal modernisasi bidang moneter
Indonesia sejalan dengan dilepasnya system pengendalian monetr secara langsung, seperti
penetapan pagu aktiva neto perbankan atau credit ceiling, penetapan suku bungan simpanan
dan kredit perbankan, dan lain-lain. Sebagai otoritas monetr, Bank Indonesia kemudian
menerapkan system pengendalian tidak langsung dengan memperkenalkan instrument
moneter tidak langsung, seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar
Uang (SBPU). Kedua instrument tersebut menjadi instrument utama bagi Bank Indonesia
untuk melakukan ekspansi atau kontraksi moneter dan sekaligus menjadi instrumen pasar
uang bagi bagi dunia perbankan.
Sementara itu, target akhir kebijakan moneter Bank Indonesia sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 mengenai bank sentral, masih beragam (multiple
targets). Selain tingkat inflasi yang rendah, Bank Indonesia diharuskan juga mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah dan keseimbangan
neraca pembayaran.
Dengan sasaran akhir yang beragam, kebijakan moneter sulit untuk dilakukan secara
terfokus karena adanya benturan kebijakan moneter dalam rangka menekan laju inflasi
dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, secara operasional,
kebijakan moneter yang mengandalkan pada uang primer juga punya masalah. Meski
pendekatan kuantitas (agregat moneter) dapat dianggap efektif selama kurun waktu yang
cukup lama. Khususnya sejak awal tahun 1990-an pendekatan tersebut mendapat tantangan
yang cukup berat. Perkembangan yang sangat cepat di pasar keuangan akibat serangkaian
deregulasi dan semakin terintergrasinya perekonomian domestic dengan luar negeri
menyebabkan hubungan antara agregat moneter dengan output dan inflasi menjadi tidak
stabil.
Tekanan yang luar biasa terhadap nilai tukar dan cadangan devisa di awal krisis 1997
memaksa Bank Indonesia dan pemerintah melepas band intervensi dan menganut system nilai
tukar mengambang bebas. Akibatnya, nilai tukar tak lagi menjadi jangkar nominal kebijakan
moneter. Depresiasi nilai rupiah yang teramat tajam dan suku bunga yang tinggi membuat
sektor riil dan sektor perbankan, yang ternyata sangat rapuh, semakin terpuruk. Perbankan
kehilangan kepercayaan public. Kegiatan usaha tidak bergerak, produksi merosot, dan jumlah
pengangguran melonjak.
Pada tahun 1998, kebijakan moneter memasuki satu periode pengetatan terutama
untuk mencegah terjadinya hiperinflasi, yaitu dengan berupaya menghentikan semua bentuk
ekspansi moneter agar tidak terjadi kelebiahan likuiditas dalam perekonomian. Bank
Indonesia menerapkan kembali kebijakan moneter ketat yang sempat kehilangan kendalinya
ketika terpaksa harus menyalurkan pinjaman likuiditas besar-besaran kepada perbankan untuk
menghentikan rush.
Dalam praktiknya, target inflasi tidak menjadi satu-satunya anchor kebijakan moneter
dan komitmen untuk mencapai kestabilan harga. Karena masih tercampur dengan komitmen
untuk mencapai tujuan kebijakan yang lain. Dalam terminology yang menjadi popular akhir-
akhir ini, dikenal istilah inflation targeting lite (ITL) , yaitu penerapan ITF secara secara
parsial atau dikatakan ringan, dan istilah full-fledged inflation targettin (FFIT, yaitu
penerapan ITF dengan komitmen penuh. Kerangka kebijakan moneter seperti yang
dipraktikkan Bank Indonesia tersebut dapat dikategorikan sebagai ITL.
Namun, pihak yang pro berpendapat bahwa pada hakikatnya prakondisi untuk ITF
berlaku juga bagi hamper semua kerangka kerja kebijakan moneter. Selain itu, pengalaman di
beberapa Negara menunjukkan bahwa keberadaan prakondisi tersebut tidak bersifat mutlak
pada saat awal penerapan ITF, dan penerapan ITF dapat dilakukan secara bertahap dari yang
lite ke full-fledged. Belum terpenuhinya beberapa prakondisi ITF dapat disikapi dengan
desain ITF yang fleksibel, namun dengan tetap mengedepankan kejelasan baik dalam hal
inflasi sebagai sasaran tunggal kebijakan moneter maupun dalam hal komit bank otoritas
moneter dalam merumuskan respons kebijakan yang diarahkan untuk mencapai inflasi yang
ditetapkan. Argumen penting disini adalah bahwa pilihan ITF yang fleksibel akan lebih
optimal daripada melaksanakan kebijakan moneter tanpa kejelasan kerangka kerja.
Dari sisi pengeloalaan moneter, krisi ekonomi dan moneter sesungguhnya melahirkan
suatu pemikiran ulang mengenai peran bank sentral yang seharusnya dalam perekonomian
pengalaman tersebut menunjukkan bahwa institusi bank sentral dengan segala keterbatasan
yang dimilikinya harus kembali kepada fungsi utamanya sebagai lembaga yang bertanggung
jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang dikeluarkan.
Dengan penekanan pada tujuan kestabilan harga, pertanyaan penting yang kemudian muncul
adalah kerangka kerja kebijakan moneter apa yang paling sesuai dengan UU No. 23 Tahun
1999? Keberadaan target inflasi yang diumumkan kepada publik dan penetapan sasaran
moneter yang diarahkan kepada pencapaian target inflasi tersebut sangat sesuai dengan
kerangka ITF. Dalam terminologi kebijakan moneter, sasaran inflasi dapat dianggap sebagai
overriding objective atau juga sebagai sasaran antara, sedangkan sasaran moneter (agregat
moneter atau suku bunga) sebagai operating target.
Fitur lain yang sangat penting dalam kerangka ITF seperti independensi, transparansi,
dan akuntabilitas juga mendapat porsi penting dalam UU No. 23 Tahun 1999. Berbeda
dengan UU No. 13 Tahun 1968 yang menempatkan Bank Indonesia sebagai pembantu
pemerintah dalam melaksanakan keputusan-keputusan yang ditetapkan Dewan Moneter,
dalam UU No. 23 Tahun 1999 ini Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga negara yang
independen yang bebeas dari campur tangan pihak lain termasuk pemerintah (Pasal 4).
Independensi ini ditegaskan pula dengan ketentuan bahwa pemerintah dan pihak lain di luar
Bank Indonesia dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas
Bank Indonesia. Bank Indonesia wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur
tangan tersebut apabila ada (Pasal 9). Pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban ini
diancam hukuman yang cukup berat, yaitu penjara minimal dua tahun maksimal lima tahun
dan denda minimal Rp2 miliar maksimal Rp5 miliar. Selain itu, juga dinyatakan bahwa Bank
Indonesia berada di luar pemerintahan (penjelasan Pasal 4 ayat 2).
Namun demikian, masih terdapat hal teknis yang perlu kejelasan dalam penerapan
kerangka ITF, yaitu keharusan untuk mengumumkan target besaran moneter sebagaimana
diatur dalam Pasal 58: Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat
secara terbuka... setiap tahun anggaran yang memuat: (a)...; (b) rencana kebijakan moneter
dan penetapan sarana-sarana moneter untuk tahun yang akan datang dengan
mempertimbangkan sasaran laju inflasi serta perkembangan kondisi ekonomi dan
keuangan. Pada umumnya bank sentral yang mengadopsi kerangka ITF, besaran moneter
yang digunakan sebagai target operasi tidak ditetapkan secara eksplisit di awal tahun,
melainkan diumumkan setiap selesai monetary policy meeting. Dengan begitu, target operasi
akan disesuaikan dengan tekanan inflasi yang dapat diidentifikasi pada saat itu karena target
operasi berfungsi sebagai representasi dari monetary policy reaction function.
Berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 memberi landasan hukum yang kuat bagi
penerapan suatu kerangka kebijakan moneter berdasarkan pendekatan ITF. Walaupun
demikian, undang-undang tidak mengamanatkan Bank Indonesia untuk mengadopsi suatu
kerangka kebijakan moneter berdasarkan ITF. Hal ini adalah pilihan Bank Indonesia sebagai
otoritas moneter. Apa yang diamanatkan oleh undang-undang adalah bahwa Bank Indonesia
mengumumkan sasaran inflasi setahun ke depan. Sasaran inflasi oleh Undang-Undang No. 23
Tahun 1999 ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang kemudian diubah melalui amandemen
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 di mana penetapan sasaran inflasi dilakukan oleh
pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Dengan demikian, penggunaan pendekatan ITF dan kerangka base money targeting
sebaiknya dilihat sebagai sebuah hubungan substitusi, ketimbang sebagai sebuah hubungan
komplementer. Dalam kaitan ini, debat tentang efektivitas penggunaan target operasi base
money versus suku bunga yang menjadi hanya akhir-akhir ini juga menjadi sulit diputuskan
sepanjang kerangka besar kebijakan moneter Bank Indonesia belum ditentukan secara jelas.
Peran base money sebagai sebuah kerangka moneter tentu akan sangat berbeda dengan
perannya sebagai target operasi dalam kerangka ITF.
Kelemahan fundamental lain dengan mengumumkan target inflasi dan base money
pada saat yang sama adalah bahwa secara implisit Bank Indonesia mengakui hubungan antara
base money dan inflasi adalah jenis hubungan yang one-to-one dan juga cenderung tidak
mempunyai tenggat waktu atau time lag kebijakan. Asumsi semacam itu jelas bertolak
belakang dengan kesimpulan umum dalam wacana kebijakan moneter mutakhir, di mana
hubungan besaran moneter dengan variabel riil menjadi semakin tidak stabil, dengan tenggat
waktu kebijakan adalah hal penting yang harus diantisipasi oleh setiap perumus kebujakan
moneter. Apabila asumsi implisit di atas pada kenyataannya tidak berlaku, kerangka formal
kebijakan moneter sesungguhnya menggunakan dua kerangka berbeda pada saat yang sama,
yaitu kerangka inflation targeting dan kerangka base money targeting.
Permasalahan lain yang lebih teknis muncul apabila kita mengevaluasi efektivitas
kebijakan moneter Bank Indonesia dalam menjaga target base money.
Selain kerancuan antara kerangka inflation targeting dengan base money targeting,
kerangka kebijakan moneter dalam praktiknya memiliki kompleksitas tambahan, di mana
dalam beberapa pernyataannya Bank Indonesia sering kali mengaitkan respons kebijakannya
dengan tujuan lain selain inflasi, misalnya untuk mengarahkan pada pencapaian nilai tukar
atau untuk mendukung proses pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, kerangka kebijakan
moneter Bank Indonesia dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang memiliki banyak anchor.
Contoh dari banyak anchor kebijakan tersebut dapat dilihat dalam petikan Laporan
Tahunan Bank Indonesia 2002 sebagai berikut: Kebijakan moneter selama 2002 diarahkan
pada upaya penyerapan ekses likuiditas perbankan dengan tetap memerhatikan
perkembangan suku bunga yang terjadi agar tetap dapat memberikan sinyal yang kondusif
bagi perbaikan sisi penawaran di sektor riil.... (halaman 9); dalam pelaksanaannya, strategi
ini dilakukan dengan terus melihat perkembangan inflasi, nilai tukar, uang primer, dan suku
bunga riil dari triwulan ke triwulan. (halaman 10).
Dari kutipan tersebut tampak jelas bahwa respons kebijakan moneter Bank Indonesia
memang tidakhanya dimaksudkan untuk pencapaian target inflasi. Memang bahwa bagi
negara berkembang perhatian atas variabel lain selain inflasi menjadi sangat relevan, namun
bagi negara berkembang yang menerapkan ITF, tujuan lain selain inflasi seharusnya menjadi
subordinat (lihat Mishkin 2003, dan Stone 2003). Urutan prioritas ituyang tampaknya belum
jelas benar dalam formulasi kebijakan moneter Bank Indonesia.
Permasalahan penting lain dalam kerangka kebijakan moneter Bank Indonesia pasca
UU No. 23 Tahun 1999 adalah konsistensi dalam desain target inflasi. Contoh pertama adalah
penggunaan target inflasi yang kerangka waktu pencapaiannya berada dalam tahun yang
sama. Desain tersebut secara implisit tidak mengakui keberadaan tenggat waktu dalam
kebijakan moneter. Dalam kerangka ITF, pilihan kerangka waktu yang sangat singkat tersebut
juga sesungguhnya menggambarkan pilihan kerangka kebijakan yang strict, di mana hampir
setiap shock harus direspons karena terbatasnya waktu yang tersedia. Secara implisit,
penggunaan kurun waktu yang sangat singkat tersebut menunjukkan bahwa elemen target
inflasi dalam perumusan kebijakan moneter Bank Indonesia memang tidak sepenuhnya
dimaksudkan sebagaimana seharusnya kerangka ITF karena penggunaan kerangka yang
strict menjadi tidak logis bagi perekonomian di negara berkembang yang memiliki
variabilitas inflasi yang tinggi.
Jika dilihat level dan jenis target inflasi yang diumumkan Bank Indonesia sejak tahun
2000, tampak juga bahwa desain target inflasi belum menggambarkan secara jelas proses
disinflasi yang seharusnya ada dalam tahap awal penerapan ITF. Pada tahun 2000 Bank
Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2000 berdasarkan kondisi fundamental
ekonomi dan yang secara langsung dipengaruhi oleh kebijakan moneter sebesar 3%-5%.
Sasaran laju inflasi tersebut belum memperhitungkan kenaikan-kenaikan harga sebagai
dampak dari rencana kebijakan pemerintah. Tahun 2001, targetnya adalah sasaran laju
inflasi tahun 2001 yang secara langsung dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter adalah
sebesar 4%-6%. Tahun 2002, targetnya sasaran laju inflasi IHK sebesar 9%-10% dengan
memerhatikan masih tingginya ekspektasi inflasi dan besarnya dampak kebijakan pemerintah
di bidang harga dan pendapatan. Terakhir, di tahun 2003: Bank Indonesia menetapkan
sasaran inflasi tahun 2003 sebesar 9% dengan deviasi sebesar 1%.
Dengan memerhatikan formulasi dari target inflasi di atas dapat dikatakan bahwa
target inflasi Bank Indonesia memang tidak sejak awal disusun dalam suatu proses yang
berkesinambungan, namun lebih terkesan ditetapkan dengan pertimbanganjangka pendek,
yaitu dengan melihat proyeksi inflasi 1 tahun ke depan. Desain seperti itu jelas menjadikan
target inflasi Bank Indonesia tidak terlalu kredibel di masyarakat. Bagi masyarakat pada
umumnya, keberadaan target inflasi Bank Indonesia tampak juga belum dapat dirasakan.
Bahkan, bagi praktisi ekonomi di pasar uang pun target inflasi Bank Indonesia tampaknya
belum diakui keberadaannya. Contoh kutipan berikut dari analisis ekonomi Standard
Chartered Bank (Country Report, Friday 28th February 2003) yang mengonfirmasi hal itu:
BI does not have inflation targets, but it gemerally aims to achieve the inflation rate
assumed by the government fpr its budgetarypolicy.
Dalam terminologi yang menjadi populer akhir-akhir ini, ketidakjelasan kerangka
kebijakan moneter seperti yang dipraktikkan Bank Indonesia dikategorikan sebagai inflation
targeting lite, untuk membedakannya dengan kerangka full-fledged inflation targeting
(Carare and Stone: 2003). Dalam makalah tersebut, Bank Indonesia dikelompokkan ke dalam
bank sentral without clear commitment, di mana kebijakan moneter Bank Indonesia dianggap
memiliki tiga anchor, yaitu inflasi, suku bunga riil, dan pertumbuhan base money.
B INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER
Rediscount Rate adalah kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral untuk
mengontrol jumlah uang yang beredar (JUB) dengan cara menaikan atau menurunkan tingkat
bunga dan atau tingkat diskonto. Yang dimaksud dengan tingkat diskonto di sini adalah
tingkat bunga yang di tetap kan oleh Bank Sentral kepada bank-bank umum terhadap
penjualan surat-surat berharga yang likuiditasnya tinggi. Akibat langsung dari naik-turun nya
tingkat diskonto akan mempengaruhi tingkat bunga pinjaman bank-bank umum kepada
masyarakat. Jika di suatu masa JUB di masyarakat terlalu banyak, maka Bank Sentral akan
menaikan discount rate-nya terhadap bank-bank umum untuk membatasi niat masyarakat
melakukan pinjaman, sehingga diharapkan JBU tidak bertambah lagi dan bahkan bisa di
tekan dengan masuknya dana yang dipinjam masyarakat ke bank. Sebaliknya jika suatu masa
dirasakan JBU terlalu sedikit, maka pemerintah melalui Bank Sentral akan melakukan
kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat bunga bank dan atau tingkat diskonto, dengan
harapan daya beli (purchase power) masyarakat bertambah dengan ada nya tingkat bunga
pinjaman yang rendah. Naik turun nya tingkat diskonto dan bunga, mempunyai implikasi
langsung terhadap kebijakan operasi pasar terbuka (open market policy)
Proses oprasi pasar terbuka terhadap bank-bank umum di lakukan oleh pemerintah untuk
mengurangi atau menambah jumlah uang beredar, khusus nya pada jenis uang giral. Proses
ini sangat di pengaruhi oleh tingkat reserves requirement (RR)cadanga minimalyang di
tetapkan oleh pemerintah. Misalnya pada suatu kondisi, neraca gabungan bak-bank umum
berukut ini:
RR 20 DD 100
ER 80
100 100
ER = Excess Reserves
DD = Demand Deposit
Jika misalnya pada masa itu pemerintah menetapkan tingkat RR =20%, maka
neraca gabungan diatas menunjukan bahwa cadangan minimal dari bank umum adalah
sebesar 20 milyar yang di dapat dari 20% x 100 milyarartinya cadangan minimal dari
gabungan bank-bank umum telah sesuai dengan tingkat RR yang di tetapkan. Seandainya
pada masa itu terjadi kelebihan JUB, maka pemerintah akan mengurangi JUB dengan cara
menawarkan surat-surat berharga ke bank-bank umum. Misalnya surat-surat berharga yang di
tawarkan oleh pemerintah senilai Rp 2 milyar seuanya akan dibeli oleh bank-bank umum.
Karena bank umum sama sekali tidak mempunyai kelebihan cadangan dana, maka satu-
satunya cara adalah membeli surat-surat berharga tersebut dengan mengambil dana dari
cadangan minimal nya.
RR 18 DD 90
ER 72
90 90
Akibat langsung dari operasi pasar terbuka adalah berkurangnya jumlah uang
beredarkhususnya uang giraldengan perbandingan yang cukup menarik. Dalam kasus
diatas dapat kita lihat, dengan menjual surat-surat berharga senilai 2 milyar rupiah,
pemerintah dapat mengurangi jumlah uang beredar sebesar 10 milyar rupiah.
Jika kita simak penjelasan diatas, dapat ditemui beberapa kelemahan dari mekanisme operasi
pasar terbuka ini, yaitu:
RR 20 DD 100
ER 80
100 100
Jika tingkat RR pada waktu itu adalah 18%, maka dalam neraca itu menunjukan sudah
terjadi kelebihan dana cadangan minimal sebesar 2 milyarbesarnya cadangan dana minimal
(RR) seharusnya adalah 18% x 100 milyar = 18 milyar dan ER-nya adalah 82milyar. Jika
pemerintah dalam hal ini ingin mengurangi jumlah uang beredar dengan enjual surat-surat
berharga senilai 2 milyar rupiah, maka oleh bank-bank umum akan dibayarkan dari kelebihan
cadangan minimalnya, sehingga tujuan pemerintah untuk mengurangi jumlah uang beredar
tidak tercapai karena jumlah uang beredar tetap sebesar 100 milyar rupiah.
Kebijakan ini ditujukan bagi perbankan atau lembaga-lembaga keuangan bank yang
ada dibawah pengawasan Bank Sentral. Reserves Requirement Policy adalah kebijakan yang
mengatur besarnya tingkat cadangan minimak bank (legal reserves ratio), yang secara tidak
langsung juga mengatur besarnya kelebihan cadangan yang dapat disalurkan dalam bentuk
kredit ke masyarakat (excess reserves/ER). Pemerintah dapat mengontrol kelebihan JUB
dengan menaikan atau menurunkan tingkat RR-nya, karena semakin besar tingkat RR, akan
mengakibatkan cadangan yang dapat disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit (ER)
semakin kecil, sebaliknya semakin kecil tingkat RR akan mengakibatkan semakin besarnya
cadangan yang dapat disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit (ER). Kebijakan ini
mempunyai pengaruh langsung terhadap pelaksanaan kebijakan operasi pasar terbuka dan
kebijakan pengaturan tingkat bunga dan diskonto.
Cadangan minimal (RR) dan Ekspansi Kredit (ER)
EK = 1/1-ER) x PD
Di mana :
EK = Ekspansi Kredit
ER = Excess Reserves
PD = Primary Deposit
Contoh:
Misalnya, diketahui dana yang masuk dibank sebagai PD adalah sebesar 1 milyar rupiah, dan
RR sebesar 20%, berapakah ekspansi kredit akibat tambahan dana yang masuk tersebut?
EK = 1/(1-ER) x PD
= 1/RR x PD
= 1/0,2 x RP 1 milyar
= 5 milyar
Jadi dengan ada nya primary deposit sebesar 1 milyar rupiah, dapat mengakibatkan
penambahan jumlah uang beredar sebesar 5 milyar rupiah.
Neraca Bank A
ER = Rp. 800.000
Neraca Bank B
ER = Rp. 640.000
Demikian seterusnya, kelebihan cadangan dana bank (bank ascess reserves) akan
terus berputar sampai pada akhirnya jumlah uang yang beredar di masyarakat bertambah
menjadi:
Untuk melengkapi apa yang sudah dibahas dimuka, maka berikut ini akan diuaraikan
beberapa alasan memiliki uang dilihat dari fungsi uang, sebagai berikut;
1 Fungsi uang yang paling pertama (basic function) adalah sebagai alat tukar
(means of exchange) dan sebagai satuan hitung (unit of account).
2 Fungsi tambahan (derivative function) uang adalah sebagai penimbun kekayaan
(store of value) dan sebagai alat pembayaran yang di tangguhkan pada masa depan
(standard for deferred payments).
3 Fungsi tambahan lainnya adalah sebagai komoditas.