Anda di halaman 1dari 12

Laporan tugas tutorial Mei , 2015

PENYAKIT TROPIS
BLOK 22

Disusun Oleh :

Nama : Angriana Hi Himran


Stambuk : N 101 11 058
Kelompok :6

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2015
Sistosomiasis (Bilharziasis)

1. Pada manusia ditemukan 3 spesies penting :


a. Schistosoma japonicum
b. Schistosoma mansoni
c. Schistosoma haematobium
2. Hospes dan nama penyakit
Hospes definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan
sebagai hospes reservoar. Pada manusia cacing ini menyebabkan penyakit
skistosomiasis atau bilharziasis.
3. Morfologi dan daur hidup
Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman,
berukuran 9,5-19,5 mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar di
bagian ventral badan terdapat kanalis ginekoporus tempat cacing betina
sehingga nampak seolah-olah caing betina ada di pelukan cacing jantan.
Cacing betina badannya lebih halus dan panjang. Cacing trematoda ini hidup di
pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan
selaput lendir usus atau kandung kemih.
4. Epidemiologi
Schistosomiasis adalah penyakit tropis ketiga yang paling dahsyat secara
global(setelah malaria dan infeksi usus) dan merupakan penyebab utama
morbiditas dan kematian bagi negara-negara berkembang di Afrika, Amerika
Selatan, Karibia, Timur Tengah, dan Asia (Olveda et al., 2013).
Salah satu penyakit yang merupakan suatu fenomena kompleks yang
berpengaruh terhadap kehidupan suatu komunitas adalah skistosomiasis.
Skistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah, yaitu di
Dataran Tinggi Lindu, Napu dan Bada. Berdasarkan Hasil Laporan survei tinja
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi prevalensi skistosomiasis di Dataran
Lindu yaitu 3,22% (2010), 2,67 % (2011), 1,13 % (2012), 0,60 % (2013) dan
0,97 %(2014) (Ningsi et al., 2011). Menurut data dari Balai Litbang P2B2
Donggala di Lindu pada siklus pertama 3,21 %(2010) dan rata-rata prevalensi
skistosomiasis Lindu dan Napu yaitu 2,11 % (2011), 1,3% (2012) dan 1,82%
(2013) (Balai Litbang P2B2 Donggala, 2014).
5. Etiologi
Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit
parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus
Schistosoma. Ada tiga spesies Schistosoma yang ditemukan pada manusia,
yaitu: Schistosoma japonicum, S. haematobium dan S. Mansoni (Rosmini et al.,
2010).
Di bidang kesehatan masyarakat, ada lima spesies Schistosoma yang
dilaporkan dapat menjadi masalah kesehatan, yaitu S. Intercalatum japonicum,
S. Mansoni, S. Haematobium, S. Intercalatum dan S. Mekongi (Soedarto,
2003).
6. Morfologi schistosoma
Schistosoma dewasa betina dan jantan terpisah namun biasanya ditemukan
berpasangan. Cacing betina dewasa lebih panjang dari pada cacing jantan,
keduanya berbentuk silindris dan intestinumnya berwarna hitam karena
menelan eritrosit. Sifat khas spesies cacing betina tergantung posisi ovarium,
panjang uterus dan jumlah telur di dalamnya. Kedua jenis kelamin masing-
masing mempunyai dua alat isap (sucker) dan sebuah mulut yang terletak di
tengah alat isap dan berujung buntu. Integumentum schistosoma mirip dengan
banyak cacing darah (blood fluke) yang lain, terdiri dari dua lapisan lemak
dengan masing-masing ketebalan 7 nm, keseluruhan tebalnya 18 nm (Mubin
AH,2009).
Telur dapat dideteksi dalam feses pada schistosoma japonicum; kadang-
kadang Schistosoma mansoni dan kadang-kadang Schistosoma haematobium
(Jawetz et al., 2007).
7. Patofisiologi
Patofisiologi infeksi berhubungan dengan siklus hidup dari parasit
sebagai berikut :
1 Serkaria
Penetrasi serkaria pada kulit menyebabkan dermatitis alergika
ditempat masuknya. Pada stadium ini kelainan kulit berupa eritema
dan papula dengan rasa gatal dan panas 2-3 hari pasca infeksi dan
disebut swinners itch, paling sering disebabkan oleh S.mansoni
dan S.japonikum. bilamana jumlah serkaria menembus kulit cukup
banyak, maka dapat terjadi dermatitis (cercarial dermatitis) yang
akan sembuh sendiri dalam lima hari (Sudoyo et al., 2009).
2 Sistosomula
Sistosomula merupakan cercaria yang tidak berekor yang
diangkut melaui darah atau limfatik kesebelah kanan paru-paru dan
jantung. Infeksi berat dapat menyebabkan gejala seperti demam dan
batuk. Eosinophilia bisa juga ditemukan (Sudoyo et al., 2009).
3 Cacing dewasa
Cacing dewasa tidak memperbanyak diri dalam tubuh manusia.
Didalam darah vena, cacing jantan dan betina kawin, kemudian
betina bertelur 4-6minggu setelah penetrasi sercaria. Cacing dewasa
jarang bersifat patogen. Cacing betina dewasa dapat hidup sekitar 3-
8 tahun bahkan lebih 30 tahun dan bertelur sepanjang hidupnya,
namun tidak merusak karena hanya telur-telurnya saja yang dapat
merusak organ (Sudoyo et al., 2009).
4 Telur-telur
Telur-telur ini yang menyebabkan Sistomiasis dan demam
Katayama. Hingga saat ini Katayama patofisiologi yang tepat belum
diketahui. Demam Katayama dilaporkan paling sering pada
S.japonicum tetapi juga telah dilaporkan terjadi S.mansoni, jarang
dirasakan pada Sistosomiasis Hematobium. Di katakan infeksi berat
bila di temukan telur lebih dari 400 butir dalam 1 gram tinja
(Sudoyo et al., 2009).
8. Manifestasi klinis dan stadium
1 Manifestasi Klinis
Tanda-tanda klinis dan gejala penyakit Schistosomiasis adalah
sebagai berikut :
Scistosomiasis akut (demam katayama) biasanya terdapat pada
pengunjung dari daerah nonendemik, 2-6 mingggu setelah demam
disertai rasa gatal dan kemerah-merahan pada kulit tempat masukya
serkaria, urtikaria, nyeri kepala, nyeri perut, mual dan diare di sertai
darah yang berlangsung selama beberapa hari atau minggu (Mandal
et al, 2008).
Tahap stadium kronik. Pada tahap stadium kronik terjadi proses-
proses penyembuhan jaringan dan pembentukan jaringan fibrosis
disertai pengecilan hati akibat telah terajadinya sirosis, terjadi
pembesaran limpa, pembengkakan hati, asites dan ikterus. Dapat
juga terjadi hipertensi portal ( Soedarto, 2011).

2 Stadium Akut (Demam Katayama)


Demam Katayama dianggap mempunyai kaitan dengan
rangsangan telur dan antigen cacing yang diakibatkan oleh
terbentuknya kompleks imun, 4-6 minggu setelah terinfeksi yaitu
ketika terjadi pelepasan telur. Sindrom sistosomiasis akut berkaitan
dengan reaksi imunologis telur sistosoma yang terjerat di jaringan.
Antigen yang lepas dari telur mernagsang suatu reaksi
granulomatosa terdiri atas sel T, makrofag, dan eosinofil
mengakibatkan manifestasi klinis. Tanda dan gejala tergantung dari
banyaknya dan lokasi telur pada jaringan pada awal terjadinya reaksi
inflamasi yang reversibel yang disertai demam, keringat banyak,
menggigil dan batuk-batuk, limfadenopati generalisata, dan
hepatosplenomegali. Demam Katayama jarang dirasakan pada
sistosomiasis hematobium. Keluhan ini mulai ringan sampai berat,
jarang menimbulkan kematian (Sudoyo et al., 2009).
Hepatomegali timbul lebih dini disusul dengan splenomegali.
Hal ini dapat terjadi dalam waktu 6-8 bulan setelah infeksi.
Selanjutnya penderita memasuki periode asimptomatis 2-8 minggu,
namun demikian secara umum pelangsungannya ringan. Pada
pemeriksaan laboratorium mungkin didapatkan leukositosis dan
eosinofilia berat. Karena hasil pemeriksaan tinja pada awal infeksi
sering hasilnya negatif, maka dianjurkan pemeriksaan diulangi
sedikitnya enam kali, sedangkan pemeriksaan serologis positif
beberapa minggu setelah telur ditemukan dalam tinja (Sudoyo et al.,
2009).
3 Stadium Kronik
Stadium ini mulai enam bulan sampai beberapa tahun setelah
infeksi. Pada infeksi S. mansoni dan S. japonicum ditemukan diare,
nyeri perut, berak darah. Pada stadium ini kebanyakan manifestasi
klinis disebabkan oleh penumpukan telur-telur dalam jaringan.
Respons jaringan granulomatosa di sekitar telur berupa sel-sel yang
diatur oleh ada atau tidak adanya suatu kaskade respons sitokin,
selular dan humoral. Pembentukan granulomatosa mulai dengan
pengerahan sel-sel radang sebagai respons atas sekresi antigen oleh
organisme hidup dalam telur. Respons ini dimulai dengan
pengerahan sel-sel termasuk fagosit, sel T spesifik dan eosinofil. Sel-
sel fibroblast, sel-sel raksasa, sel-sel limfosit B akan dominan
kemudian hari. Sekali diaktifkan, sel-sel T akan menghasilkan
berbagai sitokin misalnya tumor necrosis factor (TNF-),
interleukin 2 (IL-2), IL-4, dan IL-5, yang selanjutnya mengaktifkan
sel-sel endotel untuk mengeluarkan sekresinya (kemokin) yang
spesifik seperti monosites chemotactic protein 1 (MCP-1). Akibat
rekruitmen elemen sel-sel akan mendorong pembentukan jaringan
granulomatosa di sekitar telur-telur. Lesi ini berlipat-lipat kali
besarnya dari telur-telur dan menyebabkan organomegali dan
obstruksi. Peningkatan atau penurunan respons kekebalan hospes
terhadap telur-telur sistosoma memegang peranan penting dalam
membatasi meluasnya jaringan granulomatosa. Akibat lanjut dari
respons granulomatosa terjadi pembentukan jaringan fibrosis. Hepar
yang tadinya membesar (hepatomegali) karena peradangan dan
pembentukan lesi granulomatosis, kemudian mengecil karena terjadi
fibrosis (sirosis hepatis). Pada sirosis akibat sistosomiasis yang
terjadi adalah sirosis periportal yang berakibat terjadinya hipertensi
portal karena adanya bendungan dalam jaringan hati. Tanda yang
timbul berupa splenomegali, edema pada tungkai bawah atau alat
kelamin, asites dan ikterus. Manifestasi klinis sistosomiasis kronis
umumnya ringan atau sedang saja, sehingga tidak perlu dirawat inap,
lain halnya dengan sistosomiasis akut dapat fatal, hal ini tergantung
dari spesies sistosoma. Mulanya disangka S. japonicum dapat
menimbulkan penyakit yang lebih berat karena dapat memproduksi
telur 10 kali lebih banyak dari pada S. mansoni, namun kenyataan di
lapangan tidak demikian. Pada stadium yang sangat lanjut pada
infeksi S. mansoni dan S. japonicum dapat terjadi hematemesis
melena karena pecahnya varises esofagii, dan dapat ditemukan tumor
polipoid intestinalis. Beratnya sistosomiasis intestinalis sering
berhubungan dengan beratnya infeksi (Sudoyo et al., 2009).
9. Faktor Resiko
1 Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki lebih banyak ditemukan menderita
schistosomiasis yaitu dari 196 responden ada sebanyak 43 (21,9%)
yang menderita schistosomiasis sedangkan jenis kelamin perempuan
yaitu 31 (15,8). Pada umumnya laki-laki mempunyai prevalensi dan
intensitas schistosomiasis yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan, ini disebabkan karena laki-laki lebih sering terpapar
dengan daerah fokus dan juga lebih sering kontak dengan air
(Rosmini et al., 2010).
2 Umur
Menurut (Rosmini et al,2010) kelompok umur yang ditemukan
banyak menderita schistosomiasis yaitu pada kelompok umur 10-19
tahun yaitu sebanyak 17 orang (8,7).
Kelompok umur yang terkena umumnya adalah antara 5-50
tahun, dapat pula ditemukan infeksi pada umur yang lebih muda
(Gandahusda, et al., 1999).
Gambar 2.2 : Prevalensi Schistosomiasis berdasarkan umur di Napu pada
tahun 2012
Sumber: Ullyar, H., 2014
3 Sumber air
Analisis hubungan antara sumber air yang digunakan untuk
kebutuhan sehari hari dengan kejadian schistosomiasis diperoleh
bahwa ada sebanyak 56 dari 119 (47,4) responden yang mempunyai
sumber air berasal dari sumur menderita schistosomiasis sedangkan
diantara respon yang sumber airnya dari mata air yang dialirkan
melalui pipa ada 18 dari 77 (23,4%) yang menderita schistosomiasis
(Rosmini et al., 2010).
4 Aktivitas di sawah
Pada responden yang bekerja petani disawah lebih lebih banyak
ditemukan menderita schistosomiasis yaitu sebanyak 47 (24,0%) dari
196 responden (Rosmini et al., 2010).
Prevalensi ditemukan pada responden yang bekerja sebagai
petani. Masyarakat yang bukan petani mempunyai prevalensi yang
lebih rendah dibandingkan yang bekerja sebagai petani (Rosmini et
al., 2010).
5 Aktivitas di hutan
Aktivitas dihutan yang dimaksud dalam hal ini misalnnya kebun
coklat, kebun sayur ataupun ke pinggir-pinggir hutan untuk mencari
kayu dengan kejadian schistosomiasis diperoleh sebanyak 74 dari
189 (39,2%) (Rosmini et al., 2010).
Mengumpulkan rotan, mencari kayu dan berburu di hutan
mempunyai kemungkinan besar terinfeksi S japonicum karena
sewaktu melakukan kegiatan tersebut tidak jarang mereka melewati
daerah fokus keong Oncornelania yang terinfeksi S. Japonicum
(Rosmini et al., 2010).
6) Pekerjaan
Pekerjaan adalah salah satu faktor yang berperan dalam suatu
kejadian schistosomiasis. prevalensi schistosomiasis paling banyak
ditemukan pada responden yang bekerja sebagai petani. Pekerjaan
seseorang yang berkaitan dengan kejadian Schistosomiasis adalah
pekerja sawah (petani), peladang, pencari rotan, pencari ikan
(nelayan). Hal ini karena pekerjaan tersebut sering berhubungan
dengan air/ perairan, dimana diketahui bahwa mekanisme penularan
Schistosomiasis sangat terkait erat dengan air (Rosmini et al., 2010).
7) Pendidikan
Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk
menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan.
Artinya pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari
atau mengerti atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan
mereka, dan kesehatan orang lain (Rosmini et al., 2010).
Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi dua yaitu pendidikan
rendah dan pendidikan tinggi. Pendidikan rendah yaitu tidak sekolah
dan SD. Sedangkan pendidikan tinggi yaitu tamat SLTP, SLTA, dan
akademi/PT (Rosmini et al., 2010).
10. Diagnosis
Diagnosis schistosomiasis ditentukan jika ditemukan telur
schistosoma yang spesifik bentuknya bagi masing-masing spesies pada
tinja atau urine penderita, pada hasil biopsi kandung kemih atau biopsi
rektum. Telur Schistosoma Haematobium dapat ditemukan di dalam urine
penderita atau pada hasil biopsi kandung kemih sedangkan telur
Schistosoma japonicum dan telur Schistosoma mansoni dapat ditemukan
di dalam tinja atau pada hasil biopsi rektum. Telur Schistosoma
japonicum dapat juga ditemukan melalui biopsi jaingan hati penderita
(Soedarto, 2011).
Pemeriksaan tinja Tinja dikumpulkan dari penduduk umur 2 tahun ke
atas di Daerah lindu kabupaten sigi. Pemeriksaan dilakukan terhadap
tinja penduduk tiga hari berturut-turut. Apabila ketiga ulangan sampel
tetap negatif maka orang tersebut dinyatakan negatif. Pemeriksaan
dilakukan dengan metoda Kato-Katz (Rosmini et al., 2010).

11. Diagnosis banding


Pada keadaan akut dapat dikacaukan dengan : amebiasis, disenteri
basiler,malaria, leptospirosis, dan sebab lain dari diare. Padaa keadaan lebih
lanjut perlu dibedakan dari berbagai sebab hipertensi portal atau poliposis
usus. Di daerah endemis sistomiasis vesikalis harus dibedakan dari
penyebab keluhan-keluhan traktus urinarius lain seperti kanker traktus
genitourinarius, infeksi saluran kemih (ISK), dan nefrolitiasis, atau
tuberkulosis ginjal. Bila ada keluhan-keluhan saluran cerna dapat
dikacaukan dengan ulkus peptikum, pankreatitis atau penyakit traktus
biliaris (Rosmini et al., 2010).
12. Pengobatan
Obat pilihan untuk mengobati skistosomiasis adalah Prazikuantel.
Pada pengobatan Schistosomiasis mansoni dan Schistosomiasis
Haematobium, prazikuantel diberikan dengan takaran 40-60 mg per kg
berat badan sebagai dosis tunggal. Sedangkan untuk mengobati
Schistosomiasis japonicum prazikuantel diberikan dengan takaran 60 mg
per kg berat badan yang diberikan dalam dosis tunggal atau dibagi dalam
2 kali pemberian dengan tenggang waktu minum obat antara 4-6
jam(Soedarto, 2011). Efek samping terjadi dalam beberapa jam berupa
pusing, vertigo, mual-muntah, diare, sakit perut dan sakit kepala.
Walaupun jarang terjadi dapat terjadi perubahan tingkah laku, halusinasi,
kejang-kejang setelah 2 jam obat ditelan. Obat ini mempunyai efek
mutagenik dan teratogenik, sehingga tidak boleh diberikan pada ibu
hamil (Sudoyo et al., 2009).
Pengobatan skistosomiasis dapat juga dilakukan dengan memberikan
Niridazole. Obat-obat lain, misalnya tartar emetik, antimon,
dimerkaptosuksinat, ambilhar dan fuadin, hasilnya tidak sebaik
pengobatan menggunakan prazikuantel dan niridazole (Soedarto, 2011).
(Greenberg, M.I., 2012) menyatakan bahwa obat Oxamniquine
digunakan untuk mengobati schistosomiasis usus di Afrika dan Amerika
Selatan. Obat ini sangat efektif hanya untuk S. Mansoni. Dosis sekali 12-
15 mg/kg/hari. Ada juga yang memberikan 40-60 mg/kg/hari dosis
terbagi 2 atau 3 selama 2-3 hari, diberikan bersama makanan. Angka
kesembuhan 70-95 %.
13. Pencegahan
1 Jangan berenang atau menyeberangi daerah yang terjadi
Schistosomiasis.
2 Sebaiknya meminum air yang aman. Air dari kanal, danau, sungai
langsung tidak aman diminum. Air dari sumber panas, sudah di
didihkan minimal satu menit atau air saringan aman diminum.
Pemberian iodine bukan jaminan keamanan bebas dari semua
parasit.
3 Air mandi semestinya dihangatkan dulu selama 5 menit pada sushu
150 derajat F, atau air disimpan dalam tangki air selama minimal
48 jam sebelum digunakan untuk mandi.
4 Menggunakan handuk yang sangat kering setelah kecelakaan,
bilasan singkat dengan air yang aman dapat membantu mencegah
penetrasi schistosoma pada kulit. Tetapi jangan terlalu
mengandalkan handuk kering dalam mencegah Schistosomiasis
(Mubin A.H., 2009).
14. Penularan
pada sapi, kuda, dan hewan lain terjadi pada saat hewan tersebut
berdiri ditepi danau atau dalam air yang dangkal untuk makan atau minum.
Cercaria dapat menembus kulit hewan yang utuh (tanpa luka), menjadi
schistosomula, dan terbawa lewat aliran darah ke paru-paru. Kemudian
schistosomula akan terbawa ke hati dan ke vena mesenterialis serta
tumbuh menjadi cacing dewasa (Soeharsono, 2005).
Manusia tertular penyakit dengan cara seperti pada hewan. Dengan kata
lain, manusia tidak tertular secara langsung dari hewan yang bertindak
sebagai reservoir parasit, tetapi parasit tersebut memerlukan induk semang
antara (siput) untuk menjadi bentuk cercaria (Soeharsono, 2005)

15. Prognosis
Dengan terapi pada infeksi dini hasilnya sangat baik. Kelainan
patologi dari hepar, ginjal dan usus membaik dengan pengobatan.
Pengidap (karier) Sistosomiasi hepatosplenik relatif baik karena fungsi
hepar tetap baik sampai akhir dari penyakit (jika tidak ada perdarahan)
(Sudoyo et al., 2009).
16. Komplikasi
Hanya sebagian kecil penduduk di daerah endemis sebagai pengidap
berat sistosoma yang kemudian hari dapat memberi komplikasi seperti :
a Hipertensi portal
b Splenomegali
c Varises esofagii
d Gangguan fungsi hati : ikterus, asites, koma heoatikum
e Hipertensi pulmonal dengan korpulmonale, gagal jantung kanan.
f Gangguan usus besar berupa striktur, granuloma besar, infeksi
salmonale yang menetap, poliposis kolon yang mengakibatkan berak
darah, anemi, hipoalbuminemia dan clubbing fingers ( jari tabuh).
g Kontraktur leher buli-buli sering disertai kerusakan M.detrusor.
h Batu buli-buli
i Obstruksi ren dan buli-buli (Sudoyo et al, 2009).
j (Greenberg,I.M, 2011) menyatakan bahwa komplikasi juga meliputi
hematuria (S.haematobium) dan predisposisi untuk beberapa bentuk
kanker kandung kemih. Infeksi pada anak dapat menyebabkan retardasi
pertumbuhan dan anemia.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Litbangkes P2B2 Donggala, 2014. Data Prevalensi Pada manusia di


Sulawesi Tengah, Palu.

Ditjen PP & PL kemenkes, 2010. Program Pengendalian Skistosomiasis,


diakses 06 November 2014.
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/program_pengendalian_schistoso
miasis.pdf

Gandahusada, et al.,(1999). Parasitologi Kedokteran. Jakarta : FKUI.

Greenberg, MI., (2012) Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jillid 3. Jakarta:


Erlangga.

Hafsah, 2013. Karakteristik habitat dan morfologi siput Ongcomelania hupensis


lindoensis sebagai hewan reservoir dalam penularan shistosomiasis pada
manusia dan ternak di Taman Nasional Lore Lindu. J. Manusia dan
Lingkungan, 20 (2):144 152.

Iskandar, 2009. Tinjauan Skistosomiasis Pada Hewan Dan Manusia Di Lembah


Napu, Lembah Besoa Dan Lembah Danau Lindu Kabupaten Poso Sulawesi
Tengah, Balai Penelitian Veteriner, diakses 06 November 2014 melalui
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lkzo0536.pdf?
secure=1
Jamber, T.H., 2014. Challenges of schistosomiasis prevention and control in
Ethiopia : Literature review and current status. Journal of parisitology and
vector biolog, 6(6):80-6.

Jawetz, et al.,(2007)Mikrobiologi Kedokteran. edisi 23. Jakarta : EGC.

Li et al, 2011. Oriental schistosomiasis with neurological complications: case


report, Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials, vol 10 no.5, di
akses 06 November 2014 http://www.annclinmicrob.com/content/pdf/1476-
0711-10-5.pdf

Mubin, A.H, (2009)Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed.V.Jilid III, Internal Jakarta
: Publishing.

Mandal et al , 2006, lecture Notes Penyakit Infeksi, Edisi Enam , Jakarta,


Erlangga.
Ningsi et al, 2011.Pengetahuan dan Perilaku Kesehatan Masyarakat Lindu
Terkait Skistosomiasis Di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah, Balai
Litbangkes P2B2 Donggala, diakses 06 November 2014 melalui
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/8e10d3b109f622b3404e5292f81e143b.pd
f

Olveda et al, 2013. Bilharzia: Pathology, Diagnosis, Management and Control,


Tropical Medicine & Surgery, Volume 1 Issue 4, diakses 06 November 2014
http://esciencecentral.org/journals/bilharzia-pathology-diagnosismanagement-
and-control-2329-9088.1000135.pdf

Rosmini et a,l 2010, Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Penularan


Schistosoma japonicum Di Dataran Tinggi Napu Kabupaten Poso Sulawesi
Tengah, Buletin Penelitian Kesehatan, 38 (3): 131-139, diakses pada 18
februari 2015,dari <http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/
article/ download/99/178>.

Sudoyo et al, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 3, Jakarta: Interna
Publishing.
Soedarto, 2003. Zoonosis Kedokteran, Surabaya: Airlangga University Press.
Soedarto, 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Jakarta: CV Sagung Seto.
Tay et al, 2011. Prevalence Of Schistosoma Haematobium Infection In Ghana: A
Retrospective Case Study In Kumasi, International Journal of Parasitology
Research, Volume 3, Issue 2
http://www.liv.ac.uk/media/livacuk/qweci/prevalence,of,urinary,schisto....pdf

Ullyar, H., (2014)Schistosomiasis Control Programme in Indonesia. Directorate


Vector Borne Disease Control Disease Control & Environmental Health
MOH RI, Sulawesi Tengah.

Vrisca, V., Warouw, S.M., Wilar, R., Rampengan, N.H., 2013. Gambaran penyakit
Schistosomiasis japonicum ditinjau dari jarak antara rumah anak yang
terinfeksi dengan danau Lindu. 1-4.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3230106/pdf/bmj.d2651.pdf
http://whqlibdoc.who.int/trs/WHO_TRS_912.pdf

Anda mungkin juga menyukai