Anda di halaman 1dari 37

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI & FISIOLOGI PARU

Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam
rongga dada atau toraks.Jaringan paru terdiri dari serangkaian saluran napas yang
bercabang-cabang, yaitu alveolus, pembuluh darah paru, dan sejumlah besar
jaringan ikat elastik.Satu-satunya otot di dalam paru adalah otot polos di dinding
arteriol dan bronkiolus. Tidak terdapat otot di dalam dinding alveolus yang dapat
menyebabkan alveolus mengembang atau menciut selama proses bernapas.
Perubahan volume paru ditimbulkan oleh perubahan dimensi-dimensi toraks.1

Gambar 1.(a) Paru menempati sebagian besar volume rongga toraks. (b) Zona
konduksi trakeobronkial tree, dimulai pada trakea dan berakhir pada bronkhiolus
terminalis.2,3,4
Dinding toraks dibentuk oleh dua belas pasang iga yang melengkung dan
menyatu di sternum di sebelah anterior dan vertebra torakalis di posterior.
Diafragma, yang membentuk dasar (lantai) rongga toraks, adalah lembaran besar
otot rangka berbentuk kubah yang memisahkan secara total rongga toraks dari
rongga abdomen. Diafragma hanya di tembus oleh esofagus dan pembuluh darah
yang melintas di antara rongga toraks dan-abdomen. Rongga toraks ditutup di
daerah leher oleh otot-otot dan jaringan ikat. Satu-satunya komunikasi ( antara
toraks dan atmosfer adalah melalui saluran pernapasan ke dalam alveolus. Seperti
paru, dinding dada mengandung sejumlah besar jaringan ikat elastik.4
Alveolus adalah kantung udara berdinding tipis, dapat mengembang, dan
berbentuk seperti anggur yang terdapat di ujung percabangan saluran pernapasan.
Dinding alveolus terdiri dari satu lapisan sel alveolus Tipe I yang gepeng. Jaringan
padat kapiler paru yang mengelilingi setiap alveolus juga hanya setebal satu lapisan
sel. Ruang interstisium antara alveolus dan jaringan kapiler di sekitarnya
membentuk suatu sawar yang sangat tipis, dengan ketebalan hanya 0,2 m yang
memisahkan udara di dalam alveolus dan darah di dalam kapiler paru. (Selembar
kertas minyak tipis untuk menjiplak yang tebalnya lima puluh kali dibandingkan
ketebalan sawar udara-ke-darah ini.) Ketipisan sawar tersebut mempermudah
pertukaran gas. 4

Gambar 2.(a) Alveolus, merupakan tempat pertukaran gas oksigen dan karbon
dioksida. Oksigen dan karbondioksida menembus dinding alveolus dan kapiler
pembuluh darah dengan cara difusi. (b) Sel Alveolar Tipe I yang tipis dan
membentuk dinding alveolus, epitel alveolus mengandung sel alveolus Tipe II,
diaman sel tipe 2 yang mengeluarkan surfaktan paru, suatu kompleks
fosfolipoprotein yang mempermudah pengembangan (ekspansi) paru. Di dalam
lumen kantung udara juga terdapat makrofag alveolus untuk pertahanan tubuh.3,4,5
Selain itu, pertemuan udara-darah di alveolus membentuk permukaan yang
sangat luas untuk pertukaran gas. Di paru terdapat sekitar 300 juta alveolus,
masing-masing bergaris tengah sekitar 300 m (1/3 mm). Sedemikian padatnya
jaringan kapiler paru, sehingga setiap alveolus dikelilingi oleh suatu lapisan darah
yang hampir kontinu. Dengan demikian, luas permukaan total yang terpajan antara
udara alveolus dan darah kapiler paru adalah sekitar 75 meter persegi (seukuran
lapangan tenis). Sebaliknya, apabila paru terdiri dari hanya sebuah ruang berongga
dengan ukuran sama dan tidak terbagi-bagi menjadi satuan-satuan alveolus yang
sangat banyak tersebut, luas permukaan totalnya hanya akan mencapai 1/100
meter persegi.
Di dinding alveolus terdapat pori-pori Kohn berukuran kecil yang
memungkinkan aliran udara antara alveolus-alveolus yang berdekatan, suatu
proses yang dikenal sebagai ventilasi kolateral. Saluran-saluran ini penting untuk
mengalirkan udara segar ke suatu alveolus yang salurannya tersumbat akibat
penyakit.4
Terdapat kantung tertutup berdinding ganda, yang disebut kantung pleura,
yang memisahkan tiap-tiap paru dari dinding toraks dan struktur di sekitarnya.
Permukaan pleura mengeluarkan cairan intrapleura encer, yang membasahi
permukaan pleura sewaktu kedua permukaan saling bergeser satu sama lain saat
gerakan bernapas.4

Gambar 3.Pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap
paru (pleura viseralis). Di antara pleura parietalis dan viseralis terdapat suatu lapisan
tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan bergerak
selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru.4,6

Mekanika Pernapasan
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah
bertekanan rendah, yaitu, menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan
keluar paru selama proses bernapas dengan mengikuti penurunan gradien tekanan
yang berubah berselang-seling antara alveolus dan atmosfer akibat aktivitas siklik
otot-otot pernapasan. Terdapat tiga tekanan berbeda yang penting pada ventilasi:4
1 Tekanan Atmosfer (barometrik). Tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara
di atmosfer terhadap benda - benda di permukaan bumi. Di ketinggian
permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760 mmHg. Tekanan atmosfer
berkurang seiring dengan penambahan ketinggian di atas permukaan laut
karena kolom udara di atas permukaan bumi menurun. Dapat terjadi fluktuasi
minor tekanan atmosfer akibat perubahan kondisi-kondisi cuaca (yaitu, pada
saat tekanan barometrik meningkat atau menurun).4
2 Tekanan Intra-alveolus. Dikenal sebagai tekanan intrapulmonalis, adalah
tekanan di dalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer
melalui saluran pernapasan, udara dengan cepat mengalir mengikuti
penurunan gradien tekanan setiap kali terjadi perbedaan antara tekanan intra-
alveolus dan tekanan atmosfer; udara terus mengalir sampai tekanan keduanya
seimbang (equilibrium).4
3 Tekanan Intra-pleura. Tekanan di dalam kantung pleura. Tekanan ini juga
dikenal sebagai tekanan intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar paru di
dalam rongga toraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih kecil daripada
tekanan atmosfer, rata - rata 756 mmHg saat istirahat. Seperti tekanan darah
yang dicatat dengan menggunakan tekanan atmosfer sebagai titik rujukan
(yaitu, tekanan sistolik 120 mmHg adalah 120 mmHg lebih besar daripada
tekanan atmosfer 760 mmHg atau dalam realitas 880 mmHg), 756 mmHg
kadang - kadang disebut sebagai tekanan -4 mmHg, walaupun sebenarnya
tidak ada apa yang disebut sebagai tekanan negatif absolut. Tekanan -4 mmHg
adalah tekanan yang negatif jika dibandingkan dengan tekanan atmosfer
normal yang 760 mmHg.4

Gambar 4. Gradien Tekanan Transmural melintasi dinding paru. Tekanan


intra-alveolus sebesar 760 mmHg mendorong kearah luar, sementara
tekanan intra-pleura 756 mmHg mendorong kearah dalam. Perbedaan
tekanan sebesar 4 mmHg ini membentuk gradient tekanan transmural yang
mendorong paru ke arah luar, meregangkan paru untuk mengisi rongga
toraks.Melintasi dinding toraks, tekanan atmosfer sebesar 760 mmHg
mendorong ke arah dalam, sementara tekanan intra-pleura sebesar 756
mmHg mendorong ke arah luar. Perbedaan tekanan 4 mmHg ini membentuk
gradient tekanan transmural yang mendorong ke arah dalam dan menekan
dinding toraks.4
Gambar 5. Perubahan Volume Paru dan Tekanan Intra-aveolus Selama
Inspirasi dan Ekspirasi. (a,b) Inspirasi. Ketika volume paru meningkat
selama inspirasi, tekanan intra-alveolus menurun, sehingga tercipta gradien
tekanan yang menyebabkan udara mengalir ke dalam alveolus dari atmosfer,
yaitu terjadi inspirasi. (c) Ekspirasi. Pada saat paru menciut ke ukuran pra
inspirasi karena otot melemas, tekanan intra-alveolus meningkat,
menciptakan gradient tekana yang menyebabkan udara mengalit ke luar
alveolus menuju atmosfer, terjadilah ekspirasi.4

3.2 ATELEKTASIS PARU


3.2.1 Definisi
Kolapsnya paru atau alveolus disebut atelektasis, alveolus yang kolaps tidak
mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi
ini mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan
kecepatan pernafasan berkurang. ( Elizabeth J.Corwin , 2009)
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal. ( Price A. Sylvia & Lorraine M. Wilson 2006)
Atelektasis adalah penyakit restriktif akut yang umum terjadi, mencakup
kolaps jaringan paru atau unit fungsional paru. Atelektasis merupakan masalah
umum klien pasca-operasi.
Keadaan ini sering disebabkan oleh obstruksi bronkus dan kompresi pada
jaringan paru.1,2,3,4,5

a (b)

Gambar 6.(a) Paru-paru normal, perfusi vaskular dan inflasi alveolar yang tidak
mengalami cedera. (b) Epitel yang cedera oleh karena pembuluh darah yang
mengalami kompresi dan rusaknya endotel yang disebabkan oleh gangguan
mikrovaskular. Epitel dan endotel yang mengalami cedera merupakan keadaan awal
yang menginisiasi terjadinya cedera paru. Cedera awal yang terjadi adalah kolaps
alveoli, kemudian akan terjadi reaksi inflamasi dan hilangnya integritas epitel. 6

3.2.2 Insidens dan Epidemiologi

Atelektasis dapat terjadi pada wanita atau pria dan dapat terjadi pada

semua ras. Atelektasis lebih sering terjadi pada anak yang lebih muda dari

pada anak yang lebih tua dan remaja.

Insiden dari atelectasis pascaoperasi adalah 80%, tetapi hanya 20%

yang secara klinis signifikan. Dari hasil 200 pasien chest radiographs yang

diperiksa secara berturut-turut pada ICU, ditemukan 18 kasus dari kolaps


lobaris (8,5%). Sebagian besar kasus melibatkan lobus kiri bawah (66%),

kolaps lobus kanan bawah (22%) dan lobus kanan atas (11%) juga tercatat.3

Atelektasis pascaoperasi dan atelektasis lobar adalah atelektasis

umum yang sering terjadi. Insiden dan prevalensi gangguan ini tidak

terdokumentasi dengan baik. Mortalitas Morbiditas pasien tergantung pada

penyebab yang mendasari atelektasis. Dalam atelektasis pasca operasi,

kondisi umumnya membaik. Prognosis atelektasis lobar sekunder untuk

obstruksi endobronkial tergantung pada pengobatan keganasan.4,6

Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat

74,4 juta penderita penyakit paru yang mengalami atelektasis. Di Inggris

sekitar 2,1 juta penderita penyakit paru yang mengalami atelektasis yang

perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika serikat

diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita penyakit paru yang mengalami

atelektasis. Di Jerman 6 juta penduduk. Ini merupakan angka yang cukup

besar yang perlu mendapat perhatian dari perawat di dalam merawat klien

dengan penyakit paru yang mengalami atelektasis secara komprehensif bio

psiko sosial dan spiritual.4,6

3.2.3 Klasifikasi Atelektasis


A. Berdasarkan faktor yang menimbulkan Atelektasis
Terdapat tiga mekanisme yang dapat menyebabkan atau memberikan
kontribusi terjadinya atelektasis, diantaranya adalah: Obstruksi saluran
pernapasan, kompresi jaringan parenkim paru pada bagian ekstratoraks,
intratoraks, maupun proses pada dinding dada , penyerapan udara dalam alveoli,
1,9
dan gangguan fungsi dan defisiensi surfaktan. Klasifikasi atelektasis
berdasarkan penyebabnya menurut Elizabeth J. Corwin, 2009, ialah :
1 Atelektasis Resorpsi
Terjadi akibat adanya udara di dalam alveolus. Apabila aliran masuk udara
ke dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus
akhirnya berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps.2

Gambar 7. Atelektasis Resorpsi. Terjadi akibat obstruksi total pada


saluran napas. Keadaan ini bersifat reversible jika obstruksi dihilangkan.3
Penyumbatan aliran udara biasanya akibat penimbunan mukus dan obstruksi
aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus tertentu. Setiap
keadaan yang menyebabkan akumulasi mukus, seperti : fibrosis kistik,
pneumonia, atau bronkitis kronik yang meningkatkan resiko atelektasis resorpsi.
Obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke dalam alveolus yang
terletak distal terhadap sumbatan.Udara yang sudah terdapat dalam alveolus
tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan alveolus
menjadi kolaps.2,4
Atelektasis absorpsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau
ekstrinsik.Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh sekret atau
eksudat yang tertahan.Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan
oleh neoplasma, pembesaran kelenjar getah bening, aneurisma atau jaringan
parut.Pembedahan merupakan faktor resiko terjadinya atelektasis resorpsi
karena efek anastesia yang menyebabkan terbentuknya mukus serta keengganan
membatukkan mukus yang terkumpul setelah pembedahan. Hal ini terutama
terjadi pada pembedahan di daerah abdomen atau toraks karena batuk akan
menimbulkan nyeri yang hebat. Tirah baring yang lama setelah pembedahan
meningkatkan resiko terbentuknya atelektasis resorpsi karena berbaring
menyebabkan pengumpulan sekret mukus di daerah dependen paru sehingga
ventilasi di daerah tersebut berkurang. Akumulasi mukus meningkatkan resiko
pneumonia karena mukus dapat berfungsi sebagai media perkembangbiakan
mikroorganisme.2,4,5
Atelektasis resorpsi juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang
menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan.Tanpa surfaktan tegangan
permukaan alveolus sangat tinggi, meningkatkan kemungkinan kolapsnya
alveolus.Bayi premature dikaitan dengan penurunan produksi surfaktan dan
tingginya insiden atelektasis resorpsi.Kerusakan sel alveolus tipe II yang
menghasilkan surfaktan juga dapat menyebabkan atelektasis resorpsi. Sel sel ini
dihancurkan oleh dinding alveolus yang rusak, hal ini terjadi selama proses
beberapa jenis penyakit pernapasan. Demikian juga dengan terapi tinggi oksigen
dalam periode lebih dari 24 jam. Akibat tidak adanya sel sel ini produksi surfaktan
mengalami penurunan.2
2 Atelektasis Kompresi
Terjadi bila rongga pleura sebagian atau seluruhnya terisi dengan eksudat,darah,
tumor,atau udara. Kondisi ini ditemukan pada pneumotoraks, efusi pleura, atau
tumor dalam toraks. Keadaan ini terjadi ketika sumber dari luar alveolus
menimpakan gaya yang cukup besar pada alveolus sehingga alveolus menjadi
kolaps.
Gambar 8. Atelektasis Kompresi. Terjadi ketika rongga pleura mengembang karena
cairan, atau karena udara. Keadaan ini bersifat reversible jika udara dan cairan
dihilangkan.3
Atelektasis kompresi terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka, karena tekanan
atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru mengembang (tekanan
pleura), dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru akan kolaps. Atelektasis
kompresi juga dapat terjadi jika terdapat tekanan yang bekerja pada paru atau
alveoli akibat pertumbuhan tumor, distensi abdomen yang mendorong diafragma ke
atas, atau edema dan penimbunan ruang interstisial yang mengelilingi
alveolus.Tekanan ini yang mendorong udara ke luar dan mengakibatkan
kolaps.Atelektasis tekanan lebih jarang terjadi dibandingkan dengan atelektasis
absorpsi.Bentuk atelektasis kompresi biasanya dijumpai pada penyakit payah
jantung, penyakit peritonitis atau abses diafragma yang dapat menyebabkan
diafragma terangkat keatas dan mencetuskan terjadinya atelektasis. Pada atelektasis
kompresi diafragma bergerak menjauhi atelektasis.2,4

3 Atelektasis Kontraksi
Terjadi akibat perubahan perubahan fibrotik jaringan parenkim paru lokal atau
menyeluruh, atau pada pleura yang menghambat ekspansi paru secara sempura.
Atelektasis kontraksi bersifat irreversible.3
Gambar 9. Atelektasis Kontraksi (sikatrisasi) terjadi ketika terdapat fibrosis umum
atau lokal yang menghambat ekspansi paru atau pleura dan meningkatkan elastisitas
recoil selama ekspirasi.3,6

4 Mikroatelektasis
Mikroatelektasis (atelektasis adhesive) adalah berkurangnya ekspansi paru-paru
yang disebabkan oleh rangkaian peristiwa kompleks yang paling penting yaitu
hilangnya surfaktan.Surfaktan memilki phospholipid dipalmitoyl
phosphatidylcholine yang mencegah kolaps paru dengan mengurangi tegangan
permukaan alveolus. Berkurangnya produksi atau inaktivasi surfaktan, keadaan ini
biasanya ditemukan pada NRDS (Neonatal Respiratory Distress Syndrome), ARDS
(Adult Respiratory Distress Syndrome), dan proses fibrosis kronik.6,7
Gambar 10. Mikroatelektasis terjadi akibat gangguan pada fungsi dan produksi
surfaktan.3,6
NRDS atau dikenal sebagai hyaline membrane disease merupakan keadaan akut
yang terutama ditemukan pada bayi prematur, lebih sering pada bayi dengan usia
gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah 1500 gram. Bayi
prematur lahir sebelum produksi surfaktan memadai.Surfaktan, suatu senyawa
lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveoli kolaps dan menurunkan kerja
respirasi dengan menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfaktan,
tegangan permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya
komplians paru, yang akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi
hipoksemia dan hiperkapnia dengan asidosis respiratorik.8
ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang ditandai
oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar kapiler terhadap air, larutan,dan
protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus dan akumulasi cairan dalam
parenkim paru yang mengandung protein. Cairan dan protein tersebut merusak
integritas surfaktan di alveolus dan terjadi kerusakan yang lebih parah. Penyebab
langsung ARDS adalah injury pada epitel alveolus, seperti aspirasi isi gaster, infeksi
paru difus, contusio paru, tenggelam, inhalasi toksik, sedangkan penyebab tidak
langsung ialah sepsis, trauma non toraks, pankreatitis, dan transfuse darah yang
massif. 6,7

b. Berdasarkan lokasi Atelektasis


1. Atelektasis lobaris bawah: bila terjadi dilobaris bawah paru kiri, maka akan
tersembunyi dibelakang bayangan jantung dan pada foto thorak PA hamya
memperlihatkan diafragma letak tinggi.
2. Atelektasis lobaris tengah kanan (right middle lobe). Sering disebabkan peradangan
atau penekanan bronkus oleh kelenjar getah bening yang membesar.
3. Atelektasis lobaris atas (upper lobe): memberikan bayangan densitas tinggi dengan
tanda penarikan fissure interlobaris ke atas dan trakea ke arah atelektasis.
4. Atelektasis segmental: kadang-kadang sulit dikenal pada foto thoraj PA, maka perlu
pemotretan dengan posisi lain seperti lateral, miring (obligue), yang
memperlihatkan bagian uang terselubung dengan penarikan fissure interlobularis.
5. Atelektasis lobularis (plate like/atelektasis local). Bila penyumbatan terjadi pada
bronkus kecil untuk sebagian segmen paru, maka akan terjadi bayangan horizontal
tipis, biasanya dilapangan paru bawah yang sering sulit dibedakan dengan proses
fibrosis. Karena hanya sebagian kecil paru terkena, maka biasanya tidak ada
keluhan.
Atelektasis pada lobus atas paru kanan. Kolaps pada bagian ini meliputi bagian
anterior, superior dan medial. Pada foto thorak PA tergambarkan dengan fisura minor
bagian superior dan mendial yang mengalami pergeseran. Pada foto lateral, fisura
mayor bergerak ke depan, sedangkan fisura minor dapat juga mengalamai pergeseran ke
arah superior.

3.2.4 Etiologi
Etiologi terbanyak dari atelektasis adalah terbagi dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
A. Etiologi intrinsik atelektasis adalah sebagai berikut :
Obstruktif :
Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Penyumbatan
juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan
oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau
bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran
kelenjar getah bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan
terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-
paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan
mengalami infeksi.
Bronkus yang tersumbat, penyumbatan bias berasal di dalam bronkus seperti tumor
bronkus, benda asing, cairan sekresi yang massif. Dan penyumbatan bronkus akibat
panekanan dari luar bronkus seperti tumor sekitar bronkus, kelenjar yang membesar.
Peradangan intraluminar airway menyebabkan penumpukan sekret yang berupa
mukus.
Tekanan ekstra pulmonary, biasanya diakibatkan oleh pneumothorah, cairan pleura,
peninggian diafragma, herniasi alat perut ke dalam rongga thorak, tumor thorak
seperti tumor mediastinum.
Paralisis atau paresis gerakan pernapasan, akan menyebabkan perkembangan paru
yang tidak sempurna, misalkan pada kasus poliomyelitis dan kelainan neurologis
lainnya. Gerak napas yang terganggu akan mempengaruhi lelancaran pengeluaran
sekret bronkus dan ini akan menyebabkan penyumbatan bronkus yang berakhir
dengan memperberat keadaan atelektasis.
Hambatan gerak pernapasan oleh kelainan pleura atau trauma thorak yang menahan
rasa sakit, keadaan ini juga akan menghambat pengeluaran sekret bronkus yang
dapat memperberat terjadinya atelektasis
B. Etiologi ekstrinsik atelektasis:
Pneumothoraks
Tumor
Pembesaran kelenjar getah bening.
Pembiusan (anestesia)/pembedahan
Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
Pernafasan dangkal
Penyakit paru-paru

3.2.5 Patofisiologi
Pada atelektasis absorpsi, obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke
dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan. Udara yang sudah terdapat dalam
alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan alveolus kolaps.
Untuk mengembangkan alveolus yang kolaps total diperlukan tekanan udara yang lebih
besar, seperti halnya seseorang harus meniup balon lebih keras pada waktu mulai
mengembangkan balon.
Atelektasis absorpsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau
ekstrinsik. Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh secret atau eksudat
yang tertahan. Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan oleh neoplasma,
pembesaran kelenjar getah benih, aneurisma atau jaringan parut.
Mekanisme pertahanan fisiologik yang bekerja mempertahankan sterilitas saluran
nafas bagian bawah bertindak mencegah atelektasis dengan menghalangi terjadinya
obstruksi. Mekanisme-mekanisme yang beperan adalah kerja gabungan dari tangga
berjalan silia yang dibantu oleh batuk untuk memindahkan partikel-partikel dan bakteri
yang berbahaya ke dalam faring posterior, tempat partikel dan bakteri tersebut ditelan atau
dikeluarkan.
Mekanisme lain yang bertujuan mencegah atelektasis adalah ventilasi kolateral.
Hanya inspirasi dalam saja yang efektif untuk membuka pori-pori Kohn dan menimbulkan
ventilasi kolateral ke dalam alveolus disebelahnya yang mengalami penyumbatan. Dengan
demikian kolaps akibat absorpsi gas-gas dalam alveolus yang tersumbat dapat dicegah
(dalam keadaan normal absorpsi gas ke dalam darah lebih mudah karena tekanan parsial
total gas-gas darah sedikit lebih rendah daripada tekanan atmosfer akibat lebih banyaknya
O2 yang diabsorpsi ke dalam jaringan daripada CO2yang diekskresikan).
Selama ekspirasi, pori-pori Kohn menutup, akibatnya tekanan di dalam alveolus
yang tersumbat meningkat, sehingga membantu pengeluaran sumbat mucus. Bahkan dapat
dihasilkan gaya ekspirasi yang lebih besar, yaitu sesudah bernafas dalam, glotis tertutup dan
kemudian terbuka tiba-tiba seperti pada proses batuk normal. Sebaliknya pori-pori Kohn
tetap tertutup sewaktu inspirasi dangkal; sehingga tidak ada ventilasi kolateral menuju
alveolus yang tersumbat; dan tekanan yang memadai untuk mengeluarkan sumbat mucus
tidak akan tercapai. Absorpsi gas-gas alveolus ke dalam aliran darah berlangsung terus, dan
mengakibatkan kolaps alveolus. Dengan keluarnya gas dari alveolus, maka tempat yang
kosong itu sedikit demi sedikit akan terisi cairan edema.
Atelektasis pada dasar paru sering kali muncul pada mereka yang pernapasannya
dangkal karena nyeri, lemah atau peregangan abdominal. Sekret yang tertahan dapat
mengakibatkan pneumonia dan atelektasis yang lebih luas. Atelektasis yang
berkepanjangan dapat menyebabkan penggantina jaringan paru yang terserang dengan
jaringan fibrosis. Untuk dapat melakukan tindakan pencegahan yang memadai diperlukan
pengenalan terhadap faktor-faktor yang mengganggu mekanisme pertahanan paru normal.
Atelektasis tekanan diakibatkan oleh tekanan ekstrinsik pada semua bagian paru
atau bagian dari paru, sehingga mendorong udara keluar dan mengakibatkan kolaps. Sebab-
sebab yang paling sering adalah efusi pleura, pneumothoraks, atau peregangan abdominal
yang mendorong diafragma ke atas. Atelektasis tekanan lebih jarang terjadi dibandingkan
dengan atelektasis absorpsi.
Hilangnya surfaktan dari rongga udara terminal menyebabkan kegagalan paru untuk
mengembang secara menyeluruh dan disebut sebagai mikroatelektasis. Hilangnya surfaktan
merupakan keadaan yang penting baik pada sindrom distress pernapasan akut (ARDS)
dewasa maupun bayi.
Atelektasis dapat terjadi pada satu tempat yang terlokalisir di paru, pada seluruh
lobus atau pada seluruh paru. Penyebab yang palig sering adalah:
Atelektasis biasanya merupakan akibat dari sumbatan bronki kecil oleh mucus atau
sumbatan bronkus besar oleh gumpalan mucus yang besar atau benda padat seperti kanker.
Udara yang terperangkap di belakang sumbatan diserap dalam waktu beberapa menit
sampai beberapa jam. Oleh darah yang mengalir dalam kapiler paru. Jika jaringan paru
cukup lentur (pliable), alveoli akan menjadi kolaps.
Tetapi, jika paru bersikap kaku akibat jaringan fibrotik dan tidak dapat kolaps, maka
absorpsi udara dari alveoli menimbulkan tekanan negatif yang hebat dalam alveoli dan
mendorong cairan keluar dari kapiler paru masuk ke dalam alveoli, dengan demikian
menyebabkan alveoli terisi penuh dengan cairan edema. Ini merupakan efek yang paling
sering terjadi bila seluruh paru mengalami atelektasis, suatu keadaan yang disebut kolaps
masif dari paru, karena kepadatan dinding dada dan mediastinum memungkinkan ukuran
paru berkurang hanya kira-kira separuh dari normal, dan tidak mengalami kolaps sempurna.
Efek terhadap fungsi paru seluruhnya disebabkan oleh kolaps masif (atelektasis)
pada suatu paru dilukiskan pada gambar dibawah ini. Kolaps jaringan paru tidak hanya
menyumbat alveoli tapi hampir selalu juga meningkatkan tahanan aliran darah yang melalui
pembuluh darah paru. Meningkatan tahanan ini sebagian tejadi karena kolaps itu sendiri,
yang menekan dan melipat pembuluh darah sehingga volume paru berkurang. Selain itu,
hipoksia pada alveoli yang kolaps menyebabkan vasokonstriksi bertambah.
Akibat vasokonstriksi pembuluh darah, maka aliran darah yang melalui paru
atelektasis menjadi sedikit kebanyakan darah mengalir melalui paru yang terventilasi
sehingga tejadi aerasi dengan baik. Pada keadaan diatas lima per enam darah mengalir
melalui paru yang teraerasi dan hanya satu per-enam melalui paru yang tidak teraerasi.
Sebagai akibatnya, rasio ventilasi/perkusi seluruhnya hanya sedang saja, sehingga darah
aorta hanya mempunyai sedikit oksigen yang tidak tersaturasi walaupun terjadi kehilangan
ventilasi total pada satu paru.
Sekresi dan fungsi surfaktan dihasilkan oleh sel-sel epitel alveolus spesifik ke dalam
cairan yang melapisi alveoli. Zat ini menurunkan tegangan permukaan pada alveoli 2
sampai 10 kali lipat, yang memegang peranan penting dalam mencegah kolapsnya alveolus.
Tetapi, pada berbagai keadaan, seperti penyakit membrane hialine (juga disebut
sindrom gawat napas), yang sering terjadi pada bayi-bayi premature yang baru lahir, jumlah
surfaktan yang disekresikan oleh alveoli sangat kurang. akibatnya tegangan permukaan
cairan alveolus meningkat sangat tinggi sehingga menyebabkan paru bayi cenderung
mengempis, atau menjadi terisi cairan, kebanyakan bayi ini mati lemas karena bagian paru
yang atelektasis menjadi semakin luas.
Pada atelektasis tekanan diakibatkan oleh tekanan ekstrinsik pada semua bagian
paru atau bagian dari paru, sehingga mendorong udara keluar dan mengakibatkan kolpas.
Sebab-sebab yang paling sering adalah efusi pleura, pneumotoraks, atau peregangan
abdominal yang mendorong diapragma keatas. Atelektasis tekanan lebih jarang terjadi di
bandingkan dengan atelektasis absorbsi.
Berbeda dengan atelektasis absorpsi, pada atelektasis kompresi (tekanan) terjadi
akibat adanya tekanan ekstrinsik pada bagian paru, sehingga mendorong udara keluar dan
menyebabkan bagian tersebut kolaps. Tekanan ini biasa terjadi akibat efusi pleura,
pneumotoraks atau peregangan abdominal yang mendorong diafragma ke atas.

3.2.6 Manifestasi Klinis


Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang
ringan. Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak mengalami gejala sama sekali,
walaupun banyak yang menderita batuk-batuk pendek.
A. Gejalanya bisa berupa:
gangguan pernafasan
nyeri dada
batuk
Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadang-
kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah).
Gejala klinis sangat bervariasi, tergantung pada sebab dan luasnya atelektasis. Pada
umumnya atelektasis yang terjadi pada penyakit tuberculosis, limfoma, neoplasma, asma
dan penyakit yang disebabkan infeksi misalnya bronchitis, bronkopmeumonia, dan pain-
lain jarang menimbulkan gejala klinis yang jelas, kecuali jika ada obstruksi pada bronkus
utama. Jika daerah atelektsis itu luas dan terjadi sangat cepat akan terjadi dipsneu dengan
pola pernapasan yang cepat dan dangkal, takikardi dan sering sianosis, temperatur yang
tinggi, dan jika berlanjut akan menyebabkan penurunan kesadaran atau syok. Pada perkusi
redup dan mungkin pula normal bila terjadi emfisema kompensasi. Pada atelektasis yang
luas, atelektasis yang melibatkan lebih dari satu lobus, bising nafas akan melemah atau
sama sekali tidak terdengar, biasanya didapatkan adanya perbedaan gerak dinding thorak,
gerak sela iga dan diafragma. Pada perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan
bergeser, letak diafragma mungkin meninggi.

3.2.7 Penatalaksanaan

Terapi Konservatif:

Secara Umum, Tujuan pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas


hidup, untuk memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi,
obstruksi jalan napas untuk menghilangkan hipoksia.14

Secara Khusus, Pendekatan terapeutik mencakup:


a. Tindakan pengobatan untuk memperbaiki ventilasi dan menurunkan upaya
bernapas
b. Pencegahan dan pengobatan cepat terhadap infeksi
c. Teknik terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonari
d. Pemeliharaan kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernapasan
e. Dukunganpsikologis
f. Penyuluhan pasien dan rehabilitasi yang berkesinambungan
g. Bronkodilator 7,9,11,14

Terapi Simptomatik:

a. Bronkodilator

Bronkodilator berfungsi untuk mendilatasi jalan nafas karena sediaan ini


melawan edema mukosa maupun spasme muskular dan membantu mengurangi
obstruksi jalan nafas serta memperbaiki pertukaran gas. Medikasi ini mencakup
antagonis -adrenergik (metoproterenol, isoproterenol) dan metilxantin (teofilin,
aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial. Bronkodilator mungkin
diresepkan per oral, subkutan, intravena, per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi
dapat diberikan melalui aerosol bertekanan, nebuliser.Bronkodilator mungkin
menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan termasuk takikardia, disritmia
jantung, dan perangsangan sisten saraf pusat. Metilxantin dapat juga menyebabkan
gangguan gastrointestinal seperti mual dan muntah.9,11

b. Pengobatan Infeksi

Pasien dengan atelektasis rentan dengan infeksi paru dan harus diobati pada
saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi seperti sputum purulen, batuk meningkat
dan demam. Organisme yang paling sering adalah S. pneumonia, H. influenzae, dan
Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin,
amoksisilin atau trimetoprim-sulfametoxazol (Bactrim) mungkin diresepkan.7,9,11

c. Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan
emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk
meningkatkan tekanan oksigen hingga antara 65 dan 80 mmHg.7,9,11

3.2.8 Prognosis
Kelangsungan Hidup
Prognosis pasien atelektasis tergantung pada berat-ringannya serta
luasnya penyakit sewaktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan
pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki
prognosis penyakit. Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya
jelek, survivalnya tidak akan lebih dari 5-10 tahun. Kematian pasien tersebut
biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung, hemoptisis, dan lain-lain.12,13
Kelainan Organ
Kelainan organ pada atelektasis biasanya terjadi akibat shift dari organ
mediastinum serta trakea ke arah yang sakit, kelainan yang biasa mengikutinya
kausa dari Post TB Lama, Efusi pleura massive, serta tumor paru yang menjadi
faktor pencetus dari atelektasis tersebut.13
3.2.9 Komplikasi
Pada pasien yang mengalami atelektasis maka akan terjadi :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura di mana masukan
udara ke dalam rongga pleura, dapat dibedakan menjadi pneumothorak spontan,
udara lingkungan keluar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka tusuk,
misalnya udara melalui mediastinum yang disebabkan oleh trauma.
2. Efusi pleura
Atelektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan
paru yang terserang dengan jaringan fibrosis dan juga atelektasis dapat
menyebabkan pirau (jalan pengalihan) intrapulmonal (perfusi ventilasi) dan bila
meluas, dapat menyebabkan hipoksemia.

3.3 GAGAL JANTUNG

3.3.1 Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat
atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru
atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi
jantung saat istrahat.15

3.3.2 Etiologi CHF

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :


1) Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot
mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau
inflamasi.

2) Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
(kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang
secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal


Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung.

4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif


Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.

5) Penyakit jantung lain


Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang
secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan
aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung
untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),
peningkatan mendadak afterload.

6) Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia dan anemia
diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik.
Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis
respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat menurunkan kontraktilitas
jantung.

3.3.3 Patofisiologi CHF


Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem
tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak
mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai
dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu
keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik yang
tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau
preload. Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang
bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh
darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari
mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan
aktivasi system saraf adrenergik.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function)
dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan ditemukan
beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada
otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi
secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan.
Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan
aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin
vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
tekanan darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan
curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume
darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral.
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah
sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum
Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload
dan hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal
jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik
(penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi).
Jantung yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan
energi terbatas (misal pada penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan
kontraktilitas. Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi
ventrikel. Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik
dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter. Disamping itu keadaan penyakit
jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard
yang akan menyebabkan iskemik miokard dengan komplikasi gangguan irama dan sistem
konduksi kelistrikan jantung. Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan penurunan
aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase kematian jantung mendadak, karena
frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menurun. WHO menyebutkan kematian
jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi mekanis jantung, seperti penurunan
aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik (emboli pulmo, jantung) dan
keadaan yang telah disebutkan diatas.
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung
normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR X SV
dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup. Curah jantung
yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung
untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus
menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan
masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang
dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung
pada tiga faktor yaitu: 1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang
mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya
regangan serabut jantung. 2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi
yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung
dan kadar kalsium. 3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan
untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan
arteriole.

3.3.4 Manifestasi Klinis


Tabel 1. Gejala dan Tanda Gagal Jantung17

3.3.5 Klasifikasi
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau berdasarkan
gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.16
3.3.6 Diagnosis

Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi rendah.Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan
evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.15
Elektrokardiogram (EKG) harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal
jantung.Abnormalitas. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan
disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).

Foto Toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen
toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali
dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi
glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan
laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang
bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum
diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal
sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI
(Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau
antagonis aldosterone.

Peptida Natriuretik, terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar


plasma peptidanatriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan
pasien, dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko mengalami dekompensasi.
Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai
prediktif negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab
gejalagejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil. Kadar peptida natriuretik yang
tetap tinggi walaupun terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk.Kadar
peptidanatriuretik meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel.
Peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan
dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.

Troponin I atau T. Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung


jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar
troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal
jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

Ekokardiografi. Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan


ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan
tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi
jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya
pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan
antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi
ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).

3.3.7 Tatalaksana
Tatalaksana Non-Farmakologi
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung,
kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan
mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
gejala awal perburukan gagal jantung. 15,16
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi
maupun non-farmakologi. 15,16
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter
(kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C). 15,16
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan
gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb,
tingkatan bukti C). 15,16
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C). 15,16
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.Jika
selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai
retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung
dengan hati-hati (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C). 15,16
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di
rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). 15,16
Aktvitas seksual. Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi
tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh
dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi III, tingkatan bukti B).15,16

Tatalaksana Farmakologi
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (AceI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).15,16,17
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEIhanya diberikan
pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal. Indikasi pemberian
ACEI adalah jika fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, dengan atau tanpa gejala.
Kontraindikasi pemberian ACEI yaitu, riwayat angioedema, stenosis renal bilateral, Kadar
kalium serum > 5,0 mmol/L, serum kreatinin > 2,5 mg/dL, stenosis aorta berat
Inisiasi pemberian ACEI: Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit dan periksa
kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi ACEI. Pertimbangkan
menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi
perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat
dirawat di rumah sakit Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3
dan 6 bulan setelah mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6
bulan sekali.

Penyekat
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. Penyekat memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup. 15,16,17
Indikasi pemberian penyekat yaitu jika fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, gejala
ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA), ACEI / ARB (dan antagonis
aldosteron jika indikasi) sudah diberikan, pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan
dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat).
Kontraindikasi berupa asma, blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus
sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit).
Penyekat dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4
minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik
atau bradikardi (nadi < 50 x/menit) Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat
sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi. Efek tidak
mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat : Hipotensi simtomatik,
Perburukan gagal jantung, Bradikardia.

Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup. Indikasi pemberian
antagonis aldosteron yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, gejala sedang sampai berat
(kelas fungsional III- IV NYHA), dosis optimal penyekat dan ACEI atau ARB (tetapi
tidak ACEI dan ARB). Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu konsentrasi
serum kalium > 5,0 mmol/L, serum kreatinin > 2,5 mg/dL , bersamaan dengan diuretik
hemat kalium atau suplemen kalium, kombinasi ACEI dan ARB.
Inisiasi pemberian spironolakton, periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu. Jangan naikan dosis jika
terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. Periksa kembali fungsi ginjal dan
serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah menaikan dosis. Jika tidak ada masalah diatas,
dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi. Efek
tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton: Hiperkalemia,
perburukan fungsi ginja, nyeri dan/atau pembesaran payudara. 15,16,17

Angiotensin Receptor Blockers (Arb)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI
dan penyekat dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan
ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien
intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular. 15,16,17

Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-Isdn)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, kombinasi H-
ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B). 15,16,17

Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B). Indikasi pemberian
digoksin adalah fibrilasi atrial dengan irama ventricular saat istirahat >80x/menit atau saat
aktifitas >110-120x/menit, irama sinus dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % , gejala
ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA), dosis optimalACEI dan/atau ARB,
penyekat dan antagonis aldosteron jika ada indikasi. Kontraindikasi: Blok AV derajat 2
dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hati-hati jika pasien diduga sindroma sinus sakit,
sindroma pre-eksitasi, riwayat intoleransi digoksin. 15,16,17

Tabel 3. Dosis Obat Gagal Jantung


Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik
adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
reistensi. 15,16,17

Tabel 4. Dosis Obat Diuretik


DAFTAR PUSTAKA

1. Rasad, S. Efusi Pleura, Atelektasis, dan Tumor Paru. Dalam Radiologi diagnostik

Edisi Kedua. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.2010. Hal 108-16.


2. Djojodibroto, D.Penyakit yang sering melibatkan paru-paru. Dalam Respiratory

Medicine. Jakarta:Penerbit buku kedokteran EGC.2005. Hal 231-233


3. Tsuei, J. Betty. Athelectasis. In Chest radiography.2008. Lexington:University of

Kentucky. Page 1-5


4. Price, Sylvia A. Gangguan Sistem pernapasan : Penyakit paru restriktif dalam

Patofisologi dan konsep klinis penyakit Edisi 6 vol.2. Jakarta: EGC.2006. Hal 802-804
5. Ali, J, et.al. Disease of pleura. In Pulmonary pathophysiologi. New York: McGraw

Gill Lange.2008. Page 189-207


6. Ahuja, Anil T. Pleural Effusion. In Case study in Medical Imaging.United

Kingdom:University of Cambrigde. 2006. Page 35.


7. Patel, Pradip R. Efusi Pada foto saluran pernapasan. Dalam Lecture Notes Radiologi

Edisi kedua. Jakarta:Erlangga. 2007.Hal. 43,60-3.


8. Maria M. Atelectasis. Free Medical and health

journal.2011.http://liburanrame.blogspot.com/2010/02/atelektasis-atelectasis.html
9. Anonymous, Blog Gambaran tumor dan kanker paru-

paru.2012.http://rsudcurup.blogspot.com/2011/10/tumor-paru.html
10. Sudoyo, Aru W. Pulmonologi : Tumor Paru. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam

FKUI Edisi V Jilid III. Jakarta:Interna Publishing. Hal. 2254


11. Gunawan, S. Saluran Napas:Bronkodilator. Dalam Farmakologi dan terapi FKUI

Edisi V. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.2009.hal 92


12. Maddapa, T.Journal of Atelectasis Clinical

Presentation.2012..http://emedicine.medscape.com/article/296468-clinical#a0218
13. Anonymous. Medical Surgical and emergency. 2012.

http://webhome.broward.edu/~jlarson/EmergencyNursing/04MedSurg/02_Respiratory/

25ClinicalManifestationsofAtelectasis.htm
14. Miller, Wallace T.Acute Focal Opacities and Atelectasis. Dalam Diagnostic Thoracic

Imaging. United Stated of America: Penerbit The McGraw-Hill Companies. Hal.217


15. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular

Indonesia. Edisi Pertama. 2015


16. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and

treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J 2008;29:2388442.
17. McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis

and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis

and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of

Cardiology. Developed in collaboration with the Heart. Eur Heart J [Internet]

2013;32:e1641 e61. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22611136
18. Rydn L, Grant PJ, Anker SD, et al. ESC guidelines on diabetes, prediabetes, and

cardiovascular diseases developed in collaboration with the EASD. Eur Heart J

2013;34:303587

Anda mungkin juga menyukai