Anda di halaman 1dari 4

Renungan Dakwah Nusantara

Posted on 04/09/2012 by elhakimi


-= =-
?? ??????? ????? ????? ?? ???? ???? ?????? ?????? ?? ?????? ???? ???? ?? ????? ?
????? ? ???? ??? ??????? ?? ???? ?? ???? ???? ?? ?????? ??? ????? ?? ????? ??? ?
?????? ? ??????? ?? ?????? ???????
Kalimat (materi dakwah) kita akan tetap mati tak berdaya gerak, diam laksana sum
bu yang terjepit di tengah lilin. Tapi bila kita mati karena membelanya, ia meng
geliat dan akan hidup di tengah umat manusia. Setiap kalimat yang hidup, pasti k
arena tumbuh di hati manusia yang hidup. Sebab sesuatu yang mati tak akan melahi
rkan sesuatu yang hidup (Sayyid Qutb)
-= =-

Mari kita sejenak merenungi dakwah di bumi nusantara, untuk menemukan solusi ata
s kemunduran Islam di sini. Pengaruh dakwah dalam mewarnai kehidupan masyarakat
makin tahun makin turun. Tentu ini pandangan sepihak penulis, bukan melalui surv
ey yang valid. Setidaknya dari indikator makin kuatnya pengaruh budaya rusak yan
g menjangkiti remaja, orang tua bahkan anak-anak kita.
Dulu tak ada wanita berjilbab yang ikut joget dangdut tapi sekarang jadi biasa.
Dulu begitu sakral hubungan pria dan wanita, kini begitu longgar dan permisif hu
bungan itu. Pemikiran liberal juga makin banyak penggemarnya. Dulu ustadz punya
wibawa yang bagus, tapi kini ustadz makin gaul dan suka lawakan. Wanita makin be
rani kepada suami dan makin susut naluri rasa malunya. Banyak hal yang bisa dili
hat dan diindera untuk membuktikan makin longgarnya kontrol dakwah terhadap kehi
dupan sosial umat Islam.
Dalam salah satu tulisannya Koran Republika, Alwi Shahab, seorang penulis sejara
h Jakarta, menceritakan perubahan budaya yang terjadi di Jakarta. Pada tahun 50-
an ke bawah, tulisnya, masyarakat Jakarta jika nonton film di gedung bioskop mak
a pintu masuk dan keluar dibedakan antara laki-laki dan perempuan, demikian juga
tempat duduknya bahkan ada kain pembatasnya.
Fenomena budaya ini jelas mengindikasikan pengaruh dakwah para kyai dan dai pada
jaman itu masih kuat mengakar di benak masyarakat. Sehingga saat keluar dari ge
dung bioskop, antara suami dengan istrinya akan saling mencari. Hubungan pria da
n wanita yang demikian sakral, bisa dipertahankan bahkan hingga di gedung biosko
p.
Budaya yang mensakralkan hubungan laki-laki dan wanita, bukan budaya yang lahir
dari nafsu dan syahwat manusia. Tidak mungkin. Pasti budaya ini lahir dari penga
ruh para kyai, dai dan santri yang mewarnai kehidupan masyarakat Jakarta dan sel
uruh Indonesia saat itu.
Coba bandingkan dengan tahun 2.000 ke atas. Hubungan pria dan wanita demikian lo
nggar, campur baur, masyarakat tak lagi ingat dengan istilah mahram sebagai kont
rol pergaulan, lupa dengan istilah aurat dalam berbusana. Istilah-istilah yang d
ulu popular menjadi kontrol di alam bawah sadar umat Islam, kini berganti dengan
istilah-istilah gaul yang hanya berkonotasi cinta, asmara, birahi, mode, narsis
dan sebagainya. Sopan santun dan tata krama hubungan pria wanita sudah berganti
menjadi pergaulan bebas nyaris tanpa batas. Pola pikir masyarakat sudah hampir
sama dengan pola pikir Barat.
Ormas dan Dakwah
Dakwah di Indonesia belum digarap dengan serius dan profesional. Setidaknya jika
kita melihat kiprah ormas-ormas dakwah di Indonesia hingga saat ini. Bukan meng
ecilkan peran mereka, tapi mencoba melihat secara obyektif dari sudut pandang da
kwah, bukan sudut pandang yang lain.
Kesimpulan bahwa dakwah belum digarap serius, dapat dilihat buktinya dari minimn
ya panggung-panggung dakwah yang dikuasai oleh organisasi dakwah. Jika kita menguk
ur pada radio dan televisi, masih sangat kecil pengaruh dakwah di kedua panggung
tersebut yang digeluti ormas dakwah. Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama sudah ber
diri sebelum kemerdekaan, dengan jumlah massa yang mencapai puluhan juta umat, l
ogikanya, mengapa belum dengan serius menggarap radio dan televisi sebagai pangg
ung dakwah? Faktor dana rasanya bukan penyebab. Tapi, menurut hemat penulis, leb
ih karena belum menghayati dakwah sebagai alat kawal keislaman masyarakat sehing
ga dipentingkan dan diutamakan dalam agenda ormas-ormas tersebut.
Demikian pula Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan lembaga-lembaga dakw
ah yang lain. Udara sebagai panggung dakwah yang luas nyaris tanpa batas, masih
dibiarkan dukuasai para pendakwah jahiliyah dan hiruk pikuk bisnis. Mereka semua
lebih asyik dengan panggung dakwah yang kecil-kecil semacam mushalla, masjid, d
an sekolah.
Jika kita menilik pemerataan dakwah, masih banyak umat Islam yang hidup di lokas
i terpencil baik di pulau-pulau besar apalagi pulau-pulau kecil, yang belum keba
gian kue dakwah. Di sana sulit menemukan dai yang secara serius memainkan fungsi
dakwah dan mengawal keislaman masyarakat. Kalaupun ada, kompetensi keilmuannya
juga amat minim. Belum lagi dengan problematika kemiskinan yang dihadapi para pe
mbawa pelita dakwah di pedalaman dan daerah terpencil, mereka seperti berjuang s
endirian di tengah keterasingan dan berjibaku melawan kemiskinan.
Ormas-ormas yang disebut di atas bukan berarti tidak berkiprah, banyak sekali ki
prah mereka. Umumnya kiprah yang lebih menonjol di bidang pendidikan, bukan di b
idang dakwah. Sementara ormas yang lain yang tidak disebut, tingkat perhatian da
n keseriusannya dalam bidang dakwah kurang lebih sama dengan ormas-ormas di atas
.
Ini semua menegaskan satu kesimpulan: sejak sekian tahun, dakwah kurang mendapat
porsi perhatian yang memadai. Dakwah masih dilakukan dengan santai, belum sungg
uh-sungguh dan serius seperti yang dilakukan oleh organisasi bisnis.
Menyesali Pemerintah ?
Memang seharusnya tugas mengawal keislaman masyarakat yang mayoritas muslim ada
di tangan pemerintah. Tapi apa boleh buat, pemerintah yang ada bukan pemerintah
Islam, sehingga tak bisa dijadikan tempat keluh kesah tentang dakwah dan problem
atika khas umat Islam. Keluh kesah hanya bisa kita tumpahkan kepada diri umat Is
lam sendiri. Dan pilar-pilar kekuatan umat Islam adalah ormas-ormas tersebut, ol
eh kerenanya kita mengkritisi kiprah dan perhatian ormas-ormas Islam dalam masal
ah ini.
Kesedihan kita tentang nasib dakwah di negeri ini yang mengalami kemunduran, mes
ti menjadi autokritik kepada diri kita yang merupakan bagian tak terpisahkan dar
i tubuh umat Islam. Keprihatinan akan melahirkan kepedulian. Kepedulian akan mel
ahirkan kegelisahan untuk mencari solusi. Kegelisahan mencari solusi akan melahi
rkan kreatifitas, energi dan gerak dahsyat dalam mengentaskan problematika umat
dalam bidang dakwah.
Apa yang terjadi pada ormas yang telah ada, seharusnya menjadi pelajaran bagi ya
ng ormas yang baru. Jika kita mampu membuat ormas atau lembaga dakwah yang baru,
dan fokus perhatiannya adalah dakwah, dan dilakukan dengan serius, hal ini akan
menjadi penawar dari kegelisahan kita.
Muhammadiyah sebagai contoh kasus pada awal berdirinya sangat serius dalam menye
barkan dakwah, dengan fokus garapan meluruskan pemahaman masyarakat dari penyaki
r syirik, bid ah, khurafat dan takhayul. Tapi sayang, semangat dakwah para pendiri
Muhammadiyah tak mampu diwarisi para penerusnya.
Keseriusan Dakwah vs Keseriusan Dai
Keseriusan dakwah tak bisa dipisahkan dari keseriusan para duatnya. Bahkan hal i
ni menjadi faktor kunci. Semua fakta kemunduran dakwah yang kita paparkan di ata
s, penyebabnya terpulang pada tingkat keseriusan dan penghayatan para dai terhad
ap pekerjaan dakwah.
Problematika dakwah di nusantara lebih pada problem kejahilan (ketidak-tahuan) u
mat Islam terhadap agamanya. Kita sudah diwarisi ratusan juta manusia yang sudah
beragama Islam, tapi kita dihadapkan pada tantangan bagaimana mengawal mereka a
gar tetap cinta Islam, memahami Islam dengan benar, mengamalkan Islam, dan menja
dikan Islam sebagai spirit kehidupannya. Tantangan kita, jika diibaratkan dunia
sepakbola, adalah pada sektor pertahanan. Mempertahankan ratusan juta umat manus
ia yang secara agama sudah Islam, agar memahami agamanya dengan benar, melaksana
kannya, mencintainya, membelanya dan menghayatinya sehingga menyatu jiwa dan rag
anya dengan Islam.
Kasus kita berbeda dengan kasus dakwah Rasulullah saw yang lebih bersifat ofensi
f (menawarkan dan menyerang agar umat manusia menerima Islam). Fase penyerangan (ofe
nsif) sudah selesai dilaksanakan para dai pendahulu kita, yang dengan gemilang d
apat merobah penduduk nusantara yang sebelumnya paganis (musyrik/hindu) menjadi
muslim. Pekerjaan dakwah yang luar biasa.
Seandainya para dai pendahulu kita memberi wasiat, tentu wasiat mereka adalah ba
gaimana agar kita dengan sungguh-sungguh menjaga, memonitor dan mangawal keislam
an umat agar tetap baik. Jika kita mampu melaksanakan amanat ini, kita sudah mel
akukan pekerjaan yang luar biasa juga, tidak kalah dengan pekerjaan para pendahu
lu.
Fakta banyaknya hasil dakwah peninggalan pendahulu kita yang murtad menjadi Nasr
ani, berbelok ikut aliran sesat dan termakan arus jahiliyah sehingga tanpa sadar
merusak Islam, menjadi bukti pekerjaan pertahanan kita rapuh. Dan selalu kita t
ak bisa menyalahkan keadaan, tapi menyalahkan diri kita sendiri.
Keseriusan Dai: Obsesi Membimbing Umat Kepada Hidayah
Seorang dai hendaknya memiliki obsesi memperbaiki umatnya sebesar obsesi orang t
ua dalam mensukseskan anaknya. Umat yang tersesat atau jahil terhadap Islam diib
aratkan anak-anak kita sendiri, yang berhak mendapat kasih sayang, motivasi, pen
didikan, bimbingan, dan pengajaran agar bisa sembuh dari kejahilannya dan terbim
bing dari ketersesatannya.
Tandanya, jika seorang dai bisa merasakan kesedihan yang luar biasa bahkan menan
gis iba saat melihat kejahilan umatnya, terjerumusnya mereka dalam kemunkaran da
n ketersesatan mereka, ini sudah menjadi modal penghayatan dakwah yang bagus. Da
n jika ia telah mengajarinya, membimbingnya dan mendidiknya dengan Islam lalu be
robah menjadi orang sholih, ia juga akan bahagia luar biasa bahkan menangis haru
, seperti orang tua yang menangis haru tatkala menyambut putranya yang sukses pu
lang dari perantauan, maknanya ia telah memiliki penghayatan dakwah yang baik.
Pada tataran ormas dakwah, penghayatan dan keseriusan ini juga belum tampak. Obs
esi ormas dakwah masih terbatas menghimpun pengikut, tapi belum terlalu kuat obs
esi memberi hidayah kepada masyarakat. Tingkat penghayatan ormas terhadap dakwah
, akan tercermin pada produk-produk kegiatan dakwah yang digulirkan.
Muhammadiyah, yang punya kampus dan sekolah di berbagai kota, tapi ironis tak me
miliki radio dakwah yang dikelola serius oleh Muhammadiyah sebagai alat memberi
hidayah kepada umat. Apa yang terjadi pada Muhammadiyah, terjadi kurang lebih pa
da ormas yang lain. Ini menandakan tingkat obsesi dan keseriusan Muhammadiyah da
n ormas-ormas dakwah lain dalam memberi hidayah kepada umat masih rendah.
Kalimat Sayyid Qutb di atas mengajarkan kepada kita makna penghayatan terhadap m
ateri dakwah, dan keseriusan memberi hidayah kepada umat. Beliau sendiri telah m
embuktikan ucapannya, sehingga untaian kalimat dakwah yang beliau tulis masih hi
dup sampai sekarang.
Untaian kalimat dakwah yang disampaikan seorang dai tak akan berpengaruh banyak
kepada pendengarnya sampai ia menghayati kalimat-kalimat dakwahnya itu dengan pe
ngorbanan. Pengorbanan tak mesti dengan kematian, bisa juga dimaknai dengan kesa
baran menanggung kemiskinan, ketabahan menempuh jauhnya perjalanan, kegigihan da
lam mengarungi medan dakwah dan kesabaran dalam membimbing umat. Ini bisa menjad
i nafas yang membuat kalimat dakwah hidup menggeliat dan membekas di hati dan pi
kiran umat.
Nusantara membutuhkan ribuan bahkan jutaan dai yang memiliki obsesi memberi hida
yah kepada umat. Bukan hanya obsesi, tapi juga meresapi dan menghayati kalimat-k
alimat dakwahnya dengan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan kesabaran. Semua
ini adalah harga yang harus dibayar untuk satu hal: memenangkan hati dan pikiran
umat Islam untuk tetap membela dan memerdekakan Islam di bumi nusantara ! walla
hu a lam bisshowab.

Anda mungkin juga menyukai