Nadya Saraswati
114105090
Fakultas Falsafah dan Peradaban
Hubungan Internasional
Summary
Dalam artikel The Lessons of Charlie, or Locality in the Age of Globalization
yang ditulis oleh Darling-Wolf, ia membagi pembahasan dalam 5 sub-bahasan.
Pertama-tama, Darling-Wolf memulai artikelnya dengan membahas bagaimana
globalisasi memainkan peranan penting dalam hampir setiap aspek kehidupan, tidak
terkecuali bagaimana arus budaya dan informasi secara global menembus batas-batas
Negara. Karena pada dasarnya artikel ini membahas bagaimana bayangan-bayangan
imajiner dalam globalisasi beroprasi, dan bagaimana peran media dalam membentuk
bayangan-bayangan imajiner tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Darling-Wolf
(2016:1) bahwa transformasi pada ruang sosial individu-individu dalam hubungan
anatara global dan lokal yang dibawa oleh adanya globalisasi memperburuk
adaya kecemasan dan ketidakpastian.
Hal yang perlu kita garis bawahi adalah bagaimana globalisasi dapat dilihat
dua sisi, dimana pada era globalisasi dengan perkembangan teknologi dan informasi
yang cepat akan memfasilitasi organisasi jaringan transnasional untuk menyebarkan
pengaruh dan tindakannya seperti bagaimana jaringan teroris menyebarkan terornya
dan merekrut anggotanya yang siap untuk berjihad dan disisi lain, pemerintah
berbagai Negara telah mengupayakan pemanfaatan tekonologi dan arus informasi
pada era ini untuk memperkuat unit anti-terorisnya.
Atau bagaimana proses globalisasi juga membantu efisiensi dan ketersediaan
komunikasi secara transkultural untuk jaringan teoris bahkan menyebarkan rasa
terbuang dan amarah yang nantinya dapat memungkinkan adanya kekerasan yang
lebih dari aksi terorisme, namun juga disisi lain dengan arus informasi yang tentu
didorong oleh teknologi pada era globalisasi membuat solidaritas tersendiri pada
tataran global dalam melawan terorisme, seperti yang dilakukan masyarakat global
pasca tragedi penembakan yang terjadi dikantor redaksi Charlie Hebdo beberapa
tahun yang lalu.
Pada bagian-bagian selanjutnya Darling-Wolf mulai mengarah pada diskusi
bagaimana media memainkan peran penting dalam membentuk dan mengasupi
keterlibatan individu-individu dalam konteks global, dimana individu-individu
tersebut melibatkan diri mereka dalam arus produk budaya, gambar-gambar, dan
informasi yang semakin terputus dari tempat asal mereka (transboundary) seperti
statement McLuhan yang dikutip oleh Darling-Wolf (2016:2). Dan inilah yang
dimaksud dengan deterritorialization.
Dan bila Benedict Anderson menggunakan istilah komunitas terbayang atau
imagined communities maka pada pada konteks ini istilah yang tepat adalah
globalization imagined dimana hal tersebut merupakan konstruksi soaial yang
dibayangkan oleh individu-individu yang memandang dirinya sebagai bagian dari
komunitas global tersebut. Pada dasarnya, Darling-Wolf banyak menceritakan banyak
kronologis mengenai tragedi pada Januari 2015 lalu di Paris dimana tragedi Charlie
Hebdo ini akan memberikan kesempatan bagi kita untuk mengeksplorasi koneksi
lokal dan global (Darling-Wolf, 2016:2).
Je Suis Charlie atau Saya Charlie merupakan seruan netizen dalam
mengekspresikan rasa prihatinnya dengan menulis pesan solidaritas yang terlihat di
internet lalu menyebar ke jalan dimana aksi solidaritas di Paris terus berlangsung
pasca tragedi tersebut. Dengan dukungan media sosial, Je Suis Charlie menyebar
keseluruh kawasan didunia tentunya melewati lintas kultur Negara-Negara,
konsekuensinya pemberitaan mengenai isu tersebut menjadi perbincangan dan
pemberitaannya tersebar pada beberapa saluran TV diseluruh dunia, fenomena ini
jelas membentuk posisi masyarakat Prancis dalam hubungannya dengan global,
namun tidak hanya itu, fenomena tersebut mengfragmentasikan sifat bayangan global
atau global imagination (Darling-Wolf, 2016:3)
Dari apa yang telah dipaparkan pada artikel tersebut, dapat dilihat bagaimana
kompleksitas dan sifat dari politik sendiri dalam seluruh diskursus media pada era
globalisasi. Pertanyaan mengenai kebebasan berpendapat dan sensitivitas masyarakat
mendominasi diskusi pada artikel ini. Pada bagian terakhir, Darling-Wolf kemudian
membahas bahwa adanya benturan kultur yang terlihat pada fenomena ini, yang
pertama adalah, pada dasarnya kartunis-kartunis Charlie Hebdo memang merupakan
individu-individu yang datang dari sejarah panjang anarkis dan karakteristik yang
menyampaikan pendapat dengan menyindir (sarkas) selain itu mereka hidup pada
budaya Prancis menganut paham sekular, hal ini jelas berbenturan dengan budaya
kebanyakan masyarakat muslim.
Maka terdapat perbedaan pemahaman mengenai kebebasan berekspresi,
terutama dalam konteks ini. Seperti yang dikatakan oleh Darling-Wolf (2016:5)
bahwa formasi dari imajinasi global dan apa yang individu rasakan dari lokalitas
seperti yang didiskusikan pada artikelnya dapat membantu kita memahami bahwa
merepresentasikan Nabi Muhammad SAW bahkan dalam konteks kebebasan
berpendapat sekalipun tidak sama dengan merepresentasikan Paus. Atau dengan kata
lain, mengkritik sesuatu yang memiliki posisi istimewa tidak sama dengan
mengkritik sesuatu yang memiliki posisi subordinasi. Akhirnya, Darling-Wolf
(2016:5) mengatakan bahwa kritik sosial seperti apa yang dilakukan Charlie Hebdo
harus dapat menyesuaikan diri dengan realita global/lokal, hal ini harus diperhatikan
wartawan atau pihak yang bekerja di dunia jurnalis, termasuk yang satir (sarkas).
Daftar Pustaka
Walt, Stephen M., 2015. Think Before You March: Why Mass Rallies and
Photo Ops are the Wrong Response to Attacks like Charlie Hebdo. Diakses dari
http://foreignpolicy.com/2015/01/16/think-before-you-march-charlie-hebdo-islamist-
terrorism/ pada tanggal 19 Maret 2017 pukul 20.18 WIB
Wolf-Darling, Fabienne, 2016. The Lesson of Charlie, or Locality in the Age
of Globalization dari International Journal: Journalism and Mass Communication
Vol. 3. Diakses dari http://dx.doi.org/10.15344/2349-2635/2016/115 pada 15 Maret
2017 pukul 11.15 WIB