Oleh :
Maya Fadhillah
1506806064
Dosen :
Prof. Jatna Supriatna
A. Pendahuluan
Latar Belakang
1
Cagar Alam merupakan kawasan konservasi yang memiliki fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan. Perlindungan Cagar Alam banyak mengalami
hambatan yang disebabkan oleh pembatasan akses, sehingga memicu konflik
kepentingan antara pengelola kawasan dengan masyarakat (Wiratno, 2004).
Kawasan Cagar Alam Panua (KCAP) beberapa tahun terakhir menghadapi
permasalahan pengelolaan yaitu adanya kegiatan wisata alam dalam kawasan. Hal
ini bertentangan dengan UU RI No. 5 tahun 1990 pasal 17 ayat 1 yaitu di dalam
Cagar Alam hanya dapat dilakukan kegiatan penelitian, pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan yang menunjang budidaya.
Adanya permasalahan dan tekanan permintaan wisata ke daerah-daerah yang
alami akan berdampak pada penurunan kawasan baik secara kualitas maupun
kuantitas yang dapat mengancam kelestarian kawasan (Wearing dan Neil, 2009),
sehingga tujuan penetapan kawasan konservasi tidak dapat tercapai. Oleh karena
itu diperlukan upaya strategis dalam pengelolaan kawasan CAP, supaya tercapai
optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan serta sumberdaya alam yang terkandung
di dalamnya, sekaligus dapat memecahkan masalah yang dihadapi kawasan
sekarang dan mengantisipasi kondisi yang akan datang. Dengan upaya strategi
pengelolaan baru diharapkan kawasan CAP secara ekologis tetap lestari dan
secara ekonomis menguntungkan masyarakat sekitar.
Permasalahan
Tujuan
2
1 Mengetahui Potensi Potens obyek Wisata Alam di Kawasan Cagar Alam
Panua
2 Mengetahui pengelolaan Kawasan Cagar Alam Panua
B. Pembahasan
Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam di Kawasan Cagar Alam Panua
1. Pantai Tanjung Maleo dijadikan wisata bahari dan tempat penangkaran
Penyu (Mano 2016)
2. kawasan untuk membuka lahan pertanian. Pada zona ini pengunjung dapat
melihat bagaimana masyarakat sekitar kawasan dalam membuat Madu Alami,
serta dapat belajar bagaimana bercocok tanam yang baik
3. Kawasan Cagar Alam Panua dimanfaatkan sebagai tempat menginap, fasilitas
seperti cottage, & Restaurant. Pada zona ini, banyak dimanfaatkan oleh
pengunjung untuk bersantai di tepi Pantai Tanjung Maleo, dimanfaatkan
untuk berkemah oleh anak anak pecinta alam.
4. Rekreasi. outbond
5. Penangkaran burung maleo (degorontalo.co 2017)
6. fenomena burung migran (Mano 2017; Paino 2017)
7. Wisata Satwa
Dapat dijumpai satwa diantaranya penyu tempayan, penyu belimbing, julang
Sulawesi (rangkong), penyu sisik, babi rusa, anoa, tarcius, serta monyet
Sulawesi (Mano 2016).
3
kerusakan hutan di Indonesia, salah satu penyebabnya yakni populasi/ penduduk.
Hal ini disebutkan dalam Mulyana (2010) bahwa masyarakat terlanjur
menggantungkan hidup mereka dari kawasan tersebut karena semua itu bermula
dari kebijakan konservasi di Indonesia pada dasarnya cenderung tidak melibatkan
masyarakat.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi di kawasan Cagar Alam Panua:
1. Perburuan rangkong
2. Pencurian telur maleo
3. Alih fungsi hutan untuk pertambangan dan perkebunan
4. Hutan mangrove yang mulai dikonversi menjadi tambak.
(Paino 2013)
Peluang Pengelolaan Ekowisata Cagar Alam Panua
Lima pedoman yang harus dikenali dan dipatuhi oleh para pelaku
ekowisata adalah pendidikan (education), pembelaan (advocacy), pengawasan
(monitoring), keterlibatan komunitas setempat (community involvement) dan
perlindungan (conservation).
Aspek pendidikan menjadi bagian utama dalam pengelolaan ekowisata
karena membawa misi sosial untuk menyadarkan keberadaan manusia, lingkungan
dan akibat yang akan timbul bila terjadi kesalahan dalam manajemen
pemberdayaan lingkungan global. Dalam penjabaran misi tersebut seringkali
berbenturan dengan perhitungan ekonomis atau terjebak dalam metode pendidikan
yang kaku. Pembangunan infrastruktur pariwisata secara berlebihan justru pada
akhirnya menyebabkan perlindungan terhadap keunikan kawasan wisata menjadi
tersisih dikalahkan oleh industri pariwisata massal. Salah satu tujuan ekowisata
harus mampu manjabarkan nilai kearifan lingkungan dan sekaligus mengajak
orang untuk menghargai apapun yang walaupun tampaknya teramat sederhana.
Pada hakikatnya dengan kesederhanaan itulah yang menjadi pedoman
masyarakat sekitar kawasan wisata mempertahankan kelestarian alamnya. Dengan
demikian keterlibatan masyarakat sekitar sebagai pengawas menjadi teramat
penting. Hal lain yang harus diperhatikan adalah perkembangan budaya dalam
masyarakat asli di sekitar kawasan ekowisata yang berbeda dengan budaya para
wisatawan. Disadari atau tidak lambat laun akan terjadi pergeseran budaya yang
mungkin dapat melenyapkan budaya asli. Idealnya dalam suatu kawasan
ekowisata timbul suatu keterikatan dan rasa saling menghormati antar komunitas
4
penduduk asli dengan wisatawan. Untuk meminimalkan dampak yang timbul di
kemudian hari diperlukan integritas, kualitas, loyalitas dan kemampuan pengelola
dalam melaksanakan pengawasan.
Kegiatan ekowisata menjadi suatu jenis wisata yang lebih mahal harganya
dibandingkan dengan jenis wisata lain, mengingat pengelolaan kawasan ekowisata
harus mengendalikan kuantitas dan kualitas pengunjung. Pengelola ekowisata
disamping menjalankan prinsip ekonomi untuk mencari keuntungan sebanyak
mungkin, tetapi juga harus dapat menjalankan misi konservasi.
Tidak semua wilayah Cagar Alam Panua memiliki potensi pariwisata yang
dapat dikembangkan. Untuk keberhasilan usaha ekowisata di wilayah tersebut
ditentukan pula atas faktor-faktor berikut :
1 Pemilihan lokasi harus memiliki keunikan dan dapat dijangkau alat
transportasi yang ramah lingkungan,
2 Perencanaan ekowisata dan persiapan yang melibatkan masyarakat lokal untuk
menjalankan ekowisatasebagai usaha bersama,
3 Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan usaha dan pengelolaan
kegiatan ekowisata,
4 Interpretasi alam dan budaya lokal yang baik dengan membekali diri dengan
pengetahuan geografi, adat istiadat, kebiasaan dan budaya yang berlaku.
5 Kemampuan untuk menciptakan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan,
sekaligus juga memberikan pembelajaran kepada mereka untuk membantu
pelestarian sumberdaya alam, menghargai privacy dan kehormatan masyarakat
setempat.
6 Menjalin hubungan kerja yang berkelanjutan dengan pemerintah dan
organisasi lain yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari ke enam hal yang tersebut di atas, maka Desa Maleo memiliki
peluang pada :
Kehidupan masyarakat lokal yang dapat diajak berperan serta untuk
pengembangan wisata ini, selama ini sebagai buruh tambak sebagian masyarakat
hanya mendapat keuntungan kecil dari segi ekonomi, dengan dilibatkan dalam
kepariwisatan, mereka dapat menjadi majikan unruk dirinya sendiri.
5
Pengembangan wisata ini sesuai dengan Rencana Tata Ruang dapat dijadikan
sebagai daerah wisata Bahari, sehingga bila ditangai secara serius, maka pasti
akan mendapat dukungan dari pemerintah setempat.
Prinsip ekowisata menurut Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) antara
lain :
C. Penutup
Kesimpulan
Saran
6
potensi sumber ekonomi masyarakat dan perlindungan
kawasan.
7
Daftar Acuan
Degorontalo.co. 2017. Daud Badu dan burung maleo cerita dari Cagar Alam Panua.
http://degorontalo.co/daud-badu-dan-burung-maleo-cerita-dari-cagar-alam-panua/
diakses pada tanggal 24 Mei 2017 19.54
Mano, Debby. 2017. BKSDA burung Indonesia identifikasi burung di cagar alam.
http://www.antaragorontalo.com/berita/38248/bksda-burung-indonesia-identifikasi-
burung-di-cagar-alam diakses pada tanggal 24 Mei 2017 19.57
Paino, Cristopel. 2013. Cagar alam Panua dulu rumah maleo kini istana tambang.
http://www.mongabay.co.id/2013/03/09/cagar-alam-panua-dulu-rumah-maleo-kini-
istana-tambang-dan-perkebunan/ diakses pada tanggal 24 Mei 2017 19.35
Wearing, S. dan Neil J. 2009. Ecotourism: Impacts, Potentials and Possibilities. Second
Edition. University of Technology School of Leisure, Sport and Toursm Sydney, New
South Wales, Australia