Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Esofagitis refluks merupakan bentuk esofagitis yang paling sering ditemukan secara
klinis. Gangguan ini disebabkan oleh sfingter esofagus bagian bawah yang bekerja kurang
baik dan refluks asam lambung atau getah alkali usus ke dalam esofagus yang berlangsung
dalam waktu yang lama. Terdapat banyak hal yang menjadi faktor risiko GERD, di antaranya
adalah usia tua, laki-laki, obesitas, hernia hiatus, merokok, konsumsi alkohol berlebihan,
sindrom iritasi usus (Irritable Bowel Syndrome) dan riwayat keluarga dengan penyakit
saluran cerna.1,2,3,4
Penyakit ini merupakan penyebab lazim gejala saluran cerna bagian atas, yakni
heartburn dan regurgitasi. Perkembangan refluks esofagitis menggambarkan
ketidakseimbangan antara mekanisme anti refluks esofagus dengan kondisi lambung.
Anamnesis adalah faktor tunggal yang sangat berguna dalam diagnosis refluks esofagitis.
Pemeriksaan khusus hendaknya dilakukan bila gejala tidak spesifik atau tetap muncul setelah
diterapi. Tujuan terapi adalah mengendalikan gejala dan menyembuhkan kerusakan mukosa.
Sangatlah berguna untuk mempertimbangkan terapi dalam tiga tahap: modifikasi gaya hidup,
medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi yang terjadi akibat refluks adalah peradangan,
perdarahan dan pembentukan jaringan parut dan striktur.2,3,5
Di Indonesia belum ada data mengenai penyakit ini. Divisi Gastroentologi Ilmu Penyakit
Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan kasus esofagitis sebanyak
22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.
Kompetensi dokter umum untuk esofagitis refluks adalah 3A dimana lulusan dokter mampu
membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan
gawat darurat, menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya dan
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.6

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke lambung.


Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Di mulai dari batas bawah tulang rawan
krikoid atau setinggi vertebra C.VI, berjalan sepanjang leher, mediastinum superior dan
posterior, di depan vertebra servikal dan torakal, dan berakhir pada orifisium kardia lambung
setinggi vertebra Th.XI. Melintas melalui hiatus esofagus diafragma setinggi vertebra Th.X.7
Esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tak berkeratin yang tebal dan memiliki dua
sfingter yaitu sfingter atas dan sfingter bawah. Sfingter esofagus atas merupakan daerah
bertekanan tinggi dan daerah ini berada setinggi kartilago krikoid. Fungsinya
mempertahankan tonus, kecuali ketika menelan, bersendawa dan muntah. Meskipun sfingter
esofagus atas bukan merupakan barrier pertama terhadap refluks, namun dia berfungsi juga
untuk mencegah material refluks keluar dari esofagus proksimal menuju ke hipofaring.
Sfingter bawah esofagus panjangnya kira-kira 3 cm, dapat turun 1-3 cm pada pernafasan
normal dan naik sampai 5 cm pada pernafasan dalam, merupakan daerah bertekanan tinggi
yang berada setinggi diafragma. Sfingter ini berfungsi mempertahankan tonus waktu menelan
dan relaksasi saat dilalui makanan yang akan memasuki lambung serta mencegah refluks.
Relaksasi juga diperlukan untuk bersendawa.7
Menurut letaknya esofagus terdiri dari beberapa segmen yaitu segmen servikalis 5-6 cm (
C.VI-Th. I ), segmen torakalis 16-18 cm ( Th. I-V ), segmen diafragmatika 1-1,5 cm ( Th. X )
dan segmen abdominalis 2,5-3 cm ( Th. XI ). Esofagus memiliki beberapa daerah
penyempitan (Gambar 1) yaitu di daerah krikofaringeal, setinggi C. VI Daerah ini disebut
juga Bab el Mandeb/Gate of Tear, merupakan bagian yang paling sempit dan mudah terjadi
perforasi, daerah aorta setinggi Th. IV, daerah bronkus kiri setinggi Th. V dan daerah
diafragma setinggi Th. X .7

2
Gambar 1. Anatomi esofagus.

Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan (Gambar 2), yaitu lapisan mukosa, sub
mukosa, muskularis, dan serosa. Lapisan pertama adalah mukosa, yang terbentuk dari epitel
berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring bagian atas, dalam keadaan normal
bersifat basa dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam. Lapisan kedua adalah
sub mukosa yang mengandung sel-sel sekretoris yang menghasilkan mukus yang dapat
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera
akibat zat kimia. Lapisan ketiga adalah lapisan muskularis yang terdiri dari jaringan otot.
Otot bagian esofagus merupakan otot rangka. Sedangkan otot pada separuh bagian bawah
merupakan otot polos, bagian yang diantaranya terdiri dari campuran antara otot rangka dan
otot polos. Lapisan keempat adalah lapisan serosa yang terdiri dari jaringan ikat yang jarang
menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan, tidak adanya serosa
mengakibatkan penyebaran sel-sel tumor lebih cepat (bila ada kanker esofagus) dan
kemungkinan bocor setelah operasi lebih besar.7

3
Gambar 2. Lapisan esofagus.

2.2 Fisiologi Esofagus

Esofagus secara anatomis dibatasi kedua ujungnya dengan suatu sfingter. Sfingter
krikofaringeus adalah sfingter bagian atas yang membatasi esofagus dengan faring. Fungsi
utamanya adalah mencegah masuknya udara ke esofagus sewaktu menarik nafas, sedangkan
bagian bawah adalah sfingter esofagus bawah (LES). Ia berfungsi menghalangi refluks cairan
lambung masuk ke esofagus. LES merupakan otot sirkular yang terletak di bagian bawah
esofagus, tepatnya sekitar 5 cm di atas perbatasan dengan lambung.7
Secara anatomis sfingter ini tidak berbeda dari bagian esofagus lainnya. Akan tetapi,
secara fisiologis sfingter ini bersifat tonis; berbeda dengan bagian tengah esofagus yang
dalam keadaan normal senantiasa relaksasi. Pada saat terjadi gerakan peristaltik menelan,
maka terjadi pelemasan sfingter otot sebelum gerakan peristaltik timbul. Dengan keadaan ini
makanan yang ditelan dimungkinkan untuk didorong dengan mudah masuk ke lambung.7

2.3 Epidemiologi
Refluks esofagitis didefinisikan sebagai gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus
(esofagitis) akibat refluks abnormal isi lambung ke dalam esofagus. 1 Penyakit
gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan suatu gangguan dimana isi lambung
mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala
dan/atau komplikasi yang menganggu. (tp: Indonesia pust). GERD dapat diklasifikasikan
menjadi dua kelompok antara lain esofagitis erosif (ERD), yang mempunyai ciri kerusakan
mukosa esofageal yang dapat dilihat dengn pemeriksaan endoskopi sedangkan Non-erosive

4
Reflux Disease (NERD) adalah yang memiliki gejala refluks mengganggu tapi tidak
menunjukkan kerusakan pada mukosa esofageal.5
Berdasarkan 16 studi epidemiologi yang telah dilakukan, prevalensi GERD di Amerika
Utara 18,1% - 27,8%, Amerika Selatan 23,0%, Eropa 2,5% - 7,8%, Australia 11,6%, Timur
Tengah 8,7%-33,1%, dan Asia 2,5% - 7,8%. 4 Di Indonesia belum ada data mengenai penyakit
ini. Divisi Gastroentologi Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
mendapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani
pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.5,6

2.4 Etiologi
Daerah perbatasan gastroesofagus yang bertekanan tinggi (atau sfingter esofagus bagian
bawah) merupakan mekanisme terpenting untuk mencegah terjadinya refluks. Tonus sfingter
ini tidak hanya dipengaruhi oleh berbagai obat tetapi juga oleh pengaruh hormonal seperti
gastrin dan sekretin, yang berperan penting dalam mempertahankan integritas sfingter. Sudut
lancip antara esofagus dan lambung mungkin merupakan mekanisme penting dalam
pencegahan refluks, karena membentuk susunan seperti katup dengan penutup yang
mencegah regurgitasi.7
Pergeseran letak segmen bawah esofagus ke dalam dada seperti yang terjadi pada hernia
hiatus akan menghilangkan sawar refluks dan dapat menerangkan hubungan antara hernia
hiatus dengan refluks esofagitis. Hernia hiatus didefinisikan sebagai herniasi bagian lambung
ke dalam dada melalui hiatus esofagus diafragma. Kompetensi sfingter esofagus bagian
bawah dapat rusak dan menyebabkan terjadinya esofagitis refluks.7

2.5 Faktor Risiko


Kejadian GERD dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa obesitas, berat badan dan kenaikan indeks massa tubuh (IMT) berkaitan
dengan GERD. Studi terbaru menunjukkan bahwa polimorfisme genetik pada gen yang
mempengaruhi respon inflamasi host, metabolisme obat, regulasi siklus sel, perbaikan DNA,
mutagenesis, fungsi sensorik esofagus terkait dengan risiko GERD.1,2,3
Terdapat banyak hal yang menjadi faktor risiko GERD, di antaranya adalah usia tua, laki-
laki, ras, riwayat keluarga, obesitas, hernia hiatus, merokok, konsumsi alkohol berlebihan,
sindrom iritasi usus (Irritable Bowel Syndrome) dan riwayat keluarga dengan penyakit
saluran cerna. Selain itu penggunaan farmasi seperti antikolinergik, antidepresan, dan
bronkodilator inhalasi juga meningkatkan kemungkinan terjadinya GERD.1,2,3,4,5
Penelitian menunjukkan sekitar 55 82% pasien asma mempunyai gejala GERD.
Penelitian dengan pemantauan pH esofagus 24 jam menemukan refluks asam abnormal

5
terjadi pada 69 82% pasien asma. Hasil pemeriksaan endoskopi pasien asma menunjukkan
kekerapan esofagitis antara 27 43%.8

2.6 Patofisiologi
Esofagitis dapat terjadi akibat dari refluks gastroesofageal apabila terjadi kontak dalam
waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan esofagus atau terjadi penurunan
resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan
esofagus tidak cukup lama.Ada beberapa faktor penting yang memegang peranan untuk
terjadinya GERD dan refluks esofagitis.5,7
a. Rintangan anti-refluks (Anti-Reflux Barrier)
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES (Lower esophageal
sphincter). Tekanan LES yang lebih kecil dari 6 mmHg (LES hipotonik) hampir selalu
disertai GERD yang cukup berarti. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai
tonus LES yang normal. Ini yang dinamakan Inappropriate atau Transient Sphincter
Relaxation, yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung kurang dari 5
detik tanpa didahului proses menelan.5,7
Beberapa faktor yang memengaruhi tekanan LES antara lain hormon, unsur neural,
makanan dan obat-obatan. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES antara lain
adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-
obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiat dan lain-lain serta faktor
hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus
LES.5,7
b. Isi lambung dan pengosongannya
GERD sering terjadi sewaktu habis makan daripada keadaan puasa karena isi lambung
merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang
lamban akan menambah kemungkinan refluks.5,7
c. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan asam empedu/lysolecithin yang ada dalam bahan refluks mempunyai
daya perusak terhadap mukosa esofagus. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin
meningkat pada pH <2. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak
yang paling tinggi adalah asam.5,7

d. Proses membersihkan esofagus (Esophageal Clearing)


Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, ekskresi air liur dan bikarbonat. Bahan refluks dialirkan kembali ke lambung

6
oleh kontraksi peristaltik esofagus dan pengaruh gaya gravitasi. Proses membersihkan
esofagus dari asam (Esophageal acid clearance) berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula
peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan cepat
mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang dibentuk sebanyak 0,5 ml/menit
menetralkan asam yang masih tersisa.5,7

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan
refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar kemungkinan terjadinya
esofagitis. Refluks malam hari (nocturnal reflex) lebih besar berpotensi menimbulkan
kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus
tidak aktif.5

e. Ketahanan epitelial esofagus

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus
yang melindungi mukosa esofagus. Membran ketahanan esofagus terdiri dari membran
sel, batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difus H+ ke jaringan
esofagus, aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2; sel-sel esofagus yang mempunyai kemampuan untuk
mentransport ion H+ dan Cl- intraselular dengan Na+ dan bikarbonat ekstraselular. Nikotin
dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esofagus, sedangkan alkohol dan
aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H+.5

2.7 Manifestasi Klinis


GERD ditandai dengan berbagai manifestasi klinis, mulai dari gejala refluks tanpa
makroskopis esofagitis sampai komplikasi kronis berupa kerusakan mukosa esofageal.
Heartburn adalah gejala yang paling umum dari GERD. Pada beberapa pasien, nyeri ulu hati
bisa disertai regurgitasi asam, odinofagia, dan disfagia. Berbagai macam gejala paru dan
otolaring juga dapat muncul. Selain laringitis, faringitis, batuk kronis, asma, bronkiektasis,
sindrom aspirasi berulang, manifestasi ekstraesofageal dari GERD dapat termasuk mual dan
muntah serta perubahan erosif pada enamel gigi.5,6,7
Heartburn atau pirosis ditandai oleh sensasi panas, terbakar yang biasanya sangat terasa
di epigastrium atas atau di belakang prosesus xifoideus dan menyebar ke atas. Gejala ini
dapat menjalar ke dada, leher dan sudut rahang. Heartburn dapat disebabkan oleh refluks
asam lambung atau sekret empedu ke dalam esofagus bagian bawah, keduanya mengiritasi

7
mukosa. Gejala ini diperberat dengan posisi membungkuk, mengejan, berbaring telentang
dan setelah makan. Gejala ini diperingan dengan posisi tegak, menelan saliva atau air, dan
antasid.5,6,7
Nyeri dada esofageal menyerupai nyeri kardiak disebut nyeri nonkardiak atau nyeri dada
atipikal. Penyakit arteri koroner harus dieksklusikan terlebih dahulu sebelum esofagus
dianggap sebagai penyebab dari nyeri dada atipikal. Penyebab nyeri dada esofageal yang
paling sering adalah esofagitis refluks. Uji perfusi asam (tes Bernstein) digunakan untuk
membedakan antara nyeri dada yang berasal dari jantung dengan nyeri dada akibat spasme
esofagus yang disebabkan oleh asam karena gejala kedua gangguan dapat identik.5

2.8 Penegakan Diagnosis


Esofagitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, yang bisa menggunakan kuosioner
GerdQ (Gambar 3) apabila hasil 8-18 dan pemeriksaan fisik, tapi ada beberapa pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD. Termasuk di antaranya
adalah endoskopi saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas
merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esofagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini
disebut sebagai non-erosive reflux disease (NERD). Terdapat beberapa klasifikasi kelainan
esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles
(Tabel 1) dan klasifikasi Savary-Miller.5

Gambar 3. Kuosioner GerdQ dalam bahasa Indonesia.5

Tes penghambat pompa proton (proton pump inhibitor test) merupakan terapi empirik
untuk menilai gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1 2 minggu
sambil melihat respons yang terjadi. Tes ini dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik
seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari
50%-75% gejala yang terjadi dalam satu minggu. Tes PPI merupakan salah satu langkah yang

8
dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama untuk
pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm. Yang dimaksud dengan gejala alarm
adalah: berat badan turun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat
keluarga dengan kanker esofagus/lambung dan umur > 40 tahun.5,9
Endoskopi gastrointestinal bagian atas (UGIE) merupakan gold standard dalam
menegakkan diagnosis GERD dengan esofagitis erosif. Endoskopi pada pasien GERD
dianjurkan pada pasien dengan gejala alarm (disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat
badan tanpa penyebab yang jelas, anemia akut, hematemesis dan/atau melena, riwayat
keluarga dengan keganasan gaster dan esofageal, penggunaan NSAID jangka lama, usia >40
tahun) dan yang tidak memberikan respons menggunakan PPI dua kali sehari.5
Sampai sekarang belum ada gold standard untuk menegakkan diagnosis NERD. Kriteria
penegakan diagnosis NERD adalah tidak ditemukannya kerusakan mukosa pada pemeriksaan
endoskopi, test pH esofageal yang menunjukkan hasil positif dan dengan pemberian terapi
PPI dua kali setiap hari memberikan respons positif.5

Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles.5

Derajat
Gambaran Endoskopi
kerusakan
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 mm.
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling
B
berhubungan.
Lesi yang konfluen menetap tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
C
lumen.
Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh
D
lumen esofagus)

Pada uji perfusi asam (tes Bernstein), asam hidroklorat (HCl) 0,1 N diteteskan melalui
kateter atau selang transnasal dengan kecepatan 6 sampai 15 ml/menit ke dalam esofagus
distal (kadar HCl sama dengan asam lambung normal). Bila pasien mengalami nyeri esofagus
atau ulu hati, maka hasil pemeriksaan ini positif. Nyeri yang menghilang cepat dengan
pemberian larutan alkali atau netral memastikan bahwa mukosa esofagus merupakan asal
timbulnya nyeri yang diinduksi oleh asam. Penyakit yang paling sering ditemukan bila hasil
uji ini positif adalah esofagitis refluks, tetapi setiap penyakit yang menyebabkan terputusnya
kontinuitas mukosa esofagus dapat menyebabkan uji ini menjadi positif. Penderita nyeri dada
yang berasal dari jantung tidak dapat membedakan antara larutan garam dan perfusi asam.5,9
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah barium radiograf, manometri esofageal,
impedance test dan tes Bilitek. Barium radiograf dan biopsi esofagus distal rutin tidak

9
dianjurkan untuk menegakkan diagnosis GERD. Manometri esofageal dianjurkan untuk
evaluasi preoperatif tapi tidak berperan penting dalam menegakkan diagnosis GERD.
Screening infeksi Helicobacter pylori tidak dianjurkan dalam menegakkan diagnosis
GERD.5,9

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Modifikasi Gaya Hidup
Target pengobatan pada pasien GERD adalah menghilangkan gejala, menyembuhkan lesi
esofageal, mencegah kekambuhan, meningkatkan kualitas hidup dan mencegah terjadinya
komplikasi. Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan 2-3 jam sebelum
tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esofagus.5,9
2. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus
LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel.5
3. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung.5
4. Menurunkan berat badan pada pasien obesitas serta menghindari pakaian ketat sehingga
dapat mengurangi tekanan intra abdomen. Penurunan berat badan dianjurkan kepada
pasien dengan berat badan berlebih atau yang baru saja mengalami kenaikan berat
badan.5,9
5. Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi, makanan pedas
dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam tidak dianjurkan dalam
penatalaksanaan GERD.5,9
6. Jika memungkinkan, menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti
antikolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonis beta adrenergik,
progesteron.5

2.9.2 Terapi Medikamentosa


Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi yang lebih lama
(penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai

10
dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H 2 atau prokinetik atau bahkan
antasid. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang
penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD
adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.5,9
a. Antasida
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi
tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat
memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Kelemahan golongan obat ini
adalah rasanya kurang menyenangkan,dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung
alumunium; penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Dosisnya sehari 4 x 1 sendok makan.5
b. Antagonis reseptor II
Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, ranitidin, farmotidin dan nizatidin.
Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit
refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi
ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
sedang serta tanpa komplikasi. Dosis pemberian: Simetidin 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg,
ranitidin 4 x 150 mg, famotidin 2 x 20 mg dan nizatidin 2 x 150 mg.5
c. Obat-obatan prokinetik
Metoklopramid bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin. Efektivitasnya rendah
dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus
kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton.
Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan diskinesia. Dosis yang digunakan 3 x 10
mg.5
Domperidon adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek samping yang lebih
jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Golongan obat
ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
Dosis yang digunakan adalah 3 x 10-20 mg sehari.5
Cisapride sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tonus LES. Efektivitasnya dalam

11
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibanding
domperidon. Dosis yang digunakan adalah 3 x 10 mg sehari.5
d. Sukralfat (Alumunium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Golongan obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini
bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap
HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi). Dosis yang diberikan
adalah 4 x 1 gram.5
e. Penghambat pompa proton (PPI)
Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-
obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim
H, K, ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat serta yang refrakter dengan
golongan antagonis reseptor H2. Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh
(Tabel 2).5

Tabel 2. Dosis tunggal PPI untuk GERD.5


Obat Dosis Tunggal
Omeprazole 20 mg
Pantoprazole 40 mg
Lansoprazole 30 mg
Esomeprazole 40 mg
Rabeprazole 20 mg

Umumnya terapi GERD dapat dimulai dengan dosis inisial PPI dengan dosis tunggal
setiap pagi sebelum makan selama 2-4 minggu. Jika gejala GERD masih ada (terapi PPI
gagal), PPI harus double-dose sampai gejala hilang selama 4-8 minggu. Dosis
pemeliharaan dianjurkan untuk pasien GERD yang mengalami kekambuhan dan pasien
yang memiliki komplikasi esofagitis erosif dan esofagus Barrett, yang diberikan selama 6
bulan.5,9
Pada pasien NERD, terapi inisial dapat diberikan PPI dosis tunggal selama 4-8
minggu. Setelah gejala klinis hilang, terapi dapat dilanjutkan dengan PPI on demand
yang bertujun untuk memaksimalkan supresi asam lambung, yang dapat diberikan 30-60
menit sebelum sarapan.5

12
Tidak ada perbedaan efikasi dari berbagai macam obat PPI. Penggunaan obat PPI
harus 30-60 menit sebelum makan untuk kontrol pH yang maksimal. Efektivitas
golongan obat ini semakin bertambah jika dikombinasi dengan golongan prokinetik.
Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD pada pelayanan kesehatan
lini pertama (Gambar 4).5,9
Suspek GERD

GERD-Q

Bukan GERD (+) GERD

Gejala alarm

Negatif Positif

Negatif Tes PPI Rujuk

Positif GERD

Terapi GERD 8 minggu

Riwayat
5
Gejala alarm (+) Gambar 4. PenatalaksanaanGejala
GERD-Q GERD alarm
di lini pertama.
(-)
Tes PPI

Terapi empiric PPI selama 4 minggu dan evaluasi selama 2-4 minggu
Endoskopi H2RA jika PPI tidak tersedia
Radiologi
pH-metri

Gejala menetap Gejala berkurang

Impedance Stop PPI


Manometri esofageal
Gastric scintigraphy
Kambuh

13
Terapi on demandBerikan terapi PPI
Sering kambuh dan gejala alarm
Gambar 5. Penatalaksanaan GERD di pelayanan sekunder dan tersier.5

2.10 Komplikasi
Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi akibat GERD berupa ulserasi, striktur
esofagus ataupun esofagus Barrett yang merupakan keadaan premaligna. Sekuele yang terjadi
akibat refluks adalah peradangan, perdarahan dan pembentukan jaringan parut dan striktur.
Sebagai dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esofagus, dapat
terjadi perubahan mukosa esofagus dari skuamosa menjadi epitel kolumnar yang metaplastik.
Keadaan ini disebut esofagus Barrett (Barrets esophagus) dan merupakan suatu keadaan
premaligna. Risiko terjadinya karsinoma pada Barrets esophagus adalah sampai 30-40 kali
dibandingkan populasi normal.5

14
BAB III
KESIMPULAN

Refluks esofagitis didefinisikan sebagai gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus
(esofagitis) akibat refluks abnormal isi lambung ke dalam esofagus. Terdapat banyak hal yang
menjadi faktor risiko GERD, di antaranya adalah obesitas, hernia hiatus, merokok, konsumsi
alkohol berlebihan, sindrom iritasi usus (Irritable Bowel Syndrome) dan riwayat keluarga
dengan penyakit saluran cerna. Beberapa faktor penting yang memegang peranan untuk
terjadinya GERD dan refluks esofagitis adalah rintangan anti-refluks (Anti-Reflux Barrier),Isi
lambung dan pengosongannya, daya perusak bahan refluks, proses membersihkan esofagus
(Esophageal Clearing), ketahanan epitelial esofagus.1,2,3,4,7
Penegakan diagnosis dapat ditentukan dengan anamnesis yang biasanya bermanifestasi
klinis sebagai heartburn dan regurgitasi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis GERD adalah endoskopi saluran cerna bagian atas, tes PPI dan tes
Bernstein. Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD
dan terapi medikamentosa yang dapat dipilih adalah pendekatan step down dimana
pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H 2 atau
prokinetik atau bahkan antasid. Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi akibat GERD
berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus Barrett yang merupakan keadaan
premaligna. Sekuele yang terjadi akibat refluks adalah peradangan, perdarahan dan
pembentukan jaringan parut dan striktur.5,9

15
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Saraf SS, Udupi GR, Hajare SD. Los Angeles classification of esophagitis using image
processing technique. International Journal of Computer Applications 2012: 42(18):45.
2. Mohammadi M, Jolfaie NR, Alipour R, Zarrati M. Is metabolic syndrome considered to
be a risk factor for gastroesophageal reflux disease (non-erosive or erosive esophagitis)?:
a systematic review of the evidence. IRMJ 2015;18(11):203-5.
3. Hung HH, Su CW, Wang YJ. Establishing a risk scoring system for predicting erosive
esophagitis. Advances in Digestive Medicines 2016;3(5):95-100.
4. Takeshita E, Sakata Y, Hara M, Akutagawa K. Higher frequency of reflux symptoms and
acid-related dyspepsia in women than men regardless of endoscopic esophagitis:analysis
of 3,505 Japanese subjects undergoing medical health checkups. Digestion 2016;93:266-
71.
5. Department of Internal Medicine Universitas Indonesia. National consensus on the
management of gastroesophageal reflux disease in Indonesia. Acta Med Indones
2014;46(3):263-70.
6. Naomi DA. Obesity as risk factor of gastroesophageal reflux disease. J Majority 2014.
3(7) 22-6
7. Hadi S. Gastroenterologi. 2013. Bandung. PT Alumni. P.127-8
8. Susanto AD, Syafruddin ARL, Sawitri N, Wiyono WH, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran
klinis dan endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten
sedang di RS Persahabatan, Jakarta. Universitas Indonesia Jakarta 2012 p.1
9. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Corrigendum: guidelines for the diagnosis and
management of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 2013;108:308-28

16

Anda mungkin juga menyukai