Anda di halaman 1dari 9

PENGELOLAAN CAGAR ALAM PANUA BERBASIS EKOWISATA

Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Manajemen Konservasi

Oleh :
Maya Fadhillah
1506806064

Dosen :
Prof. Jatna Supriatna

PROGRAM STUDI PASCASARJANA BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
Abstrak
Cagar Alam merupakan kawasan konservasi yang memiliki fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan. Cagar Alam Panua memiliki banyak potensi
ekowisata, Seperti, wisata bahari, eduwisata (tempat penangkaran Penyu,
Penangkaran burung maleo, bercocok tanam, membat dan madu alami dan
fenomena burung migran), rekreasi (kemah, wisata satwa dan tumbuhan di alam).
Dalam pengelolaan ekowisata harus memegang lima pedoman yang harus dikenali
dan dipatuhi oleh para pelaku ekowisata yaitu, pendidikan (education), pembelaan
(advocacy), pengawasan (monitoring), keterlibatan komunitas setempat
(community involvement) dan perlindungan (conservation).

A. Pendahuluan

Latar Belakang

Indonesia adalah negara dunia yang memiliki keanekaragaman hayati


paling tinggi setelah Brasil dan Colombia dengan keunikan, keaslian dan
keindahan alamnya (Butler 2016). Keanekaragaman flora, fauna dan
ekosistemnya serta keragaman budaya merupakan potensi dan dapat dijadikan
salah satu dasar pembangunan berkelanjutan dengan cara memanfaatkan jasa
lingkungan melalui ekowisata (Supyan, 2011).
Dalam rangka untuk melindungi keanekaragaman hayati tersebut,
pemerintah menetapkan beberapa kawasan di Indonesia sebagai kawasan
konservasi yaitu Suaka Alam (Cagar Alam, Suaka Margasatwa) dan Pelestarian
Alam (Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Tahura) (Zuhri dan Sulistyawati,
2007). Berdasarkan data Kemenhut (2012) Indonesia menetapkan 245 kawasan
Cagar Alam dengan luas 4.485.230 ha. Cagar alam Panua ditetapkan sebagai
Cagar Alam Panua melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia dengan nomor 471/Kpts-11/1992 dengan luas mencapai 45.575 hektar
tanggal 25 Februari 1992. Pada kawasan ini terdapat satwa endemik atau langka
ialah Burung Maleo (Gorontaloprov. go.id 2017)

1
Cagar Alam merupakan kawasan konservasi yang memiliki fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan. Perlindungan Cagar Alam banyak mengalami
hambatan yang disebabkan oleh pembatasan akses, sehingga memicu konflik
kepentingan antara pengelola kawasan dengan masyarakat (Wiratno, 2004).
Kawasan Cagar Alam Panua (KCAP) beberapa tahun terakhir menghadapi
permasalahan pengelolaan yaitu adanya kegiatan wisata alam dalam kawasan. Hal
ini bertentangan dengan UU RI No. 5 tahun 1990 pasal 17 ayat 1 yaitu di dalam
Cagar Alam hanya dapat dilakukan kegiatan penelitian, pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan yang menunjang budidaya.
Adanya permasalahan dan tekanan permintaan wisata ke daerah-daerah yang
alami akan berdampak pada penurunan kawasan baik secara kualitas maupun
kuantitas yang dapat mengancam kelestarian kawasan (Wearing dan Neil, 2009),
sehingga tujuan penetapan kawasan konservasi tidak dapat tercapai. Oleh karena
itu diperlukan upaya strategis dalam pengelolaan kawasan CAP, supaya tercapai
optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan serta sumberdaya alam yang terkandung
di dalamnya, sekaligus dapat memecahkan masalah yang dihadapi kawasan
sekarang dan mengantisipasi kondisi yang akan datang. Dengan upaya strategi
pengelolaan baru diharapkan kawasan CAP secara ekologis tetap lestari dan
secara ekonomis menguntungkan masyarakat sekitar.

Permasalahan

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:


1 Bagaimana Potensi obyek Wisata Alam di Kawasan Cagar Alam Panua?
2 Bagaimana pengelolaan Kawasan Cagar Alam Panua?

Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

2
1 Mengetahui Potensi Potens obyek Wisata Alam di Kawasan Cagar Alam
Panua
2 Mengetahui pengelolaan Kawasan Cagar Alam Panua

B. Pembahasan
Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam di Kawasan Cagar Alam Panua
1. Pantai Tanjung Maleo dijadikan wisata bahari dan tempat penangkaran
Penyu (Mano 2016)
2. kawasan untuk membuka lahan pertanian. Pada zona ini pengunjung dapat
melihat bagaimana masyarakat sekitar kawasan dalam membuat Madu Alami,
serta dapat belajar bagaimana bercocok tanam yang baik
3. Kawasan Cagar Alam Panua dimanfaatkan sebagai tempat menginap, fasilitas
seperti cottage, & Restaurant. Pada zona ini, banyak dimanfaatkan oleh
pengunjung untuk bersantai di tepi Pantai Tanjung Maleo, dimanfaatkan
untuk berkemah oleh anak anak pecinta alam.
4. Rekreasi. outbond
5. Penangkaran burung maleo (degorontalo.co 2017)
6. fenomena burung migran (Mano 2017; Paino 2017)
7. Wisata Satwa
Dapat dijumpai satwa diantaranya penyu tempayan, penyu belimbing, julang
Sulawesi (rangkong), penyu sisik, babi rusa, anoa, tarcius, serta monyet
Sulawesi (Mano 2016).

Kendala Pengelolaan Ekowisata Cagar Alam Panua


Komponen sosial ekonomi dapat dikelompokkan menjadi pendapatan dan
penguatan komunitas lokal, kelembagaan dan institusi, pendidikan, kesehatan,
budidaya, akses dan Informasi, dan demografi. Keberlanjutan kehidupan sosial
ekonomi masyarakat sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan,
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, sumberdaya
financial, dan sosial budaya.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab kerusakan hutan, diantaranya
pertumbuhan populasi, kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan, konversi
lahan hutan untuk pertanian, kemiskinan, kurangnya pilihan alternatif ekonomi,
dan lemahnya penegakan hukum, serta ketidakjelasan batas kawasan. Untuk

3
kerusakan hutan di Indonesia, salah satu penyebabnya yakni populasi/ penduduk.
Hal ini disebutkan dalam Mulyana (2010) bahwa masyarakat terlanjur
menggantungkan hidup mereka dari kawasan tersebut karena semua itu bermula
dari kebijakan konservasi di Indonesia pada dasarnya cenderung tidak melibatkan
masyarakat.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi di kawasan Cagar Alam Panua:
1. Perburuan rangkong
2. Pencurian telur maleo
3. Alih fungsi hutan untuk pertambangan dan perkebunan
4. Hutan mangrove yang mulai dikonversi menjadi tambak.
(Paino 2013)
Peluang Pengelolaan Ekowisata Cagar Alam Panua
Lima pedoman yang harus dikenali dan dipatuhi oleh para pelaku
ekowisata adalah pendidikan (education), pembelaan (advocacy), pengawasan
(monitoring), keterlibatan komunitas setempat (community involvement) dan
perlindungan (conservation).
Aspek pendidikan menjadi bagian utama dalam pengelolaan ekowisata
karena membawa misi sosial untuk menyadarkan keberadaan manusia, lingkungan
dan akibat yang akan timbul bila terjadi kesalahan dalam manajemen
pemberdayaan lingkungan global. Dalam penjabaran misi tersebut seringkali
berbenturan dengan perhitungan ekonomis atau terjebak dalam metode pendidikan
yang kaku. Pembangunan infrastruktur pariwisata secara berlebihan justru pada
akhirnya menyebabkan perlindungan terhadap keunikan kawasan wisata menjadi
tersisih dikalahkan oleh industri pariwisata massal. Salah satu tujuan ekowisata
harus mampu manjabarkan nilai kearifan lingkungan dan sekaligus mengajak
orang untuk menghargai apapun yang walaupun tampaknya teramat sederhana.
Pada hakikatnya dengan kesederhanaan itulah yang menjadi pedoman
masyarakat sekitar kawasan wisata mempertahankan kelestarian alamnya. Dengan
demikian keterlibatan masyarakat sekitar sebagai pengawas menjadi teramat
penting. Hal lain yang harus diperhatikan adalah perkembangan budaya dalam
masyarakat asli di sekitar kawasan ekowisata yang berbeda dengan budaya para
wisatawan. Disadari atau tidak lambat laun akan terjadi pergeseran budaya yang
mungkin dapat melenyapkan budaya asli. Idealnya dalam suatu kawasan
ekowisata timbul suatu keterikatan dan rasa saling menghormati antar komunitas

4
penduduk asli dengan wisatawan. Untuk meminimalkan dampak yang timbul di
kemudian hari diperlukan integritas, kualitas, loyalitas dan kemampuan pengelola
dalam melaksanakan pengawasan.
Kegiatan ekowisata menjadi suatu jenis wisata yang lebih mahal harganya
dibandingkan dengan jenis wisata lain, mengingat pengelolaan kawasan ekowisata
harus mengendalikan kuantitas dan kualitas pengunjung. Pengelola ekowisata
disamping menjalankan prinsip ekonomi untuk mencari keuntungan sebanyak
mungkin, tetapi juga harus dapat menjalankan misi konservasi.
Tidak semua wilayah Cagar Alam Panua memiliki potensi pariwisata yang
dapat dikembangkan. Untuk keberhasilan usaha ekowisata di wilayah tersebut
ditentukan pula atas faktor-faktor berikut :
1 Pemilihan lokasi harus memiliki keunikan dan dapat dijangkau alat
transportasi yang ramah lingkungan,
2 Perencanaan ekowisata dan persiapan yang melibatkan masyarakat lokal untuk
menjalankan ekowisatasebagai usaha bersama,
3 Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan usaha dan pengelolaan
kegiatan ekowisata,
4 Interpretasi alam dan budaya lokal yang baik dengan membekali diri dengan
pengetahuan geografi, adat istiadat, kebiasaan dan budaya yang berlaku.
5 Kemampuan untuk menciptakan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan,
sekaligus juga memberikan pembelajaran kepada mereka untuk membantu
pelestarian sumberdaya alam, menghargai privacy dan kehormatan masyarakat
setempat.
6 Menjalin hubungan kerja yang berkelanjutan dengan pemerintah dan
organisasi lain yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari ke enam hal yang tersebut di atas, maka Desa Maleo memiliki
peluang pada :
Kehidupan masyarakat lokal yang dapat diajak berperan serta untuk
pengembangan wisata ini, selama ini sebagai buruh tambak sebagian masyarakat
hanya mendapat keuntungan kecil dari segi ekonomi, dengan dilibatkan dalam
kepariwisatan, mereka dapat menjadi majikan unruk dirinya sendiri.

5
Pengembangan wisata ini sesuai dengan Rencana Tata Ruang dapat dijadikan
sebagai daerah wisata Bahari, sehingga bila ditangai secara serius, maka pasti
akan mendapat dukungan dari pemerintah setempat.
Prinsip ekowisata menurut Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) antara
lain :

1 Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian


lingkungan.
2 Pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat
setempat.
3 Memberikan manfaat kepada masyarakat setempat.
4 Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang
dianut masyarakat setempat.
5 Memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan dan
kepariwisataan.

C. Penutup

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai


berikut:

1 Kawasan Cagar Alam Panua memiliki potensi sebagai


ekowisata

2 Pengelolaan sebagai ekowisata dapat melibatkan


masayarakat setempat sebagai sumber sosisl-ekonomi.

Saran

1 Dapat dikaji lebih lanjut lagi valuasi ekonomi dari jasa-jasa


ekologi secara tidak langsung di kawasan cagar Alam sebagai

6
potensi sumber ekonomi masyarakat dan perlindungan
kawasan.

7
Daftar Acuan

[KEMENHUT] Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta.


Kementerian Kehutanan.

Butler, Rhett A. 2016. Top 10 biodiverse countries. https://news.mongabay.com/2016/05/top-


10-biodiverse-countries/ diakses pada tanggal 24 Mei 2017 19.55

Degorontalo.co. 2017. Daud Badu dan burung maleo cerita dari Cagar Alam Panua.
http://degorontalo.co/daud-badu-dan-burung-maleo-cerita-dari-cagar-alam-panua/
diakses pada tanggal 24 Mei 2017 19.54

Gorontaloprov. go.id. 2017. BKSDA Lepasliarkan penyu di cagar alam Panua.


https://gorontaloprov.go.id/informasi/berita/kab-pohuwato/bksda-lepasliarkan-penyu-
di-cagar-alam-panua diakses pada tanggal 24 Mei 2017 19.26

Mano, Debby. 2016. BKSDA tangkarkan 106 telur penyu di Panua.


http://www.antaragorontalo.com/berita/23345/bksda-tangkarkan-106-telur-penyu-di-
panua diakses pada tanggal 24 Mei 2017 19.40

Mano, Debby. 2017. BKSDA burung Indonesia identifikasi burung di cagar alam.
http://www.antaragorontalo.com/berita/38248/bksda-burung-indonesia-identifikasi-
burung-di-cagar-alam diakses pada tanggal 24 Mei 2017 19.57

Paino, Cristopel. 2013. Cagar alam Panua dulu rumah maleo kini istana tambang.
http://www.mongabay.co.id/2013/03/09/cagar-alam-panua-dulu-rumah-maleo-kini-
istana-tambang-dan-perkebunan/ diakses pada tanggal 24 Mei 2017 19.35

Supyan. 2011. Pengembangan Daerah Konservasi Sebagai Tujuan Wisata. 5: 53-69.

Wearing, S. dan Neil J. 2009. Ecotourism: Impacts, Potentials and Possibilities. Second
Edition. University of Technology School of Leisure, Sport and Toursm Sydney, New
South Wales, Australia

Wiratno, Indriono D. Syarifuddin A. dan Kartikasari, A. 2004. Berkaca di Cermin Retak;


Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta. The
Gibbon Faoundation Indonesia.

Zuhri, M dan Sulistyawati E. 2007. Pengelolaan Perlindungan Cagar Alam Gunung


Papandayan. 28: 579- 588.

Anda mungkin juga menyukai