Anda di halaman 1dari 17

2.

7 Kapita Selekta Ekonomi Kebijakan Moneter

A Kerangka Kebijakan Moneter Prakrisis 1997/98

Berbagai pendekatan kerangka kebijakan moneter sebagaimana dijelaskan pada bab-


bab terdahulu menitikberatkan pada penggunaan pilihan monetary aggregate sebagai
indicator dalam intermediate target. Pendekatan dengan pilihan jumlah uang beredar sebagai
indicator telah digunakan oleh otoritas moneter Indonesia sejak kebijakan moneter Indonesia
beralih dari sistem pengendalian moneter langsung ke sistem pengendalian moneter tidak
langsung (indirect monetary control) pada tahun 1983. System pengendalian tidak langsung
ini mengandalkan peran pasar keuangan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ke
sector riil. Walaupun disadari bahwa mekanisme pasar belum akan berjalan efisien mengingat
pasar keuangan belum berkembang pada waktu itu, ada keyakinan bahwa secara bertahap
mekanisme pasar akan semakin efisien berjalan sejalan dengan berkembangnya pasar
keuangan.

Tahun 1983 dapat dipandang sebagai suatu langkah awal modernisasi bidang moneter
Indonesia sejalan dengan dilepasnya system pengendalian monetr secara langsung, seperti
penetapan pagu aktiva neto perbankan atau credit ceiling, penetapan suku bungan simpanan
dan kredit perbankan, dan lain-lain. Sebagai otoritas monetr, Bank Indonesia kemudian
menerapkan system pengendalian tidak langsung dengan memperkenalkan instrument
moneter tidak langsung, seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar
Uang (SBPU). Kedua instrument tersebut menjadi instrument utama bagi Bank Indonesia
untuk melakukan ekspansi atau kontraksi moneter dan sekaligus menjadi instrumen pasar
uang bagi bagi dunia perbankan.

Pelaksanaan kebijakan moneter mengandalkan pada uang primer sebagai target


operasional, dengan target nilai tukar nominal sebagai jangkar (anchor) kebijakan. Dalam hal
ini, nilai tukar dikendalikan secara ketat dalam kisaran yang sempit dan diapresiasikan
dengan laju yang relative konstan, yang dikenal sebagai system kurs mengambang terkendali
(managed-floating exchange rate regime).

Sementara itu, target akhir kebijakan moneter Bank Indonesia sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 mengenai bank sentral, masih beragam (multiple
targets). Selain tingkat inflasi yang rendah, Bank Indonesia diharuskan juga mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah dan keseimbangan
neraca pembayaran.

Dengan sasaran akhir yang beragam, kebijakan moneter sulit untuk dilakukan secara
terfokus karena adanya benturan kebijakan moneter dalam rangka menekan laju inflasi
dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, secara operasional,
kebijakan moneter yang mengandalkan pada uang primer juga punya masalah. Meski
pendekatan kuantitas (agregat moneter) dapat dianggap efektif selama kurun waktu yang
cukup lama. Khususnya sejak awal tahun 1990-an pendekatan tersebut mendapat tantangan
yang cukup berat. Perkembangan yang sangat cepat di pasar keuangan akibat serangkaian
deregulasi dan semakin terintergrasinya perekonomian domestic dengan luar negeri
menyebabkan hubungan antara agregat moneter dengan output dan inflasi menjadi tidak
stabil.

Akibatnya, kebijakan moneter berdasarkan pendekatan kuantitas menjadi berkurang


efektivitasnya. Meghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia kemudian mengadopsi
kerangka kebijakan yang bersifat pragmatis (electric approach). Tanpa meninggalkan
pendekatan kuantitas, sementara kisaran intervensi dalam kerangka managed exchange rate
refime semakin diperlebar untuk mengurangi beban kebijakan moneter.

Tekanan yang luar biasa terhadap nilai tukar dan cadangan devisa di awal krisis 1997
memaksa Bank Indonesia dan pemerintah melepas band intervensi dan menganut system nilai
tukar mengambang bebas. Akibatnya, nilai tukar tak lagi menjadi jangkar nominal kebijakan
moneter. Depresiasi nilai rupiah yang teramat tajam dan suku bunga yang tinggi membuat
sektor riil dan sektor perbankan, yang ternyata sangat rapuh, semakin terpuruk. Perbankan
kehilangan kepercayaan public. Kegiatan usaha tidak bergerak, produksi merosot, dan jumlah
pengangguran melonjak.

Untuk mencegah kehancuran system perbankan secara keseluruhan karena nasabah


menarik sebagian besar atau seluruh simpanannya secara bersamaan, Bank Indonesia
terpaksa memainkan fungsinya sebagai penjaga gawang terakhir : the lender of last resort.
Pinjaman kepada bank-bank dalam kesulitan, lebih dikenal sebagai : Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia ( BLBI), terpaksa di berikan dalam jumlah yang sangat besar sejak akhir
1997. Akibatnya, dari sisi moneter uang beredar meningkat tajam. Denga sangat rendahnya
kepercayaan kepada system moneter dan perbankan, tingginya peningkatan uang beredar
tersebutpula memberikan andil pada menguatnya tekanan terhadap nilai mata uang rupiah.
Nilai rupiah melemah tajam dan harga-harga meroket.

Pada tahun 1998, kebijakan moneter memasuki satu periode pengetatan terutama
untuk mencegah terjadinya hiperinflasi, yaitu dengan berupaya menghentikan semua bentuk
ekspansi moneter agar tidak terjadi kelebiahan likuiditas dalam perekonomian. Bank
Indonesia menerapkan kembali kebijakan moneter ketat yang sempat kehilangan kendalinya
ketika terpaksa harus menyalurkan pinjaman likuiditas besar-besaran kepada perbankan untuk
menghentikan rush.

A Tafsir Kerangka Kebijakan Moneter Dalam Uu No. 23 Tahun 99

Krisis moneter 1997/98 telah menuntut perubahan tatanan kelembagaan Bank


Indonesia menjadi bank sentral yang independen. Perubahan ini didasari pada munculnya
pendapat kuat yang mengatakan bahwa salah satu penyebab krisis adalah ketidak mampuan
Bank Indonesia bertindak objektif karena selama periode prakrisis kebijakan Bank Indonesia
selalu dianggap terkait dengan kepentingan politik pemerintah. Perubahan tatanan ini
diwujudkan pada penggantian Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, kebijakan moneter


memasuki suatu era baru dalam sejarah moneter di Indonesia. Bank Indonesia selain menjadi
lembaga independen juga mempunyai peran tunggal, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Dengan system nilai tukar mengambang, secara implisit tujuan
kebijakan moneter di Indonesia adalah menjaga kestabilan harga, dalam perkataan lain Bank
Indonesia mempunyai sasaran tunggal, yaitu inflasi. Sebagai implementasi dari Undang-
Undang baru tersebut. Pada awal tahun 2000 Bank Indonesia mulai mengumumkan target
inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter. Sejak saat itu, target inflasi merupakan
elemen penting dalam kebijakan moneter, terutama karena target tersebut diumumkan secara
eksplisit kepada public. Dengan demikian, penetapan sasaran inflasi menjadi sesuatu yang
mengikat dalam setiap perumusan kebijakan moneter Bank Indonesia.
Namun, apakah dengan demikian kerangka kerja kebijakan moneter Bank Indonesia
pasca UU No. 23 Tahun 1999 dapat dikategorikan sebagai inflation targeting framework
(ITF)? Apakah dengan penetapan target inflasi sebagai sasaran akhir dapat diartikan sebagai
suatu kerangka kebijakan dalam ITF? Untuk dapat menjawab ini, perlu kita pahami lebih
dahulu apan yang dimaksud dengan ITF, dan apa bedanya dengan penetapan dan
pengumuman sasaran inflasi.

Dalam praktiknya, target inflasi tidak menjadi satu-satunya anchor kebijakan moneter
dan komitmen untuk mencapai kestabilan harga. Karena masih tercampur dengan komitmen
untuk mencapai tujuan kebijakan yang lain. Dalam terminology yang menjadi popular akhir-
akhir ini, dikenal istilah inflation targeting lite (ITL) , yaitu penerapan ITF secara secara
parsial atau dikatakan ringan, dan istilah full-fledged inflation targettin (FFIT, yaitu
penerapan ITF dengan komitmen penuh. Kerangka kebijakan moneter seperti yang
dipraktikkan Bank Indonesia tersebut dapat dikategorikan sebagai ITL.

Penerapan ITF di berbagai negara , khususnya Negara berkembang seperti Indonesia,


mengundang pro dan kontra. Pihak yang pro mengatakan bahwa penerapan ITF menuntut
komitmen yang tinggi dari otoritas moneter untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan.
Tugas otoritas moneter menjadi focus. Sementara itu, pihak yang kontra mengatakan bahwa
penerapan ITF di Indonesia belum waktunya mengingat belum terpenuhinya beberapa
prakondisi yang diperlukan, yaitu posisi fiscal yang kuat, kestabilan makroekonomi, dan
pasar keuangan yang mapan.

Namun, pihak yang pro berpendapat bahwa pada hakikatnya prakondisi untuk ITF
berlaku juga bagi hamper semua kerangka kerja kebijakan moneter. Selain itu, pengalaman di
beberapa Negara menunjukkan bahwa keberadaan prakondisi tersebut tidak bersifat mutlak
pada saat awal penerapan ITF, dan penerapan ITF dapat dilakukan secara bertahap dari yang
lite ke full-fledged. Belum terpenuhinya beberapa prakondisi ITF dapat disikapi dengan
desain ITF yang fleksibel, namun dengan tetap mengedepankan kejelasan baik dalam hal
inflasi sebagai sasaran tunggal kebijakan moneter maupun dalam hal komit bank otoritas
moneter dalam merumuskan respons kebijakan yang diarahkan untuk mencapai inflasi yang
ditetapkan. Argumen penting disini adalah bahwa pilihan ITF yang fleksibel akan lebih
optimal daripada melaksanakan kebijakan moneter tanpa kejelasan kerangka kerja.

Dari sisi pengeloalaan moneter, krisi ekonomi dan moneter sesungguhnya melahirkan
suatu pemikiran ulang mengenai peran bank sentral yang seharusnya dalam perekonomian
pengalaman tersebut menunjukkan bahwa institusi bank sentral dengan segala keterbatasan
yang dimilikinya harus kembali kepada fungsi utamanya sebagai lembaga yang bertanggung
jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang dikeluarkan.

Terminologi kestabilan nilai rupiah paling tidak menimbulkan dua interpretasi.


Kestabilan secara internal, yaitu kestabilan harga atau kestabilan eksternal, yaitu kestabilan
nilai tukar. Pilihan atas kedua interpretasi yang berbeda tersebut mempunyai kerangka
implementasi yang berbeda dalam hal kerangka kebijakan moneter yang harus dilakukan
untuk mencapai sasaran kestabilan. Dalam mencapai sasarn kebijakan moneter sesuai dengan
interpretasi tersebut, Bank Indonesia dapat memilih baik target-target kuantitas (quantity
targettin) seperti jumlah uang beredar (M0, M1, atau M2), maupun target-target harga (price
targeting) seperti suku bunga (SBI, PUAB, deposito atau pinjaman).

Pasal-pasal maupun penjelasan pasal-pasal dalam UU No. 23 Tahun 1999, khususnya


yang menyangkut keharusan mengumumkan tingkat inflasi, lebih sesuai dengan interpretasi
pertama. Terminologi kestabilan rupiah dalam interpretasi yang pertama, yaitu kestabilan
harga yang diukur dengan tingkat inflasi, juga sejalan dengan alasan teoritis bahwa kestabilan
harga merupakan sasaran yang paling relevan bagi kebijakan moneter. Argumen lain adalah
bahwa dalam jangka panjang, pencapaian kestabilan harga dapat mengarahkan kestabilan
nialai tukar.

Dengan penekanan pada tujuan kestabilan harga, pertanyaan penting yang kemudian muncul
adalah kerangka kerja kebijakan moneter apa yang paling sesuai dengan UU No. 23 Tahun
1999? Keberadaan target inflasi yang diumumkan kepada publik dan penetapan sasaran
moneter yang diarahkan kepada pencapaian target inflasi tersebut sangat sesuai dengan
kerangka ITF. Dalam terminologi kebijakan moneter, sasaran inflasi dapat dianggap sebagai
overriding objective atau juga sebagai sasaran antara, sedangkan sasaran moneter (agregat
moneter atau suku bunga) sebagai operating target.

Fitur lain yang sangat penting dalam kerangka ITF seperti independensi, transparansi,
dan akuntabilitas juga mendapat porsi penting dalam UU No. 23 Tahun 1999. Berbeda
dengan UU No. 13 Tahun 1968 yang menempatkan Bank Indonesia sebagai pembantu
pemerintah dalam melaksanakan keputusan-keputusan yang ditetapkan Dewan Moneter,
dalam UU No. 23 Tahun 1999 ini Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga negara yang
independen yang bebeas dari campur tangan pihak lain termasuk pemerintah (Pasal 4).
Independensi ini ditegaskan pula dengan ketentuan bahwa pemerintah dan pihak lain di luar
Bank Indonesia dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas
Bank Indonesia. Bank Indonesia wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur
tangan tersebut apabila ada (Pasal 9). Pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban ini
diancam hukuman yang cukup berat, yaitu penjara minimal dua tahun maksimal lima tahun
dan denda minimal Rp2 miliar maksimal Rp5 miliar. Selain itu, juga dinyatakan bahwa Bank
Indonesia berada di luar pemerintahan (penjelasan Pasal 4 ayat 2).

Namun demikian, masih terdapat hal teknis yang perlu kejelasan dalam penerapan
kerangka ITF, yaitu keharusan untuk mengumumkan target besaran moneter sebagaimana
diatur dalam Pasal 58: Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat
secara terbuka... setiap tahun anggaran yang memuat: (a)...; (b) rencana kebijakan moneter
dan penetapan sarana-sarana moneter untuk tahun yang akan datang dengan
mempertimbangkan sasaran laju inflasi serta perkembangan kondisi ekonomi dan
keuangan. Pada umumnya bank sentral yang mengadopsi kerangka ITF, besaran moneter
yang digunakan sebagai target operasi tidak ditetapkan secara eksplisit di awal tahun,
melainkan diumumkan setiap selesai monetary policy meeting. Dengan begitu, target operasi
akan disesuaikan dengan tekanan inflasi yang dapat diidentifikasi pada saat itu karena target
operasi berfungsi sebagai representasi dari monetary policy reaction function.

A Kerangka Kebijakan Moneter Pasca-Uu No. 23/1999: Inflation Tergeting


Lite

Berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 memberi landasan hukum yang kuat bagi
penerapan suatu kerangka kebijakan moneter berdasarkan pendekatan ITF. Walaupun
demikian, undang-undang tidak mengamanatkan Bank Indonesia untuk mengadopsi suatu
kerangka kebijakan moneter berdasarkan ITF. Hal ini adalah pilihan Bank Indonesia sebagai
otoritas moneter. Apa yang diamanatkan oleh undang-undang adalah bahwa Bank Indonesia
mengumumkan sasaran inflasi setahun ke depan. Sasaran inflasi oleh Undang-Undang No. 23
Tahun 1999 ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang kemudian diubah melalui amandemen
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 di mana penetapan sasaran inflasi dilakukan oleh
pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.

Inflation Targeting atau Base Money Targeting


Segera setelah UU No. 23 Tahun 1999 diberlakukan, Bank Indonesia mengumumkan
target inflasi dengan kurun waktu setahun ke depan. Dalam implementasi kebijakan moneter
yang diambil, Bank Indonesia masih terus menggunakan uang primer atau base money
sebagai target operasional, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya. Pengecualian terjadi
pada tahun 2002, di mana uang primer tidak ditargetkan secara eksplisit, dan sebagai gantinya
digunakan target suku bunga riil. Namun, kerangka kebijakan moneter dengan
mengumumkan dua target secara eksplisit mempunyai masalah mendasar. Dalam hal ini,
menjadi tidak lazim apa yang dilakukan Bank Indonesia dengan mengumumkan kedua target
tersebut pada saat yang sama di awal tahun. Pada umumnya di negara yang mengadopsi
kerangka ITF, hanya target inflasi sja yang diumumkan secara eksplisit, sedangkan target
operasional diumukan setiap selesai rapat monetary board dengan memperhatikan berbagai
faktor yang memengaruhi tekanan pada inflasi.

Dengan mengumumkan target operasi di awal tahun, sesungguhnya kebijakan


moneter Bank Indonesia pada tahun berjalan akan terkendala sejak awal. Bank Indonesia
menjadi tidak bebas untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk merespons
perubahan berbagai faktor yang menyebabkan inflasi termasuk perkembangan di sektor
keuangan yang pada umumnya sangat dinamis. Sebaliknya, kerangka base money targeting
hanya mengumumkan target base money secara eksplisit, sedangkan inflasi digunakan
hanya sebagai asumsi yang mendasari perhitungan target base money, tidak perlu
diumumkan secara eksplisit sebagai sebuah target, apalagi dengan memasukkan kurun waktu
pencapaiannya.

Dengan demikian, penggunaan pendekatan ITF dan kerangka base money targeting
sebaiknya dilihat sebagai sebuah hubungan substitusi, ketimbang sebagai sebuah hubungan
komplementer. Dalam kaitan ini, debat tentang efektivitas penggunaan target operasi base
money versus suku bunga yang menjadi hanya akhir-akhir ini juga menjadi sulit diputuskan
sepanjang kerangka besar kebijakan moneter Bank Indonesia belum ditentukan secara jelas.
Peran base money sebagai sebuah kerangka moneter tentu akan sangat berbeda dengan
perannya sebagai target operasi dalam kerangka ITF.

Kelemahan fundamental lain dengan mengumumkan target inflasi dan base money
pada saat yang sama adalah bahwa secara implisit Bank Indonesia mengakui hubungan antara
base money dan inflasi adalah jenis hubungan yang one-to-one dan juga cenderung tidak
mempunyai tenggat waktu atau time lag kebijakan. Asumsi semacam itu jelas bertolak
belakang dengan kesimpulan umum dalam wacana kebijakan moneter mutakhir, di mana
hubungan besaran moneter dengan variabel riil menjadi semakin tidak stabil, dengan tenggat
waktu kebijakan adalah hal penting yang harus diantisipasi oleh setiap perumus kebujakan
moneter. Apabila asumsi implisit di atas pada kenyataannya tidak berlaku, kerangka formal
kebijakan moneter sesungguhnya menggunakan dua kerangka berbeda pada saat yang sama,
yaitu kerangka inflation targeting dan kerangka base money targeting.

Permasalahan lain yang lebih teknis muncul apabila kita mengevaluasi efektivitas
kebijakan moneter Bank Indonesia dalam menjaga target base money.

Kerangka Kebijakan Moneter dengan Banyak Anchor: Inflation Targeting Lite?

Selain kerancuan antara kerangka inflation targeting dengan base money targeting,
kerangka kebijakan moneter dalam praktiknya memiliki kompleksitas tambahan, di mana
dalam beberapa pernyataannya Bank Indonesia sering kali mengaitkan respons kebijakannya
dengan tujuan lain selain inflasi, misalnya untuk mengarahkan pada pencapaian nilai tukar
atau untuk mendukung proses pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, kerangka kebijakan
moneter Bank Indonesia dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang memiliki banyak anchor.

Contoh dari banyak anchor kebijakan tersebut dapat dilihat dalam petikan Laporan
Tahunan Bank Indonesia 2002 sebagai berikut: Kebijakan moneter selama 2002 diarahkan
pada upaya penyerapan ekses likuiditas perbankan dengan tetap memerhatikan
perkembangan suku bunga yang terjadi agar tetap dapat memberikan sinyal yang kondusif
bagi perbaikan sisi penawaran di sektor riil.... (halaman 9); dalam pelaksanaannya, strategi
ini dilakukan dengan terus melihat perkembangan inflasi, nilai tukar, uang primer, dan suku
bunga riil dari triwulan ke triwulan. (halaman 10).

Dari kutipan tersebut tampak jelas bahwa respons kebijakan moneter Bank Indonesia
memang tidakhanya dimaksudkan untuk pencapaian target inflasi. Memang bahwa bagi
negara berkembang perhatian atas variabel lain selain inflasi menjadi sangat relevan, namun
bagi negara berkembang yang menerapkan ITF, tujuan lain selain inflasi seharusnya menjadi
subordinat (lihat Mishkin 2003, dan Stone 2003). Urutan prioritas ituyang tampaknya belum
jelas benar dalam formulasi kebijakan moneter Bank Indonesia.

Permasalahan penting lain dalam kerangka kebijakan moneter Bank Indonesia pasca
UU No. 23 Tahun 1999 adalah konsistensi dalam desain target inflasi. Contoh pertama adalah
penggunaan target inflasi yang kerangka waktu pencapaiannya berada dalam tahun yang
sama. Desain tersebut secara implisit tidak mengakui keberadaan tenggat waktu dalam
kebijakan moneter. Dalam kerangka ITF, pilihan kerangka waktu yang sangat singkat tersebut
juga sesungguhnya menggambarkan pilihan kerangka kebijakan yang strict, di mana hampir
setiap shock harus direspons karena terbatasnya waktu yang tersedia. Secara implisit,
penggunaan kurun waktu yang sangat singkat tersebut menunjukkan bahwa elemen target
inflasi dalam perumusan kebijakan moneter Bank Indonesia memang tidak sepenuhnya
dimaksudkan sebagaimana seharusnya kerangka ITF karena penggunaan kerangka yang
strict menjadi tidak logis bagi perekonomian di negara berkembang yang memiliki
variabilitas inflasi yang tinggi.

Jika dilihat level dan jenis target inflasi yang diumumkan Bank Indonesia sejak tahun
2000, tampak juga bahwa desain target inflasi belum menggambarkan secara jelas proses
disinflasi yang seharusnya ada dalam tahap awal penerapan ITF. Pada tahun 2000 Bank
Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2000 berdasarkan kondisi fundamental
ekonomi dan yang secara langsung dipengaruhi oleh kebijakan moneter sebesar 3%-5%.
Sasaran laju inflasi tersebut belum memperhitungkan kenaikan-kenaikan harga sebagai
dampak dari rencana kebijakan pemerintah. Tahun 2001, targetnya adalah sasaran laju
inflasi tahun 2001 yang secara langsung dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter adalah
sebesar 4%-6%. Tahun 2002, targetnya sasaran laju inflasi IHK sebesar 9%-10% dengan
memerhatikan masih tingginya ekspektasi inflasi dan besarnya dampak kebijakan pemerintah
di bidang harga dan pendapatan. Terakhir, di tahun 2003: Bank Indonesia menetapkan
sasaran inflasi tahun 2003 sebesar 9% dengan deviasi sebesar 1%.

Dengan memerhatikan formulasi dari target inflasi di atas dapat dikatakan bahwa
target inflasi Bank Indonesia memang tidak sejak awal disusun dalam suatu proses yang
berkesinambungan, namun lebih terkesan ditetapkan dengan pertimbanganjangka pendek,
yaitu dengan melihat proyeksi inflasi 1 tahun ke depan. Desain seperti itu jelas menjadikan
target inflasi Bank Indonesia tidak terlalu kredibel di masyarakat. Bagi masyarakat pada
umumnya, keberadaan target inflasi Bank Indonesia tampak juga belum dapat dirasakan.
Bahkan, bagi praktisi ekonomi di pasar uang pun target inflasi Bank Indonesia tampaknya
belum diakui keberadaannya. Contoh kutipan berikut dari analisis ekonomi Standard
Chartered Bank (Country Report, Friday 28th February 2003) yang mengonfirmasi hal itu:
BI does not have inflation targets, but it gemerally aims to achieve the inflation rate
assumed by the government fpr its budgetarypolicy.
Dalam terminologi yang menjadi populer akhir-akhir ini, ketidakjelasan kerangka
kebijakan moneter seperti yang dipraktikkan Bank Indonesia dikategorikan sebagai inflation
targeting lite, untuk membedakannya dengan kerangka full-fledged inflation targeting
(Carare and Stone: 2003). Dalam makalah tersebut, Bank Indonesia dikelompokkan ke dalam
bank sentral without clear commitment, di mana kebijakan moneter Bank Indonesia dianggap
memiliki tiga anchor, yaitu inflasi, suku bunga riil, dan pertumbuhan base money.
B INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER

1 Rediscount Rate Policy

Rediscount Rate adalah kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral untuk
mengontrol jumlah uang yang beredar (JUB) dengan cara menaikan atau menurunkan tingkat
bunga dan atau tingkat diskonto. Yang dimaksud dengan tingkat diskonto di sini adalah
tingkat bunga yang di tetap kan oleh Bank Sentral kepada bank-bank umum terhadap
penjualan surat-surat berharga yang likuiditasnya tinggi. Akibat langsung dari naik-turun nya
tingkat diskonto akan mempengaruhi tingkat bunga pinjaman bank-bank umum kepada
masyarakat. Jika di suatu masa JUB di masyarakat terlalu banyak, maka Bank Sentral akan
menaikan discount rate-nya terhadap bank-bank umum untuk membatasi niat masyarakat
melakukan pinjaman, sehingga diharapkan JBU tidak bertambah lagi dan bahkan bisa di
tekan dengan masuknya dana yang dipinjam masyarakat ke bank. Sebaliknya jika suatu masa
dirasakan JBU terlalu sedikit, maka pemerintah melalui Bank Sentral akan melakukan
kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat bunga bank dan atau tingkat diskonto, dengan
harapan daya beli (purchase power) masyarakat bertambah dengan ada nya tingkat bunga
pinjaman yang rendah. Naik turun nya tingkat diskonto dan bunga, mempunyai implikasi
langsung terhadap kebijakan operasi pasar terbuka (open market policy)

2 Open Market Policy


Kebijakan ini di jalan kan oleh pemerintah dengan cara menjual atau membeli surat-
surat berharga seperti obligasi ke/ dari masyarakat melalui bank bank umum (commercial
bank). Penjualan surat-surat berharga seperti obligasi di lakukan oleh pemerintah jika di
masyarakat terjadi kelebihan jumlah uang beredarterutama dalam bentuk uang
giralyaitu, pada masa inflasi. Sebaliknya jika di masyarakat terjadi kekurangan jumlah
uang beredar atau pada masa resesi, pemerintah akan membeli kembali obligasi-obligasi yang
pernah di tawarkan ke masyarakat melalui bank-bank umum.

Mekanisme Oprasi Pasar Terbuka terhadap Bank-bank Umum

Proses oprasi pasar terbuka terhadap bank-bank umum di lakukan oleh pemerintah untuk
mengurangi atau menambah jumlah uang beredar, khusus nya pada jenis uang giral. Proses
ini sangat di pengaruhi oleh tingkat reserves requirement (RR)cadanga minimalyang di
tetapkan oleh pemerintah. Misalnya pada suatu kondisi, neraca gabungan bak-bank umum
berukut ini:

Neraca Gabungan Bank-bank Umum

(dalam milyaran rupiah)

RR 20 DD 100

ER 80

100 100

Catatan : RR = Reserves Requitmen

ER = Excess Reserves

DD = Demand Deposit

Jika misalnya pada masa itu pemerintah menetapkan tingkat RR =20%, maka
neraca gabungan diatas menunjukan bahwa cadangan minimal dari bank umum adalah
sebesar 20 milyar yang di dapat dari 20% x 100 milyarartinya cadangan minimal dari
gabungan bank-bank umum telah sesuai dengan tingkat RR yang di tetapkan. Seandainya
pada masa itu terjadi kelebihan JUB, maka pemerintah akan mengurangi JUB dengan cara
menawarkan surat-surat berharga ke bank-bank umum. Misalnya surat-surat berharga yang di
tawarkan oleh pemerintah senilai Rp 2 milyar seuanya akan dibeli oleh bank-bank umum.
Karena bank umum sama sekali tidak mempunyai kelebihan cadangan dana, maka satu-
satunya cara adalah membeli surat-surat berharga tersebut dengan mengambil dana dari
cadangan minimal nya.

Posisi cadangan bank setelah membeli surat-surat berharga sekarang menjadi Rp 18


milyaryaitu 20 milyar 2 milyar = 18 milyar, yang mengakibatkan rasio cadangan minimal
bank menjadi 18% (18/100x100%)artinya lebih kecil dari standar cadangan minimal yang
di tetapkan oleh pemerintah. Untuk meningkatkan besarnya rasio cadangan minimalnya, bank
harus menguragi pemberian pinjaman dan keperluan investasi lainnya. Untuk mencapai
tingkat RR = 20%, bank harus mengurangi tabungan giral nya sebesar Rp 10 milyar, yaitu
menjadi Rp 90 milyar. Sehingga posisi neraca gabungan bank-bank umum sekarang menjadi

Neraca Gabungan Bank-Bank Umum

(dalam milyar rupiah)

RR 18 DD 90

ER 72
90 90

Akibat langsung dari operasi pasar terbuka adalah berkurangnya jumlah uang
beredarkhususnya uang giraldengan perbandingan yang cukup menarik. Dalam kasus
diatas dapat kita lihat, dengan menjual surat-surat berharga senilai 2 milyar rupiah,
pemerintah dapat mengurangi jumlah uang beredar sebesar 10 milyar rupiah.

Seputar Kelemahan Operasi Pasar Terbuka

Jika kita simak penjelasan diatas, dapat ditemui beberapa kelemahan dari mekanisme operasi
pasar terbuka ini, yaitu:

1 Pada saat terjadi kelebihan cadangan minimaln bank-bank umum, dan


2 Karena terbatasnya pasar surat-surat berharga

Dampak dari kelebihan cadangan minimal bank-bank umum dapat mengakibatkan


tawaran pemerintah mengenai surat-surat berharga tidak lagi berarti terhadap
pengurangan/penambahan jumlah uang beredar. Sebagai contoh, dengan melihat kembali
neraca gabungan bank-bank umum seperti dibawah ini:

Neraca Gabungan Bank-Bank Umum


(dalam milyar rupiah)

RR 20 DD 100

ER 80

100 100

Jika tingkat RR pada waktu itu adalah 18%, maka dalam neraca itu menunjukan sudah
terjadi kelebihan dana cadangan minimal sebesar 2 milyarbesarnya cadangan dana minimal
(RR) seharusnya adalah 18% x 100 milyar = 18 milyar dan ER-nya adalah 82milyar. Jika
pemerintah dalam hal ini ingin mengurangi jumlah uang beredar dengan enjual surat-surat
berharga senilai 2 milyar rupiah, maka oleh bank-bank umum akan dibayarkan dari kelebihan
cadangan minimalnya, sehingga tujuan pemerintah untuk mengurangi jumlah uang beredar
tidak tercapai karena jumlah uang beredar tetap sebesar 100 milyar rupiah.

Demikia juga halnya, terbatasnya pasar surat-surat berharga di kebanyakan negara


berkembang dapat mengakibatkan operasi pasar terbuka tidak leluasa untuk mengontrol
jumlah uang beredar.

3 Reserves Requirement Policy

Kebijakan ini ditujukan bagi perbankan atau lembaga-lembaga keuangan bank yang
ada dibawah pengawasan Bank Sentral. Reserves Requirement Policy adalah kebijakan yang
mengatur besarnya tingkat cadangan minimak bank (legal reserves ratio), yang secara tidak
langsung juga mengatur besarnya kelebihan cadangan yang dapat disalurkan dalam bentuk
kredit ke masyarakat (excess reserves/ER). Pemerintah dapat mengontrol kelebihan JUB
dengan menaikan atau menurunkan tingkat RR-nya, karena semakin besar tingkat RR, akan
mengakibatkan cadangan yang dapat disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit (ER)
semakin kecil, sebaliknya semakin kecil tingkat RR akan mengakibatkan semakin besarnya
cadangan yang dapat disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit (ER). Kebijakan ini
mempunyai pengaruh langsung terhadap pelaksanaan kebijakan operasi pasar terbuka dan
kebijakan pengaturan tingkat bunga dan diskonto.
Cadangan minimal (RR) dan Ekspansi Kredit (ER)

Besarnya ekspansi kredit bank-bank umum sangat tergantung pada besarkecilnya


tingkat cadangan minimal(RR) yang ditetapkan Bank Sentral.Semakin besar tingkat RR akan
mengakibatkan semakin kecilnya ekspansi kredit. Demikian sebaliknya,semakin kecilnya
tingkat RR akan mengakibatkan semakin besarnya ekspansi kreditnya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa antara tingkat RR dan ekpansi kredit ada hubungan terbalik satu dengan
lainnya.Formula yang digunakan untuk menerangkan hubungan ini adalah:

EK = 1/1-ER) x PD

Di mana :

EK = Ekspansi Kredit

ER = Excess Reserves

PD = Primary Deposit

Contoh:

Misalnya, diketahui dana yang masuk dibank sebagai PD adalah sebesar 1 milyar rupiah, dan
RR sebesar 20%, berapakah ekspansi kredit akibat tambahan dana yang masuk tersebut?

EK = 1/(1-ER) x PD

= 1/RR x PD

= 1/0,2 x RP 1 milyar

= 5 milyar

Jadi dengan ada nya primary deposit sebesar 1 milyar rupiah, dapat mengakibatkan
penambahan jumlah uang beredar sebesar 5 milyar rupiah.

Seputar Proses Ekspansi Kredit


Bank A menerima setoran uang tunai dari nasabah X sebesar Rp 1 jutasetoran
ini disebut sebagai primary deposit. Jika pada masa itu ketentuan tentang tingkat cadangan
minimum (RR) sebesar 20%, maka neraca bank A akan terlihat

Neraca Bank A

Kas Rp. 1.000.000 DD Rp. 1.000.000

RR 20% = Rp. 200.000

ER = Rp. 800.000

Kelebihan cadangan (excess reserves) sebesar Rp 800.000 oleh Bank A dapat


disalurkan dalam bentu kredit ke masyarakat. Misalnya kredit dari Bank A di manfaatkan
oleh Dodo untuk membeli kulkas di Toko ABC, kemudian oelh toko ABC uang tersebut
dimasukan ke bank nya, yaitu bank B, sehingga neraca bank B adalah sebagai berikut:

Neraca Bank B

Kas Rp. 800.000 DD Rp. 800.000

RR 20% = Rp. 160.000

ER = Rp. 640.000

Demikian seterusnya, kelebihan cadangan dana bank (bank ascess reserves) akan
terus berputar sampai pada akhirnya jumlah uang yang beredar di masyarakat bertambah
menjadi:

Pertambahan JUB = Rp 1.000.000 = (ER x Rp 1.000.000) + (ER2 x Rp 1.000.000) + (ER3


x Rp 1.000.000) + dst., yanga hasilnya jika dilanjutakan perhitungannya adalah sama dengan
Rp 5.000.000.

4 Himbauan Moral (Moral Persuasion)


Himbauan Moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang
beredardengan jalan member imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti
mengimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit
untuk mengurangi jumlah uang beredar dan mengimbau agar bank meminjam uang
lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

C ALASAN MEMILIKI UANG

Untuk melengkapi apa yang sudah dibahas dimuka, maka berikut ini akan diuaraikan
beberapa alasan memiliki uang dilihat dari fungsi uang, sebagai berikut;

1 Fungsi uang yang paling pertama (basic function) adalah sebagai alat tukar
(means of exchange) dan sebagai satuan hitung (unit of account).
2 Fungsi tambahan (derivative function) uang adalah sebagai penimbun kekayaan
(store of value) dan sebagai alat pembayaran yang di tangguhkan pada masa depan
(standard for deferred payments).
3 Fungsi tambahan lainnya adalah sebagai komoditas.

Anda mungkin juga menyukai