MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Kapita Selekta Matematika Sekolah
Yang dibina oleh Bapak Dr. Swasono Rahardjo,M.Si.
Oleh
Yulia Aviatus Sholihah
160311800739
Problem posing matematika adalah generasi dari masalah matematika yang sama
baiknya dengan yang telah ada. Bab ini fokus pada proses problem posing yang
melibatkan siswa sekolah dasar. Proses ini memuat (a) posing primitive, (b)
mengajukan masalah yang berkaitan, (c) membangun arti dari operasi matematika,
(d) berkaitan dengan metakognisi, dan (e) menghubungkan pengalaman
seseorang. Pada bab ini diberikan dan diilustrasikan contoh penggunaan problem
posing sebelum, selama dan sesudah penggunaan poblem solving. Penggunaan
problem posing untuk tujuan pembelajaran yang bervariasi seperti
mengembangkan konsep, untuk latihan dan praktek, untuk problem solving, untuk
menilai pemahaman, dan untuk menyediakan pengajaran yang berbeda
dideskripsikan dan diilustrasikan menggunakan kasus dari sekolah Singapura.
1. Pendahuluan
Pada bagian pertama di bab ini, beberapa penelitian pada problem posing
matematika disajikan. Khususnya deskripsi dari penelitian pada hubungan antara
problem solving dan problem posing. Deskripsi penemuan dari satu penelitian di
murid Singapura yang berfokus pada proses problem posing disajikan. Pada
bagian kedua dari bab ini, dideskribsikan perbedaan aturan dari tugas problem
posing di kelas.
Kilpatrick (1987) menyetujui bahwa salah satu dari proses kognitif dasar
terlibat dalam problem posing matematika saling berkaitan, yang disetujui pada
penelitian Silver dan Cai (1996). Inograd (1990) menemukan bahwa banyak
siswa yang membuat dan memilih informasi dari pengalaman mereka atau
lingkungan fisik langsung ketika mereka mengajukan masalah. Penelitian terbaru,
Christou, Mousoulides, Pittalis, Pantazi dan Sriraman (2005) meneliti kelas 6
untuk memahami proses yang siswa gunakan selama problem posing matematika.
Diantaranya, ditemukan bahwa siswa terlibat dalam pemilihan informasi
kuantitatif selama problem posing.
Pada penelitian siswa Singapura kelas 3 dan kelas 5 mengajukan soal cerita
aritmatika, ditemukan bahwa siswa sekolah dasar berkaitan dengan 5 kategori
dari proses problem posing (Yeap, 2002). Kategori tersebut yaitu :
1. Posing Promitives
2. Mengajukan masalah yang berkaitan
3. Membangun makna untuk operasi matematika
4. Keterlibatan di metakognisi
5. Menghubungkan ke pengalaman seseorang
Ada 4 jenis respon siswa (lihat Tabel 1). Banyak siswa yang mengajukan
pertanyaan untuk menyebutkan jumlah laki-laki di 2 kelas. Respon di Kategori A
umum seperti pada Kategori B, dimana siswa mengajukan pertanyaan untuk
menyebutkan jumlah perempuan di kelas 4A, dengan diberikan jumlah perempuan
di kelas 4B. Secara signifikan lebih sedikit siswa yang mengajukan pertanyaan
untuk menyebutkan jumlah perempuan di kelas 4B, dengan diberikan jumlah
perempuan di kelas 4A. Demikian juga, secara signifikan lebih sedikit siswa yang
mengajukan pertanyaan untuk menyebutkan jumlah perempuan di satu kelas,
dengan diberikan jumlah siswa di kelas, atau untuk menyebutkan jumlah siswa di
satu kelas, dengan diberikan jumlah perempuan di kelas tersebut.
Kilpatrick (1989) berpendapat bahwa salah satu dasar proses kognitif yang
terlibat dalam problem posing adalah membuat asosiasi. Silver dan rekan-
rekannya sebelumnya telah mengeksplorasi proses ini di beberapa penelitian
(Leung, 1993; Silver & Cai, 1996; Silver, 1996).
Respon 1
Berapa banyak perempuan di kelas 4A ?
Berapa banyak perempuan di kelas 4B ?
Respon 2
Jika ada 24 perempuan di 4B, berapa banyak perempuan di kelas 4A?
Berapa banyak siswa di kelas 4A?
Berapa banyak siswa di 2 kelas?
Respon 2
Ada 30 anak di kelas 4A. Berapa banyak anak di kelas 4B?
Ada 32 anak di kelas 4B. Berapa banyak anak di kelas 4A?
Ada 21 perempuan di kelas 4A. Berapa banyak perempuan di kelas 4B?
Gambar 3. Parallel Questions
Yeap (2002) menemukan bahwa ketika siswa diminta untuk mengajukan soal
cerita yang seperti memiliki satu langkah penyelesaian kalimat perkalian 4 x 6,
mereka mengajukan pertanyaan untuk menunjukkan makna dari perkalian yang
telah diajarkan. Sebagai contohnya, tidak ada siswa dari kelas 3 yang mengajukan
pertanyaan yang meliputi materi yang belum diajarkan konsepnya. Baik kelas 3
maupun kelas 5 belum mempunyai pengalamn pada masalah kombinatorik, oleh
karena itu tidak ada dari mereka yang mengajukan masalah terkait kombinatorik.
Walaupun diharapkan kelompok yang sama akan lebih mudah, ditemukan bahwa
siswa hanya mengajukan masalah bertipe perbandingan perkalian yang lebih sulit.
Hal ini bisa jadi karena buku teks kelas 3 Singapura menekankan perbandingan
perkalian dan tingkat soal yang lebih sulit. Penelitian sebelumnya dengan
kelompok siswa yang berumur sama (English, 1996) menemukan bahwa siswa
cenderung mengajukan kelompok permasalahan yang sama dan sedikit dari
mereka yang mengajukan soal perbandingan perkalian. Tabel 2 menunjukkan
contoh dari respon siswa.
orang ketiga, mungkin membuat masalah lebih rumit : Jika Jane dan Mary
mempunyai jumlah uang yang sama. Walaupun dia mengganti Mary dengan Ali
dan pernyataan akhirnya adalah : Jika Jane dan Ali mempunyai jumlah uang yang
sama, berapa ... Pada saat ini, dia mengubah tulisannya karena dia mungkin
menyadari jawabannya mungkin bukan 10. Dia menghapus pertanyaannya yang
tertunda dan melanjutkan : dan peter telah menghabiskan semua uangnya .
Berapa rata-rata uang mereka semuanya?
Buku teks juga mempengaruhi siswa lebih sedikit. Banyak siswa yang
menggunakan nama yang umumnya digunakan di masalah pada buku teks seperti
John dan Mary, walaupun nama ini jarang diantara siswa pada penelitian.
Contohnya John adalah karakter pada 2 masalah diantara 9 yang muncul di 2
halaman dari buku teks. Dan anak-anak akan mengajukan masalah tentang John
dan Mary : John mempunyai 11 permen. Jika dia memakan 1 permen, berapa
permen yang dimilikinya sekarang? Mary mempunyai 956 stiker. John
mempunyai 326 stiker lebih dari Mary. Berapa banyak stiker yang dimiliki John
dan Mary? Dan John mempunyai 5 bola. Mary mempunyai sebanyak 2 kali punya
John. Berapa bola yang dimiliki Mary?
Dalam pemodelan masalah kata mereka setelah buku teks, beberapa siswa
bergantung pada pemahaman realitas mereka. 5 siswa sekolah dasar, ketika
diminta untuk mengajukan masalah yang mempunyai solusi 4 x 6, menulis John
mempunyai tinggi 6 m dan kakaknya mempunyai tinggi 4 kali dari tinggi John.
Berapa tinggi kakaknya? Lainnya mengabaikan hubungan. 3 siswa sekolah dasar
mengajukan masalah : ada 12 orang dewasa di aula. Ada wanita sebanyak 3 kali
jumlah orang dewasa. Berapa banyak wanita di aula? Siswa tidak menyadari
bahwa wanita juga bagian dari orang dewasa.
Beberapa
menempuhpertanyaanperjalanan
yang ditanyaan
danoleh siswa adalah
berjarak 75 km: dari kota B.
menyisakan salah satu dari seluruh bilangan dan mendorong siswa untuk
membuat masalah yang membutuhkan banyak langkah. Dia memintanya pada
akhir sehingga juga membuat masalah mereka lebih menantang.
Hal ini memungkinkan siswa berjuang untuk menyelesaikan tugas-tugas di
tingkat mereka dan hal tersebut akan memotivasi siswa. Problem posing juga
mencegah siswa berkemampuan tingkat tinggi menjadi bosan dengan tugas-tugas
standar karena mereka mampu untuk menantang diri mereka sendiri dengan
mencoba untuk mencari tahu bagaimana untuk menyusun tiga angka agar masalah
terpecahkan. Sementara rata-rata siswa mengajukan masalah seperti : Kelas 3A
2
terdiri dari 6 anak laki-laki dan 24 perempuan. 3 siswa mengatakan bahwa
mereka menyukai pizza. Berapa banyak siswa yang menyukai pizza? Siswa
dengan kemampuan tingkat tinggi mungkin mengajukan masalah seperti : John
2
membaca 6 halaman buku pada hari Senin. Dia membaca 3 dari halaman yang
tersisa pada hari Selasa dan masih tersisa 24 halaman. Berapa banyak halaman
yang dimiliki buku tersebut?
Miss Gan sering menggunakan pertanyaan bagaimana jika kepada siswanya.
Ketika dia meminta 3 siswa sekolah dasarnya untuk menggunakan digit 0 sampai
9 tepat sekali untuk membuat kalimat penjumlahan yang benar, beberapa
menyusunnya dengan cepat ketika yang lain berjuang dengan waktu yang lama.
Dia meminta murid yang sedang menyusun untuk mencari solusi yang
mungkin dengan cepat untuk menanyakan diri mereka sendiri pertanyaan
bagaimana jika. Beberapa dari mereka menanyakan bagaimana jika jumlahnya
adalah bilangan dengan empat digit. Yang lainnya bertanya bagaimana jika
mereka tidak diijinkan menggunakan, misalnya digit 0. Miss Gan kemudian
meminta siswa tersebut untuk menyelesaikan masalah berdasarkan pertanyaan
bagaimana jika. Hal ini membuat siswa yang berkemampuan tinggi untuk lebih
tertantang dan termotivasi.
5. Kesimpulan
Bab ini menunjukkan beberapa proses yang siswa tempuh ketika mereka
mengajukan masalah matematika. Pemahaman dari proses ini membolehkan guru
untuk memilih tugas problem posing yang tepat untuk penggunaan kelas. Jenis
berbeda dari tugas problem solving termasuk problem posing sebelum problem
solving (seperti contoh Mr. Iqbal), problem posing saat problem solving (seperti
contoh Miss Siti) dan problem posing setelah problem solving (Seperti contoh
Miss Gan) mengilustrasikan aturan yang bervariasi yang dapat problem posing
mainkan dalam kelas.
Beberapa ide dari penelitian kelas meliputi menyelidiki masalah siswa yang
diajukan serta menyelidiki efek dari problem posing sebagai campuran.
Penyelidikan masalah yang diajukan oleh siswa dapat digunakan untuk
mengeksplorasi pemahaman matematika siswa serta kemampuan umum seperti
kreativitas. Penyelidikan menggunakan problem posing sebagai campuran dapat
menunjukkan efek pada problem solving dan sikap.
DAFTAR PUSTAKA
Kaur, Berinderjeet. Yeap, Ban Har. Kapur, Manu. 2009. Mathematical Problem
Solving. Singapore : Association of Mathematics Educators.