Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH SISTEM DIGESTIVE

KOLELIATISIS

DISUSUN OLEH:
NILA RAHMAWATI

UMI SRIWATIN

FERRY HANDAYANI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


PEMKAB JOMBANG
TAHUN AJARAN 2015/2016
KOLELITIASIS
(Batu Kantung Empedu)

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kolelitiasis

Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu
(duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa terdapat pada
kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatik. Bila terletak
di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran
empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di
dalam saluran empedu intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut
hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.

2.2 Klasifikasi

Berdasarkan komposisi kimiawi dan gambaran mikroskopiknya, batu empedu dibagi menjadi
tiga tipe utama oleh Suzuki dan Sato, yaitu batu kolesterol (batu kolesterol murni, batu
kombinasi, batu campuran), batu pigmen (batu kasium bilirubinat, batu hitam atau pigmen
murni), dan batu empedu yang jarang (batu kalsium karbonat, dan batu kalsium asam lemak).

Menurut Hadi (2002), batu empedu terbagi menjadi tiga tipe yaitu:

Batu Kolesterol

a. Soliter (single cholesterol stone) atau batu kolesterol tunggal

Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto rontgen terlihat intinya.
Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan licin atau noduler. Batu ini tidak
mengandung kalsium sehingga tidak dapat dilihat pada pemotretan sinar X biasa.

b. Batu kolesterol campuran

Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu yaitu mengandung
batu empedu kolesterol yang soliter dimana pada permukaannya terdapat endapan pigmen
kalsium.

c. Batu kolesterol ganda

Jenis batu ini jarang ditemui dan bersifat radio transulen.

Batu pigmen

Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam kalsium dan matriks dari
bahan organik. Batu ini biasanya berganda, kecil, keras, amorf, bulat, berwarna hitam atau hijau
tua. Alasannya 10 % radioopaque.

Batu Campuran

Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai ( 80 %), dan terdiri atas kolesterol, pigmen
empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein. Biasanya berganda dan sedikit
mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.

Menurut Sjamsuhidajat (1997), Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan
sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih
bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen. Dapat berupa batu soliter atau multiple.
Permukaanya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri, da nada yang seperti buah murbei.
Batu pigmen mengandung kurang dari 25% kolesterol, sering ditemukan kecil-kecil, dapat
berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk
seperti lumpur atau tanah yang rapuh.

2.3 Etiologi

Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan
atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut
antara lain:

a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
degan usia yang lebih muda.
c. Obesitas

Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes militus
tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol
hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu empedu kolesterol.

d. Statis Bilier

Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang bisa
meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa
berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat badan
yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi
bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu, serta
meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.

e. Obat-obatan

Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik
meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya
meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor
predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.

f. Diet

Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam desoksikolat)
dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam bentuk murni
meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol
empedu.

g. Keturunan

Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah turun temurun,
seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.

h. Infeksi Bilier

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada pembentukan
batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus. Mukus meningkatkan
viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.

i. Gangguan Intestinal

Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau kehilangan
garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat kolesterol, penurunan
garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu
empedu.

j. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

k. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk
terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2.4 Manifestasi Klinik

Asimtomstik

Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya,
adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai batu asimtomatik,
akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa
terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala
gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan
pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.

Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala,
yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan gejala yang
terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau
kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada
kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.

Rasa Nyeri dan Kolik Bilier

Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami
distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada
abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan
atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri
ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam
setelah memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan
ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya
dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian
pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak
dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan
distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah
kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan
yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam
menghambat pengembangan rongga dada.

Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga membutuhkan
preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin dianggap dapat meningkatkan
spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.

Ikterus

Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan presentase
yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah
empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang
tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat
kulit dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-
gatal yang mencolok pada kulit.

Prubahan Warna Urin dan Feses

Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap. Feses
yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang
disebut dengan clay-colored.

Defisiensi Vitamin

Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut


lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika defisiensi
bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses pembekuan darah normal.

Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung
empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang
relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat
mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.

2.5 Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu

Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya merupakan
satu proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum
tiga proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait:
Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)

Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)

Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan duktus
hepatikus kanan dan kiri)

Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada
dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehinggakan
patofisiologi batu empedu turut terbagi atas:

1. Patofisiologi batu kolesterol

2. Patofisiologi batu berpigmen

2.5.1 Patofisiologi batu kolesterol

Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat
terjadi secara berurutan atau bersamaan:

Supersaturasi kolesterol empedu

Hipomotilitas kantung empedu

Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol

Hipersekresi mukus di kantung empedu

Supersaturasi kolesterol empedu

Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme kolesterol
yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu
yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin).
Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan
vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,
kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti
senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase
berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.

Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan
ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan
sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa
mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke
luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang
hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut
dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi
vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk
beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal.. Empedu yang
tersupersaturasi dengan kolesterol akan berwujud lebih dari satu fase yaitu dapat dalam bentuk
campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami presipitasi membentuk
kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu.

Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel
unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk
vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan
akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada
saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor
utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu.

Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan
litogenisitas empedu. Faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk:

Hipersekresi kolesterol.

Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.

Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid.

Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi kolesterol empedu.


Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:

Peningkatan uptake kolesterol hepatik

Peningkatan sintesis kolesterol

Penurunan sintesis garam empedu hepatik

Penurunan sintesis ester kolestril hepatik


Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim A
reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol. Aktivitas
HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan
hipersekresi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol mengakibatkan konsentrasi kolesterol
yang melampau tinggi dalam empedu hingga terjadi supersaturasi kolesterol dan ini menfasilitasi
pembentukan kristal kolesterol sesuai dengan gambaran pada diagram keseimbangan fase.

Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya sebagai
pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada
molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut
protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis
empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga
kelompok asam empedu utama yakni:

Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.

Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.

Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.

Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan masing-
masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan
mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar
kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu.
Kombinasi dari kedua-dua hal ini akan menjurus kepada empedu yang litogenik. Konsentrasi
relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi
CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat
hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu
umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang
lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan
meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam
ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan
mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam
ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara
melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.

Sembilanpuluh lima persen dari pada fosfolipid epedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen
utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol.
Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam
sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan
kolelitiasis pada golongan dewasa muda.

Hipomotilitas kantung empedu

Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses fisiologik yang mencegah litogenesis
dengan memastikan evakuasi empedu secara berterusan dari kantung empedu ke dalam usus
sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi
empedu ke dalam usus menerusi duktus empedu secara optimal dan ini menfasilitasi
pembentukan kristal kolesterol halus yang cenderung bernukleasi dan berkembang menjadi batu
empedu. Perlambatan evakuasi kantung empedu membolehkan absorpsi air dari empedu oleh
dinding mukosa secara melampau hingga terjadi peningkatan konsentrasi empedu dan ini
mempergiat proses litogenesis empedu. Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat:

a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon seperti
menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol
neural (tonus vagus).

b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.

Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu empedu
masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan
akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang
menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan
membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada
motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya
penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih
besar.

Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis
merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai
dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran empedu
ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output
garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi.
Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge)
terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode
lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan
mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini
terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium
bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan
batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan
untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam
litogenesis batu empedu.

Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol

Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses nukleasi.
Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol
monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi.

Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi
dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu.
Penelitian in vitro model empedu mendapatkan bahwa faktor pronukleasi berinteraksi dengan
vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol.
Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya
komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari
glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid
dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik
glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi.

Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk
imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam. Penelitian
terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori)
menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya
mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik.2 Faktor antinukleasi termasuk protein
seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek
untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan.

Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi
yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu
empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu
nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis
empedu.
Hipersekresi mukus di kantung empedu

Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang universal
pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi
pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini
berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu
dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama
yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi
batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan
namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.

2.5.2 Patofisiologi batu berpigmen

Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu
berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.

Patofisiologi batu berpigmen hitam

Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat (khususnya
monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin
terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat
selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada
waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding
mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas buffering asam sialik dan komponen
sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya
tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan PH yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut
dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat.
Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir dengan pembentukan
batu berpigmen hitam.

Patofisiologi batu berpigmen coklat

Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan
penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh
bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti
Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung
pembentukan batu berpigmen.

Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma enterik ini
selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu
terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:

Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan


bilirubin tak terkonjugat.

Fosfolipase a menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam
palmitik).

Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan
membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat terendap lalu berkristalisasi sehingga
terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan
konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga
dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu,
seperti fungsi pada musin endogenik.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila
terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT
(SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam
usus menurunkan absorbs vitamin K.

Pemeriksaan sinar-X abdomen

Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit kandung
empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya 15-20%
batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-
X.

Gambar 3: hasil sinar-x pada kolelitiasis

Foto polos abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-
15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung
cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di
fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab
nilai diagnostiknya rendah.
Gambar 4: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis

Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan
karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada
prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien
terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah
berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi.
Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi
batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan
USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus
distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi
biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan pilihan
pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu kandung
empedu pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung
empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada
penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal saluran
empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan
kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus BSE.

Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis

Kolesistografi

Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk penderita
tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup
akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran
batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji
kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi,
serta mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati
dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal
akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak
pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap
kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidakdapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan
ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi

Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)

Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat
dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik
yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula
dimasukkan ke dalam duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi
percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan
memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.
Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis

Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)

Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung ke dalam
percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan relative besar, maka
semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati,
keseluruhan panjang doktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis
bentuknya dengan jelas.

Computed Tomografi (CT)

CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya batu
empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh
lebih mahal dibanding US.
Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis

Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance cholangiopancreatography


(MRCP)
2.7 Penatalaksanaan

2.7.1 Penatalaksanaan Non-Pembedahan

Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri kandung
empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika memungkinkan, untuk
menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi
pembedahan.

Penatalaksanaan Supotif dan Diet

Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan
infus, pengisapan nasogastric, analgesic dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai
gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien
semakin memburuk.

Farmakoterapi

Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak mengalami
kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier, sehingga diperlukan dosis
18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek
samping pada pemberian asam kenodeoksikolat adalah diare.

Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya 8-10 mg/kg/hari,
dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami kegemukan. Asam ursodeoksikolat
melarutkan sekitar 30% batu radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan
asam kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.

Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari asam
kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.

Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan


untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari
kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan
efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang
sama. Mekanisme kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya
sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya, batu
yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah pembentukannya. Padabanyak pasien
diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama
terapi keadaan pasien dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi
ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk
menjalani pembedahan.

Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien sesudah terapi
dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk
mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali,
intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.

Pengangkatan batu tanpa pembedahan

Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu
bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu.
Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke
dalam kandung empedu, atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk
melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui endoskop
ERCP, atau kateter bilier transnasal.

Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini menggunakan


gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan pada batu empedu di dalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi
sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu
piezoelektrik, atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat
rendaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut
dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap,
pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluatkan
melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam empedu yang diberikan per oral.

Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat
dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang
dipasang pada endoscop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris
dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.

2.7.2 Penatalaksanaan Pembedahan

Koleksistektomi Terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris, terjadi dalam kurang dari
0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian
baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah
kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi
segera dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang sama.
Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda
penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.

Mini Kolesistektomi

Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar
4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk mengeluarkan batu kandung empedu
yang berukuran lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi.
Biaya yang ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan
bentuk penanganan ini.

Kolesistektomi laparoskopi

Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya kolesistisis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai untuk melakukan prosedur
ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus.
Keuntungan secara toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi
mengurangi perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa
kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti
misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi
laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan
merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.

Bedah Kolesistotomi

Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih luas,
atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka
melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan,
dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter
itu dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar
kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari
serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya
lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan
sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.
Kolesistotomi Perkutan

Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan diagnosis kolesistisis
akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani tindakan pembedahan atau anastesi
umum. Pasie-pasien ini mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan
pasien-pasien gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang
halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan
dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa
penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung
empedu tersebut untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu
dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang
atau menghilang dengan segera.

Koledokostomi

Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu.
Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk
drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase
gravitas. Kandung empedu biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi
dilakukan bersama-sama kolesistektomi.

2.8 Komplikasi

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan


mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun
terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap makan mungkin dapat terjadi
mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung
empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat
terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal
ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus
juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan
tentang komplikasi kolelitiasis:

Hidrops

Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus sehingga tidak
dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat peradangan akut dan sindrom
yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul.
Kandung empedu berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar
pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat
menyebabkan kolesistisi akut.

Kolesistitis akut

Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang
terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu dapat menyebabkan
pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat
toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit,
tetapi kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis,
dan perforasi.

- Empiema

Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis supuratif,
kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan
leukositosis.

- Nekrosis dan Perforasi

Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan perforasi. Batu empedu
yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang
berdilatasi bias memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang
merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam
cavitas peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan
dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local. Ruptura ke dalam organ
berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.

- Pritonitis

Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah. Karena efek iritan
garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
Kolesistitis kronis

- Fistel bilioentrik

Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding organ di
dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat terjadi nekrosis dinding
kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna.
Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ tersebut.

Kolangitis

Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi. Penyebab
utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54% disebebkan oleh
sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal
dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap. Duktus
koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama
di daearah ampula vetri.

Pankreatitis

Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas. Ini
disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak menutupi ampula vetri.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.S DENGAN GANGGUAN


SISTEM PENCERNAAN AKIBAT BATU EMPEDU (KOLELITIASIS)

DI RUANG PERAWATAN X RS. XXX

CIMAHI

I. PENGKAJIAN

A. Biodata

1. Biodata Klien

Nama : Tn.S

Umur : 47 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : SMU

Pekerjaan : Wiraswasta

Suku bangsa : Sunda

Golongan Darah : B

Tanggal Masuk RS. : 8 September 2004

Tanggal Pengkajian : 9 September 2004

No. Reg. : 0312230368 / D / X / 04

Dx. Medis : Colelitiasis

Alamat : Jl. Sudirman No.50 Cimahi

2. Penanggung Jawab

Nama : Ny.R

Umur : 35 tahun

Agama : Islam
Pendidikan : SMU

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Suku bangsa : Sunda

Alamat : Jl. Sudirman No.50 Cimahi

B. Riwayat kesehatan

1. Riwayat kesehatan sekarang

a. Alasan masuk RS

Pada tanggal 1 September 2004 jam 8.00 WIB klien mengeluh kepala pusing dan badan lemas,
disertai sklera mata klien tampak kuning, BAK seperti air the, BAB agak kecoklatan seperti
tanah liat, kemudian 4 hari sebelum masuk RS. Klien demam, muntah dan nyeri pada ulu hati,
selanjutnya klien berobat ke rumah sakit Dustira dan dirawat di Ruang 10.

b. Keluahan utama

Klien mengeluh nyeri pada daerah kuadran kanan atas abdomen, seperti ditusuk-tusuk dengan
skala 4 (nyeri berat) yang berkurang apabila tidur terlentang dan semifowler dan bertambah jika
melakukan aktivitas dan makan.

2. Riwayat kesehatan masa lalu

Klien mengatakan sebelumnya belum perbah di rawat di RS. Dengan diagnosa penyakit seperti
yang dirasakan saat ini.

3. Riwayat kesehatan keluarga

Keluarga klien mengatakan di dalam keluarganya tidak ada yang menerita penyakit menular,
keturunan dan penyakit serupa dengan klien.

C. Struktur Keluarga

Klien anak ke-2 dari 2 bersaudara. Ayah klien anak ke-1 dari 4 bersaudara dan ibu klien anak ke-
2 dari 3 bersaudara klien sudah menikah dan mempunyai 2 orang

E. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum :

a. Keadaan klien

b. Kesadaran : Compos Menthis


c. Tanda-tanda vital :

1) Tekanan Darah : 100/70 mmHg

2) Suhu : 370 C

3) Nadi : 78x/menit

4) Respirasi : 20x/menit

d. Antrovomentri

TB : 165 cm

BB : 60 kg

2. Kepala

a. Rambut

Rambut berwarna hitam. Kulit kepala bersih, tidak ada lesi, tidak ada nodul, tidak ada ketombe,
rontok tidak ada, allphesia tidak ada, distribusi rambut merata.

b. Mata

1) Konjungtiva : Anemis

2) Skelera : Ikterik

3) Reflek pupil : Normal (isokor apabila disinari cahaya)

4) Kornea : Berwarna bening, adanya pantulan cahaya apabila disinari cahaya.

5) Lapang pandang : Dapat mengikuti 8 arah tatapan mata

6) Daya akomodasi : Bola mata bergerak sesuai dengan arah benda

7) Fungsi penglihatan : Klien dapat membaca pada jarak 25 cm tanpa alat bantu.

c. Telinga

1) Serumen : Tidak ada

2) Pengeluaran : Otitis media perporasi (nanah, darah) tidak ada.

3) Membran Thympani : Bening

4) Pendengaran : Klien dapat mendengar pada jarak 30 cm dengan menggunakan


bisikan.
5) Tulang mastoid : Tidak ada nyeri tekan

d. Hidung

1) Cuping hidung : Tidak ada

2) Polip : Tidak ada

3) Nafas : Pola nafas reguler

4) Rambut hidung : Penyebaran merata

5) Sekret : Tidak ada

6) Epistaksis : Tidak ada

7) Mukosa : Merah muda, lembab

8) Pembengkakan : Tidak ada

Fungsi penciuman : Dapat membedakan bau

e. Mulut

1) Bibir : Simetris atas bawah, warna merah muda, kengulis tisora tidak ada.

2) Gusi : warna merah muda, gigivitis tidak ada, scorbut tidak ada.

3) Gigi : Bersih, berwarna putih, caries dentis tidak ada.

4) Lidah : merah muda, fisura tidak ada, bersih, dapat merasakan asin (rasa).

5) Rongga mulut : Bersih, palatum mole berwarna merah muda, palatum durum
berwarna pucat, tidak ada radang.

6) Pharing : Tidak ada pembesaran tonsil, pergerakan ovula ke atas seaktu


mengucapkan a

3. Leher

a. Bentuk : Simetris

b. Kelenjar tyroid : Tidak ada pembesaran, adanya pergerakan sewaktu menelan.

c. Vena Jugalaris : Tidak ada peningkatan

d. Trachea : Simetris, ditengah-tengah

Dada
a. Dada Anterior

1) Bentuk : Simetris

Retraksi dinding dada : Tidak ada

Expansi dada : Sama antara kanan dan kiri

2) Paru-paru :

Respirasi : 20x/menit

Bunyi nafas : vesikuler

Irama nafas : Reguler

Bunyi perkusi : Resonan

3) Jantung :

HR :

Bunyi jantung : S1 dan S2

Irama jantung : Reguler

Kelainan bunyi jantung : Tidak ada

4) Axila : Bersih, tidak ada lesi, tidak ada pembesaran.

b. Dada posterior

1) Bentuk : Simetris

2) Vokal premitus : sama antara kiri dan kanan

3) Retraksi dinding dada : Tidak ada

4) Bunyi bronkus : Bronchovesikuler

Abdomen

a. Bentuk : Datar, superl, tidak ada lesi

b. Bising usus : Bunyi 18x/menit

c. Aorta : 2 jari diatas umbilikal, bunyi desiran air

d. Lambung : Tidak ada nyeri tekan, bunyi perkusi : timpani.


e. Hepar : Terdapat nyeri tekan pada daerah hipokondria kanan atas.

f. Limpa : Tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran.

g. Ginjal : Teraba tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri tekan.

Genetalia

a. Bentuk : Utuh

b. Radang : Tidak ada

c. Sekret : Tidak ada

d. Kelaianan : Tidak ada

Ekstremitas

a. Ekstremitas atas

Tangan kanan klien terpasang infus, oedema tidak ada, klien dapat melakukan flexi, ekstensi,
inversi, ekspersi, pronasi, supinasi, abduksi, aduksi, rotasi, reflek bisep (+), reflek trisep (+),

Tonus otot :

5 5

b. Ekstremitas bawah

Oedema tidak ada, klien dapat melakukan flexi, ekstensi, inversi, ekspersi, pronasi, supinasi,
abduksi, aduksi, rotasi, reflek patela (+), reflek asiles (+),

Tonus otot :

5 5

F. Data Psikososial

1. Keadaan emosional : Klien tampak stabil


2. Pola interaksi : Klien dapat berinteraksi dengan perawat dan pasien yang lain.

3. Gaya komunikasi : Klien dapat berkomunikasi secara verbal

4. Konsep diri

a. Peran diri : Klien selama di RS berperan sebagai kepala keluarga.

b. Ideal diri : Klien berharaf segera sembuh dari penyakitnya

G. Data Psikologis

1. Pendidikan : SMU

2. Hubungan sosial : Hubungan klien dengan pasien yang lain cukup baik

3. Gaya hidup : Dilihat dari cara berpakaiannya klien tampak hidup sederhana.

H. Data Spiritual

Klien selalu beribadah tepat waktu dan selalu berdoa untuk kesembuhan penyakitnya.

J. ANALISA DATA

Nama : Tn.S

Umur : 47 Tahun

No. Reg : 0312230368

NO DATA ETIOLOGI MASALAH


1 DS : Terjadi sumbatan pada Nyeri Akut b.b Agen
duktus sistikus oleh Cedera Biologis: Obstruksi
- Klien Mengatakan batu empedu Kandung Empedu.
nyeri pada kuadran
kanan atas seperti
ditusuk
Kandung empedu
distensi

DO :

- Terdapat nyeri tekan Infeksi


pada kuadran kanan
atas dengan skala 4.

- Klien tampak Klien menderita panas


meringis. dan teraba dapat masa
padat pada abdomen

Nyeri

DS :
Gangguan pada Ketidakseimbangan Nutrisi
- Klien mengatakan empedu menyebabkan Kurang Dari Kebutuhan
tidak nafsu makan, berkurangnya jumlah Tubuh b.d Ketidakmampuan
2 terasa mual. bilirubin direk Pemasukan Nutrisi
duedenum sehingga
suasana duedenum
DO : menjadi asam.

- Porsi makan habis


porsi Mengiritasi duedenum
- Klien lemah dan
lemas
Impuls iritatif ke otak
- BB menurun

Merangsang medula
vomiting centre

Mual

3 Intake nutrisi kurang intoleransi aktifitas b/d


dari kebutuhan kelemahan menyeluruh
DS :

- Klien mengatakan
badan terasa lemas, Produksi metabolisme
hanya dapat duduk dan menurun
tidur saja.

DO :
Energi berkurang
- Klien tampak lemah
dan lemas.

- Klien hanya tampak Lemas dan lemah


duduk dan berbaring
- Aktifitas klien Intoleransi aktifitas
dibantu

2.9.2 Diagnosa--NANDA 2012-2014


Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu

Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d Ketidakmampuan Pemasukan


Nutrisi

Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri

2.9.3 Prioritas Diagnosa

No Priorotas Diagnosa

1 Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung


Empedu.

2 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan


Tubuhb.d mual dan muntah

3 Intoleransi aktivitas b.d kelemahan menyeluruh

2.10. Tabel Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan NIC NOC

Nyeri akut Penatalaksanaan Nyeri Nyeri: Efek Merusak : efek


:meringankan atau mengurangi merusak dari nyeri terhadap
nyeri sampai pada tingkat emosi dan perilaku yang diamati
kenyamanan yang dapat diterima atau dilaporkan.
oleh pasien.
Dibuktikan dengan indikator
1. Lakukan pengkajian nyeri yang berikut :
komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, awitan/durasi, 1. Pasien akan melapor
frekuensi, kualitas, intensitas atau bahwa nyeri akan hilang (4)
keparahan nyeri, dan faktor 2. Pasien akan menunjukkan
presipitasinya. penggunaan keterampilan
2. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi dan aktifitas hiburan
nonfarmakologi (misalnya, umpan sesuai indikasi untuk situasi
balik biologis, transcutaneous individual (4)
electrical nerve stimulation 3. Penurunan penampilan
(TENS), hipnosis, relaksasi, peran atau hubungan
imajinasi terbimbing, terapi musik, interpersonal (4)
distraksi, terapi bermain, terapi
aktivitas, akupresur, kompres 4. Gangguan kerja, kepuasan
hangat/dingin, dan masase) hidup atau kemampuan untuk
sebelum, setelah dan jika mengendalikan (4)
memungkinkan, selama aktivitas
yang menyakitkan; sebelum nyeri
terjasi atau meningkat; dan selama
penggunaan tindakan pengurangan
nyeri yang lain.

3. Kelola nyeri pascaoperasi awal


dengan pemberian opiat yang
terjadwal (misalnya, setiap 4 jam
atau 36 jam) atau PCA.

4. Berikan perubahan posisi,


masase punggung, dan relaksasi.

Intoleransi aktivitas b.d Kaji tingkat kemampuan Mentoleransi aktivitas


kelemahan menyeluruh pasien untuk berpindah dari tempat yang bisasa dilakukan, yang
tidur, berdiri, ambulasi, dan dibuktikan oleh toleransi
melakukan ADL aktivitas, ketahanan,
Kaji respon emosi, sosial penghematan energy, kebugaran
dan spiritual terhadap aktivitas fisik, energy psikomotorik, dan
Evaluasi motivasi dan perawatan diri, ADL.
keinginan pasien untuk Menunjukkan toleransi
meningkatkan aktivitas aktivitas, yang dibuktikan oleh
Manajemen energy (NIC): indicator sebagai berikut:
Tentukan penyebab 1. gangguan eksterm
keletihan
2. berat
Pantau respon
kardiorespiratori terhadap aktivitas 3. sedang
Pantau respon oksigen 4. ringan
pasien terhadap aktivitas 5. tidak ada gangguan
Pantau respon nutrisi untuk
memastikan sumber-sumber energy
yang adekuat
Pantau dan dokumentasikan
pola tidur pasien dan lamanya
waktu tidur dalam jam
Ketidakseimbangannutrisi Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau Status Gizi: Nilai Gizi
kurang dari kebutuhan pemberian asupan diet makanan :Keadekuatan zat gizi yang
tubuh dan cairan yang seimbang. dikonsumsi tubuh.

1. Pantau kandungan nutrisi dan Dibuktikan dengan indikator


kalori pada catatan asupan. berikut :

2. Berikan informasi yang tepat 1. Asupan mkanan dan cairan


tentang kebutuhan nutrisi dan oral (4)
bagaimana memenuhinya.
2. Mempertahankan massa
3. Tentukandengan tubuh dan berat badan dalam
melakukan kolaborasi bersama ahli batas normal (4)
gizi, secara tepatjumlah kalori
dan jenis zat gizi yang dibutuhkan 3. Melaporkan keadekuatan
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tingkat energi (4)

LAMPIRAN PATOFIS
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni

Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan


Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC

Kurnia, Nila Ramdani. Kolelitiasis (Online)


http://bedahmataram.org/index.php?option=com_content&view=article&id=104:kolelitiasis-
ur&catid=43:regfrat-urologi&Itemid=81. (Diakses 22 November 2012; 18.00).

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Sanjaya, Arif. Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu (Online)


http://penyuluhan-kesehatan.blogspot.com/2011/12/patofisiologi-pembentukan-batu-
empedu.html(Diakses 23 November 201; 10.30)

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Sherlock, Sheila. 1990. Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Jakarta: Widya Medika.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC

Sulaiman, Ali dkk. 1990. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV.Sagung Seto

Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media

Tjokronegoro, Arjatmo dan Utama, Hendra. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai