Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke


dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah
saluran cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara
pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang
berbeda-beda pula. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat
per oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama
adalah usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni
200m2. Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada
saluran cerna. Ada beberapa cara pemberian obat yang lain, yaitu sublingual, per
oral, per rectal, pemakaian pada permukaan epitel ( kulit, kornea, vagina, mukosa
hidung ), inhalasi, dan suntikan ( subkutan, intramuskuler, dan intratekal ).
Kecepatan absorbsinya pun berbeda pada masing-masing cara pemberian
yang dapat menunjukan keefektifan obat tersebut. Dalam praktikum kali ini kita
akan membandingkan keefektifan dan kecepatan absorbsi obat berdasarkan rute
pemberian yang berbeda-beda. Selain itu, pada percobaan kali ini juga akan
digunakan obat golongan hipnotik sedatif yang merupakan golongan obat
depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang
atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu
hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis.
I.2 Tujuan Percobaan

Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian


pada diazepam hewan uji (mencit) terhadap kecepatan absorbsinya dan cara
memperlakukan hewan uji.
.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Dasar Teori

Absorbsi merupakan pengambilan obat dari permukaan tubuh atau dari


tempat-tempat tertentu pada organ ke dalam aliran darah yang dipengaruhi
beberapa faktor yakni cara pemberian obat dan bentuk sediaan. Ada beberapa
cara pemberian obat yaitu sublingual, per oral, per rectal, pemakaian pada
permukaan epitel (kulit, kornea, vagina, mukosa hidung), inhalasi, dan suntikan (
subkutan, intramuskuler, dan intratekal ). (Anonim,1995).
Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier
absorbsi adalah membran epitel saluran cerna yang seperti halnya semua
membran sel epitel saluran cerna , yang seperti halnya semua membran sel
ditubuh kita, merupakan lipid bilayer.Dengan demikian , agar dapat melintasi
membran sel tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah
terlebih dulu larut dalam air) (Farmakologi dan Terapi edisi 5, 2007).
Cara pemberian dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang
berpengaruh juga terhadap onset dan durasi. Onset adalah waktu yang
dibutuhkan obat untuk menimbulkan efek mulai obat itu diberikan. Cara
pemberian per oral memiliki onset yang paling lama karena pada per oral
senyawa obat memerlukan proses absorbsi, setelah obat masuk mulut akan
masuk lambung melewati kerongkongan. Di dalam lambung obat mengalami
ionisasi kemudian diabsorbsi oleh dinding lambung masuk kedalam peredaran
darah, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk berefek. Sedangkan
secara intraperitonial memiliki onset paling pendek karena rongga perut banyak
terdapat pembuluh darah dan tidak ada faktor penghambat sehingga dengan
segera akan menimbulkan efek. Pada subcutan melalui bawah kulit di mana obat
harus melalui lapisan- lapisan kulit baru masuk ke pembuluh kapiler bawah kulit,
sehingga onset yang dihasilkan lebih lama dari kedua cara lainnya (Anief, 1990).
Durasi adalah waktu yang diperlukan obat mulai dari obat berefek sampai
efek hilang. Durasi dipengaruhi oleh kadar obat dalam darah dalam waktu
tertentu. Pada per oral didapatkan durasi terpendek, disebabkan karena per oral
melewati banyak fase seperti perombakan dihati menjadi aktif dan tidak aktif.
Semakin banyak fase yang dilalui maka kadar obat akan turun sehingga obat
yang berikatan dengan reseptor akan turun dan durasinya pendek. Sedangkan
pada pemberian secara intraperitonial obat dengan kadar tinggi akan berikatan
dengan reseptor sehingga akan langsung berefek tetapi efek yang dihasilkan
durasinya cepat karena setelah itu tidak ada obat yang berikatan lagi dengan
reseptor. Pada sub cutan memiliki durasi yang lama, hal ini disebabkan karena
obat akan tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit sehingga secara
perlahan- lahan baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama. Cara pemberian
obat yang baik, bila onset yang dihasilkan cepat dan durasi dalam obat lama
(Anief, 1990).
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau
menyebabkan tidur. Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari (Tjay, 2002).
Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah
untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedatif (Tjay, 2002). Obat-obat
sedatif/sedativa pada dasarnya segolongan dengan hipnotik, yaitu obat-obat yang
bekerja menekan reaksi terhadap perangsangan terutama rangsangan emosi tanpa
menimbulkan kantuk yang berat. Bila obat-obat hinotik menyebabkan kantuk
dan tidur yang sulit di bangunkandisertai penurunan refleks hingga kadang-
kadang kehilangan tonus otot (Djamhuri,1995).
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat
(SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan ,
hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan
mati bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas,
menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan. Obat hipnotik
menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang
menyerupai tidur fisiologis (H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995).
Efek samping umum hipnotika mirip dengan efek samping morfin, yaitu:
depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi. Sifat ini paling ringan
pada flurazepam dan zat-zat benzodiazepin lainnya, demikian pula pada
kloralhidrat dan paraldehida
tekanan darah menurun, terutama oleh barbiturate
sembelit pada penggunaan lama, terutama barbiturate
"hang over, yaitu efek sisa pada keesokan harinya berupa mual,
perasaan ringan di kepala dan termangu.
Hal ini disebabkan karena banyak hipnotika bekerja panjang (plasma-t-
nya panjang), termasuk juga zat-zat benzodiazepin dan barbiturat yang disebut
short-acting. Kebanyakan obat tidur bersifat lipofil, mudah melarut dan
berkumulasi di jaringan lemak (Tjay, 2002).
Pada penilaian kualitatif dari obat tidur, perlu diperhatikan faktor-faktor
kinetik berikut:
lama kerjanya obat dan berapa lama tinggal di dalam tubuh
pengaruhnya pada kegiatan esok hari
kecepatan mulai bekerjanya
bahaya timbulnya ketergantungan,
efek "rebound insomnia
pengaruhnya terhadap kualitas tidur
interaksi dengan otot-otot lain
toksisitas, terutama pada dosis berlebihan
(Tjay, 2002).
Pada umumnya, semua senyawa benzodiazepin memiliki daya kerja yaitu
khasiat anksiolitis, sedatif hipnotis, antikonvulsif dan daya relaksasi otot.
Keuntungan obat ini dibandingkan dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah
tidak atau hampir tidak merintangi tidur. Dulu, obat ini diduga tidak
menimbulkan toleransi, tetapi ternyata bahwa efek hipnotisnya semakin
berkurang setelah pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya menidurkan, serta
memperpanjang dan memperdalam tidur (Tjay, 2002).
Efek utama barbiturat adalah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat
dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anestesia, koma sampai
dengan kematian. Efek hipnotiknya dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit
dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi
yang mengganggu. Fase tidur REM dipersingkat. Barbiturat sedikit
menyebabkan sikap masa bodoh terhadap rangsangan luar (Ganiswarna dkk,
1995).
Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Pemberian obat barbiturat yang hampir menyebabkan tidur, dapat
meningkatkan 20% ambang nyeri, sedangkan ambang rasa lainnya (raba, vibrasi
dan sebagainya) tidak dipengaruhi. Pada beberapa individu dan dalam keadaan
tertentu, misalnya adanya rasa nyeri, barbiturat tidak menyebabkan sedasi
melainkan malah menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal ini
mungkin disebabkan adanya depresi pusat penghambatan (Ganiswarna dkk,
1995).

II.2 URAIAN BAHAN


a. Air Suling (Dirjen POM, 1995)

Nama resmi : Aquadestillata


Nama lain : Aqua,Air suling
RM/BM : H2O/18,02
Pemerian : Cairan jernih ,tidak berwarna, tidak berbau
,tidak mempunyai rasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat dan kegunaan : Sebagai pelarut
b. Alkohol ( Depkes RI , 1979 )
Nama latin : Aithanolum
Nama Lain : Alkohol

RM/BM : C2H6O/46,07

Pemerian : Cairan tak berwarna jernih,mudah menguap


dan mudah bergerak bau khas rasa panas

kelarutan : sangat mudah larut dalam air,dalam kloroform


P,dan dalam eter P

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat


Khasiat dan penggunaan : zat tambahan

c. Diazepam ( Depkes RI , 1979 )


Nama Resmi :Diazepamum
Nama Lain :Diazepam
RM/BM :C16H13CIN2O / 284,74
Pemerian :Serbuk hablur, putih atau hampir putih,tidak
berbau atau hampir tidak berbau, rasa, mula-mula
tidak mempunyai rasa, kemudian pahit
Kelarutan :Agak sukar larut dalam air,tidak larut dalam etanol
(95%) P,mudah larut dalam kloroform P
Penyimpanan :Dalam wadah tertutup baik,terlindung dari cahaya
Khasiat dan kegunaan :Sedativum
Zat aktif :Diazepam
Golongan Obat :Antiepilepsi atau antikonvulsi
Indikasi :Pemakaian jangka pendek pada ansietas atau
insomnia, tambahan pada putus alcohol akut, status
epileptikus, kejang demam, spasme otot.
Kontra indikasi :Depresi pernapasan, gangguan hati berat,
miastenia gravis, insufisiensi pulmoner akut,
glaucoma sudut sempit akut, serangan asma akut,
trimester pertama kehamilan, bayi premature, tidak
boleh atau ansietas yang disertai dengan depresi
Efek samping :Susunan sar af pusat : rasa lelah, ataksia, rasa
malas, fertigo, sakit kepala, mimpi buruk, efek
amnesia, gangguan pada saluran cerna
Farmakokinetik :Tempat yang pasti dan mekanisme kerja
benzodiasepin belum diketahui pasti tapi efek obat
disebabkan oleh penghambatan neurotransmitter g-
aminobutiryc acid ( GABA)
Farmakodinamik :Bekerja pada limbic, thalamus, hipotalamus, dan
sistem saraf pusat dan menghasilkan efek
ansiolitik, sedatif, hipnotik
Dosis obat :2 mg 3 kali sehari jika perlu dapat dinaikkan
menjadi 15-30 mg sehari dalam dosis terbagi

BAB III

METODE KERJA

III.1 ALAT DAN BAHAN

III.1.1 Alat-Alat Yang Digunakan

1. Gelas kimia
2. Jarum sonde
3. Stopwatch
4. Spuit injeksi ( 0.1-1 ml )
5. Sarung tangan
6. Timbangan hewan
III.1.2 Bahan-Bahan Yang Digunakan

1. Alkohol 70 %
2. Aquadest
3. Diazepam
4. Hewan coba

BAB V

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini mempelajari tentang pengaruh cara pemberian


terhadap absorbsi obat dalam tubuh (dalam hal ini pada hewan uji). Adapun tujuan
dari praktikum ini yaitu mengenal, mempraktekkan dan membandingkan berbagai
cara pemberian obat pada hewan uji terhadap kecepatan absorbsinya dan cara
memperlakukan hewan uji.
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran
serna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain ( Gunawan,
2009).
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek
obat, karena karakteristik lingungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda
pada daerah kontak obat tubuh. Karakteristik ini berbeda-beda karena jumlah suplai
darah yang berbeda, enzim-enzim, dan getah-getah fisiologis yang terdapat
dilingkungan tersebut berbeda. Hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat
mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung pada rute
pemberian obat (Katzung, B.G .1989).
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai
adalah sebagai berikut:
Cara/bentuk sediaan parenteral
1.Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam
vena, onset of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk
obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya
berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek).
2.Subkutan (SC) (Onset of action lebih cepat daripada sediaan suspensi,
determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana
terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga
difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan
hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan).
3.Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim,
1995).
4.Per Oral disini obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai
reseptor karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor
penghambat seperti protein plasma.
Dari percobaan kali ini diharapkan dapat diketahui pengaruh cara pemberian
obat terhadap daya absorbsi yang selanjutnya akan berpengaruh pada efek
farmakologi obat. Salah satu cara untuk mengetahui pengaruh antara kedua variable
tersebut, dengan membandingkan waktu durasi dan onsetnya. Onset adalah waktu
dari obat untuk menimbulkan efek terapi. Sangat tergantung rute pemberian dan
farmakokinetik obat. Durasi kerja adalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi
dalam tubuh (Gunawan, 2009).
Dalam percobaan ini, hewan uji yang digunakan adalah mencit. Alasan
digunakannya mencit adalah karena mencit memiliki fungsi fisiologis yang mirip
dengan manusia, pengamatan mencit lebih mudah dan ekonomis (Tjay. T. H dan
Raahardja, K. 2002). Pada percobaan kali ini terdapat empat rute pemberian obat
yang akan diujikan yaitu; intra vena, intra peritoneal, subkutan dan oral.
Pada mencit I yaitu melalui oral dimana pemberiannya melalui mulut sampai
esophagus tegak lurus menggunakan jarum suntik tumpul (kanula) dengan volume
pemberian 0,2 ml. Dari langkah tersebut diperoleh nilai onset 4 menit dan durasinya
14 menit 3 detik.
Pada mencit II yaitu melalui subkutan yang diberikan dibawah kulit daerah
tengkuk membentuk sudut 450. Dari langkah tersebut diperoleh nilai onset 2 menit 15
detik dan durasinya 12 menit 27 detik.
Pada mencit III yaitu melalui intra peritoneal dimana pemberiannya diantara
selangkangan dengan posisi membentuk sudut 450 dengan volume pemberian 0,2 ml.
Dari langkah tersebut diperoleh nilai onset 4 menit 26 detik dan durasinya 9 menit 16
detik.
Pada mencit IV yaitu secara intravena, dimana pemberiannya melalui
pembuluh vena pada ekor dengan volume pemberian 0,1 ml. Dari langkah tersebut
diperoleh nilai onset 2 menit 49 detik dan durasinya 16 menit 9 detik.
Berdasarkan hasil pengamatan, onset yang paling cepat ialah subkutan, intra
vena, intra peritoneal dan per oral. Hal ini tidak sesuai dengan literatur, dimana pada
literatur onset yang paling cepat adalah pada rute intra vena dan yang paling lambat
pada pemberian per oral. Pada rute intra vena, obat tidak melalui proses absorbsi
melainkan langsung masuk ke pembuluh darah, karena pemberian obat melalui inta
vena tidak mengalami absorbsi, kadar di peroleh dengan cepat, tepat dan dapat
disesuaikan respon serta dapat digunakan untuk larutan iritatif (Priyanto, 2008). Rute
pemberian per oral memiliki waktu onset paling lama karena obat akan mengalami
rute yang panjang untuk mencapai reseptor karena melalui saluran cerna yang
memiliki banyak faktor penghambat (Gunawan, 2009).
Sedangkan dari hasil pengamatan didapatkan durasi yang paling cepat ialah
intra peritoneal, subkutan, oral dan intra vena. Pada intra peritoneal hal ini sudah
sesuai dengan literatur, obat dengan kadar tinggi akan berkaitan dengan reseptor
sehingga akan langsung berefek tetapi efek yang dihasilkan durasinya cepat karena
setelah itu tidak ada lagi obat yang berikatan dengan reseptor. Pada subkutan, oral,
dan intra vena tidak sesuai dengan literatur karena pada literatur oral memiliki waktu
durasi terpendek disebabkan karena per oral melewati banyak fase seperti
perombakan dihati menjadi aktif dan tidak aktif. Pada subkutan menurut literatur
memiliki waktu durasi lama hal ini disebabkan karena obat akan tertimbun didepot
lemak atau jaringan dibawah kulit dan secara perlahan-lahan dilepaskan sehingga
durasinya lama. Pada intra vena efek durasi yang seharusnya sama seperti intra
peritoneal (Anief, 1990).
Dalam perlakuan praktikum dimungkinkan adanya faktor kesalahan sehingga
terjadi ketidak sesuaian dengan literatur.
BAB VI

PENUTUP

VI.1 KESIMPULAN

Dari hasil praktikum diatas dapat disimpulkan bahwa cara pemberian


dapat mempengaruhi absorbsi suatu obat.
Onset paling cepat ,yaitu :
1. Subkutan
2. Intra vena
3. Oral
4. Intra peritoneal
Durasi paling singkat yaitu :
1. Intra peritoneal
2. Subkutan
3. Oral
4. Intra vena
VI.2 SARAN
Dalam melakukan praktikum diharapkan praktikan lebih teliti dalam
melakukan praktikan
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 1990. Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. UGM Press. Yogyakarta

Anonim.1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Depkes RI. Jakarta.

Ansel, H. C. 1986. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta.

Gunawan, 2009. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Fakultas kedokteran


Universitas Indonesia

Katzung, G B, 2004, Farmologi Dasar dan Klinik, EGC, Jakarta.

Liew, 2009, Tentang Obat dan Penyakit, http://liew267.com/2009/03/05/pengaruh-


cara-pemberian-terhadap-absorpsi- obat/ diakses 13 April 2014

Mycek, mary J. dkk .2003. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta : Buku
kedokteran EGC. Halaman 89-94

Priyanto, 2008. Farmakologi Dasar edisi II. Lenkosfi. Jakarta.

Syindjia, Zalika, 2011, Keuntungan & kerugian Beberapa cara


pemberian obat.
http://www.syindjia.com/2011/03/penggolongan-obat-pada-
antibiotik_02.html diakses 13 april 2014

Tim departemen Farmakologi FKUI.2007. Farmakologi dan Terapi. FKUI:Jakarta.


Tjay. T.H dan K. Raharja, 2002, Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
efek Sampingnya Edisi 5, PT Elex Media, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai