Anda di halaman 1dari 13

I.

KONSEP TEORI
1. Pengertian
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan
peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh Mycobacterium tuberculosa.
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di
sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra.
Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam
tubuh.
Percivall Pott (1973) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga
penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling jarang pada vertebra
C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang menyerang arkus
vertebra. (Rasjad, 2007).

2. Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di
tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3
dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk
batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu
disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.

3. Patofisiologi
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat
terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia.
Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan
tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat
mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna.
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering
menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan
korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra
sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang
dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra
yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta
basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan
mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan
berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah servikal,
eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang
muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke
dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum
mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya
tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa
yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga
timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas
dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat
menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada
trigonum skarpei atau regio glutea.
Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah
vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada vertebra
torakalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka
paraplegia biasanya pada vertebra torakalis10 sedang yang non paraplegia pada vertebra
lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi
medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 1 sisi kiri.
Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu
diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya.
Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis 10, sedang kanalis
vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, kanalis vertebralisnya
jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian
anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi
setinggi vertebra torakal 10.
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu :
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak
perjalanan penyakit ini dibagi dalam 5 stadium yaitu :
a) Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri
akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini
umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.
b) Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan
yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
c) Stadium destruksi lanjut.
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa
serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium
destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau
gibbus.
d) Stadium gangguan neurologis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh
komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi
gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau
setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas
penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan
miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari
abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan
fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi
secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler
vertebra.
e) Stadium deformitas residual.
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis
atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.

4. Pathway

Invasi hematogen ke korpus dekat diskus invertebra daerah servikal

Gangguan Citra

Kerusakan dan penjalaran ke vertebra yang berdekatan

Perubahan struktur vertebra servikalis

Kurang Pengeta
Spasme Otot
Kompresi diskus dan kompresi radiks saraf di sisinya Pembentukan abses faringeal

kekakuan leher
Nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
Tindakan dekompresi dan stabilisasi
Nyeri

Port de entree Ketidak seimbangan nurisi : Kurang dari kebut

Gangguan Mobilitas Fisik


Resiko tinggi Infeksi
5. Manifestasi Klinik
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada
umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit
meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak
sering disertai dengan menangis pada malam hari.
Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti
dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan
refleks Babinski bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra,
demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang
menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya
destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk akibat
penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix
saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada
daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas.
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan
menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya
penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan
motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior
tulang juga terlibat.
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis
pada umumnya, yaitu: (Mansjoer, 2000)
Badan lemah/ lesu
Penurunan berat badan
Nafsu makan berkurang
Demam subfebris
Nyeri vertebra/lokal pada lokasi infeksi sering dijumpai dan menghilang bila istirahat.
Deformitas tulang belakang
Adanya spasme otot paravertebralis
Nyeri ketok tulang vertebra
Gangguan motorik
Adanya gibus/kifosis
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis
Uji Mantoux positif
Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan
mikobakterium
Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
Pungsi lumbal, akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah
Pemeriksaan Radiologis:
Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan
untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain.
Pemeriksaan CT scan
CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis,
kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.

7. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin
untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa
2. Terapi operatif
Indikasi operasi yaitu:
- Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat.
Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa
diberikan obat tuberkulostatik.
- Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus
debrideman serta bone graft.
- Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT
dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
2) Riwayat penyakit sekarang.
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung bagian
bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai
nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada
malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain
adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa
lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan penurunan berat badan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului
dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru.
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab timbulnya
adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit
tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit menular
tersebut.
5) Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan sedih,
dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan
terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya
akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita.
6) Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi
persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua
klien mengerti benar perjalanan penyakitnya. Sehingga menimbulkan salah
persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya
riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang
mempengaruhi keadaan kesehatan klien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan
amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat, sehingga
klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya.
c. Pola eliminasi.
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke
kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya
penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK
harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut klien
tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses eliminasi.
d. Pola aktivitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta
penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi
aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik
tersebut.
e. Pola tidur dan istirahat.
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak
hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur dan
istirahat.
f. Pola hubungan dan peran.
Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau tidak
mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam keluarga
ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan
interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk
tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
h. Pola sensori dan kognitif.
Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi
komplikasi paraplegi.
i. Pola reproduksi seksual.
Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu
untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih
sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari-hari
tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
j. Pola penaggulangan stres.
Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya , akan
mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa stres,
klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stres.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan.
Pada klien yang dalam kehidupan sehari-hari selalu taat menjalankan ibadah,
maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan
kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai
penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.
7) Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Pada klien spondilitis kelihatan lemah, pucat, dan tulang belakang terlihat bentuk
kifosis (membungkuk)
Palpasi
Ditemukan adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi
Perkusi
Terdapat nyeri ketok pada tulang belakang yang mengalami infeksi
Auskultasi
Tidak ditemukan adanya kelainan paru

2. Diagnosa Keperawatan, Intervensi dan Rasional


1. Nyeri berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme otot servikal
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal dan nyeri
3. Gangguang citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh
4. Ketidak seimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan
nutrisi tidak adekuat sekunder akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
5. Risiko Infeksi berhubungan dengan port de entre luka pasca-bedah
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit,
pengobatan dan perawatan

Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme otot servikal
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
- Klien melaporkan penurunan nyeri
- skala nyeri 0 - 1
- dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
- klien menunjukan perilaku yang lebih rileks
Intervensi :
1) kaji lokasi, intensitas dan tupe nyeri sebagi observasi penyebaran nyeri
rasional : nyeri merupakan pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan
oleh klien sendiri
2) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologis dan
non invasive
Rasional : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologis
lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
3) istirahatkan leher, atur posisi fisiologis dan pasang ban leher
rasional : posisi fisiologis akan mengurangi kompresi saraf leher
4) lakukan masase pada otot leher
rasional : masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan membantu suplai
darah dan oksigen ke area nyeri leher
5) Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam ketika nyeri muncul
rasional : meningkatkan asupan oksigen sehingga menurunkan nyeri sekunder
akibat iskemia
6) ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri
rasional : distraksi dapat menurunkan stimulus nyeri
7) Berikan analgesic sesuai terapi dokter dan kaji keefektivitasannya
rasional : analgesic mampu mnegurasngi rasa nyeri; bagaimana reaksi terhadap
nyeri yang diderita klien
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal dan nyeri
Tujuan : klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal dan mampu teradaptasi dalam
waktu 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
- klien dapat ikut serta dalam program latihan
- klien terlihat mampu melakukan mobilisasi secara bertahap
- mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal
Intervensi
1) kaji kemampuan mobilitas dan observasi terhadap peningkatan kerusakan
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
2) bantu klien melakukan ROM, dan perawatan diri sesuai toleransi
Rasional : latihan ROM yang optimal mampu menurunkan atrofi otot,
memperbaiki sirkulasi perifer dan mencegah kontraktur
3) pantau keluhan nyeri dan adanya tanda-tanda deficit neurologis
rasional : peran perawat dalam pemantauan dapat mencegah terjadinya hal yang
lebih parah seperti henti jantung paru akibat kompresi batang otak dan korda
4) kolaborasi dengan dokter untuk pemberian OAT
Rasional : OAT akan mengobati penyebab dasar spondilitis TB
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh
Tujuan : Klien dapat mengekpresikan perasaanya dan dapat menggunakan koping
adaptif
Kriteria Hasil :
- Klien dapat mengungkapkan perasaannya dan dapat menggunakan keterampilan
koping yang poeotif dalam mengatasi perubahan citra
Intervensi :
1) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan.
Rasional : meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya
dengan mengungkapkan perasaan dapat membantu penerimaan diri
2) bersama-sama klien mencari alternatif koping yang positif
Rasional : dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri
klien
3) kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien kluarga dan teman serta
berikan aktifitas rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan body image
Rasional : memberikan semangat bagi klien agar dapat memandang dirinya secara
positif dan tidak merasa rendah diri
4. Ketidak seimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan
nutrisi tidak adekuat sekunder akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
Tujuan : dalam waktu 7 x 24 jam keseimbangan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria Hasil :
- klien terlihat mampu melakukan pemenuhan nutrisi per oral secara bertahap
- proporsi berat badan dan tinggi badan ideal
Intervensi :
1) pantau persentase asupan makanan yang dikonsumsi setiap makan, timbang
berat badan tiap hari
Rasional : mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari tujuan yang
diharapkan
2) berikan perawatan mulutu tiap 6 jam. pertahankan kesegaran ruangan
Rasional : perasaan tidak nyaman pada mulut dan bau yang tidak nyaman dari
lingkungan dapat mempengaruhi selera makan
3) beri makanan lunak dalam kondisi hangat, sedikit tapi sering
Rasional : peran perawat dalam memberi dukungan sangat diperlukan pada klien
yang membutuhkan energy dan protein untuk proses pengembalian fungsi yang
optimal
4) dorong klien untuk ikut serta dalam pemenuhan nutrisi tinggi kalori dan tinggi
protein
Rasional : peran perawat dalam member dukungan sangat diperlukan pada klien
yang pada fase inflamasi sangat banyak membutuhkan energy dan protein untuk
proses pengembalian fungsi yang optimal
5) kolaborasi dengan ahli diet untuk pemenuhan nutrisi yang ideal
Rasional : dalam kondisi akut, ahli diet dapat mencari jenis makanan yang dapat
membantu klien dalam memenuhi kebutuhan akan energy dan perbaikan
5. Risiko Infeksi berhubungan dengan port de entre luka pasca-bedah
Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil :
- terbebas dari tanda atau gejala infeksi
- menunjukan hygiene yang adekuat
- menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi
Intervensi :
1) pantau tanda/ gejala infeksi
Rasional : mengidentifikasi dini infeksi
2) kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
Rasional : Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi
3) berikan terapi antibiotik, bila diperlukan
Rasional : Mencegah Infeksi
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit,
pengobatan dan perawatan
Tujuan : Klien dan Keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah
Kriteria Hasil :
- Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau korset
- mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan
- klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana pengobatan
dan gejala kemajuan penyakit
Intervensi :
1) Diskusikan tentang pengobatan
Rasional : meminimalisasi kesalahan klien dan keluarga dalam penggunaan
obat
2) Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur
Rasional : Meningkatkan kewaspadaan klien maupun keluarga terhadap faktor
faktor resiko yang dapat memperparah kondisi klien
3) Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter
Rasional : mendeteksi kondisi perkembangan klien secara dini

Evaluasi
1. Pasien menyatakan nyeri berkurang dan atau hilang
2. pasien menunjukan kondisi yang rileks dan dapat beristirahat
3. pasien berpartisipasi dalam program pengobatan
4. pasien mendiskusikan perannya dalam mencegah kekambuhan
5. pasien mampu mengerti penjelasan yang diberikan tentang proses penyakit dan
pengobatannya
6. pasien mampu mengidentifikasi potensial situasi stress dan mengambil langka untuk
menghindarinya
7. pasien dapat menggunakan obat yang diresepkan dengan baik
8. pasien dapat melakukan pola hidup sehat dengan baik

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo Agung.,
Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Johnson & Mass. 2008. Nursing Outcomes Classifications. 2nd edition. New York: Mosby-Year
Book inc
McCloskey & Bulechek. 2008. Nursing Interventions Classifications. 4th edition. New York:
Mosby-Year Book inc
NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis: Definitions and classification. Philadelphia, USA

Anda mungkin juga menyukai