Anda di halaman 1dari 13

GAMBARAN GANGGUAN IDENTITAS GENDER

PADA LAKI-LAKI SUKU ASMAT

Diajukan sebagai Tugas Akhir pada


Ujian Akhir Semester (UAS) pada mata kuliah
Metodologi Penelitian Kualitatif

Oleh:
Wahyu Puji Astuti
1602010059

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
2014
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini pembahasan mengenai gender telah banyak berkembang di
kalangan masyarakat. Pembahasan mengenai gender sendiri berangkat dari budaya
awal terbentuknya konsep gender yang berdasarkan pada wilayah Barat. Banyaknya
konsep yang diusung tentang gender bertujuan untuk membantu masyarakat untuk
memahami tentang makna gender yang sesungguhnya turut. Namun, pembahasan
mengenai gender yang saat ini dipahami ternyata tak cukup untuk menggambarkan
tentang makna dari gender yang sesungguhnya. Hal yang perlu disadari bahwa konsep
tentang gender serta identitas gender ini sangat sensitif dengan kondisi sosial budaya.
Lebih lanjut dimana pengertian mengenai gender dan identitas gender bergantung
pada konteks sosial budaya masing-masing wilayah. Makna gender dan identitas
gender yang kita pahami saat ini hanya melihat dari konteks budaya barat yang
diberlakukan untuk semua individu di berbagai budaya.
Penelitian konsep gender dalam wilayah Timur muncul sebagai salah satu
bentuk ketidaksepakatan atas dikotomi Barat yang tidak bisa sepenuhnya di terima
dalam budaya lain (Marastuti, 2012). Budaya bervariasi dalam mendefinisikan
tentang peran gender dan menunjukkan berbagai tingkat toleransi untuk perilaku
atipikal gender dan perubahan gender. Hal ini menunjukkan bahwa budaya ikut
berperan penting dalam mengkonstruk makna gender serta identitas gender. Setiap
budaya memiliki makna gendernya sendiri yang tidak dapat diberlakukan pada
budaya lain karena setiap budaya memiliki nilai-nilai tradisi yang berbeda.
Pemahaman tentang konteks budaya sangat penting dalam penilaian klinis
perkembangan gender yang khas dan menantang model-model terbaru dari seks dan
gender (Newman, 2002)
Berdasarkan tingkat rujukan klinik, gangguan identitas gender enam kali lebih
banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Zucker bradley &
Sanikhani, 1997 dalam Davidson et al, 2010).
Berdasarkan pada pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pemahaman mengenai makna gender dan identitas gender tidak dapat terlepas dari
konteks sosial budaya yang ada di sekitarnya. Hal ini juga mendorong dalam
penilaian klinis dan abnormalitas khususnya terkait identitas gender yang tidak dapat
mengesampingkan konteks budaya dalam hal ini khususnya pada budaya Suku Asmat
maka penulis tertarik untuk meneliti Gambaran Gangguan Identitas Gender Pada
Laki-Laki Suku Asmat.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran gangguan identitas gender
pada laki-laki Suku Asmat Papua.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Pertanyaan penelitian ini adalah Bagaimana gambaran gangguan identitas gender
pada laki-laki suku Asmat Papua?

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
a) Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan kontribusi
pemikiran serta bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya terkait tema
serupa.
b) Dapat menjadi salah satu sumbangan pengetahuan dalam ilmu psikologi
khususnya dalam ranah psikologi abnormal, psikologi kepribadian serta
psikologi lintas budaya.

1.4.2 Manfaat Praktis


a) Memberikan wawasan luas kepada masyarakat mengenai konsep gender,
identitas gender serta indikasi gangguan identitas gender yang ada di suku
asmat.
b) Memudarkan stigma-stigma negatif yang berkembang di masyarakat
tentang Suku Asmat Papua khususnya yang berkaitan tentang gender.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gender
Istilah gender berbeda dengan pengertian jenis kelamin yang biasa dikenal
dengan laki-laki dan perempuan. Gender memuat perbedaan fungsi dan peran sosial
antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk dari lingkungan sekitar tempat
manusia berada (William, 2006). Sedangkan gender menurut Fakih (dalam
Dermatoto, 2010) adalah pemilahan peran, fungsi, kedudukan, tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan yang berfungsi untuk mengklasifikasikan perbedaan peran
yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat, dan bersifat tidak tetap
serta bisa dipertukarkan antar keduanya.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi
melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi
sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan (Marzuki, 2011). Oleh
karena Gender tercipta melalui proses sosial budaya yang panjang dalam
suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu
tempat ke tempat lainnya (William, 2006). Gender juga berubah dari waktu ke
waktu sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya (William,
2006).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa gender merupakan
perbedaan fungsi serta peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang
didasarkan bukan pada perbedaan jenis kelamin melainkan pada proses, bentuk serta
nilai suatu sosial budaya masyarakat dan dapat berkembang dari waktu ke waktu.

2.2 Identitas Gender


Identitas gender (gender identity) adalah bagaimana seseorang merasa bahwa
ia adalah pria atau wanita. Identitas gender secara normal berdasarkan pada anatomi
gender (Jeffrey, Rathus & Greene, 2003).

2.3 Gangguan Identitas Gender


Gangguan Identitas Gender: Konflik antara anatomi gender seseorang dengan
identitas gendernya (Jeffrey et al, 2003)
Ciri orang yang mengalami gangguan identitas gender menurut PPDGJ III:
a. Memiliki hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok
lawan jenisnya.
b. Memiliki perasaan tidak enak atau tidak sesuai dengan anatomi seksualnya.
c. Menginginkan untuk memperoleh terapi hormonal dan pembedahan untuk
membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.

2.4 Suku Asmat

Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di
antara sekian banyak suku yang ada di Papua. Salah satu hal yang membuat suku
asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Budaya
suku Asmat dengan ukiran dan souvenir dari Asmat terkenal hingga ke mancanegara.
Ukiran asmat mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing:

1. Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;

2. Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;

3. Sebagai suatu lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan

dan benda-benda lain;

4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang.

Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Asmat dapat dibagi ke dalam dua
kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya
tersendiri. Dua tipe tersebut yaitu:
1. Penduduk pesisir pantai
Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan
meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi
dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.
2. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah
Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu
dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok
kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan
payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu
mencurigai pendatang baru.
Makanan pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka makan
sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain
adalah makan ulat sagu yang hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus
dengan daun nipah,ditaburi sagu,dan dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan
ikan bakar dijadikan pelengkap. Namun demikian yang memprihatinkan adalah
masalah sumber air bersih. Air tanah sulit didapat karena wilayah yang merupakan
tanah berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari.
Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25
meter.Sampai sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke
Asmat Pedalaman. Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun rumah
tinggal diatas pohon. JEW atau JE (rumah bujang/rumah panjang) yang
merupakan tempat untuk membicarakan program pembangunan kampung, pesta
budaya, perkawinan dimana seluruh elemen masyarakat hadir untuk membicarakan,
menyepakati dan memutuskannya. Azas demokrasi dalam kehidupan asyarakat asmat
masih sangat kuat dan dipertahankan. JEW/JE merupakan tempat tinggal bagi kaum
muda laki-laki dan kaum tua-tua sebagai tempat untuk belajar menjalankan
kehidupan sehari-hari serta tempat belajar budaya, ukiran dan norma-norma adat.

Pesta Budaya seperti pesta patung, pesta topeng, pesta perahu dan pesta ulat
sagu masih rutin dirayakan oleh masyarakat dan biasanya pada bulan Oktober dan
dilakukan secara besar-besaran. Pesta Patung Bis (Bispokombi) yaitu pesta mengukir
patung Bis yang dilakukan bersama-sama di JEW atau JE bersamaan dengan pesta
ulat sagu. Pesta ini lebih bermakna sebagai tradisi pembinaan generasi muda menuju
kedewasaan dan pengajaran menjadi manusia Asmat (Asmat Ipits/Caut). Budaya
leluhur suku Asmat mewariskan suatu pengertian bahwa dunia ini terdiri dari tiga
lapis yaitu Asmat ow Capinmi (alam kehidupan sekarang); Dampu ow Capinmi
(alam persinggahan roh yang sudah meninggal); dan Safar (surga). Dari
pengertian ini diyakini bahwa agar roh seseorang masuk ke dalam surga maka
keluarganya harus mengukir patung dan melakukan pesta/ritual.
BAB
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang menekankan pada makna dari suatu peristiwa atau
perilaku dan mencoba memahami kualitas pengalaman seseorang pada kondisi
tertentu (Willig, 2008).

3.2 Karakteristik Partisipan


Partisipan dalam penelitian ini berjumlah satu orang dengan karakteristik yaitu
seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta Jakarta yang berasal dari
Suku Asmat Papua, berjenis kelamin laki-laki, sudah merantau di Jakarta selama 2
tahun dan aktif di berbagai kegiatan.

3.3 Teknik Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik sampling insidental. Sampling insidental merupakan teknik penentuan sampel
berdasarkan kebetulan yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti
dapat digunakan sebagai sampel apabila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu
cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2011).

3.4 Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah single case
studies dan descriptive case studies yaitu dimana meneliti secara mendalam pada satu
orang partisipan penelitian dan mencoba memberikan deskripsi secara rinci suatu
fenomena terjadi berdasarkan konteksnya (Willig, 2008).

3.5 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan datanya yaitu melalui wawancara semi terstruktur.
Wawancara semi terstruktur adalah teknik wawancara yang bersifat tidak langsung
(non directive) yaitu dimana berisi pertanyaan terbuka yang tidak berstruktur kaku
dan menuntut penjelasan jawaban yang luas serta mendalam (Parker, 2005).
3.6 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan melalui beberapa tahapan yaitu:

1. Menentukan topik masalah yang akan diteliti

2. Melakukan studi kepustakan untuk mendapatkan fenomena serta landasan


teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti

3. Menentukan teknik pengambilan data

4. Merumuskan pertanyaan wawancara

5. Mencari partisipan penelitian

6. Menetapkan jadwal penelitian

7. Melaksanakan pengambilan data

8. Pengolahan data

9. Melakukan analisa data, hasil dan pembahasan

10. Membuat kesimpulan penelitian

11. Membuat laporan penelitian

3.7 Teknik Analisis Data


Teknik analisa data menggunakan teknik analisa categorizing methods dan
contextualizing method. Categorizing methods adalah proses kategorisasi data dengan
mengidentifikasi tema-tema yang muncul dari transkrip dengan konsep open coding
yaitu bebas dari konteks dan konsep psikologi. Sedangkan contextualizing methods
adalah proses pengkategorisasian dari data transkrip menuju pada tema-tema yang
muncul dengan memasukkan konsep-konsep serta konteks ilmu psikologi yang
dijadikan acuan.

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan dari hasil sumber data yaitu wawancara dengan partisipan
penelitian didapatkan beberapa hasil diantaranya yaitu masyarakat Asmat memiliki
konsep sendiri mengenai identitas gendernya baik itu gender pria maupun gender
wanitanya. Beberapa gender tersebut tergambar pada aktivitas yang dilakukan sehari-
hari seperti gender untuk pria berikut ini:

iya jadi kalo yang laki-laki bekerja keluar rumah dari pagi sampai sore

ada berburu cari daging kalau jaman dulu. Kalo sekarang ada tanam sayur-
sayuran, memahat kayu seperti ini, dan masih banyak lainnya

Hal serupa juga berlaku bagi gender wanita seperti berikut:

kalo cewek dia juga bekerja pergi mencari makan yaitu mencari ikan abis itu
dia belah kayu bakar untuk masak, beres-beres rumah, masak, dan mengayam
daket (sejenis rok rumbai yang dipakai wanita asmat), dan membuat bini
(kaus) menggunakan samsor

Beberapa aktivitas yang diceritakan tersebut merupakan salah satu identifikasi


gender masing-masing. Selain itu ada pembatasan tegas antara gender bagi pria dan
gender bagi wanita walaupun hal tersebut bersifat pekerjaan seperti tergambar pada
penjelasan dari partisipan penelitian berikut ini:
Peneliti: kalo yang wanita nya mahat juga mas?
Partisipan: ndak..kalo yang wanitanya dia menganyam daket sperti ini, tas
dan anyir.
Peneliti: jadi yang mahat kayu itu laki-laki nya aja?
Partisipan: Iya yang laki-laki saja, yang wanitanya menganyam dan
menjahit. Buat daket dan daket ini hanya wanitanya yang bisa buat.

Berdasarkan pada penjelasan partisipan diatas terlihat bahwa adanya


pembatasan gender atau peran sosial bagi pria dan wanita yang berasal dari konteks
budaya khususnya budaya Asmat. Hal tersebut juga mendukung pernyataan yang
diajukan oleh William (2006) bahwa Gender tercipta melalui proses sosial
budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat tertentu. Gender
tersebut bisa berkembang menjadi identitas gender bagi masyarakat suku Asmat.
Gender teridentifikasi melalui aktivitas yang dilakukan oleh individu tersebut.
Selain itu gender yang dilekatkan pada masing-masing individu juga terbentuk
karena adanya hukum adat yang tidak tertulis berlaku di masyarakat asmat seperti
yang dijelaskan melalui kalimat dari partisipan berikut ini:

Oh, kalo di dalam rumah saja? Nanti kata orang dulu orang tua nya buang
ludah jadi meludahi gitu dan bilang bau busuk kalau sudah begitu nanti lama-
kelamaan dia kerja

Iya, laki-laki yang tidak bekerja keluar rumah dan hanya di dalam rumah
saja dibilang bau busuk biar nanti lama-kelamaan dia gak betah dan keluar
rumah untuk kerja

Walaupun memiliki norma adat yang cukup tegas mengenai gendernya, tiap
gender memiliki tanggung jawab yang setara seperti pengakuan dari partisipan bahwa:

Tanggung jawab cowok dan cewek nya sama-sama berat kalo yang cowok
harus bekerja ya membuat patung, dan lainnya dari pagi sampai sore. Kalo
yang ceweknya dari cari ikan untuk makan, cari kayu bakar dan belah kayu
bakar untuk masak, nimba air dan kalo bekerja selain itu juga kadang jahit
daket dan jahit bini pake samsor

Berdasarkan pada beberapa penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa gender


dikonstruk oleh konteks budaya dan lingkungan tenpat individu berada hal inilah yang
nantinya akan berkembang menjadi identitas gender yang akan diidentifikasi oleh
masing-masing individu. Seperti contoh bahwa pria yang dipandang sebagai pria
hebat oleh masyarakat Asmat adalah pria yang mampu menjalankan dengan baik
peran gender sesuai dengan tuntutan budaya Asmat.

dia tau bekerja, tau memahat, tau berau. Berau itu ya ini utk alat hias di
muka ini seperti ini.. lalu dia tau budaya-budaya di sana, tau cara bantu
orangtua. Laki-laki yang seperti itu yang dibilang laki-laki hebat!
Selain itu, terlihat bahwa masyarakat Asmat memandang bahwa
penyimpangan gender terjadi ketika seseorang tak melakukan perannya sebagaimana
mestinya yang ada di masyarakat tersebut.

BAB 5
PENUTUP
5.1 DISKUSI
Pada penelitian ini belum dapat menggambarkan secara mendalam mengenai
gambaran dari gangguan identitas gender itu sendiri sehingga apa yang dipaparkan
dalam laporan penelitian masih berupa deskriptif ataupun penjabaran mengenai
konsep peran pria dan wanita pada masyarakat suku Asmat. Berdasarkan penelitian ini
terlihat bahwa gender dapat dihasilkan dan dibentuk oleh nilai-nilai, keyakinan serta
konteks budaya sehingga makna gender menjadi lebih bervariasi dan juga spesifik
bagi tiap daerah bergantung pada nilai budaya yang berlaku di masing-masing
daerahnya.
Berangkat dari hal tersebut kenyataan ini menyadarkan bahwa gender tak
bermakna sempit dan memiliki makna yang spesifik. Tiap daerah memiliki pengertian
dan pemaknaan yang berbeda mengenai gender itu sendiri serta tidak dapat
dibandingkan atau disamaratakan agar makna gender tak terdistorsi.

5.2 KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Gender dapat dihasilkan dari nilai, aturan serta konteks sosial budaya yang
berlaku pada masing-masing wilayah
2. Gender dapat berkembang menjadi identitas gender pada diri individu
3. Budaya ikut mengkonstruksi makna gender sehingga penggunaannya tak dapat
digeneralisir pada semua budaya
4. Nilai penyimpangan gender bergantung pada norma dan konteks budaya yang
berlaku

5.3 SARAN
Penelitian ini masih belum cukup mendalam untuk membahas mengenai
gambaran gangguan identitas gender pada laki-laki suku Asmat. Saran dari peneliti
diperlukan penggalian yang lebih mendalam serta keterlibatan significant other agar
data yang didapat menjadi lebih akurat dan objektif.

DAFTAR PUSTAKA
Davison, Gerald C., Neale, John M., Kring, Ann M. (2010). Psikologi Abnormal: Edisi ke-9.
Jakarta: Rajawali Pers.

Esterlitha, Krista Martha. (2013). Dilema Pengungkapan Identitas gender Wanita


Transeksual, Kajian Fenomenologi Wanita Transeksual di Surabaya. Surabaya:
Universitas Airlangga.

Jefrey, Nevid., Spencer, Rathus., Greene, Beverly. (2003). Psikologi Abnormal Edisi Kelima.
Jakarta: Erlangga.

Marastuti, Ariana.(2012).Studi Eksplorasi Konsep Maskulinitas dan Feminitas Lintas


Generasi dalam Proses Budaya Jawa. Riset Psikologi Klinis.

Newman, L. K. (2002). Sex, gender, and culture: Issues in the definition, assessment, and
treatment of gender identity disorder. Clinical Child Psychology and Psychiatry, 7,
1359-1045.

Parker, Ian. (2005). Qualitative psychology: Introducing Radical Research. New York: Open
University Press.

Willig. Carla. (2008). Introducing Qualitative Research in Psychology Second Edition. New
York: Open University Press

Portal Indonesia : http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-papua/sosial-


budaya

Portal Indonesia: http://www.indonesia.go.id/in/provinsi-papua-barat/sosial-budaya/6020-


keadaan-sosial-budaya

Anda mungkin juga menyukai