Anda di halaman 1dari 19

Portofolio

Seorang Wanita 52 Tahun dengan Disentri Amoeba

OLEH :
dr. Annisa Rizkia Fitri

PENDAMPING :
dr. Edwin
dr. Harry

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT PALANG BIRU GOMBONG
2016
Topik : Penatalaksanaan Kasus Disentri Amoeba
Tanggal Kasus : 28 April 2016 Presenter : dr. Annisa Rizkia Fitri
Tanggal Presentasi : 19 Mei 2016 Pendamping : dr. Edwin & dr. Harry
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan RS Palang Biru Gombong
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil


Neonatus
Deskripsi : Seorang wanita 52 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RS Palang
Biru Gombong dengan keluhan BAB cair sebanyak >10 kali dalam satu hari. Lendir (-),
darah (-). Selain itu pasien juga mengeluhkan mual, muntah, serta badan lemas.
Tujuan : Mengetahui penatalaksanaan pada pasien disentri amoeba.
Bahan Bacaan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Presentasi dan
Cara Membahas Diskusi Email Pos
Diskusi
Data Pasien Identitas : Ny. W / 52 tahun / P Nomor Registrasi : 033731
Nama Klinik Rumah Sakit Palang Biru Gombong, Kebumen, Jawa Tengah
Data Utama Untuk Bahan Diskusi
1. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama : BAB cair
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan BAB cair sebanyak >10
kali dalam satu hari. Lendir (-), darah (-). Selain itu pasien juga mengeluhkan mual,
muntah serta badan lemas, sehingga pasien berobat ke IGD RS Palang Biru
Gombong.
2. Riwayat Penyakit Dahulu : pasien belum pernah sakit serupa sebelumnya, riwayat
DM (+) tidak terkontrol
3. Riwayat Penyakit Keluarga: sakit gula, darah tinggi, sakit jantung disangkal
4. Riwayat Pengobatan : (-)
5. Riwayat Kebiasaan : merokok, minum alkohol disangkal
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Gizi kesan baik, BB : 55 kg
b. Vital Sign
TD : 150/100 mmHg
HR : 80 x/menit (teraba kuat, isian cukup, reguler)
RR : 20 x/menit (reguler)
S : 36,7oC (peraksiler)

1
c. Kepala
Normocephal
d. Mata
Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
e. Hidung
Epistaksis (-/-)
f. Mulut
Mukosa basah (-), sianosis (-), gusi berdarah (-)
g. Thoraks
Simetris (+), retraksi (-)
h. Cor
Iktus cordis tidak tampak, iktus cordis tidak kuat angkat, bunyi jantung I-II
intensitas normal, reguler, bising (-)
i. Pulmo
Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba sulit dievaluasi, perkusi
sonor/sonor, suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Dinding perut sejajar dinding dada, turgor kulit normal, bising usus meningkat,
timpani (+), supel, hepar dan lien tidak teraba
k. Ekstremitas
Oedem Akral dingin
- - + +
- - + +
7. Pemeriksaan Penunjang (Darah Rutin 4/1/2016)
Leukosit : 15.600 /ul
Trombosit : 293.000 /ul
Hemoglobin: 15.1 g/dl
Creatinin : 1,6 mg/dl
GDS : 246 mg/dl
8. Diagnosis
1. GEA
2. DM tipe II
9. Penatalaksanaan

2
1. IVFD RL 30 tpm 5. Lodia 2 tab extra p.o
2. Injeksi ondansetron 4 mg extra i.v 6. Lab feses rutin
3. Injeksi ranitidine 2x50 mg i.v 7. Diet bubur halus
4. Injeksi actrapid 2IU s.c 8. Rawat Sp.PD
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

RANGKUMAN PORTOPOLIO
1. Subyektif : BAB cair >10x sehari, mual, muntah, badan lemas
2. Obyektif :
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Abdomen : bising usus meningkat
Ekstremitas:
Akral dingin
+ +
+ +
Leukosit : 15.600 /ul
Creatinin : 1,6 mg/dl
GDS : 246 mg/dl
3. Assesment
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis dengan GEA dengan riwayat DM tipe II sebelumnya. Perlu
dilakukan pemeriksaan lab feses rutin untuk mengetahui etiologi dari penyakit
pasien dan untuk menentukan penatalaksanaan selanjutnya.
4. Planning
Diagnosis : GEA
DM tipe II
Pengobatan : IVFD RL 30 tpm
Injeksi ondansetron 4 mg extra i.v
Injeksi ranitidine 2x50 mg i.v
Injeksi actrapid 2IU s.c

3
Lodia 2 tab extra p.o
Lab feses rutin
Diet bubur halus
Rawat Sp.PD

DISENTRI

A. Definisi
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa lambung dan usus
halus yang ditandai dengan diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam
waktu 24 jam. Apabila diare > 30 hari disebut kronis. WHO (World Health
Organization) mendefinisikan diare akut sebagai diare yang biasanya
berlangsung selama 3 7 hari tetapi dapat pula berlangsung sampai 14 hari.
Diare persisten adalah episode diare yang diperkirakan penyebabnya adalah
infeksi dan mulainya sebagai diare akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta
kondisi ini menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi menyebabkan
kematian.
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus), yang berarti gangguan usus yang menimbulkan gejala meluas dengan

4
gejala buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume
sedikit, buang air besar dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat
buang air besar (tenesmus). Disentri merupakan peradangan pada usus besar
yang ditandai dengan sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus
menerus (diare) yang bercampur lendir dan darah. Disentri adalah penyakit
pencernaan berupa infeksi usus atau radang usus yang disebabkan oleh
bakteri, yang menyebabkan diare yang cukup parah.

B. Etiologi
Etiologi dari disentri ada 2, yaitu :
1. Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp. Shigella adalah basil non
motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella,
yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe
O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai serotipe
tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik,
maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda.
Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan
menyebabkan infeksi dalam jumlah 102 -103 organisme. Penyakit ini
kadang-kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan
lingkungan yang jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit.
Secara klinis mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan
darah dalam tinja, perut terasa sakit dan tenesmus.
2. Amebiasis (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica.
E.histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai
mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila
kondisi mengizinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara
membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga
menimbulkan ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk
trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2
macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran < 10 mm) dan trofozoit
patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat dijumpai di

5
lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami
diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara trofozoit
patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal)
maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala disentri.
Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai 50 mm)
dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan
trofozoit patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite).
Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala penyakit
namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia. Bentuk kista juga
ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa. Bentuk kista hanya
dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung 5 jawab terhadap
terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh manusia
serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di dalam
sistem air minum. Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang
usus besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista.

C. Patofisiologi
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis
menjadi diare non inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan
invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri
dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai
keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah,
demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja
rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis
didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang
mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah.
Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala
dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat
cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan
leukosit. Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat

6
dibagi menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan
motilitas.
Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap
meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma
sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat
defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi
yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat
toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam
empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa
hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga
dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik
usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat
infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy,
inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan
waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan
tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi
bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus
dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. Pada
dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus.

D. Patogenesis

7
Bakteri dapat tersebar dan menular melalui makanan dan air yang
sudah terkontaminasi kotoran dan bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat
merupakan serangga yang hidup di tempat yang kotor dan bau, sehingga
bakteri dengan mudah menempel di tubuhnya dan menyebar di setiap tempat
yang dihinggapi. Bakteri masuk ke dalam organ pencernaan mengakibatkan
pembengkakan hingga menimbulkan luka dan peradangan pada dinding usus
besar. Inilah yang menyebabkan kotoran penderita sering kali tercampur nanah
dan darah. Gejala yang akan dialami penderita disentri biasanya berupa
mencret dan perut mulas, bahkan sering kali penderita merasakan perih di
anus akibat terlalu sering buang air.

E. Gejala Klinis
1. Disentri Basiler
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata
7 hari sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut
bawah, diare disertai demam yang mencapai 40 0C. Selanjutnya diare
berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan
nafsu makan menurun. Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang
ringan, sedang sampai yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah
kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut
menjadi cekung. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya
disebabkan oleh S. dysentriae.
Gejalanya timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-
berak seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan
subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal
bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan
dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna
kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah meningkat
(hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa
seperti gejala kolera atau keracunan makanan. Kematian biasanya terjadi
karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma uremik. Angka

8
kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini
bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat misalnya
kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara
perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama. Pada
kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih
berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan
pada kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan.
Berbeda dengan kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus akut
secara menahun. Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan
yang baik.
2. Disentri Amuba
a. Disentri Amoeba Carrier (Cyst Passer) : Pasien ini tidak menunjukkan
gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karena amoeba yang
berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding
usus.
b. Disentri amoeba ringan : Timbulnya penyakit (onset penyakit)
perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadang
nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5
kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja bercampur
darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang
nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi
ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit
demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak
atau sedikit nyeri tekan.
c. Disentri amoeba sedang : Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta
dibanding disentri ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan
aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai lendir dan darah. Pasien
mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai hepatomegali
yang nyeri ringan.

9
d. Disentri amoeba berat : Keluhan dan gejala klinis lebih berat lagi.
Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15
kali sehari. Demam tinggi (400C-40,50C) disertai mual dan anemia.
e. Disentri amoeba kronik : Gejalanya menyerupai disentri amoeba
ringan, serangan-serangan diare diselingi dengan periode normal atau
tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia.
Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam
atau makanan yang sulit dicerna.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Disentri amoeba
a. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang
sangat penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan
lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar.
Kadang diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali
seminggu dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat
pengobatan.
b. Laboratorium darah
(1) Leukositosis tanpa eosinofilia ( 80 % dari pasien )
(2) Peningkatan alkali fosfatase ( 80 % )
(3) Peningkatan transaminase
(4) Sedikit peningkatan bilirubin
(5) Penurunan albumin
(6) Anemia ringan
(7) Peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit

c. Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi


Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan
gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak
ditemukan amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk
carrier. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan
tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-
ulkus tampak normal.

10
d. Foto rontgen kolon
Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali
ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto
rontgen kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme
otot. Pada ameboma nampak filling defect yang mirip karsinoma.
e. Pemeriksaan uji serologi
Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati
amebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba
menembus jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada
pasien abses hati dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil
uji serologis positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila
negatif pasti bukan amebiasis.
2. Disentri basiler
a. Pemeriksaan tinja.
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta
biakan hapusan (rectal swab). Untuk menemukan carrier diperlukan
pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti karena basil shigela
mudah mati . Untuk itu diperlukan tinja yang baru.
b. Enzim immunoassay.
Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita
yang terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan E.coli.
c. Sigmoidoskopi.
Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah
sigmoid. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut.
d. Aglutinasi.
Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum
pada hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada
pengenceran 1/50 dan pada S.flexneri aglutinasi antibodi sangat
kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang dipakai.
e. Gambaran endoskopi

11
Memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan ulserasi.
Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada di
bagian distal kolon dan secara progresif berkurang di segmen
proksimal usus besar.

G. Komplikasi
1. Disentri amoeba
a. Komplikasi intestinal
(1) Perdarahan usus.
(2) Perforasi usus.
(3) Ameboma.
(4) Intususepsi.
(5) Penyempitan usus (striktura).
b. Komplikasi ekstraintestinal
(1) Amebiasis hati.
(2) Abses pleuropulmonal.
(3) Abses otak, limpa dan organ lain.
(4) Amebiasis kulit.
2. Disentri basiler
a. Komplikasi ekstraintestinal
(1) Haemolytic uremic syndrome (HUS). HUS diduga akibat adanya
penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh Shigella. Biasanya
HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri basiler, yaitu
pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda- 17 tanda HUS
dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam
24 jam) dan secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau
anemia berat dengan gagal jantung. Dapat pula terjadi reaksi
leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro liter), trombositopenia
(30.000-100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat
bahkan gejala susunan saraf pusat seperti ensefalopati, perubahan
kesadaran dan sikap yang aneh.

12
(2) Artritis.
(3) Neuritis perifer.
b. Komplikasi intestinal
(1) Toksik megakolon.
(2) Prolaps rectal.
(3) Perforasi.
(4) Peritonitis.
(5) Hemoroid.

H. Penatalaksanaan
1. Pada umumnya diare akut bersifat ringan dan sembuh cepat dengan
sendirinya melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang diperlukan
evaluasi lebih lanjut. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat diberikan
obat antidiare untuk mengurangi gejala dan antimikroba untuk terapi
definitif. Obat antidiare, antara lain: a. Turunan opioid: Loperamid,
Difenoksilat atropin, Tinktur opium dimana obat ini sebaiknya tidak
diberikan pada pasien dengan disentri yang disertai demam, dan
penggunaannya harus dihentikan apabila diare semakin berat walaupun
diberikan terapi; b. Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien
immunokompromais, seperti HIV, karena dapat meningkatkan risiko
terjadinya bismuth encephalopathy; c. Obat yang mengeraskan tinja:
atapulgit 4x2 tablet/ hari atau smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB
encer sampai diare stop; d. Obat anti sekretorik atau anti enkefalinase:
Racecadotril 3x1
2. Tirah baring
3. Mencegah terjadinya dehidrasi
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi
oral. Cairan diberikan 50 200 ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan
status hidrasi. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g
natrium klorida, 2,5 g natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g
glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam

13
paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika
sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat
dibuat dengan menambahkan sendok teh garam, sendok teh baking
soda, dan 2 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir
jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Bila rehidrasi oral tidak
mencukupi dapat diberikan cairan melalui infus.
4. Diet, diberikan makanan lunak sampai frekuensi BAB kurang dari
5kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
5. Antimikroba
a. Golongan kuinolon yaitu Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 5-7
hari
b. Trimetroprim/Sulfametoksazol 160/800 2 x 1 tablet/hari.
c. Apabila diare diduga disebabkan oleh Giardia, Metronidazol dapat
digunakan dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.
d. Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien
diobati dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan
perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan,
antibiotik diganti dengan jenis yang lain.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal Fluorokuinolon seperti
Siprofloksasin atau makrolid Azithromisin ternyata berhasil baik untuk
pengobatan disentri basiler. Dosis Siprofloksasin yang dipakai adalah 2
x 500 mg/hari selama 3 hari sedangkan Azithromisin diberikan 1 gram
dosis tunggal dan Sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian
Siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan
wanita hamil.
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriae
tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik
dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotik yang
dianjurkan dalam pengobatan stadium karier disentri basiler.

14
e. Di daerah endemik, infeksi tanpa gejala tidak diobati. Untuk disentri
amoeba diberikan antibiotik Metronidazol 500 mg 3x sehari selama 3-
5 hari. Metronidazol adalah terapi utama untuk amebiasis invasif.
Tinidazol telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA)
untuk amebiasis usus atau ekstraintestinal.
Terapi Nitroimidazole menghasilkan respon klinis di sekitar 90%
pasien dengan kolitis amebic ringan sampai sedang. Karena parasit
intraluminal tidak terpengaruh oleh Nitroimidazoles, terapi
Nitroimidazole untuk kolitis amebic harus diikuti dengan pengobatan
dengan agen luminal (misalnya, Paromomycin atau Diloxanide furoat)
untuk mencegah kekambuhan.
Amebic abses hati hingga 10 cm dapat disembuhkan dengan
Metronidazol tanpa drainase.
Gejala klinis penurunan suhu badan sampai yang normal harus terjadi
selama 3-4 hari pertama pengobatan. Kegagalan terapi Metronidazol
dapat menjadi indikasi untuk intervensi bedah. Pengobatan dengan
agen luminal juga harus mengikuti.
Klorokuin juga telah digunakan untuk pasien dengan amebiasis hati.
Antibiotik spektrum luas dapat ditambahkan untuk mengobati
superinfeksi bakteri dalam kasus kolitis amebic fulminan dan diduga
perforasi.

I. Edukasi
1. Perbanyak minum air putih
Air putih dalam tubuh sangat berguna untuk mendetoks atau mengeluarkan
racun, bakteri ataupun kuman, sehingga air putih sangat efektif untuk
mengatasi penyakit disentri, oleh sebab itu jika Anda mengalami penyakit
disentri, maka konsumsilah air putih sebanyak mungkin, semakin banyak
Anda mengonsumsi air putih akan semakin baik.
2. Hindari makanan manis dan pedas

15
Makanan yang memiliki gula tinggi seperti yang terdapat pada makanan
manis sangat tidak baik bagi kesehatan usus besar, terutama jika bagian
organ tersebut sedang mengalami peradangan seperti pada penderita
penyakit disentri. Selain makanan manis, hindari pula makanan yang
memiliki rasa pedas, makanan yang memiliki rasa pedas akan membuat
usus besar menjadi terluka dan bahkan bisa mengakibatkan pendarahan
akut atau kronis.
3. Hindari alkohol
Alkohol merupakan musuh terbesar terhadap penyakit disentri, karena
alkohol mampu membuat komplikasi menjadi muncul pada peradangan
usus, dan bahkan alkohol juga dapat membuat kanker usus. Selain alkohol
hindari pula kopi, coklat, capuccino dan rokok. Karena pada dasarnya
konsumsi hal semacam itu sangat tidak baik untuk sistem pencernaan
tubuh.
4. Menjaga kebersihan perorangan (personal hygiene) dan kebersihan
lingkungan (environmental hygiene). Kebersihan perorangan antara lain
adalah mencuci tangan dengan bersih sesudah mencuci anus dan sebelum
makan. Kebersihan lingkungan meliputi : memasak air minum, mencuci
sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum dimakan, buang air
besar dijamban, tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup
dengan baik makanan yang dihidangkan untuk menghindari kontaminasi
oleh lalat dan lipas, membuang sampah ditempat sampah yang ditutup
untuk menghindari lalat.

J. Kriteria Rawat Inap

1. Tanda dehidrasi berat

2. Terjadi penurunan kesadaran

3. Nyeri perut yang signifikan

4. Pasien tidak dapat minum oralit

16
K. Kriteria Rujukan
Pada pasien dengan kasus berat perlu dirawat intensif dan konsultasi
ke pelayanan kesehatan sekunder (spesialis penyakit dalam).

L. Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang,
ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya prognosis dubia
ad bonam.

Daftar Pustaka

1. Syaroni Akmal. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI.2006. Hal 1839-41.
2. Oesman, Nizam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi III. Jakarta:
FKUI.2006.
3. Kroser, A. J. Shigellosis. 2014. Diakses dari
emedicine.medscape.com/article/182767-overview
4. Vinod K Dhawan. Amebiasis. 2016. Diakses dari
emedicine.medscape.com/article/212029-overview
5. Umar Zein, Khalid Huda Sagala, Josia Ginting. Diare Akut Disebabkan
Bakteri. 2004. Fakultas Kedokteran Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara

17
6. Tim Penyusun. Panduan Praktis Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2014. PB IDI.

18

Anda mungkin juga menyukai