Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN

BLOK COMMUNITY HEALTH AND ENVIRONMENTAL MEDICINE II

Asisten
Zhita Wahyu A.
(G1A010061)

Oleh :
Kelompok B1
Nama Anggota :

Miftachul Hidayah G1A013036


Naila Syifa Qur'ani G1A013037
Atin Dwi Febri Astuti G1A013038
Nining Sariwati G1A013039
Pusva Nurmala Sari G1A013040
Ghaida Sakina G1A013041
Muhammad Mahdi Alattas G1A013056
Diptyo Fajar Santoso G1A013060

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2014

0
HALAMAN PENGESAHAN

Pemeriksaan Enzim Asetilkolinesterase

Oleh :
Kelompok B1
Miftachul Hidayah G1A013036
Naila Syifa Qur'ani G1A013037
Atin Dwi Febri Astuti G1A013038
Nining Sariwati G1A013039
Pusva Nurmala Sari G1A013040
Ghaida Sakina G1A013041
Muhammad Mahdi Alattas G1A013056
Diptyo Fajar Santoso G1A013060

disusun untuk memenuhi persyaratan


mengikuti ujian praktikum Biokimia Blok CHEM II
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.

diterima dan disahkan,


Purwokerto, 16 Juni 2014
Asisten,

Zhita Wahyu A.
(G1A010061)

1
I. PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum
Pemeriksaan Enzim Asetilkolinesterase

B. Tanggal Praktikum
9 Juni 2014

C. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar enzim asetilkolinesterase dengan
metode DGKC New.
2. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan enzim
asetilkolinesterase pada saat praktikum setelah membandingkannya dengan
nilai normal.
3. Mahasiswa akan dapat melakukan diagnose dini penyakit apa saja yang
ditandai oleh hasil aktivitas enzim asetilkolinesterase abnormal/ patologis
melalui bantuan hasil praktikum yang dilakukan.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori
Bila Nervus Vagus dirangsang maka di ujung saraf tersebut akan dilepaskan
suatu zat aktif yaitu asetilkolin (Ach). Dalam ujung saraf kolinergik, Ach
disimpan dalam gelembung sinaps dan dilepaskan oleh NAP (Nerve Action
Potensial). Asetilkolin sebagai transmitter harus diinaktifkan dalam waktu yang
cepat. Pada sambungan saraf otot, Ach dirusak secara cepat dalam waktu kurang
dari 1 milidetik. Kolinesterase yang tersebar luas di berbagai jaringan dan cairan
tubuh, menghidrolisis Ach menjadi kolin dan asam asetat. Ada 2 macam kolinesterase, yaitu
asetilkolinesterase (AchE) dan butirilkolinesterase (BuchE). Asetilkolinesterase
terutama terdapat di tempat transmisi kolinergik pada membrane pra maupun post
sinaps dan merupakan kolinesterase sejati yang terutama memecah Ach. BuchE
berfungsi dalam eliminasi suksinilkolin suatuobat relaksan otot rangka dan fungsi
fisiologis lainnya belum diketahui, sedangkan metakolin dihidrolisis oleh AchE
(Asscalbiass, 2010).
Transmisi kolinergik praktis dihentikan oleh enzim AchE,
sehingga penghambatan terhadap enzim ini, misalnya oleh senyawa organofosfat
(sejenisinsektisida) menyebabkan aktivitas kolinergik yang berlebihan dan
perangsangan reseptor kolinergik secara terus menerus yang diakibatkan oleh
penumpukan Ach yang tidak dihidrolisis. Kelompok zat yang menghambat AchE
dikenal sebagai antikolinesterase (anti AchE). Dalam urutan kekuatan yang
meningkat dikenal senyawa-senyawa anti AchE sebagai berikut: fisostigmin,
prostigmin, diisopropilfluorofosfat (DFP) dan senyawa insektisida organofosfat
sepertimalation, dan parathion (Asscalbiass, 2010).
Otot rangka dirangsang untuk berkontraksi melalui pengeluaran asetilkolin
(Ach) di taut neuromuskulus antara ujng-ujung akhir neuron motorik dan sel otot.
Sebuah sel otot rangka, yang dikenal sebagai serat otot, berukuran relatif besar, memanjang,
dan berbentuk seperti silinder dengan garis tengah berukuran dari 10 sampai 100

3
mikrometer (1 mikrometer = sepersejuta meter) dan panjang sampai 750.000
mikrometer, atau 2.5 kaki. Sebuah otot rangka terdiri dari sejumlah serat otot
yang terletak sejajar satu sama lain dan disatukan oleh jaringan ikat. Serat-serat
tersebut menjulur di seluruh panjang otot. Ciri struktural yang paling menonjol
pada serat-serat otot rangka adalah adanya banyak miofibril. Unsur-unsur kontraktil khusus
ini, yang membentuk 80% dari volume serat otot, adalah struktur intrasel
berbentuk silindris dengan garis tengah 1 mikrometer yang terlentang di seluruh
panjang serat otot. Setiap miofibril terdiri dari susunan teratur unsur-unsur
sitoskleton yang sangat terorganisasi filamen tebal dan tipis. Filament tebal yang
berdiameter12 sampai 18 nm dan panjang 1.6 mikrometer, adalah susunan khusus
dari protein Miosin , sedangkan filament tipis, yang bergaris tengah 5 sampai 8 nm
dan panjang 1 mikrometer, keduanya terutama dibentuk oleh protein aktin.
Tingkat-tingkat organisasi pada sebuah otot rangka dapat diringkas sebagai
berikut: (Sherwood, 2001).
Otot utuh Seratotot miofibril Filament tebal dan tipisMiosin dan
aktin
Dalam sistem saraf, pesan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain
dalam bentuk potensial aksi sepanjang akson. Agar menjadi efektif, sebuah pesan
harus tidak hanya berjalan di sepanjang akson saja tetapi juga ditransfer ke sel
saraf lainnya. Di sinapsis antara dua neuron, impuls berpindah dari neuron presinaps ke neuron
postsinaps (Martini, 2009).
Sinapsis yang melepas Ach disebut sinapsis kolinergik.
Neuromuscular junction adalah salah satu contoh sinapsis kolinergik. Ach,
neurotransmitter yang paling banyak menyebar, dilepas, di semua neuromuscular junction
yang melibatkan juga serat otot; di banyak sinaps di CNS; di semua sinapsis
antarneuron di PNS; dan di semua neuromuscular dan neuroglandular junction disistem saraf
autonomi di bagian parasimpatis (Martini, 2009).
Di sinapsis kolinergik antara dua neuron, membrane presinapsis
dan postsinapsis dipisahkan oleh celah sinapsis dengan lebar sekitar 20 nm.
Sebagian besar Ach di knop sinapsis dibungkus di dalam vesikel, yang setiap

4
vesikel mengandung ribuan molekul neurotransmitter. Satu knop sinapsis bisa
mengandung sekitar satu juta vesikel (Martini, 2009).Stimulus merangsang
pelepasan neurotransmitter di knop sinapsis dan gate di sinapsis terbuka, ion
natrium dan kalium keluar-masuk menjadi potensial aksi. Selanjutnya, potensial aksi
merangsang pembukaan gate ion kalsium yang dilepaskan oleh retikulum endoplasma (Martini,
2009).
Ion kalsium yang dilepas akan berikatan dengan troponin dan
mengubah bentuknya, sehingga kompleks troponin-tropomiosin secara fisik
bergeser kesamping, membuka tempat pengikatan jembatan silang aktin. Bagian
aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang miosin, yang
sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi ADP + Pi +
energy oleh ATPase miosin di jembatan silang. Pengikatan aktin dan miosin di
jembatan silang menyebabkan jembatan silang menekuk, menghasilkan suatu
gerakan mengayun kuat yang menarik filament tipis ke arah dalam. Pergeseran ke
arah dalam dari semua filament tipis yang mengelilingi filament tebal
memperpendek sarkomer sehingga terjadi kontraksi otot (Sherwood, 2001).
Ach dilepas melalui difusi eksositosis melewati celah sinapsis menuju
reseptor Ach di membrane postsinaps. Semakin banyak jumlah Ach yang dilepas
dari membran presinapsis, maka gate ion kalsium di membran postsinaps akan lebih banyak
terbuka. Dan depolarisasi akan semakin lama (Martini, 2009).
Efek di membran postsinaps bersiat sementara, karena di celah sinapsis dan
membran postsinaps mengandung enzim asetilkolinesterase (AchE,
ataukolinesterase). Sekitar setengah dari Ach yang dilepas dari membran
presinaps dihancurkan sebelum mencapai reseptornya di membran postsinaps.
Molekul Ach yang sukses berikatan di reseptornya biasanya dihancurkan dalam
waktu 20 milidetik setelah menempati reseptor. Hidrolisis oleh enzim AchE
memecah Ach menjadi asam asetat dan kolin. Kolin diserap aktif oleh knop
sinapsis dan digunakan untuk mensintesis lebih banyak Ach. Asam asetat
didifusikan dari sinapsis dan bisa diabsorpsi atau dimetabolisme oleh membran
postsinaps atau oleh sel dan jaringan lain (Martini, 2009).

5
III.METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Tourniquet
c. Plakon
d. Eppendorf
e. Sentrifugator
f. Mikropipet (10 l 100 l)
g. Yellow tip
h. Pipet ukur 5 ml
i. Kuvet
j. Spektrofotometer
2. Bahan
a. Darah
b. EDTA
c. Reagen 1
d. Reagen 2 (standar ChE)

B. Cara Kerja
1. Persiapan sampel (plasma) :
a. Diambil darah probandus sebanyak 3 cc dengan meggunakan spuit.
b. Darah kemudian dimasukkan kedalam tabung Eppendorf yang telah diberi
EDTA dan didiamkan selama 10 menit dalam suhu ruangan.
c. Darah yang sudah bercampur dengan EDTA disentrifuge dengan
kecepatan 4000 rpm selama 10 menit dan kemudian diambil plasmanya
untuk sampel.

2. Persiapan working reagen :


Reagen (2) sebanyak 1 ml dicampur dengan reagen (1) sebanyak 5 ml,
kemudian diambil 1 ml (1000 l) untuk test.
3. Working reagen sebanyak 1000 l dicampur dengan 10 l plasma, diinkubasi
pada spektrofotometer selama 3 menit, kemudian langsung diukur
absorbansinya dengan panjang gelombang 405 nm selama 60 detik (nilai
faktor 13160).

6
4. Hasil yang diperoleh pada spektrofotometer dikalikan dengan 10.

7
IV. PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
1. Probandus
Nama : Diptyo Fajar Santoso
NIM : G1A013060
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
2. Hasil Praktikum
Hasil setelah dibaca dengan spektrofotometer yaitu 918 U/I.
Hasil tersebut kemudian dikalikan 10, sehingga menjadi 9180 U/I.

B. Pembahasan Hasil Pengamatan


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kadar asetilkolinesterase dalam
darah. Asetilkolinesterase berfungsi untuk menginaktivasi asetilkolin yang
normalnya aktif pada celah antara syaraf dan otot, antara syaraf dan kelenjar, dan
pada sinaps antar syaraf pada system syaraf pusat (Fishel, 2009).
Asetilkolin berfungsi untuk menstimulus otot agar berkontraksi secara terus-
menerus. Untuk menghentikan kontraksi otot, asetilkolin harus dihidrolisis dan
dihancurkan oleh asetilkolinesterase (Kitundu, 2004 )
Zat-zat yang menghambat kerja asetilkolinesterase adalah insektisida jenis
organofosfat dan karbamat (Brown, 2006)
Kehadiran organofosfat dan karbamat dalam darah menghambat kerja
asetilkolinesterase dengan melepas unsur organik organofosfat atau karbamat dan
melakukan fosforilasi atau karbamilasi pada enzim tersebut, sehingga
asetilkolinesterase tidak dapat menghidrolisis asetilkolin, dan pada akhirnya
mengakibatkan penumpukan asetilkolin pada sinaps (Brown, 2006).
Sehingga turunnya jumlah asetilkolinesterase melebihi batas normal dapat
menyebabkan tidak terkontrolnya impuls saraf pada otot, dampak yang serius,
bahkan sampai kematian (Brown, 2006).
Hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang masih dalam batas normal. Hasil
akhir dari spektrofotometer dengan menggunakan pemeriksaan kinetik adalah -9,8
x 10=9180 U/l, dengan range normal 5.100 11.700 U/l.

8
C. Aplikasi Klinis
1. Tetanus
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. (Gilroy, 2008)
a. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani
Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa
pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja
binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa
tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda
daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu
mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin (Adams, 2005).
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada
neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak
baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum (Lubis, 2009).
b. Patologi
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending
bermigrasi secara sentripetal atau secara retrogard mcncapai CNS.
Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari sarung parineural. Teori
terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui
darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic (Adams, 2005).
c. Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien, berupa
(mansjoer, et al, 2008) :
1) Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum walau dirangsang.
2) Trismud (< 3cm) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3) Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umu spontan.
d. Komplikasi
Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm,
kekakuan otot-otot pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa
pneumonia dan atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi

9
lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal
failure, asfiksia, miositis leher (Mansjoer, et al, 2008).
e. Gejala Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih
lama 3 atau beberapa minggu). Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal
secara klinis, yakni (Adams, 2005).
1) Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
2) Cephalic Tetanus
3) Generalized tetanus (Tctanus umum)
Kharekteristik dari tetanus (Peter, 2008) :
1) Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5-
7 hari.
2) Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
3) Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4) Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang
dari leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus,
lockjaw ) karena spasme otot masetter.
5) Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
6) Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan
kuat .
7) Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik.
8) Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
( pada anak ).
2. Alzheimer
Alzheimer merupakan penyebab sekitar dua pertiga kasus demensia
senilis, yaitu berkurangnya kempuan mental geberalisata terkait usia. Pada
tahapnya yang paling awal, hanya ingatan jangka pendsek yang terganggu
tetapi seiring dengan perkembangan penyakit, bahkan ingatan jangka
panjangb yang telah tertanam dalam, misalnya ingatan akan anggota keluarga,
lenyap. Sering dijumpai kebingungan, disorientasi, dan perubahan kepribadian

10
yang ditandai oleh mudah tersinggung dan letupan emosional (Lauralle,
2013).
a. Patologi yang mendasari penyakit alzheimer (Lauralle, 2013), adalah :
Protein prekursor amiloid (APP) adalah komponen struktural membran
plasma neuron. Protein nini banyak terdapat di ujung terminal prasinaps.
APP dapat terputus di beberapa tempat berbeda untuk menghasilkan
produk yang berbeda. Pemutusan APP di salah satu tempat menghasilkan
suatu produk sekretorik (sAPP) yang dibebaskan dari terminal prasinaps.
b. Kemungkinan penyebab (Lauralle, 2013) :
Kausa mendasar yang memicu pembentukkan A abnormal penyakit
alzheimer tidak diketahui pada sebagian besar kasus. Banyak penelitian
percaya bahwa penyakit ini memiliki banyak penyebab. Faktor genetik
dan lingkungan diperkirakan berperan meningkatkan risiko timbulnya
penyakit alzheimer. Sekitar 15% kasus berkaitan dengan defek genetik
spesifik yang ditemukan dalam keluarga dan menyebabkan penyakitr
awitan dini.
c. Terapi yang diberikan pada penyakit alzheimer, yaitu (Lauralle, 2013) :
Obat-obat yang secara spesifik diizinkan untuk mengobati penyakit
alzheimer meningkatkan kadar asetinkolin (neurotransmiter yang
berkurang) di otak. Sebagai contoh, takrin (tacrine cognex) menghambat
enzim yang secara normal membersihkan asetinkolin keluar di sinaps.
Beberapa obat lain juga digunakan un tuk mengobati penyakit alzheimer.
Antioksidan memberi harapan dalam mengatasi kerusakan yang
ditimbulkan oleh radikal bebas. Aspirin dan obat anti-inflamasi lain
mungkin memperlambat perjalanan penyakit alzheimer dengan
menghambat komponen-komponen flamotorik penyakit.

11
V. KESIMPULAN

1. Didapat hasil pengukuran sampel AchE dengan spektrofotometer absorbansi


-9,180 sehingga didapat kadar Asetilkolinesterase dalam darah dengan rumus
Absorbansi x 10 = 9180 U/l
2. Kadar methemoglobin dalam darah masih dalam batas normal, dimana kadar
normal AchE normal pada laki-laki adalah 5.100 11.700 U/l.

12
DAFTAR PUSTAKA

Adams. R.D,et al. 2005. Tetanus in :Principles of Neurology. McGraw-Hill.


Brown, Amy. E., Mary Miller, Matthew Keifer. 2006. Cholinesterase Monitoring A
Guide
Fishel, Frederick. M. 2009. Pesticides and Cholinesterase, IFAS ExtensionUniversity
of Florida Press, Florida
Gilroy, John MD, et al. 2008. Tetanus in : Basic Neurology. American.
Kitundu, M. N., G. I. Kiula, M. E. Kamwaya. 2004. Serum Acetylcholinesterase
Activity Levels As A Measure of Pesticide Poisoning. Tanzania : University of
Tanzania Press.
Lubis, CP. 2009. Tetanus Neonatorum dan anak, Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan Anak,
Peny. lnfeksi, bag II. Medan: Balai Penerbit FK USU.
Mansjoer, et al. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Ausculaplus.
Peter. G. Red Book. 2008. Report of the committee on infectious diseases, ed.24 th,
American: Academy of Pediatrics.

13

Anda mungkin juga menyukai