Oleh:
Wahyu Puji Astuti
1602010059
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gender
Istilah gender berbeda dengan pengertian jenis kelamin yang biasa dikenal
dengan laki-laki dan perempuan. Gender memuat perbedaan fungsi dan peran sosial
antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk dari lingkungan sekitar tempat
manusia berada (William, 2006). Sedangkan gender menurut Fakih (dalam
Dermatoto, 2010) adalah pemilahan peran, fungsi, kedudukan, tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan yang berfungsi untuk mengklasifikasikan perbedaan peran
yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat, dan bersifat tidak tetap
serta bisa dipertukarkan antar keduanya.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi
melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi
sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan (Marzuki, 2011). Oleh
karena Gender tercipta melalui proses sosial budaya yang panjang dalam
suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu
tempat ke tempat lainnya (William, 2006). Gender juga berubah dari waktu ke
waktu sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya (William,
2006).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa gender merupakan
perbedaan fungsi serta peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang
didasarkan bukan pada perbedaan jenis kelamin melainkan pada proses, bentuk serta
nilai suatu sosial budaya masyarakat dan dapat berkembang dari waktu ke waktu.
Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di
antara sekian banyak suku yang ada di Papua. Salah satu hal yang membuat suku
asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Budaya
suku Asmat dengan ukiran dan souvenir dari Asmat terkenal hingga ke mancanegara.
Ukiran asmat mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing:
Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Asmat dapat dibagi ke dalam dua
kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya
tersendiri. Dua tipe tersebut yaitu:
1. Penduduk pesisir pantai
Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan
meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi
dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.
2. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah
Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu
dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok
kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan
payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu
mencurigai pendatang baru.
Makanan pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka makan
sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain
adalah makan ulat sagu yang hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus
dengan daun nipah,ditaburi sagu,dan dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan
ikan bakar dijadikan pelengkap. Namun demikian yang memprihatinkan adalah
masalah sumber air bersih. Air tanah sulit didapat karena wilayah yang merupakan
tanah berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari.
Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25
meter.Sampai sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke
Asmat Pedalaman. Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun rumah
tinggal diatas pohon. JEW atau JE (rumah bujang/rumah panjang) yang
merupakan tempat untuk membicarakan program pembangunan kampung, pesta
budaya, perkawinan dimana seluruh elemen masyarakat hadir untuk membicarakan,
menyepakati dan memutuskannya. Azas demokrasi dalam kehidupan asyarakat asmat
masih sangat kuat dan dipertahankan. JEW/JE merupakan tempat tinggal bagi kaum
muda laki-laki dan kaum tua-tua sebagai tempat untuk belajar menjalankan
kehidupan sehari-hari serta tempat belajar budaya, ukiran dan norma-norma adat.
Pesta Budaya seperti pesta patung, pesta topeng, pesta perahu dan pesta ulat
sagu masih rutin dirayakan oleh masyarakat dan biasanya pada bulan Oktober dan
dilakukan secara besar-besaran. Pesta Patung Bis (Bispokombi) yaitu pesta mengukir
patung Bis yang dilakukan bersama-sama di JEW atau JE bersamaan dengan pesta
ulat sagu. Pesta ini lebih bermakna sebagai tradisi pembinaan generasi muda menuju
kedewasaan dan pengajaran menjadi manusia Asmat (Asmat Ipits/Caut). Budaya
leluhur suku Asmat mewariskan suatu pengertian bahwa dunia ini terdiri dari tiga
lapis yaitu Asmat ow Capinmi (alam kehidupan sekarang); Dampu ow Capinmi
(alam persinggahan roh yang sudah meninggal); dan Safar (surga). Dari
pengertian ini diyakini bahwa agar roh seseorang masuk ke dalam surga maka
keluarganya harus mengukir patung dan melakukan pesta/ritual.
BAB
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang menekankan pada makna dari suatu peristiwa atau
perilaku dan mencoba memahami kualitas pengalaman seseorang pada kondisi
tertentu (Willig, 2008).
8. Pengolahan data
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan dari hasil sumber data yaitu wawancara dengan partisipan
penelitian didapatkan beberapa hasil diantaranya yaitu masyarakat Asmat memiliki
konsep sendiri mengenai identitas gendernya baik itu gender pria maupun gender
wanitanya. Beberapa gender tersebut tergambar pada aktivitas yang dilakukan sehari-
hari seperti gender untuk pria berikut ini:
iya jadi kalo yang laki-laki bekerja keluar rumah dari pagi sampai sore
ada berburu cari daging kalau jaman dulu. Kalo sekarang ada tanam sayur-
sayuran, memahat kayu seperti ini, dan masih banyak lainnya
kalo cewek dia juga bekerja pergi mencari makan yaitu mencari ikan abis itu
dia belah kayu bakar untuk masak, beres-beres rumah, masak, dan mengayam
daket (sejenis rok rumbai yang dipakai wanita asmat), dan membuat bini
(kaus) menggunakan samsor
Oh, kalo di dalam rumah saja? Nanti kata orang dulu orang tua nya buang
ludah jadi meludahi gitu dan bilang bau busuk kalau sudah begitu nanti lama-
kelamaan dia kerja
Iya, laki-laki yang tidak bekerja keluar rumah dan hanya di dalam rumah
saja dibilang bau busuk biar nanti lama-kelamaan dia gak betah dan keluar
rumah untuk kerja
Walaupun memiliki norma adat yang cukup tegas mengenai gendernya, tiap
gender memiliki tanggung jawab yang setara seperti pengakuan dari partisipan bahwa:
Tanggung jawab cowok dan cewek nya sama-sama berat kalo yang cowok
harus bekerja ya membuat patung, dan lainnya dari pagi sampai sore. Kalo
yang ceweknya dari cari ikan untuk makan, cari kayu bakar dan belah kayu
bakar untuk masak, nimba air dan kalo bekerja selain itu juga kadang jahit
daket dan jahit bini pake samsor
dia tau bekerja, tau memahat, tau berau. Berau itu ya ini utk alat hias di
muka ini seperti ini.. lalu dia tau budaya-budaya di sana, tau cara bantu
orangtua. Laki-laki yang seperti itu yang dibilang laki-laki hebat!
Selain itu, terlihat bahwa masyarakat Asmat memandang bahwa
penyimpangan gender terjadi ketika seseorang tak melakukan perannya sebagaimana
mestinya yang ada di masyarakat tersebut.
BAB 5
PENUTUP
5.1 DISKUSI
Pada penelitian ini belum dapat menggambarkan secara mendalam mengenai
gambaran dari gangguan identitas gender itu sendiri sehingga apa yang dipaparkan
dalam laporan penelitian masih berupa deskriptif ataupun penjabaran mengenai
konsep peran pria dan wanita pada masyarakat suku Asmat. Berdasarkan penelitian ini
terlihat bahwa gender dapat dihasilkan dan dibentuk oleh nilai-nilai, keyakinan serta
konteks budaya sehingga makna gender menjadi lebih bervariasi dan juga spesifik
bagi tiap daerah bergantung pada nilai budaya yang berlaku di masing-masing
daerahnya.
Berangkat dari hal tersebut kenyataan ini menyadarkan bahwa gender tak
bermakna sempit dan memiliki makna yang spesifik. Tiap daerah memiliki pengertian
dan pemaknaan yang berbeda mengenai gender itu sendiri serta tidak dapat
dibandingkan atau disamaratakan agar makna gender tak terdistorsi.
5.2 KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Gender dapat dihasilkan dari nilai, aturan serta konteks sosial budaya yang
berlaku pada masing-masing wilayah
2. Gender dapat berkembang menjadi identitas gender pada diri individu
3. Budaya ikut mengkonstruksi makna gender sehingga penggunaannya tak dapat
digeneralisir pada semua budaya
4. Nilai penyimpangan gender bergantung pada norma dan konteks budaya yang
berlaku
5.3 SARAN
Penelitian ini masih belum cukup mendalam untuk membahas mengenai
gambaran gangguan identitas gender pada laki-laki suku Asmat. Saran dari peneliti
diperlukan penggalian yang lebih mendalam serta keterlibatan significant other agar
data yang didapat menjadi lebih akurat dan objektif.
DAFTAR PUSTAKA
Davison, Gerald C., Neale, John M., Kring, Ann M. (2010). Psikologi Abnormal: Edisi ke-9.
Jakarta: Rajawali Pers.
Jefrey, Nevid., Spencer, Rathus., Greene, Beverly. (2003). Psikologi Abnormal Edisi Kelima.
Jakarta: Erlangga.
Newman, L. K. (2002). Sex, gender, and culture: Issues in the definition, assessment, and
treatment of gender identity disorder. Clinical Child Psychology and Psychiatry, 7,
1359-1045.
Parker, Ian. (2005). Qualitative psychology: Introducing Radical Research. New York: Open
University Press.
Willig. Carla. (2008). Introducing Qualitative Research in Psychology Second Edition. New
York: Open University Press